“Kalau
aku punya baling-baling bambu Doraemon, pasti sekarang aku lagi terbang dengan
hati yang berbunga-bunga,” celetuk Kayee Aleisha Wiryatama siang itu di
kamarnya.
Keninda,
sepupu yang duduk tak jauh darinya tertawa mendengarnya. Sudah mulai gila rupanya anak ini, pikirnya.
“Cuma
orang gila kali yang mau terbang di siang bolong kayak gini, panas kayak gitu
juga.”
“Ya,
gila… karena cinta.” Lalu Kenin tertawa lagi mendengar kalimat Kayee yang mulai
terdengar berlebihan. “Senyumnya, suaranya, ekspresinya… bikin aku meleleh
rasanya.”
“Es
kali meleleh… Hahahahaa…”
“Ihh,
kok malah ketawa mulu sih, Ken?” ujarnya sambil melempar boneka Doraemon
favoritnya.
“Lagian
ceritanya lebai banget sih lu,” jawab Kenin sembari melempar kembali boneka
biru itu ke si empunya.
“Emang
salah deh cerita kayak gini ke kamu, makanya jatuh cinta biar tau rasanya hati
berbunga-bunga,” katanya menggoda sepupunya itu. Kenin hanya tersenyum tanpa
bersuara.
“Kamu
pernah jatuh cinta, Ken?” Tanya Kayee setelah mereka sama-sama terdiam beberapa
lama. Kenin masih tak bersuara.
Jatuh cinta? Tentu saja pernah, jawabnya dalam hati.
Ia
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Kayee yang besar itu. Kayee mengikuti
apa yang sepupunya lakukan, ia ikut merebahkan diri di samping Kenin. Lalu
suasana hening lagi setelah pertanyaan terakhir tadi.
“Ken,”
panggilnya.
Sunyi.
Otak Kenin mengerjakan hal lain, memutar memori.
“Ken…”
panggil Kayee lagi.
Itu dia, aku menemukannya! Sepotong rekaman yang terlihat
usang dan rusak, suara di otak Kenin
bersorak.
“Woii…
Keninda…!!!”
Kenin
terlempar dengan cepat ke masa kini. Sesuatu begitu tajam menusuk gendang
telinganya, teriakan Kayee.
“Apaan
sih, teriak-teriak di telinga orang kayak gitu?!” omelnya.
“Lagian
daritadi dipanggil malah diem aja,” jawab Kayee kesal. “Kenapa sih?”
Kenin
menggeleng. “Enggak apa-apa.”
“Ken…” panggilnya lagi.
“Apa?”
“Jatuh
cinta itu indah banget ya, bawaannya pengen senyum mulu deh kalau inget dia,”
ujar Kayee. “Pengen terbang pake baling-baling bambu deh rasanya, Ken.”
Detik
berikutnya penuh dengan kalimat-kalimat beraroma puitis khas orang jatuh cinta.
Tentu saja, Kenin membiarkan Kayee meracuni telinganya dengan kalimat-kalimat
puitis. Ia sempat berpikir apakah sepupunya ini sedang dengan jatuh cinta
dengan seorang petani atau tukang kebun, karena ia selalu bilang laki-lakinya
sedang menanam benih bunga di hatinya. Lalu Kayee menceritakan dengan detail
kronologi kejadian ketika ia bertemu dengan lelaki itu di sebuah kios penjual
bunga yang berada di samping Masjid Raya Bogor dua minggu berturut-turut di
hari Sabtu, dan Kenin berani bertaruh kalau tak ada satupun kejadian yang dilewatkan
dalam ceritanya.
“Jadi
gimana Ken?” Pertanyaannya terdengar dengan suara sedikit keras di telinga
Kenin.
“Hah?
Gi-ma-na? Apanya?”
“Gimana
kalo Sabtu aku ikut kamu ke stasiun?”
“Dih,mau
ngapain? Tumben banget.”
“Anterin
kamu cari buku.”
“Halah
modus, bilang aja mau ke kios bunga.”
Kayee
hanya tersenyum malu-malu.
**
“Masih lama gak sih, Kay?” Tanya Kenin mulai
tak sabar.
“Bentar,”
jawabnya dengan mata yang masih mengedarkan pandang mencari lelaki penanam
bunga di hatinya.
Untuk
kesekian kalinya Kenin melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Lima menit
lagi akan genap tigapuluh menit ia dan Kayee menunggu di kios bunga. Beruntung
si penjual bunganya ramah sehingga mengijinkan mereka menunggu di depan kiosnya
yang berbunga-bunga (penuh bunga maksudnya).
“Lima
menit lagi gak nongol, gue langsung ke stasiun ya,” katanya memperingatkan.
“Harusnya
sih udah muncul ya jam segini,” gumam Kayee.
“Nunggu
siapa sih, mbak?” Tanya pedagang bunga yang ternyata penasaran juga.
“Tau
tuh bang, sepupu saya udah mulai gila kayaknya, nunggu orang yang pernah beli
bunga disini.”
“Emang
udah janjian sama orangnya, mba?”
Aku
menggeleng lemas.
“Lho
kok bisa?”
“Kata
orang yang lagi jatuh cinta ini sih, dia yakin banget kalau laki-laki yang beli
mawar disini bareng dia itu bakal datang hari ini,” jawabku dengan suara berbisik.
Si
pedagang bunga hanya mengangguk-angguk, entah mengerti atau tambah bingung.
Waktu
terus berjalan tak mau tahu, lima menit pun berlalu. Kenin berdiri dan
menghampiri Kayee yang masih tetap mengawasi sekitarnya.
“Udah
lima menit, gue ke stasiun ya,” pamitnya. “Terserah lu mau ikut atau tetep
nunggu si penanam bunga di hati lu itu,” tambahnya cepat-cepat sebelum
melangkah meninggalkan kios bunga. Kenin melangkah cepat ke jalan Nyi Raja
Permas.
“Kenin…
tunggu…!!” teriak Kayee yang tertinggal di belakang.
**
Mereka
baru menyusuri sedikit arcade di
dekat stasiun Bogor ketika Kayee meremas lengan Kenin. “Demi apapun, itu dia!”
serunya yang berdiri di samping Kenin. Ia melepaskan tangan Kayee dari
lengannya.
Kening
gadis itu mengerut karena bingung. Apakah orang jatuh cinta itu makin lama makin
aneh tingkahnya?
“Apaan
sih, heboh banget kayak emak-emak menang arisan aja!”
“Itu
dia, Ken.”
“Siapa?”
“Arah
jam duabelas, kaus polo biru, topi hitam, lagi pegang buku.”
“Apaan
sih ah, pake jam duabelas segala…” oceh Kenin mengabaikannya sambil terus berjalan
menuju kios buku langganannya sementara Kayee berjalan tepat di belakangnya.
“Siang mas, buku pesenan saya udah ada kan?”
Tanya Kenin ketika sampai di kios Mas Aris.
“Oh
Mba Ken, udah ada kok sebentar ya,” jawabnya sambil mengambil beberapa buku di
antara tumpukan.
Sementara
itu Kayee membisikkan sesuatu. “Ken, orangnya di sebelah kamu.”
“Siapa?”
“Yang
tadi kita tungguin.”
Dengan
refleks Kenin memutar kepala ke arah kanan, tepat di sampingnya berdiri seorang
laki-laki tinggi sedang serius membaca tulisan di cover belakang buku.
“Jen…”
panggilnya pelan ketika mengenali wajah lelaki di sebelah kanannya, yang
dipanggil pun menoleh.
Ya ampun Kay, pinjem baling-baling bambu Doraemon dong…!!, seru Kenin dalam hati.
“Ken?”
Kenin
menghela nafas sejenak, entah untuk apa. Mungkin hanya lega karena tak salah
mengenali orang, atau karena bertemu lagi dengan seseorang yang kini berdiri di
depannya. Tetiba pertanyaan Kayee beberapa hari lalu terlintas lagi.
Kamu pernah jatuh cinta, Ken?
...........
-to be continue-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar