“Jadi lelaki yang selama ini ditunggu Vinni tiap jam makan
siang itu… gay…?!” Lalu terdengar
tawa setelahnya di seberang sana.
“Kamu udah ngulang kalimat itu lebih dari tiga kali, Jen,”
kataku mengingatkan. “Dan kukira Vinni bakal nangis begitu tau kalo cowok itu
ternyata… yaahh gitu lah.”
Jendra terdengar sedang berusaha menahan tawanya. “Tapi
lebih baik gitu kan? Seenggaknya kamu gak perlu takut kalo kamar kamu bakal
jadi kapal pecah kalo Vinni udah nangis karena patah hati.”
“Betul banget!”kataku sependapat dengan lelaki di seberang
sana. “Tapi biar gimanapun, aku salut banget lho sama dia.”
“Kenapa?”
“Yaa, dia sampe rajin makan di kafe cuma buat ngeliat tuh
cowok,” kataku. “Ti-ap-ha-ri, selama hampir dua bulan! Walaupun endingnya gak
sesuai harapan,” tambahku.
Obrolan kami malam itu seru. Jendra memang sangat
menyenangkan untuk dijadikan teman bicara tentang apapun, lelaki yang sudah
jadi kekasihku hampir lima tahun ini memang luar biasa dan bisa
diandalkan. Ada saja yang kami
bicarakan, seperti tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Lalu hening. Aku tak
mendengar suaranya di telepon selama beberapa detik.
“Jen…” panggilku. “Kamu belum tidur kan?”
Masih sepi. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamarku
yang sudah hampir menunjukkan pukul dua pagi. Ternyata sudah hampir dua jam
kami mengobrol.
“Jendra…,” panggilku lagi.
“Aku masih disini.” Terdengar suara Jendra setelah hampir
membuatku berniat memutuskan telepon jika ia masih tak menyahut panggilanku
sekali lagi.
Aku menghela nafas lega. “Huh, iseng banget. Aku kira kamu
udah molor!”
“Tadi aku lagi mikir aja,” katanya dengan nada yang
terdengar berbeda.
“Mikir apa?”
“Aku berpikir, apakah aku bisa segigih Vinni,” jawabnya.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti dengan pembicaraan yang
tiba-tiba berubah topik.
“Ummm, never mind.”
“Uhh dasar, suka bikin penasaran.”
“Kamu keluar dong,” pintanya yang membuatku sedikit terkejut.
“Hah, mau ngapain?!” tanyaku sambil bangun dari ranjangku.
“Aku capek nih duduk di teras kamu sendirian dari dua jam
lalu.”
Aku nyaris menjatuhkan ponselku karena kaget. “Jadi dari
tadi kamu ada di depan rumah?!” pekikku.
“Iya, sayang..”
“Oke, aku bukain pintu.”
Kulempar ponselku ke ranjang lalu sedikit berlari ke arah pintu
depan. Jendra sudah berdiri di balik pintu dengan sebuah cake lengkap dengan
lilinnya. “Happy birthday, sayang..!”
Senyum mengembang di bibirku. Aku saja nyaris lupa kalau
hari sudah berganti ke tanggal empatbelas Januari, hari ulang tahunku.
“Elka?” panggil Jendra dengan pandangan khawatir.
Aku buru-buru menghapus air mata yang hampir saja kubiarkan
lolos. “Makasih sayang,” ucapku. Ia memberikan satu kecupan di keningku.
“Make a wish lalu tiup lilin,” katanya kemudian.
Kupejamkan mataku, mengucapkan doa dan harapanku lalu
membukanya kembali. Jendra memandangku ingin tahu apa yang kuharapkan. “Rahasia!”
kataku menjawab pandangan matanya.
“Oke, sekarang tiup lilin dan ajak aku masuk, dua jam di
teras rumah kamu itu dingin banget tau.”
Aku tertawa mendengarnya. “Lagian kenapa kamu gak bilang
daritadi coba?!”
“Kamu tuh terlalu semangat ceritain Vinni sampe aku juga
bingung gimana ngasih tau kamu kalau aku udah di depan rumah kamu.”
“Kenapa gak ketok pintu juga?”
“Kan mau bikin surprise, sayang…” Jendra mengacak-acak
rambutku dengan gemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar