Selasa, 08 Januari 2013

1# Baling-baling Bambu




“Kalau aku punya baling-baling bambu Doraemon, pasti sekarang aku lagi terbang dengan hati yang berbunga-bunga,” celetuk Kayee Aleisha Wiryatama siang itu di kamarnya.
Keninda, sepupu yang duduk tak jauh darinya tertawa mendengarnya. Sudah mulai gila rupanya anak ini, pikirnya.
“Cuma orang gila kali yang mau terbang di siang bolong kayak gini, panas kayak gitu juga.”
“Ya, gila… karena cinta.” Lalu Kenin tertawa lagi mendengar kalimat Kayee yang mulai terdengar berlebihan. “Senyumnya, suaranya, ekspresinya… bikin aku meleleh rasanya.”
“Es kali meleleh… Hahahahaa…”
“Ihh, kok malah ketawa mulu sih, Ken?” ujarnya sambil melempar boneka Doraemon favoritnya.
“Lagian ceritanya lebai banget sih lu,” jawab Kenin sembari melempar kembali boneka biru itu ke si empunya.
“Emang salah deh cerita kayak gini ke kamu, makanya jatuh cinta biar tau rasanya hati berbunga-bunga,” katanya menggoda sepupunya itu. Kenin hanya tersenyum tanpa bersuara.
“Kamu pernah jatuh cinta, Ken?” Tanya Kayee setelah mereka sama-sama terdiam beberapa lama. Kenin masih tak bersuara.
Jatuh cinta? Tentu saja pernah, jawabnya dalam hati.
Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur Kayee yang besar itu. Kayee mengikuti apa yang sepupunya lakukan, ia ikut merebahkan diri di samping Kenin. Lalu suasana hening lagi setelah pertanyaan terakhir tadi.
“Ken,” panggilnya.
Sunyi. Otak Kenin mengerjakan hal lain, memutar memori.
“Ken…” panggil Kayee lagi.
Itu dia, aku menemukannya! Sepotong rekaman yang terlihat usang dan rusak, suara di otak Kenin bersorak.
“Woii… Keninda…!!!”
Kenin terlempar dengan cepat ke masa kini. Sesuatu begitu tajam menusuk gendang telinganya, teriakan Kayee.
“Apaan sih, teriak-teriak di telinga orang kayak gitu?!” omelnya.
“Lagian daritadi dipanggil malah diem aja,” jawab Kayee kesal. “Kenapa sih?”
Kenin menggeleng. “Enggak apa-apa.”
 “Ken…” panggilnya lagi.
“Apa?”
“Jatuh cinta itu indah banget ya, bawaannya pengen senyum mulu deh kalau inget dia,” ujar Kayee. “Pengen terbang pake baling-baling bambu deh rasanya, Ken.”
Detik berikutnya penuh dengan kalimat-kalimat beraroma puitis khas orang jatuh cinta. Tentu saja, Kenin membiarkan Kayee meracuni telinganya dengan kalimat-kalimat puitis. Ia sempat berpikir apakah sepupunya ini sedang dengan jatuh cinta dengan seorang petani atau tukang kebun, karena ia selalu bilang laki-lakinya sedang menanam benih bunga di hatinya. Lalu Kayee menceritakan dengan detail kronologi kejadian ketika ia bertemu dengan lelaki itu di sebuah kios penjual bunga yang berada di samping Masjid Raya Bogor dua minggu berturut-turut di hari Sabtu, dan Kenin berani bertaruh kalau tak ada satupun kejadian yang dilewatkan dalam ceritanya.
“Jadi gimana Ken?” Pertanyaannya terdengar dengan suara sedikit keras di telinga Kenin.
“Hah? Gi-ma-na? Apanya?”
“Gimana kalo Sabtu aku ikut kamu ke stasiun?”
“Dih,mau ngapain? Tumben banget.”
“Anterin kamu cari buku.”
“Halah modus, bilang aja mau ke kios bunga.”
Kayee hanya tersenyum malu-malu.
**
 “Masih lama gak sih, Kay?” Tanya Kenin mulai tak sabar.
“Bentar,” jawabnya dengan mata yang masih mengedarkan pandang mencari lelaki penanam bunga di hatinya.
Untuk kesekian kalinya Kenin melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Lima menit lagi akan genap tigapuluh menit ia dan Kayee menunggu di kios bunga. Beruntung si penjual bunganya ramah sehingga mengijinkan mereka menunggu di depan kiosnya yang berbunga-bunga (penuh bunga maksudnya).
“Lima menit lagi gak nongol, gue langsung ke stasiun ya,” katanya memperingatkan.
“Harusnya sih udah muncul ya jam segini,” gumam Kayee.
“Nunggu siapa sih, mbak?” Tanya pedagang bunga yang ternyata penasaran juga.
“Tau tuh bang, sepupu saya udah mulai gila kayaknya, nunggu orang yang pernah beli bunga disini.”
“Emang udah janjian sama orangnya, mba?”
Aku menggeleng lemas.
“Lho kok bisa?”
“Kata orang yang lagi jatuh cinta ini sih, dia yakin banget kalau laki-laki yang beli mawar disini bareng dia itu bakal datang hari ini,” jawabku dengan suara berbisik.
Si pedagang bunga hanya mengangguk-angguk, entah mengerti atau tambah bingung.
Waktu terus berjalan tak mau tahu, lima menit pun berlalu. Kenin berdiri dan menghampiri Kayee yang masih tetap mengawasi sekitarnya.
“Udah lima menit, gue ke stasiun ya,” pamitnya. “Terserah lu mau ikut atau tetep nunggu si penanam bunga di hati lu itu,” tambahnya cepat-cepat sebelum melangkah meninggalkan kios bunga. Kenin melangkah cepat ke jalan Nyi Raja Permas.
“Kenin… tunggu…!!” teriak Kayee yang tertinggal di belakang.
**
Mereka baru menyusuri sedikit arcade di dekat stasiun Bogor ketika Kayee meremas lengan Kenin. “Demi apapun, itu dia!” serunya yang berdiri di samping Kenin. Ia melepaskan tangan Kayee dari lengannya.
Kening gadis itu mengerut karena bingung. Apakah orang jatuh cinta itu makin lama makin aneh tingkahnya?
“Apaan sih, heboh banget kayak emak-emak menang arisan aja!”
“Itu dia, Ken.”
“Siapa?”
“Arah jam duabelas, kaus polo biru, topi hitam, lagi pegang buku.”
“Apaan sih ah, pake jam duabelas segala…” oceh Kenin mengabaikannya sambil terus berjalan menuju kios buku langganannya sementara Kayee berjalan tepat di belakangnya.
 “Siang mas, buku pesenan saya udah ada kan?” Tanya Kenin ketika sampai di kios Mas Aris.
“Oh Mba Ken, udah ada kok sebentar ya,” jawabnya sambil mengambil beberapa buku di antara tumpukan.
Sementara itu Kayee membisikkan sesuatu. “Ken, orangnya di sebelah kamu.”
“Siapa?”
“Yang tadi kita tungguin.”
Dengan refleks Kenin memutar kepala ke arah kanan, tepat di sampingnya berdiri seorang laki-laki tinggi sedang serius membaca tulisan di cover belakang buku.
“Jen…” panggilnya pelan ketika mengenali wajah lelaki di sebelah kanannya, yang dipanggil pun menoleh.
Ya ampun Kay, pinjem baling-baling bambu Doraemon dong…!!, seru Kenin dalam hati.
“Ken?”
Kenin menghela nafas sejenak, entah untuk apa. Mungkin hanya lega karena tak salah mengenali orang, atau karena bertemu lagi dengan seseorang yang kini berdiri di depannya. Tetiba pertanyaan Kayee beberapa hari lalu terlintas lagi.
Kamu pernah jatuh cinta, Ken?
...........


-to be continue-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar