1st paragraph by Wita Purwati
Seperti waktu yang terus berjalan, aku tak mungkin berhenti sampai di sini. Kelak aku pasti akan membungkam mulut-mulut itu. Hanya saja aku belum dipertemukan dengan waktu yang akan menyambut segala pilihanku. Inilah pilihanku. Pilihanku yang berada diantara bukan pilihannya. Mungkin inilah salah satu jalan yang terbaik untukku. Aku jadi teringat perkataan seorang teman lama ketika aku bertanya tentang letak kebahagiaan. Dimanakah kebahagian itu berada. Bagaimana bisa menemukan kebahagiaan. Dan dengan cepat dia menjawabnya begitu sederhana namun penuh keyakinan. Letak kebahagiaan itu ada pada hati. Pada cinta. Menurutnya cinta ya cinta. Tak pernah akan ada kata benci di dalamnya. Tak perlu mencari dimana letak kebahagiaan itu. Karena kebahagian itu manusia yang ciptakan sendiri. Kebahagian itu ada pada diri manusia sendiri. Melakukan segala hal dengan cinta. Maka kebahagiaan pun akan datang. Ahh, aku jadi kangen kamu.
Suara pantofel beradu dengan
keramik terdengar mendekati kubikelku lalu berhenti tepat di samping kananku.
Mataku tak beralih dari layar untuk mengedit artikel yang harus kuserahkan
besok siang. Tentu saja aku harus menyelesaikan ini secepatnya agar Nona Serba
Sempurna itu tak mengeluarkan kata-kata yang pedas level sepuluh untuk kesekian
kalinya.
“Alliana...,” panggil seseorang
yang sedari tadi kuabaikan kehadirannya.
“Hmmm...”
“Makan siang?”
Aku menggeleng. Tanpa kusangka,
dia langsung memutar kursiku hingga aku nyaris jatuh kalau saja tak berpegangan
pada sisinya. Seorang lelaki dengan kemeja yang lengannya digulung sampai siku
dan celana panjang warna hitam itu melihatku dengan tatapan galak.
“Ini akan jadi yang kesepuluh
jika kau menolak makan siang bersamaku!” Ia memberi penekanan pada kata
‘kesepuluh’ untuk mengingatkanku tentang itu. Ya, aku sudah sepuluh kali, jika
ia tidak salah menghitung, menolak ajakan makan siang ataupun tawaran pulang
bersamanya. Tentu aku punya alasan tentang itu.
“Aku punya banyak pekerjaan,
Hans,” kataku mencoba menolaknya lagi untuk kesekian kali.
Ia memutar matanya. “Alasan
basi!” Lalu tangannya menarikku hingga aku lepas dari kursi putarku dan
berjalan melewati barisan kubikel menuju lift. Aku meronta dan berusaha
melepaskan tanganku darinya, namun tangannya yang besar semakin menguatkan
cengkramannya.
“Hans, please,” pintaku dengan
nada lirih. Tanganku mulai terasa sakit. Ia tak bergeming dan tetap membawaku
masuk ke dalam lift ketika pintu besi itu bergeser ke dua sisi.
Baru ketika di salam lift yang
ada tak terlalu penuh itu, ia melepaskan tangannya. Aku menghela nafas lega dan
mengusap-usap pergelangan tangannya yang tadi dicengkeramnya begitu kuat. Ia
tersenyum puas dengan tatapan matanya ke arah depan, sementara aku
mengerucutkan bibir dan mengumpat dalam hati. Kebisuan memunculkan sesuatu yang
aneh antara kami.
Tak butuh waktu lama untuk sampai
di lantai dasar. Pintu lift terbuka dan aku buru-buru melepaskan diri darinya.
Memang dasar sial aku hari ini, dengan gerakan super cepat pun ia berhasil
menangkapku lagi.
“Tidak kali ini, Alliana,”katanya
menyeringai padaku. Bibirku pun mengerucut lagi. Rasanya aku seperti anak kecil
yang tak ingin dihukum gurunya.
“Oke, kita makan siang,” kataku
pasrah karena aku tahu Hans bukanlah lelaki yang mudah menyerah. “Tapi aku yang
pilih tempatnya.” Aku balik menyeringai padanya, merencanakan sesuatu.
**
Dua porsi nasi ayam bersama teh
hangat tersaji di depan kami tak lama setelah aku memesannya di warung tegal
yang kupilih acak ketika mobilnya menyusuri jalanan dari kantor redaksi tadi.
Kulirik ia yang duduk di sampingku, memandang piring nasinya. Aku tersenyum.
“Kenapa? Nggak sesuai dengan
ekspektasi?” sindirku.
Matanya beralih dari piring nasi
ke wajahku. Tersenyum hingga membuatku kikuk. “Sedikit,” jawabnya santai. “Tapi
aku akan belajar untuk menyukai hal-hal kecil yang membuatmu bahagia.”
“Tapi aku tak yakin kamu bisa
menyukai semuanya.”
“Sudah kubilang aku akan belajar,
Alliana.”
Aku menghela nafas. Ia bilang semuanya? Apakah statusku serta
Amabel termasuk di dalamnya?
Ia masih belum melepaskan
pandangannya dariku dan aku harus segera melakukan sesuatu untuk mengakhirinya.
“Ayo makan, jam istirahat tinggal sebentar lagi,” ujarku kemudian mulai
menyendok makan siangku.
“Uhmm, ini enak,” bisiknya padaku
setelah sendokan pertama yang masuk ke mulutnya. Bibirku hanya mampu mengeluarkan
tawa kecil mendengarnya. “Oh ya, bagaimana kabar si cantik?” tanyanya ringan.
Aku menoleh ke arahnya dan
memastikan kalau aku tak salah dengar. Ia menanyakan siapa?
“Si cantik?” tanyaku.
“Iya, si cantik,” jawabnya. “Seharusnya
kamu mengenalkan kami, Alliana,” lanjutnya lagi.
Otakku masih belum menemukan
maksud dari kata-katanya, Siapa ‘si cantik’ yang dimaksudnya. Melihat
ekspresiku, mungkin dia tahu kalau aku kebingungan mencerna yang diucapkannya.
“Aku hanya bisa menyebutnya si
cantik karena aku belum tahu namanya dan kau pun tak pernah menyebutkannya
sekali pun.”
“Maksudmu siapa?” tanyaku polos.
Ia tertawa. “Oh, jadi kamu nggak
tahu siapa yang aku sebut si cantik itu?” tanyanya. Aku pun menggeleng pelan.
“Alliana, kamu benar-benar
membuatku bahagia,” ucapnya senang ditandai dengan senyumnya yang mengembang di
bibirnya.
Aku membuatnya bahagia? Memang apa yang sudah kulakukan? Seharusnya aku
tak mengajaknya makan di sini karena ternyata ini membuat otaknya kacau.
“Lebih baik kita cepat habiskan
ini dan kembali ke kantor. Aku tak mau punya masalah karenamu,” kataku dan
berkonsentrasi untuk mengahabiskan makan siangku. Tapi sial, selera makanku
menjadi aneh jika teringat kalimat yang diucapkannya tadi.
Fokus, Alliana! Aku meneriaki diriku sendiri dalam hati.
“Oke, tapi lain kali kau tetap
harus mengenalkanku padanya.”
Aku mulai kesal. “Siapa sih yang
kau sebut si cantik itu?!”
Hans terlihat terkejut dengan
pertanyaanku. “Are you jealous, Alliana?”
Aku memutar bola mataku. “Oh
please, Hans. Memang apa yang membuatku harus cemburu? Kita bahkan tak punya
hubungan apapun!”
“Eits, siapa bilang kita tak
punya hubungan apapun? Kita punya.”
Aku melongo sambil mengingat-ingat
hubunga seperti apa yang sudah kupunya dengannya.
“Kita rekan kerja, Alliana. Kamu
harus ingat itu.”
“Tentu saja, rekan kerja.” Aku
menyetujuinya.
Makan siang ini membuat otaknya
benar-benar kacau!
“Tapi meski kita hanya sebatas
rekan kerja, kuharap kau mau mengenalkanku padanya,” ucapnya dengan tatapan
memohon. “Ia gadis yang cantik, mirip sekali denganmu. Aku pernah melihatmu
menggandeng tangannya masuk ke toko buku beberapa minggu lalu.”
Ah, aku sepertinya mengatahui
siapa yang ia sebut si cantik itu.
“Amabel maksudmu?” tanyaku.
Matanya membulat. “Jadi namanya
Amabel?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan kecil.
“Nama yang cantik, Alliana,”
pujinya.
“Dia anakku.”
“Aku tahu ia anakmu,” katanya. “Dan
aku tahu kamu adalah single mom.”
Oke, sekarang Hans sudah statusku
dan juga Amabel. Lalu informasi apa lagi yang sudah ia dapatkan? Kenapa Hans
begitu gigih mendekatiku? Aku janda dengan satu anak, sementara ia lajang yang
kaya dan sukses dengan perusahaannya. Ia bahkan bisa mendapatkan perempuan
lajang yang lebih cantik dan sukses di luar sana.
“Aku sudah bilang, Alliana, kalau
aku akan belajar mencintai hal-hal yang membuatmu bahagia. Apapun itu,”
bisiknya di telingaku.
“Hans...,” Ia membuatku diam
ketika ia berbisik lagi di telingaku, memotong kalimat yang hendak keluar dari
bibirku. “Aku bahagia denganmu, Alliana.”
Tetiba kebisuan menyerbu. Ekor
mataku menangkap beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Hans kembali dengan
makan siangnya, meninggalkanku yang masih terpaku kerena kata-kata yang ia
bisikkan di telingaku.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar