Sabtu, 19 Januari 2013

Untuk Kamu, apa sih yang Nggak Boleh?



cerita sebelumnya :Cintaku Mentok di Kamu



“Diana…” Terdengar ada yang memanggilku dari arah belakang. Aku membalikkan tubuhku untuk mencari si pemilik suara.
Kulihat lelaki itu berjalan cepat diantara para pengunjung pusat perbelanjaan yang ramai sambil memberi tanda agar aku menunggunya. Tidak butuh waktu lama untuknya sampai di depanku. Aku menarik kedua sudut bibirku membentuk senyum ketika kami berdiri berhadapan.
“Hai Jen,” sapaku dengan nada senormal mungkin dan menahan diriku untuk tak menghambur ke pelukannya seperti ketika kami bertemu di bandara sebelum kami terbang.
Lelaki di depanku berusaha mengatur napasnya. “Kamu kenapa bisa ada disini?” tanyanya.
Bodoh! Pertanyaan macam apa itu? Mengejarku hanya untuk menanyakan alasanku ada disini?! Betapa..!!
“Hanya ingin menikmati kota tercintamu ini…” Dan tentu saja untuk menemuimu!
“Jadi karikatur yang diberikan waiter tadi itu darimu kan, Di?” tanyanya hati-hati.
“Oh, sudah dilihat ya?” tanyaku pura-pura terkejut. “Maaf kalau perempuannya tak mirip, aku hanya mengira-ngira saja,” tambahku.
Ia meraih tanganku dengan lembut, seperti biasanya. “Di…,” panggilnya. “Aku minta maaf karena tak pernah jujur padamu tentang Elka, aku sungguh-sungguh tak ingin menyakiti…”
Aku langsung memotong kalimatnya. “It’s okay, Jen, memang seharusnya aku gak pernah menerimamu sejak awal dan menyakiti perempuan hebat itu,” kataku sambil melepaskan tanganku dari tangannya. “I’m okay!”
“Aku yang bego, Di. Maaf.”
“Kamu memang bego, Jendra,” kataku dengan sedikit lebih tinggi dan ia hanya diam. “Kenapa mengejarku sampai sini dan meninggalkan kekasihmu itu menunggumu sendirian?!”
Tatapan matanya terlihat sedih. “Dia sudah tau,” katanya dengan mata menatap lurus padaku. “Bahkan Elka menyuruhku mengejarmu,” lanjutnya.
“Kamu lelaki paling bego yang pernah kutemui, Jen!” geramku. “Jangan khawatirkan aku, cepat kembali temui Elka!”
Jendra terlihat frustasi. “Oke, aku akan kembali,” ucapnya. “Tapi boleh kau ikut denganku?”
Ahh, Jendra… apa aku pernah menolak ajakanmu? Tapi ajakanmu kali ini...
Sekali lagi Jendra meraih tanganku, dan tanpa persetujuanku ia menarikku pergi menuju kedai kopi yang tadi sempat aku singgahi.
“Aku tahu kamu tak akan menolakku, Di,” bisiknya pelan sebelum ia membuka pintu kaca kedai. 

**

Aku melihatnya masuk kedai dengan wanita yang ia bilang adalah pelukis karikatur yang ada di tanganku ini. Ia menggenggam tangannya dengan erat seperti seorang ibu yang tak ingin kehilangan anaknya. 

“Diana…,” gumamnya dengan suara yang sangat pelan ketika kami sama-sama membuka gulungan kertas yang diberikan waiter tadi.
“Siapa katamu?” tanyaku.
Ia terlihat bingung.
“Siapa tadi kau bilang?” ulangku. “Diana?”
Ia menunduk cemas dan masih tak bersuara. Aku tahu ia sudah menyimpan rahasia yang tak boleh kuketahui.
“Jendra…”panggilku.  Ia mengangkat kepalanya dan memandangku sedih.
“Aku mau mendengar ceritamu tentangnya, boleh?”


2 komentar:

  1. gemes pingin noyor si Jendra niiih! -___-*

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhahaa ngeselin ya mbak?
      berasa pengen ngebunuh Jendra deh kalo baca yang 'menanti lamaran'.
      :D

      Hapus