“Diana…” Terdengar ada yang memanggilku dari arah belakang.
Aku membalikkan tubuhku untuk mencari si pemilik suara.
Kulihat lelaki itu berjalan cepat diantara para pengunjung
pusat perbelanjaan yang ramai sambil memberi tanda agar aku menunggunya. Tidak
butuh waktu lama untuknya sampai di depanku. Aku menarik kedua sudut bibirku
membentuk senyum ketika kami berdiri berhadapan.
“Hai Jen,” sapaku dengan nada senormal mungkin dan menahan
diriku untuk tak menghambur ke pelukannya seperti ketika kami bertemu di
bandara sebelum kami terbang.
Lelaki di depanku berusaha mengatur napasnya. “Kamu kenapa
bisa ada disini?” tanyanya.
Bodoh! Pertanyaan
macam apa itu? Mengejarku hanya untuk menanyakan alasanku ada disini?!
Betapa..!!
“Hanya ingin menikmati kota tercintamu ini…” Dan tentu saja untuk menemuimu!
“Jadi karikatur yang diberikan waiter tadi itu darimu kan,
Di?” tanyanya hati-hati.
“Oh, sudah dilihat ya?” tanyaku pura-pura terkejut. “Maaf
kalau perempuannya tak mirip, aku hanya mengira-ngira saja,” tambahku.
Ia meraih tanganku dengan lembut, seperti biasanya. “Di…,”
panggilnya. “Aku minta maaf karena tak pernah jujur padamu tentang Elka, aku
sungguh-sungguh tak ingin menyakiti…”
Aku langsung memotong kalimatnya. “It’s okay, Jen, memang
seharusnya aku gak pernah menerimamu sejak awal dan menyakiti perempuan hebat
itu,” kataku sambil melepaskan tanganku dari tangannya. “I’m okay!”
“Aku yang bego, Di. Maaf.”
“Kamu memang bego, Jendra,” kataku dengan sedikit lebih
tinggi dan ia hanya diam. “Kenapa mengejarku sampai sini dan meninggalkan
kekasihmu itu menunggumu sendirian?!”
Tatapan matanya terlihat sedih. “Dia sudah tau,” katanya
dengan mata menatap lurus padaku. “Bahkan Elka menyuruhku mengejarmu,” lanjutnya.
“Kamu lelaki paling bego yang pernah kutemui, Jen!” geramku.
“Jangan khawatirkan aku, cepat kembali temui Elka!”
Jendra terlihat frustasi. “Oke, aku akan kembali,” ucapnya. “Tapi
boleh kau ikut denganku?”
Ahh, Jendra… apa aku
pernah menolak ajakanmu? Tapi ajakanmu kali ini...
Sekali lagi Jendra meraih tanganku, dan tanpa persetujuanku
ia menarikku pergi menuju kedai kopi yang tadi sempat aku singgahi.
“Aku tahu kamu tak akan menolakku, Di,” bisiknya pelan
sebelum ia membuka pintu kaca kedai.
**
Aku melihatnya masuk kedai dengan wanita yang ia bilang
adalah pelukis karikatur yang ada di tanganku ini. Ia menggenggam tangannya
dengan erat seperti seorang ibu yang tak ingin kehilangan anaknya.
“Diana…,” gumamnya dengan suara yang sangat pelan ketika
kami sama-sama membuka gulungan kertas yang diberikan waiter tadi.
“Siapa katamu?” tanyaku.
Ia terlihat bingung.
“Siapa tadi kau bilang?” ulangku. “Diana?”
Ia menunduk cemas dan masih tak bersuara. Aku tahu ia sudah
menyimpan rahasia yang tak boleh kuketahui.
“Jendra…”panggilku. Ia
mengangkat kepalanya dan memandangku sedih.
“Aku mau mendengar ceritamu tentangnya, boleh?”
gemes pingin noyor si Jendra niiih! -___-*
BalasHapushhahaa ngeselin ya mbak?
Hapusberasa pengen ngebunuh Jendra deh kalo baca yang 'menanti lamaran'.
:D