Kamis, 05 September 2013

The Lunch #TheParagraph





1st paragraph by Wita Purwati
Seperti waktu yang terus berjalan, aku tak mungkin berhenti sampai di sini. Kelak aku pasti akan membungkam mulut-mulut itu. Hanya saja aku belum dipertemukan dengan waktu yang akan menyambut segala pilihanku. Inilah pilihanku. Pilihanku yang berada diantara bukan pilihannya. Mungkin inilah salah satu jalan yang terbaik untukku. Aku jadi teringat perkataan seorang teman lama ketika aku bertanya tentang letak kebahagiaan. Dimanakah kebahagian itu berada. Bagaimana bisa menemukan kebahagiaan. Dan dengan cepat dia menjawabnya begitu sederhana namun penuh keyakinan. Letak kebahagiaan itu ada pada hati. Pada cinta. Menurutnya cinta ya cinta. Tak pernah akan ada kata benci di dalamnya. Tak perlu mencari dimana letak kebahagiaan itu. Karena kebahagian itu manusia yang ciptakan sendiri. Kebahagian itu ada pada diri manusia sendiri. Melakukan segala hal dengan cinta. Maka kebahagiaan pun akan datang. Ahh, aku jadi kangen kamu.


Suara pantofel beradu dengan keramik terdengar mendekati kubikelku lalu berhenti tepat di samping kananku. Mataku tak beralih dari layar untuk mengedit artikel yang harus kuserahkan besok siang. Tentu saja aku harus menyelesaikan ini secepatnya agar Nona Serba Sempurna itu tak mengeluarkan kata-kata yang pedas level sepuluh untuk kesekian kalinya.
“Alliana...,” panggil seseorang yang sedari tadi kuabaikan kehadirannya.
“Hmmm...”
“Makan siang?”
Aku menggeleng. Tanpa kusangka, dia langsung memutar kursiku hingga aku nyaris jatuh kalau saja tak berpegangan pada sisinya. Seorang lelaki dengan kemeja yang lengannya digulung sampai siku dan celana panjang warna hitam itu melihatku dengan tatapan galak.
“Ini akan jadi yang kesepuluh jika kau menolak makan siang bersamaku!” Ia memberi penekanan pada kata ‘kesepuluh’ untuk mengingatkanku tentang itu. Ya, aku sudah sepuluh kali, jika ia tidak salah menghitung, menolak ajakan makan siang ataupun tawaran pulang bersamanya. Tentu aku punya alasan tentang itu.
“Aku punya banyak pekerjaan, Hans,” kataku mencoba menolaknya lagi untuk kesekian kali.
Ia memutar matanya. “Alasan basi!” Lalu tangannya menarikku hingga aku lepas dari kursi putarku dan berjalan melewati barisan kubikel menuju lift. Aku meronta dan berusaha melepaskan tanganku darinya, namun tangannya yang besar semakin menguatkan cengkramannya. 
“Hans, please,” pintaku dengan nada lirih. Tanganku mulai terasa sakit. Ia tak bergeming dan tetap membawaku masuk ke dalam lift ketika pintu besi itu bergeser ke dua sisi.
Baru ketika di salam lift yang ada tak terlalu penuh itu, ia melepaskan tangannya. Aku menghela nafas lega dan mengusap-usap pergelangan tangannya yang tadi dicengkeramnya begitu kuat. Ia tersenyum puas dengan tatapan matanya ke arah depan, sementara aku mengerucutkan bibir dan mengumpat dalam hati. Kebisuan memunculkan sesuatu yang aneh antara kami.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di lantai dasar. Pintu lift terbuka dan aku buru-buru melepaskan diri darinya. Memang dasar sial aku hari ini, dengan gerakan super cepat pun ia berhasil menangkapku lagi.
“Tidak kali ini, Alliana,”katanya menyeringai padaku. Bibirku pun mengerucut lagi. Rasanya aku seperti anak kecil yang tak ingin dihukum gurunya.
“Oke, kita makan siang,” kataku pasrah karena aku tahu Hans bukanlah lelaki yang mudah menyerah. “Tapi aku yang pilih tempatnya.” Aku balik menyeringai padanya, merencanakan sesuatu.
**
Dua porsi nasi ayam bersama teh hangat tersaji di depan kami tak lama setelah aku memesannya di warung tegal yang kupilih acak ketika mobilnya menyusuri jalanan dari kantor redaksi tadi. Kulirik ia yang duduk di sampingku, memandang piring nasinya. Aku tersenyum.
“Kenapa? Nggak sesuai dengan ekspektasi?” sindirku.
Matanya beralih dari piring nasi ke wajahku. Tersenyum hingga membuatku kikuk. “Sedikit,” jawabnya santai. “Tapi aku akan belajar untuk menyukai hal-hal kecil yang membuatmu bahagia.”
“Tapi aku tak yakin kamu bisa menyukai semuanya.”
“Sudah kubilang aku akan belajar, Alliana.”
Aku menghela nafas. Ia bilang semuanya? Apakah statusku serta Amabel termasuk di dalamnya?
Ia masih belum melepaskan pandangannya dariku dan aku harus segera melakukan sesuatu untuk mengakhirinya. “Ayo makan, jam istirahat tinggal sebentar lagi,” ujarku kemudian mulai menyendok makan siangku.
“Uhmm, ini enak,” bisiknya padaku setelah sendokan pertama yang masuk ke mulutnya. Bibirku hanya mampu mengeluarkan tawa kecil mendengarnya. “Oh ya, bagaimana kabar si cantik?” tanyanya ringan.
Aku menoleh ke arahnya dan memastikan kalau aku tak salah dengar. Ia menanyakan siapa?
“Si cantik?” tanyaku.
“Iya, si cantik,” jawabnya. “Seharusnya kamu mengenalkan kami, Alliana,” lanjutnya lagi.
Otakku masih belum menemukan maksud dari kata-katanya, Siapa ‘si cantik’ yang dimaksudnya. Melihat ekspresiku, mungkin dia tahu kalau aku kebingungan mencerna yang diucapkannya.
“Aku hanya bisa menyebutnya si cantik karena aku belum tahu namanya dan kau pun tak pernah menyebutkannya sekali pun.”
“Maksudmu siapa?” tanyaku polos.
Ia tertawa. “Oh, jadi kamu nggak tahu siapa yang aku sebut si cantik itu?” tanyanya. Aku pun menggeleng pelan.
“Alliana, kamu benar-benar membuatku bahagia,” ucapnya senang ditandai dengan senyumnya yang mengembang di bibirnya.
Aku membuatnya bahagia? Memang apa yang sudah kulakukan? Seharusnya aku tak mengajaknya makan di sini karena ternyata ini membuat otaknya kacau.
“Lebih baik kita cepat habiskan ini dan kembali ke kantor. Aku tak mau punya masalah karenamu,” kataku dan berkonsentrasi untuk mengahabiskan makan siangku. Tapi sial, selera makanku menjadi aneh jika teringat kalimat yang diucapkannya tadi.
Fokus, Alliana! Aku meneriaki diriku sendiri dalam hati.
“Oke, tapi lain kali kau tetap harus mengenalkanku padanya.”
Aku mulai kesal. “Siapa sih yang kau sebut si cantik itu?!”
Hans terlihat terkejut dengan pertanyaanku. “Are you jealous, Alliana?
Aku memutar bola mataku. “Oh please, Hans. Memang apa yang membuatku harus cemburu? Kita bahkan tak punya hubungan apapun!”
“Eits, siapa bilang kita tak punya hubungan apapun? Kita punya.”
Aku melongo sambil mengingat-ingat hubunga seperti apa yang sudah kupunya dengannya.
“Kita rekan kerja, Alliana. Kamu harus ingat itu.”
“Tentu saja, rekan kerja.” Aku menyetujuinya.
Makan siang ini  membuat otaknya benar-benar kacau!
“Tapi meski kita hanya sebatas rekan kerja, kuharap kau mau mengenalkanku padanya,” ucapnya dengan tatapan memohon. “Ia gadis yang cantik, mirip sekali denganmu. Aku pernah melihatmu menggandeng tangannya masuk ke toko buku beberapa minggu lalu.”
Ah, aku sepertinya mengatahui siapa yang ia sebut si cantik itu.
“Amabel maksudmu?” tanyaku.
Matanya membulat. “Jadi namanya Amabel?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan kecil.
“Nama yang cantik, Alliana,” pujinya.
“Dia anakku.”
“Aku tahu ia anakmu,” katanya. “Dan aku tahu kamu adalah single mom.”
Oke, sekarang Hans sudah statusku dan juga Amabel. Lalu informasi apa lagi yang sudah ia dapatkan? Kenapa Hans begitu gigih mendekatiku? Aku janda dengan satu anak, sementara ia lajang yang kaya dan sukses dengan perusahaannya. Ia bahkan bisa mendapatkan perempuan lajang yang lebih cantik dan sukses di luar sana.
“Aku sudah bilang, Alliana, kalau aku akan belajar mencintai hal-hal yang membuatmu bahagia. Apapun itu,” bisiknya di telingaku.
“Hans...,” Ia membuatku diam ketika ia berbisik lagi di telingaku, memotong kalimat yang hendak keluar dari bibirku.  “Aku bahagia denganmu, Alliana.”
Tetiba kebisuan menyerbu. Ekor mataku menangkap beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Hans kembali dengan makan siangnya, meninggalkanku yang masih terpaku kerena kata-kata yang ia bisikkan di telingaku.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar