“Kalau bersamanya terus membuatmu sakit, kenapa tak kamu
tinggalkan saja dia?” tanyaku sore itu sambil memandangi secangkir kopi yang
masih panas di depanku.
“Kamu tahu kan rasanya mencintai seseorang ?” Ia balas
bertanya padaku.
Aku mendongak, melihat matanya yang coklat kesukaanku. “Aku… aku… tahu…,”
jawabku pelan.
Aku sangat tahu. Mencintai
seseorang yang tak pernah mengerti rasa cintaku padamu, kekasih sahabatku.
“Tapi yang kutahu, cinta itu bukan untuk menyakiti.” Aku
seperti bersemangat untuk berbicara. “Meski rasa sakit itu pasti ada, tapi buat
apa dipaksakan?”
Ia tersenyum hambar.
“Aku tahu, tapi perasaanku tak mudah berubah begitu tahu ia
menduakanku.”
Lagi-lagi aku menghela nafas, mencoba menata emosi. “Well,
betapa beruntungnya wanita yang sudah menduakanmu dengan lelaki yang ia anggap
lebih baik darimu.”
Mengapa tak kau pilih saja aku?
Hening, hanya suara hujan yang terdengar telingaku. Aroma
kopi begitu tajam menusuk hidungku, pun sama dengan tatapan matanya yang begitu
menusuk hingga membuat ulu hatiku nyeri.
“Don,” panggilku. Ia hanya mendongak menatapku.
“Pergilah dan cepat sadarkan dia kalau ia memilih lelaki
yang salah!”
Alih-alih mendengarkanku, ia menyesap kopinya lalu menghela
nafas panjang dan tertawa. “Entahlah.”
“Why?”
“Ia tak menduakanku dengan lelaki lain!”
Aku mengernyitkan keningku bingung.
“Ia menduakanku dengan perempuan lain,” katanya terdengar
lirih.
“Siapa?”
Ia diam lagi, kali ini cukup lama hingga aku harus
mengulangi pertanyaanku.
“Siapa Don?”
“Kamu!”
Aku tercekat mendengar jawabannya satu detik lalu dan berharap telingaku salah mendengar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar