Hidup selalu tentang sebuah
pilihan. Tak peduli benar atau salah,
kita tetap harus memilihnya satu seolah kita memang tak punya pilihan. Seperti
aku yang memilih untuk mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir
mereka. Ketika itu aku selalu berkeras bahwa keputusan yang aku ambil adalah
pilihanku, yang akan kujalani dalam hidupku. Lalu mereka pun memilih untuk
menjaga jarak, atau lebih tepatnya menjauhiku karena pilihanku. Lalu apa yang
salah dengan pilihanku? Hanya karena aku tak mengikuti kata-kata mereka lalu
menyisihkanku dari sesuatu yang disebut keluarga? Ah, betapa mereka tak pernah
tahu kalau aku butuh mereka di saat sulit seperti ini. Keluarga, tempat yang
dulu selalu menjadi tujuanku pulang dan mendapatkan kehangatan yang penuh
dukungan. Tempat yang kini menjelma bak tempat asing yang dingin, miskin dengan
senyum dan kata-kata untukku.
Aku melihatnya sedang mendorong
trolli belanjanya, menyusuri lorong makanan ringan sambil mencari sesuatu.
Dengan segenap keberanian yang kupunya pun akhirnya aku berjalan mendekatinya
sambil membawa keranjang belanjaku. “Masih suka diam-diam membeli cokelat?”
tanyaku mencoba membuka percakapan ketika aku tepat di belakangnya. Suara roda
trolli berhenti bersamaan dengan ia membalikkan badannya ke arahku. Ia melengos
ketika mengetahui siapa yang tadi berucap padanya.
“Hai, Dri,” kataku mencoba
menyapanya dengan nada yang senormal mungkin.
“Hei,” balasnya datar dengan
ekspresi malas. Kemudian matanya beralih mencari sesuatu di sekitarku.
“Sendiri?” tanyanya. Ah, aku baru sadar kalau ia mencari anakku.
“Dia di rumah, mengerjakan
tugasnya dengan pengasuh,” jawabku.
“Uhm, oke. Aku duluan,” ucapnya
lalu berbalik dan mendorong trollinya lagi, melewatkan rak yang berisi cokelat
kesukaannya. Aku buru-buru mengikutinya dan menyejajarkan langkah di
sampingnya.
“Mungkin kita bisa makan siang
bareng, Dri?” kataku.
“Mam sudah masak di rumah,”
tolaknya.
“Satu kali tak makan siang di
rumah nggak akan membuat kamu tak dianggap seperti aku, Dri.”
Ia menoleh ke arahku. “Karena
itulah aku beda sama kamu.”
“Aku cuma kangen, Dri.”
“Kalau begitu datang saja ke
rumah,” tukasnya berlalu mempercepat langkahnya.
“Tak semudah itu, Dri,” kataku
lemas. “Kamu ‘kan tahu bagaimana keadaannya.”
“Ya, tentu saja aku tahu akibat
dari keputusan bodohmu itu lima tahun lalu.”
Dia mengungkitnya lagi seakan itu
adalah satu kesalahan yang sangat besar yang sudah kulakukan. Apakah salah
memilih untuk hidup bersama dengan lelaki yang dicintai? Adriana tentu belum
tahu betapa sulitnya aku ketika itu. Lalu mereka semakin melabeliku dengan kata
‘salah’ dan mencemooh pilihanku dulu ketika lelaki itu akhirnya meninggalkanku
demi perempuan lain ketika seorang anak perempuan yang lahir dari rahimku baru
berusia satu tahun.
**
Sesuatu menyerbu ingatanku begitu
aku membuka pintu mobil Adriana di halaman rumah. Sudah beberapa tahun aku tak
menginjakkan kaki di rumah ini semenjak aku membuat keputusan yang membuatku
menjauh dari rumah yang memiliki
kenangan di tiap sudutnya bagiku. Tak banyak yang berubah selain tanaman
koleksi Mam yang semakin subur dan banyak.
“Kamu hanya bisa berdiri di
situ?” Pertanyaan Adriana membuatku cepat sadar dari nostalgiaku.
“Sorry,” ucapku pelan lalu
mengikuti langkahnya.
Dengan cepat ia memutar gagang
pintu dan mendorong kayu jati berukir itu agar kami bisa masuk. Lagi-lagi
sesuatu yang aneh menghantam ingatanku hingga membuat jantungku berdegub lebih
cepat. Benarkah pilihan yang kuambil ketika Adriana hanya menawariku pilihan
untuk makan siang di rumah ini atau tidak ada makan siang bersamanya sama
sekali? Apapun itu, kuharap aku bisa melewatinya.
“Mam, aku pulang...,” Adriana
memberitahu kedatangannya seperti kebiasaannya, dengan suara yang keras.
Biasanya sebentar lagi Mam akan berteriak...
“Adri... sudah berkali-kali
diberitahu...” Mam menggantung kalimatnya ketika matanya melihatku yang berdiri
tak jauh di belakang Adriana.
Bibirku melengkung ketika mataku
bisa melihat perempuan itu lagi. Mataku berkaca-kaca, tapi aku menahannya untuk
tetap dalam bendungan. Lagi-lagi perasaan aneh menyerangku. Aku hanya rindu,
sangat rindu Mam. “Hai, Mam.” Hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulutku
dengan suara yang tiba-tiba terdengar serak.
Sementara itu, Mam hanya
memandangku dengan tatapan yang masih tak bersahabat. Sepertinya Mam masih
belum melunak sikapnya atas keputusan yang pernah kuambil. Aku terus menunggu
bibir Mam mengeluarkan beberapa kata untukku, namun aku buru-buru menyadari
kalau ia tak akan melakukannya.
“Aku yang mengajaknya makan siang
bersama kita, Mam,” ucap Adriana berusaha memecah kekakuan dan keheningan yang
terlalu lama. Mata Mam beralih memandang Adriana dan dengan lembut mengajaknya
ke ruang makan.
Ia bahkan tak mengucapkan
satu kata pun padaku. Aku berdiri terpaku dengan kepala tertunduk,
berusaha untuk menguatkan diriku untuk semua ini meski aku ingin sekali
menangis. Ah, bukankah aku sudah bertahun-tahun hidup dengan semua sikap dingin
Mam dan mengapa aku tak bisa menguasai diriku sekarang ini? Kuatlah seperti
biasa, Aliana. Sekali lagi pertanyaan
itu muncul, apakah aku membuat keputusan yang benar dengan kembali ke rumah
ini?
Sebuah sentuhan menarik lenganku
untuk mengikutinya. Adriana, ia memang adik yang baik. Beruntung ia lebih
banyak mewarisi sifat Ayah dalam dirinya, begitu peduli dibalik sikap cueknya.
Bisa ditebak pula darimana aku mewarisi sifat keras kepalaku ini, dari Mam.
**
“Kau hanya perlu mengunjunginya
lebih sering, Al,” ucap Adriana begitu mobilnya berhenti tepat di depan pagar
rumahku. Ia sepertinya tahu sesuatu yang membuatku terus menutup rapat bibirku
selama perjalanan menuju rumahku.
“Datanglah sesekali dengan
Amabel,” usulnya. “Mam pasti kesepian kalau aku tugas ke luar kota,” lanjutnya
lagi.
“Entahlah, apa aku bisa
melakukannya sebaik tadi jika tak ada kamu tadi,” sahutku.
Adrian menghela nafas. “Mam
sebenarnya merindukanmu seperti kau merindukannya, Al.” Kalimat Adriana
membuatku tersentak. Mungkinkah Mam merindukanku sebanyak aku merindukannya?
Mungkinkah ia jug berharap bisa memelukku seperti aku ingin memelukknya?
Aku memandang gadis tomboi yang
sudah beranjak dewasa ini. “Thank’s, Dri...” ucapku kemudian membuka pintu
mobilnya. Adriana kemudian melongokkan kepalanya sebelum aku kembali
menutupnya. “Sampaikan salamku untuk keponakanku ya,” katanya dengan senyum
yang nyaris tak seperti senyuman. Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menutup
pintu mobilnya.
Deru mesin terdengar sebelum
akhirnya mobil putih itu melaju meninggalkanku yang masih berdiri di depan
rumahku dengan beberapa kantung belanjaan di tanganku. Aku meyakinkan diriku
kalau aku sudah memilih yang benar, tak peduli akan seberapa sulit jalanku
nantinya. Pilihanku untuk mencoba untuk pulang ke rumah, ke dalam pelukan
sebuah keluarga yang hangat.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar