1st paragraph by Wita
Diamku bukan berarti emas. Bahkan usahaku bukan berarti mimpinya.
Seluruh pilihanku bukan pilihannya. Karena aku bukan-nya. Telingaku memerah
memanas terbakar lagi atas kata itu. Suara tak menjadi masalah ketika kata
dapat lebih tajam dari suaramu yang terkadang merdu. Mata tak lagi dapat
membendung. Rupanya sudah terlalu penuh menahan hentakan air itu. Hati tak
lantas menerima. Ini terlalu sakit. Melebihi rasanya patah hati, sakit gigi,
atau tak makan seharian. Kaki dan tangan menjadi sulit bergerak. Karena
sama-sama merasakan ada yang salah dalam tubuh ini. Padahal rasa-rasanya kaki
ini ingin melangkah lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Serta tangan yang
ingin berbuat lebih banyak, menulis lebih baik. Sedangkan mulut hanya bisa
terkunci menahan dahaga yang sudah lama ada. Tak mampu lagi berbicara banyak.
Ahh untuk apa aku berbicara sedangkan bicaraku saja tak akan mampu didengar
dengan pemahaman yang tak mau berkembang. Aku akan selalu salah dan dianggap
kecil olehnya.
Sebuah suara keras tertangkap oleh inderaku
yang kemudian disusul dengan sesuatu yang seakan sama kerasnya menghantam tepat
di jantung. Tumpukan kertas yang sudah berkumpul dalam satu map pun keluar dari
tempatnya ketika ia membantingnya dengan penuh tenaga ke atas meja kerjanya.
Kepalaku tertunduk. Ini bukan kali pertama aku mengalaminya, namun entah
mengapa aku belum juga terbiasa dengannya. Aku hampir bisa menghapal kata-kata
apa yang akan meluncur dari bibirnya yang selalu dipoles dengan warna merah
tua. Tentu saja itu bukan kata-kata yang bisa membuat hati melambung tinggi
hingga nyaris tak menyentuh bumi. Kata-kata yang membuat setiap orang, termasuk
aku, akan menciut seketika begitu mereka keluar dari bibirnya.
“Ini bukan artikel pertamamu!”
Kali ini suaranya lebih tinggi dari beberapa menit lalu dan aku mencoba
menegakkan tubuhku meski tiap kata-katanya bisa saja melemahkan tubuhku. “Siapa
yang mau baca artikel seperti ini?!”
“Saya akan buat artikel lain,
Bu,” ucapku hati-hati.
Bisa kulihat matanya yang
menatapku tajam. “Memangnya kamu punya pilihan lain, bodoh?!” sindirnya. “Masuk
dalam tim ini juga karena keberuntungan, tapi kemampuan...” Ia menggantung
kalimatnya lalu tersenyum sinis padaku.
Aku bangun dari kursi dan balas
menatap matanya yang hitam. Ia terlihat sangat terkejut melihatku. “Kenapa?!
Mau bicara apa tentang kemampuan, hah?!” tantangku dengan suara yang nyaris
menyamainya.
Ia mundur beberapa langkah
dariku. Wajah yang sedari tadi terlihat berani pun kini berubah antara kaget
dan takut begitu melihatku yang selama ini diam menjadi seperti singa yang
dibangunkan dari tidurnya. Kakiku melangkah mendekatinya, tanganku mengepal dan
akhirnya menyentuh pipinya yang kemerahan pun menjadi benar-benar merah karena
pukulanku. Ia meringis memegangi pipnya.
“Cepat katakan tentang
kemampuan!” Sebuah pukulan yang sama pun mendarat di pipinya yang satu lagi.
“Kemampuan tak sebanding dengan
pujian yang dulu membawamu kesini!” Kalimatnya membuatku tersentak dari
khayalanku. Oh tidak, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya dalam dunia
nyata! Aku hanya mampu untuk memendam semuanya dan berlindung dalam sesuatu
yang sering disebut-sebut sebagai emas. Diam.
**
Seorang lelaki paruh baya dalam
setelan jas berwarna abu-abu hampir terjatuh jika saja aku tak menahannnya ketika
aku berada di dekatnya, di dekat lobi rumah sakit. Aku melihat kesal ke arah
lelaki muda yang tadi menyenggolnya yang sudah berjalan menjauh tanpa
mengucapkan maaf.
“Bapak tidak apa-apa?” tanyaku.
“Oh, tidak apa-apa. Terima kasih,”
ucapnya padaku. Lalu matanya beralih pada beberapa amplop besar yang ada di
bawah kakinya. Aku menyadari itu milikku dan aku segera membungkuk untuk
mengambilnya.
Aku kemudian menuntun bapak ini
ke salah satu kursi. “Habis ambil hasil rontgen?”
tanyanya tersenyum padaku. Aku mengangguk.
“Kamu yang sakit?” tanyanya lagi.
Aku buru-buru menggeleng. “Bukan
saya, tapi anak saya,” jawabku.
“Anak?” tanyanya tak percaya. “Kamu
bahkan terlihat seperti mahasiswi,” katanya. Aku terdiam dan berhati-hati
terhadap bapak ini.
Tapi rupanya ia menyadari
perubahan ekspresiku. “Oh maaf, saya tak bermaksud menyinggung,” ucapnya.
“Iya, nggak apa-apa. Saya permisi
dulu, Pak.”
Ia kemudian buru-buru merogoh
sakunya dan mengeluarkan sesuatu. “Cobalah melamar ke alamat itu, semoga
beruntung.”
Sepertinya ia juga sempat melihat
amplop lain yang terjatuh tadi. Ia tahu kalau aku sedang mencoba mencari
pekerjaan.
Beberapa hari kemudian pun aku
benar-benar mengikuti saran dari bapak yang kutemui di rumah sakit itu untuk
melamar ke salah satu redaksi majalah .Kuikuti semua tes dan wawancara, sama
seperti pelamar yang lain. Aku bahkan tak menyebutkan nama bapak itu yang
tertera di kartu nama yang kuterima.
**
Dengan kesal aku mengacak-acak
rambutku sendiri. Matahari sudah kembali ke peraduannya, sementara aku masih
duduk menghadap layar empat belas inchi untuk membuat sesuatu yang bisa
membungkam mulut perempuan yang kata-katanya bisa lebih pedas dari level
sepuluh. Otakku terus bekerja, berusaha menemukan ide artikel yang tak biasa.
Oke, aku memang agak kejam pada otak dan tubuhku kali ini dengan memaksa mereka
terus bekerja tanpa memberi ruang untuk istirahat, bahkan aku tak menikmati
makan siangku dengan nyaman.
Segelas kopi diletakkan seseorang
di atas mejaku. Kepalaku mendongak untuk melihat siapa orang baik hati yang
membawakanku minuman berkafein ini. “Jangan memikirkan sebuah cerita ketika
tidak sedang menulis, atau otak kita akan kelelahan sebelum memulainya,”
ucapnya sambil tersenyum ke arahku.
Bibirku ikut tersenyum. “Ernst
Hemingway.”
“Istirahat dulu,
kamu bekerja terlalu keras membuat artikel untuk ‘Nyonya Serba Sempurna’ itu,”
sarannya.
“Tapi dia hanya
mau artikel ini besok pagi, nggak peduli apakah aku bekerja terlalu keras atau
tidak,” sahutku lemas. “Rasanya aku ingin mengganti artikel dengan
menyodorkannya surat pengunduran diriku.”
Sebuah tepukan
pelan kurasakan di pundak kananku.
“Itu putus asa
namanya. Tunjukkan padanya, aku akan menunggu kabar kamu ‘bungkam’ mulutnya besok pagi,” bisiknya
kemudian berjalan menjauh. Butuh waktu beberapa detik untuk sadar dari energi
luar biasa dari tepukannya. Aku berbalik dan mendapati punggungnya makin
menjauh dari kubikel ku.
“Thanks for the coffee, by the way,” kataku
dengan suara sedikit keras agar bisa didengarnya dan dia mengacungkan ibu
jarinya ke arahku.
**
Lampu kamarnya
masih menyala ketika aku melewatinya. Kusempatkan diri untuk melihatnya
sebentar sebelum aku ke kamarku. Ia terlihat pulas sambil memeluk bonekanya.
Aku duduk di tepi ranjangnya sambil memandangi wajah polosnya. Dia, salah satu
alasanku untuk lebih memilih diam ketika kata-kata tak menyenangkan banyak
ditujukan padaku. Aku bertahan hanya untuknya.
“Ibu baru pulang?”
ucapnya pelan ketika aku mengecup keningnya.
“Iya sayang,
sekarang tidur lagi ya,” jawabku.
“Sama Ibu...,”
rajuknya. Aku tersenyum.
“Tentu,” jawabku
sambil meletakkan tas ku dan berbaring di sisinya, menjaganya yang membuatku
merasa beruntung karena memilikinya.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar