Rindu. Lima huruf itu yang terus
memenuhi hatiku hingga sesak sejak tiga bulan lalu. Menunggu bulan keempat tiba
hingga aku dapat kembali mencium aromanya, membiarkan dinginnya membelai mesra
kulitku, dan tentu saja bisa tidur di pangkuannya. Aku pun tak membuang
kesempatan kala kabar baik itu datang padaku. Vinni, sahabatku, mengabarkan
kalau bulan April ia akan pergi mengunjunginya. Segera kuambil cuti beberapa
hari dari pekerjaanku jauh-jauh hari dan sengaja tak kuberitahu kekasihku
tentang rencana kepergianku ini. Aku tahu ia tak akan membiarkanku pergi.
Ponsel hitam dalam saku sweatshirt abu-abuku sudah bernyanyi
berkali-kali sejak tadi. Aku menyerah dan akhirnya kutekan tombol answer.
“Kamu dimana?” Tanya laki-laki
diseberang sana dengan nada tinggi begitu kudekatkan ponsel hitam itu ke
telingaku, bahkan ia tak memberiku bicara terlebih dulu. “Kamu dimana
sekarang?” Ia mengulang pertanyaannya ketika aku tak kunjung menjawabnya.
“Terminal Baranangsiang,” jawabku
ketus.
“Terminal?” ulangnya. “Mau
kemana?”
“Gede,” jawabku singkat.
“Gede?!” serunya. Bisa kupastikan
ia panik bukan main mendengar jawabanku barusan.
“Tunggu disitu, aku akan menyusul.”
“Nggak perlu….”
“Pokoknya tunggu disitu, aku
sedang menujumu!” perintahnya tegas dengan memberi penekanan pada tiap kata.
“Aku bil….”
Tut… tut… tut…
Aku bahkan belum menyelesaikan
kalimatku ketika ia menutup teleponnya. “Nggak sopan, seenak jidat aja nutup
telepon!” rutukku kesal.
“Jendra?” tebak Vinni yang kini
sudah duduk disampingku setelah selesai bicara dengan temannya yang sesama
pendaki. Aku mengangguk malas.
“Kenapa lagi dia?”
“Dia panik begitu gue bilang lagi
di terminal mau ke Gede,” jawabku santai.
Vinni tertawa. “Gila lu! Yaiyalah
panik, seminggu lagi mau lamaran malah naik gunung,” ujar Vinni. Aku terkekeh
mendengarnya.
Lamaran. Aku tentu tak lupa acara
itu. Satu minggu lagi keluarga Jendra akan datang untuk melamarku. Seperti kata
Vinni, gila, disaat perempuan lain sibuk bolak-balik salon atau butik menjelang
hari lamarannya, aku malah di berada terminal dengan tas berat. Aku sudah
terlanjur rindu untuk naik gunung, mendaki hingga ke puncak, lalu bermalam di
Mandalawangi yang cantik dengan hamparan bunga abadinya.
“Tunggu aku disitu, aku sedang menujumu Gede Pangrango,” ucapku
dalam hati, memakai kalimat Jendra yang kuabaikan.
Ponselku berbunyi lagi, pesan
singkat dari Jendra. Tunggu disitu! Aku sedang menujumu!
Bersamaan dengan itu, Vinni
memberitahuku kalau kami harus segera naik kendaraan yang akan membawa kami ke
Cibodas sebelum ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar