Minggu, 01 September 2013

Pilihanku #TheParagraph



Hidup selalu tentang sebuah pilihan. Tak peduli benar atau  salah, kita tetap harus memilihnya satu seolah kita memang tak punya pilihan. Seperti aku yang memilih untuk mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir mereka. Ketika itu aku selalu berkeras bahwa keputusan yang aku ambil adalah pilihanku, yang akan kujalani dalam hidupku. Lalu mereka pun memilih untuk menjaga jarak, atau lebih tepatnya menjauhiku karena pilihanku. Lalu apa yang salah dengan pilihanku? Hanya karena aku tak mengikuti kata-kata mereka lalu menyisihkanku dari sesuatu yang disebut keluarga? Ah, betapa mereka tak pernah tahu kalau aku butuh mereka di saat sulit seperti ini. Keluarga, tempat yang dulu selalu menjadi tujuanku pulang dan mendapatkan kehangatan yang penuh dukungan. Tempat yang kini menjelma bak tempat asing yang dingin, miskin dengan senyum dan kata-kata untukku.  


Aku melihatnya sedang mendorong trolli belanjanya, menyusuri lorong makanan ringan sambil mencari sesuatu. Dengan segenap keberanian yang kupunya pun akhirnya aku berjalan mendekatinya sambil membawa keranjang belanjaku. “Masih suka diam-diam membeli cokelat?” tanyaku mencoba membuka percakapan ketika aku tepat di belakangnya. Suara roda trolli berhenti bersamaan dengan ia membalikkan badannya ke arahku. Ia melengos ketika mengetahui siapa yang tadi berucap padanya.

“Hai, Dri,” kataku mencoba menyapanya dengan nada yang senormal mungkin.
“Hei,” balasnya datar dengan ekspresi malas. Kemudian matanya beralih mencari sesuatu di sekitarku. “Sendiri?” tanyanya. Ah, aku baru sadar kalau ia mencari anakku.
“Dia di rumah, mengerjakan tugasnya dengan pengasuh,” jawabku.
“Uhm, oke. Aku duluan,” ucapnya lalu berbalik dan mendorong trollinya lagi, melewatkan rak yang berisi cokelat kesukaannya. Aku buru-buru mengikutinya dan menyejajarkan langkah di sampingnya.
“Mungkin kita bisa makan siang bareng, Dri?” kataku.
“Mam sudah masak di rumah,” tolaknya.
“Satu kali tak makan siang di rumah nggak akan membuat kamu tak dianggap seperti aku, Dri.”
Ia menoleh ke arahku. “Karena itulah aku beda sama kamu.”
“Aku cuma kangen, Dri.”
“Kalau begitu datang saja ke rumah,” tukasnya berlalu mempercepat langkahnya.
“Tak semudah itu, Dri,” kataku lemas. “Kamu ‘kan tahu bagaimana keadaannya.”
“Ya, tentu saja aku tahu akibat dari keputusan bodohmu itu lima tahun lalu.”
Dia mengungkitnya lagi seakan itu adalah satu kesalahan yang sangat besar yang sudah kulakukan. Apakah salah memilih untuk hidup bersama dengan lelaki yang dicintai? Adriana tentu belum tahu betapa sulitnya aku ketika itu. Lalu mereka semakin melabeliku dengan kata ‘salah’ dan mencemooh pilihanku dulu ketika lelaki itu akhirnya meninggalkanku demi perempuan lain ketika seorang anak perempuan yang lahir dari rahimku baru berusia satu tahun.
**
Sesuatu menyerbu ingatanku begitu aku membuka pintu mobil Adriana di halaman rumah. Sudah beberapa tahun aku tak menginjakkan kaki di rumah ini semenjak aku membuat keputusan yang membuatku menjauh dari rumah  yang memiliki kenangan di tiap sudutnya bagiku. Tak banyak yang berubah selain tanaman koleksi Mam yang semakin subur dan banyak.
“Kamu hanya bisa berdiri di situ?” Pertanyaan Adriana membuatku cepat sadar dari nostalgiaku.
“Sorry,” ucapku pelan lalu mengikuti langkahnya.
Dengan cepat ia memutar gagang pintu dan mendorong kayu jati berukir itu agar kami bisa masuk. Lagi-lagi sesuatu yang aneh menghantam ingatanku hingga membuat jantungku berdegub lebih cepat. Benarkah pilihan yang kuambil ketika Adriana hanya menawariku pilihan untuk makan siang di rumah ini atau tidak ada makan siang bersamanya sama sekali? Apapun itu, kuharap aku bisa melewatinya.
“Mam, aku pulang...,” Adriana memberitahu kedatangannya seperti kebiasaannya, dengan suara yang keras. Biasanya sebentar lagi Mam akan berteriak...
“Adri... sudah berkali-kali diberitahu...” Mam menggantung kalimatnya ketika matanya melihatku yang berdiri tak jauh di belakang Adriana.
Bibirku melengkung ketika mataku bisa melihat perempuan itu lagi. Mataku berkaca-kaca, tapi aku menahannya untuk tetap dalam bendungan. Lagi-lagi perasaan aneh menyerangku. Aku hanya rindu, sangat rindu Mam. “Hai, Mam.” Hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulutku dengan suara yang tiba-tiba terdengar serak.
Sementara itu, Mam hanya memandangku dengan tatapan yang masih tak bersahabat. Sepertinya Mam masih belum melunak sikapnya atas keputusan yang pernah kuambil. Aku terus menunggu bibir Mam mengeluarkan beberapa kata untukku, namun aku buru-buru menyadari kalau ia tak akan melakukannya.
“Aku yang mengajaknya makan siang bersama kita, Mam,” ucap Adriana berusaha memecah kekakuan dan keheningan yang terlalu lama. Mata Mam beralih memandang Adriana dan dengan lembut mengajaknya ke ruang makan.
Ia bahkan tak mengucapkan satu  kata pun padaku.  Aku berdiri terpaku dengan kepala tertunduk, berusaha untuk menguatkan diriku untuk semua ini meski aku ingin sekali menangis. Ah, bukankah aku sudah bertahun-tahun hidup dengan semua sikap dingin Mam dan mengapa aku tak bisa menguasai diriku sekarang ini? Kuatlah seperti biasa, Aliana.  Sekali lagi pertanyaan itu muncul, apakah aku membuat keputusan yang benar dengan kembali ke rumah ini?
Sebuah sentuhan menarik lenganku untuk mengikutinya. Adriana, ia memang adik yang baik. Beruntung ia lebih banyak mewarisi sifat Ayah dalam dirinya, begitu peduli dibalik sikap cueknya. Bisa ditebak pula darimana aku mewarisi sifat keras kepalaku ini, dari Mam.
**
“Kau hanya perlu mengunjunginya lebih sering, Al,” ucap Adriana begitu mobilnya berhenti tepat di depan pagar rumahku. Ia sepertinya tahu sesuatu yang membuatku terus menutup rapat bibirku selama perjalanan menuju rumahku.
“Datanglah sesekali dengan Amabel,” usulnya. “Mam pasti kesepian kalau aku tugas ke luar kota,” lanjutnya lagi.
“Entahlah, apa aku bisa melakukannya sebaik tadi jika tak ada kamu tadi,” sahutku.
Adrian menghela nafas. “Mam sebenarnya merindukanmu seperti kau merindukannya, Al.” Kalimat Adriana membuatku tersentak. Mungkinkah Mam merindukanku sebanyak aku merindukannya? Mungkinkah ia jug berharap bisa memelukku seperti aku ingin memelukknya?
Aku memandang gadis tomboi yang sudah beranjak dewasa ini. “Thank’s, Dri...” ucapku kemudian membuka pintu mobilnya. Adriana kemudian melongokkan kepalanya sebelum aku kembali menutupnya. “Sampaikan salamku untuk keponakanku ya,” katanya dengan senyum yang nyaris tak seperti senyuman. Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menutup pintu mobilnya.
Deru mesin terdengar sebelum akhirnya mobil putih itu melaju meninggalkanku yang masih berdiri di depan rumahku dengan beberapa kantung belanjaan di tanganku. Aku meyakinkan diriku kalau aku sudah memilih yang benar, tak peduli akan seberapa sulit jalanku nantinya. Pilihanku untuk mencoba untuk pulang ke rumah, ke dalam pelukan sebuah keluarga yang hangat.
**   
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar