Minggu, 01 September 2013

Beruntung #TheParagraph



1st paragraph by Wita
Diamku bukan berarti emas. Bahkan usahaku bukan berarti mimpinya. Seluruh pilihanku bukan pilihannya. Karena aku bukan-nya. Telingaku memerah memanas terbakar lagi atas kata itu. Suara tak menjadi masalah ketika kata dapat lebih tajam dari suaramu yang terkadang merdu. Mata tak lagi dapat membendung. Rupanya sudah terlalu penuh menahan hentakan air itu. Hati tak lantas menerima. Ini terlalu sakit. Melebihi rasanya patah hati, sakit gigi, atau tak makan seharian. Kaki dan tangan menjadi sulit bergerak. Karena sama-sama merasakan ada yang salah dalam tubuh ini. Padahal rasa-rasanya kaki ini ingin melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Serta tangan yang ingin berbuat lebih banyak, menulis lebih baik. Sedangkan mulut hanya bisa terkunci menahan dahaga yang sudah lama ada. Tak mampu lagi berbicara banyak. Ahh untuk apa aku berbicara sedangkan bicaraku saja tak akan mampu didengar dengan pemahaman yang tak mau berkembang. Aku akan selalu salah dan dianggap kecil olehnya.

 Sebuah suara keras tertangkap oleh inderaku yang kemudian disusul dengan sesuatu yang seakan sama kerasnya menghantam tepat di jantung. Tumpukan kertas yang sudah berkumpul dalam satu map pun keluar dari tempatnya ketika ia membantingnya dengan penuh tenaga ke atas meja kerjanya. Kepalaku tertunduk. Ini bukan kali pertama aku mengalaminya, namun entah mengapa aku belum juga terbiasa dengannya. Aku hampir bisa menghapal kata-kata apa yang akan meluncur dari bibirnya yang selalu dipoles dengan warna merah tua. Tentu saja itu bukan kata-kata yang bisa membuat hati melambung tinggi hingga nyaris tak menyentuh bumi. Kata-kata yang membuat setiap orang, termasuk aku, akan menciut seketika begitu mereka keluar dari bibirnya.
“Ini bukan artikel pertamamu!” Kali ini suaranya lebih tinggi dari beberapa menit lalu dan aku mencoba menegakkan tubuhku meski tiap kata-katanya bisa saja melemahkan tubuhku. “Siapa yang mau baca artikel seperti ini?!”
“Saya akan buat artikel lain, Bu,” ucapku hati-hati.
Bisa kulihat matanya yang menatapku tajam. “Memangnya kamu punya pilihan lain, bodoh?!” sindirnya. “Masuk dalam tim ini juga karena keberuntungan, tapi kemampuan...” Ia menggantung kalimatnya lalu tersenyum sinis padaku.
Aku bangun dari kursi dan balas menatap matanya yang hitam. Ia terlihat sangat terkejut melihatku. “Kenapa?! Mau bicara apa tentang kemampuan, hah?!” tantangku dengan suara yang nyaris menyamainya.
Ia mundur beberapa langkah dariku. Wajah yang sedari tadi terlihat berani pun kini berubah antara kaget dan takut begitu melihatku yang selama ini diam menjadi seperti singa yang dibangunkan dari tidurnya. Kakiku melangkah mendekatinya, tanganku mengepal dan akhirnya menyentuh pipinya yang kemerahan pun menjadi benar-benar merah karena pukulanku. Ia meringis memegangi pipnya.
“Cepat katakan tentang kemampuan!” Sebuah pukulan yang sama pun mendarat di pipinya yang satu lagi.

“Kemampuan tak sebanding dengan pujian yang dulu membawamu kesini!” Kalimatnya membuatku tersentak dari khayalanku. Oh tidak, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya dalam dunia nyata! Aku hanya mampu untuk memendam semuanya dan berlindung dalam sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai emas. Diam.
**
Seorang lelaki paruh baya dalam setelan jas berwarna abu-abu hampir terjatuh jika saja aku tak menahannnya ketika aku berada di dekatnya, di dekat lobi rumah sakit. Aku melihat kesal ke arah lelaki muda yang tadi menyenggolnya yang sudah berjalan menjauh tanpa mengucapkan maaf.
 “Bapak tidak apa-apa?” tanyaku.
“Oh, tidak apa-apa. Terima kasih,” ucapnya padaku. Lalu matanya beralih pada beberapa amplop besar yang ada di bawah kakinya. Aku menyadari itu milikku dan aku segera membungkuk untuk mengambilnya.
Aku kemudian menuntun bapak ini ke salah satu kursi. “Habis ambil hasil rontgen?” tanyanya tersenyum padaku. Aku mengangguk.
“Kamu yang sakit?” tanyanya lagi.
Aku buru-buru menggeleng. “Bukan saya, tapi anak saya,” jawabku.
“Anak?” tanyanya tak percaya. “Kamu bahkan terlihat seperti mahasiswi,” katanya. Aku terdiam dan berhati-hati terhadap bapak ini.
Tapi rupanya ia menyadari perubahan ekspresiku. “Oh maaf, saya tak bermaksud menyinggung,” ucapnya.
“Iya, nggak apa-apa. Saya permisi dulu, Pak.”
Ia kemudian buru-buru merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu. “Cobalah melamar ke alamat itu, semoga beruntung.”
Sepertinya ia juga sempat melihat amplop lain yang terjatuh tadi. Ia tahu kalau aku sedang mencoba mencari pekerjaan.
Beberapa hari kemudian pun aku benar-benar mengikuti saran dari bapak yang kutemui di rumah sakit itu untuk melamar ke salah satu redaksi majalah .Kuikuti semua tes dan wawancara, sama seperti pelamar yang lain. Aku bahkan tak menyebutkan nama bapak itu yang tertera di kartu nama yang kuterima.
**
Dengan kesal aku mengacak-acak rambutku sendiri. Matahari sudah kembali ke peraduannya, sementara aku masih duduk menghadap layar empat belas inchi untuk membuat sesuatu yang bisa membungkam mulut perempuan yang kata-katanya bisa lebih pedas dari level sepuluh. Otakku terus bekerja, berusaha menemukan ide artikel yang tak biasa. Oke, aku memang agak kejam pada otak dan tubuhku kali ini dengan memaksa mereka terus bekerja tanpa memberi ruang untuk istirahat, bahkan aku tak menikmati makan siangku dengan nyaman.
Segelas kopi diletakkan seseorang di atas mejaku. Kepalaku mendongak untuk melihat siapa orang baik hati yang membawakanku minuman berkafein ini. “Jangan memikirkan sebuah cerita ketika tidak sedang menulis, atau otak kita akan kelelahan sebelum memulainya,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku.
Bibirku ikut tersenyum. “Ernst Hemingway.”  
“Istirahat dulu, kamu bekerja terlalu keras membuat artikel untuk ‘Nyonya Serba Sempurna’ itu,” sarannya.
“Tapi dia hanya mau artikel ini besok pagi, nggak peduli apakah aku bekerja terlalu keras atau tidak,” sahutku lemas. “Rasanya aku ingin mengganti artikel dengan menyodorkannya surat pengunduran diriku.”
Sebuah tepukan pelan kurasakan di pundak kananku.
“Itu putus asa namanya. Tunjukkan padanya, aku akan menunggu kabar  kamu ‘bungkam’ mulutnya besok pagi,” bisiknya kemudian berjalan menjauh. Butuh waktu beberapa detik untuk sadar dari energi luar biasa dari tepukannya. Aku berbalik dan mendapati punggungnya makin menjauh dari kubikel ku.
Thanks for the coffee, by the way,” kataku dengan suara sedikit keras agar bisa didengarnya dan dia mengacungkan ibu jarinya ke arahku.
**
Lampu kamarnya masih menyala ketika aku melewatinya. Kusempatkan diri untuk melihatnya sebentar sebelum aku ke kamarku. Ia terlihat pulas sambil memeluk bonekanya. Aku duduk di tepi ranjangnya sambil memandangi wajah polosnya. Dia, salah satu alasanku untuk lebih memilih diam ketika kata-kata tak menyenangkan banyak ditujukan padaku. Aku bertahan hanya untuknya.
“Ibu baru pulang?” ucapnya pelan ketika aku mengecup keningnya.
“Iya sayang, sekarang tidur lagi ya,” jawabku.
“Sama Ibu...,” rajuknya. Aku tersenyum.
“Tentu,” jawabku sambil meletakkan tas ku dan berbaring di sisinya, menjaganya yang membuatku merasa beruntung karena memilikinya.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar