Langit sudah
mulai gelap ketika aku tiba di halte, menunggu bus kota jurusan Bogor.
Kupasang headshet di telingaku dan mulai memutar lagu-lagu yang bisa
menemaniku membunuh rasa sepi dan dingin karena harus menunggu bus tanpa
teman. Lagu-lagu dari penyanyi pop-rock, Avril Lavigne, sedikit mampu
mengusir rasa jenuh. Cukup lama juga aku menunggu kendaraan rakyat yang
murah meriah itu, sampai akhirnya yang kutunggu-tunggu bersama
orang-orang lainnya datang juga.
Sore itu bus lumayan ramai dan penuh hingga aku terpaksa harus berdiri sampai ada tempat duduk kosong. Tangan kananku berpegangan pada besi yang ada di atas kepalaku dan tangan kiri mendekap erat tas kerjaku, satu tindakan kewaspadaan terhadap hal-hal kriminal yang kerap terjadi di angkutan umum. Di depanku berdiri seorang pria setengah baya dengan pakaian yang agak lusuh tapi satu yang membuatku ingin keluar dari bus yang sebenarnya sudah overload ini adalah bau badannya yang sangat menusuk hidung. “Ya ampun pengen muntah rasanya, udah ga mandi berapa hari sih ni orang?!” gerutuku dalam hati. Belum lagi kalau supir bus menginjak rem seenaknya sehingga tubuhku terpaksa condong ke depan, bahkan nyaris jatuh, dan aroma tak sedap itu makin membuat perutku mual. Tapi setiap kali itu terjadi, seorang laki-laki muda bertubuh tinggi dan tampan (menurutku) di belakangku dengan sigap memegangi pundakku agar aku tak jatuh. Aku melempar senyum dan berterima kasih padanya.
Beruntungnya aku tak perlu berlama-lama menikmati aroma yang sangat menusuk hidung ini, seorang wanita turun dan aku dengan sigap langsung menempati tempat duduk dekat jendela, bekas wanita tadi. Setidaknya aku bisa bernafas lega sekarang. Air hujan mulai membasahi kaca jendela di samping kananku. Aku sesekali menengok ke arah laki-laki yang tadi membantuku. “Ganteng!” pujiku dalam hati dan akupun senyum-senyum sendiri tiap kali aku menengok ke arahnya. “Ya Tuhan, semoga orang yang duduk di sebelahku ini cepat turun biar si Mas Ganteng itu duduk di sebelahku,” kataku berdoa dalam hatiku dan aku tertawa kecil tentang doa yang agak konyol barusan. Hei, apa sih yang kupikirkan?!
Meski aku berusaha sedikit jaga image, tetap saja mataku ini bandel dan sesekali mencuri pandang kearahnya. Tubuhnya yang tinggi, rambut cepak, dan senyumnya yang hangat. Oh God!aku ini kenapa sih?. Aku mencoba untuk menahan diri untuk tak bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Kurogoh kantung tasku mencari benda kotak dan tipis, ipod ku yang tadi sempat kumasukkan kembali kedalam tas sebelum masuk bus. Aku memasang headshet di kedua telingaku dan memainkan lagu-lagu kesukaanku alih-alih memandangi laki-laki itu.
Aku memandangi suasana hujan lewat jendela yang mulai buram karena mengembun. Udara dingin dan rasa lelah karena kesibukanku di kantor hari ini membuatku mengantuk dan matakupun terpejam perlahan. Aku tertidur dan sudah masuk dunia mimpi yang mana lagi. Entah kenapa aku merasakan suatu keadaan yang sangat nyaman dan tidurku makin pulas. Entah sudah berapa lama aku tidur di bus, aku terbangun ketika seseprang mencoba membangunkanku dengan menepuk pundakku berkali-kali. Akupun tersadar dari lelapku dan aku baru tersadar kalau kepalaku sedang bersandar di bahu orang lain. Alangkah terkejutnya diriku ketika kedua mataku mendapati seseorang dengan wajah tampan dan senyum nan indah di sampingku. Ternyata dia adalah orang yang tadi kuharapkan duduk di sampingku. Aku jadi salah tingkah sendiri dan buru-buru minta maaf. “Maaf ya mas udah tidur di bahunya,” kataku dengan polosnya.
Dia tersenyum dan berkata, “Enggak apa-apa kok mba. Ngomong-ngomong mba mau turun dimana?”
Mendengar pertanyaannya, aku dengan refleks langsung melihat ke jendela, mencari tahu bus ini sudah sampai mana. Melihat aku yang panik, dia dengan cepat memberitahuku.”Baru sampai pasar Cibinong, mba,” katanya. Aku menghela nafas lega dan menyandarkan tubuhku di kursi karena tempat tujuanku belum terlewati.
“Emang mau turun dimana , mba?” tanyanya.
“Pajajaran. Terima kasih udah dibangunin ya,” jawabku. Dia tersenyum sambil mengangguk. “Oh senyumnya..!!” seruku dalam hati.
Menit berikutnya kami sama-sama terdiam sampai akhirnya dia yang memecah keheningan dia antara kami. “Baru pulang kerja ya, mba?” tanyanya. Aku yang dari tadi hanya mampu menunduk malu karena tak tahan melihat senyumnya itu, menjawabnya dengan anggukan pelan. “Mas nya juga sama?” kataku balik tanya.
“Iya, saya juga baru pulang kerja.”
“Kerja dimana mas? Jakarta?”
“Iya mba,” jawabnya.
Aku terhanyut dalam obrolan kami sore itu di dalam bus kota yang tua ini. Kami bertukar cerita banyak hal. Kami seperti teman lama yang telah sekian lama berpisah dan baru dipertemukan saat ini, padahal aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Siapa sih dia sampai bisa membuatku sebahagiai ini? Well, aku menikmati saat-saat ini. Tuhan benar-benar mendengar doaku agar ia bisa duduk disampingku dan bahkan lebih dari itu, aku pun diberi kesempatan untuk berbicara dengannya!
Aku melihat tatapan matanya yang meneduhkan, senyumnya yang menghangatkan,dan rasanya aku bagai terbang diantara bunga-bunga yang indah dan merekah. Lalu ia meraih tanganku dan mengajakku untuk terbang lebih tinggi.
Seseorang menepuk pundakku berkali-kali dan aku membuka mataku. Seorang laki-laki yang ternyata adalah kernet bus ada di depanku. “Mba mau turun dimana? Sudah sampai terminal ini,” katanya dengan logat Medan yang kental dan aku bengong mendengar kata-katanya barusan. “Terminal?!” tanyaku setengah berteriak tidak percaya, aku berdiri dan melihat sekeliling dan kosong! Aku menepuk keningku dan kemudian berjalan keluar dari bus dengan lesu. Kepalaku rasanya pusing sekali, mungkin efek dari terbang dan jatuh begitu cepat. Terbang di alam mimpi karena bisa bersama dengan lelaki ganteng di bus, dan akhirnya harus jatuh dan ketika bangun ternyata sudah jauh dari tujuan dan ada di terminal. “Oh sial banget sih gue hari ini!” rutukku dalam hati. Gerimis masih turun dan aku terus berjalan keluar terminal tanpa payung, seorang diri.
Mataku mencari-cari angkot yang rutenya ke arah jalan Pajajaran. Ketika aku sedang serius dalam pencarianku, aku merasakan air hujan tak lagi menetes di atas kepalaku padahal hujan belum benar-benar berhenti. Aku menengok ke atas dan sebuah payung besar berwarna pelangi ada diatas kepalaku. Dengan cepat kepalaku menengok ke sekelilingku dan mendapati seseorang yang memayungiku berada di belakangku. “Hai!” kata orang itu.
Aku menutup kedua mataku dan berharap ketika kubuka kembali, aku sudah tersadar dari mimpi yang makin tak jelas. Tapi semuanya sia-sia karena orang tersebut tetap berdiri di depanku dan aku hanya mampu untuk membisu melihat seseorang yang kini tepat berada di depan mataku, sedekat ini. Rasanya lututku melemas, jantungku seperti ingin lepas dari tempatnya.
Oh God! Makhluk darimana lagi ini?! Malaikat-Mu kah? Ahh, masih saja aku di alam mimpi, cepat bangun Andissa!!
>>>
Sore itu bus lumayan ramai dan penuh hingga aku terpaksa harus berdiri sampai ada tempat duduk kosong. Tangan kananku berpegangan pada besi yang ada di atas kepalaku dan tangan kiri mendekap erat tas kerjaku, satu tindakan kewaspadaan terhadap hal-hal kriminal yang kerap terjadi di angkutan umum. Di depanku berdiri seorang pria setengah baya dengan pakaian yang agak lusuh tapi satu yang membuatku ingin keluar dari bus yang sebenarnya sudah overload ini adalah bau badannya yang sangat menusuk hidung. “Ya ampun pengen muntah rasanya, udah ga mandi berapa hari sih ni orang?!” gerutuku dalam hati. Belum lagi kalau supir bus menginjak rem seenaknya sehingga tubuhku terpaksa condong ke depan, bahkan nyaris jatuh, dan aroma tak sedap itu makin membuat perutku mual. Tapi setiap kali itu terjadi, seorang laki-laki muda bertubuh tinggi dan tampan (menurutku) di belakangku dengan sigap memegangi pundakku agar aku tak jatuh. Aku melempar senyum dan berterima kasih padanya.
Beruntungnya aku tak perlu berlama-lama menikmati aroma yang sangat menusuk hidung ini, seorang wanita turun dan aku dengan sigap langsung menempati tempat duduk dekat jendela, bekas wanita tadi. Setidaknya aku bisa bernafas lega sekarang. Air hujan mulai membasahi kaca jendela di samping kananku. Aku sesekali menengok ke arah laki-laki yang tadi membantuku. “Ganteng!” pujiku dalam hati dan akupun senyum-senyum sendiri tiap kali aku menengok ke arahnya. “Ya Tuhan, semoga orang yang duduk di sebelahku ini cepat turun biar si Mas Ganteng itu duduk di sebelahku,” kataku berdoa dalam hatiku dan aku tertawa kecil tentang doa yang agak konyol barusan. Hei, apa sih yang kupikirkan?!
Meski aku berusaha sedikit jaga image, tetap saja mataku ini bandel dan sesekali mencuri pandang kearahnya. Tubuhnya yang tinggi, rambut cepak, dan senyumnya yang hangat. Oh God!aku ini kenapa sih?. Aku mencoba untuk menahan diri untuk tak bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Kurogoh kantung tasku mencari benda kotak dan tipis, ipod ku yang tadi sempat kumasukkan kembali kedalam tas sebelum masuk bus. Aku memasang headshet di kedua telingaku dan memainkan lagu-lagu kesukaanku alih-alih memandangi laki-laki itu.
Aku memandangi suasana hujan lewat jendela yang mulai buram karena mengembun. Udara dingin dan rasa lelah karena kesibukanku di kantor hari ini membuatku mengantuk dan matakupun terpejam perlahan. Aku tertidur dan sudah masuk dunia mimpi yang mana lagi. Entah kenapa aku merasakan suatu keadaan yang sangat nyaman dan tidurku makin pulas. Entah sudah berapa lama aku tidur di bus, aku terbangun ketika seseprang mencoba membangunkanku dengan menepuk pundakku berkali-kali. Akupun tersadar dari lelapku dan aku baru tersadar kalau kepalaku sedang bersandar di bahu orang lain. Alangkah terkejutnya diriku ketika kedua mataku mendapati seseorang dengan wajah tampan dan senyum nan indah di sampingku. Ternyata dia adalah orang yang tadi kuharapkan duduk di sampingku. Aku jadi salah tingkah sendiri dan buru-buru minta maaf. “Maaf ya mas udah tidur di bahunya,” kataku dengan polosnya.
Dia tersenyum dan berkata, “Enggak apa-apa kok mba. Ngomong-ngomong mba mau turun dimana?”
Mendengar pertanyaannya, aku dengan refleks langsung melihat ke jendela, mencari tahu bus ini sudah sampai mana. Melihat aku yang panik, dia dengan cepat memberitahuku.”Baru sampai pasar Cibinong, mba,” katanya. Aku menghela nafas lega dan menyandarkan tubuhku di kursi karena tempat tujuanku belum terlewati.
“Emang mau turun dimana , mba?” tanyanya.
“Pajajaran. Terima kasih udah dibangunin ya,” jawabku. Dia tersenyum sambil mengangguk. “Oh senyumnya..!!” seruku dalam hati.
Menit berikutnya kami sama-sama terdiam sampai akhirnya dia yang memecah keheningan dia antara kami. “Baru pulang kerja ya, mba?” tanyanya. Aku yang dari tadi hanya mampu menunduk malu karena tak tahan melihat senyumnya itu, menjawabnya dengan anggukan pelan. “Mas nya juga sama?” kataku balik tanya.
“Iya, saya juga baru pulang kerja.”
“Kerja dimana mas? Jakarta?”
“Iya mba,” jawabnya.
Aku terhanyut dalam obrolan kami sore itu di dalam bus kota yang tua ini. Kami bertukar cerita banyak hal. Kami seperti teman lama yang telah sekian lama berpisah dan baru dipertemukan saat ini, padahal aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Siapa sih dia sampai bisa membuatku sebahagiai ini? Well, aku menikmati saat-saat ini. Tuhan benar-benar mendengar doaku agar ia bisa duduk disampingku dan bahkan lebih dari itu, aku pun diberi kesempatan untuk berbicara dengannya!
Aku melihat tatapan matanya yang meneduhkan, senyumnya yang menghangatkan,dan rasanya aku bagai terbang diantara bunga-bunga yang indah dan merekah. Lalu ia meraih tanganku dan mengajakku untuk terbang lebih tinggi.
With a smile and that`s how it all started
And you came right in time
When I needed someone
And we said hello suddenly my heart beating fast
So it`s you I`ve been waiting for so long
So it`s you where were you all along
Very special moments these will always be with me
We are here you and I, we belong
We touched and we felt more beautiful
At two hands reaching out
Filled with so much longing
It felt good inside
There is no denying I’m in love
We are here you and I, we belong
_Christian Bautista – So it’s you_
Seseorang menepuk pundakku berkali-kali dan aku membuka mataku. Seorang laki-laki yang ternyata adalah kernet bus ada di depanku. “Mba mau turun dimana? Sudah sampai terminal ini,” katanya dengan logat Medan yang kental dan aku bengong mendengar kata-katanya barusan. “Terminal?!” tanyaku setengah berteriak tidak percaya, aku berdiri dan melihat sekeliling dan kosong! Aku menepuk keningku dan kemudian berjalan keluar dari bus dengan lesu. Kepalaku rasanya pusing sekali, mungkin efek dari terbang dan jatuh begitu cepat. Terbang di alam mimpi karena bisa bersama dengan lelaki ganteng di bus, dan akhirnya harus jatuh dan ketika bangun ternyata sudah jauh dari tujuan dan ada di terminal. “Oh sial banget sih gue hari ini!” rutukku dalam hati. Gerimis masih turun dan aku terus berjalan keluar terminal tanpa payung, seorang diri.
Mataku mencari-cari angkot yang rutenya ke arah jalan Pajajaran. Ketika aku sedang serius dalam pencarianku, aku merasakan air hujan tak lagi menetes di atas kepalaku padahal hujan belum benar-benar berhenti. Aku menengok ke atas dan sebuah payung besar berwarna pelangi ada diatas kepalaku. Dengan cepat kepalaku menengok ke sekelilingku dan mendapati seseorang yang memayungiku berada di belakangku. “Hai!” kata orang itu.
Aku menutup kedua mataku dan berharap ketika kubuka kembali, aku sudah tersadar dari mimpi yang makin tak jelas. Tapi semuanya sia-sia karena orang tersebut tetap berdiri di depanku dan aku hanya mampu untuk membisu melihat seseorang yang kini tepat berada di depan mataku, sedekat ini. Rasanya lututku melemas, jantungku seperti ingin lepas dari tempatnya.
Oh God! Makhluk darimana lagi ini?! Malaikat-Mu kah? Ahh, masih saja aku di alam mimpi, cepat bangun Andissa!!
>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar