Hidup itu tak seindah dongeng dengan akhir yang bahagia. Pada kenyataannya hidup tak sesederhana itu, karena terkadang hidup bisa lebih kejam dari ibu tiri Cinderella. Dibutuhkan pengorbanan untuk mendapatkan akhir yang kita inginkan. Kita harus merasakan jatuh, terluka, dan tetesan air mata.
Hidup tak bisa sesempurna yang
kita harapkan. Kita tak bisa seperti seorang sutradara yang bisa mengatakan cut! setiap kali mendapati adegan tak
sesuai dengan keinginannya. Waktu terus saja berlalu tak mau tahu bagaimana
setiap adegan dalam hidup kita berjalan.
Mandalawangi. Hamparan bunga
abadinya menyambut kami dengan hangat ketika kami menginjakkan kaki di
lembahnya yang indah. Langit kemerahan diatas kami mulai pekat membuat kami
harus cepat-cepat mendirikan tenda untuk bermalam disana.
Vinni menghampiriku ketika aku
sedang merapikan perlengkapan. “El,” panggilnya.
“Apa?” tanyaku tanpa menoleh dari
isi tasku.
“Menurut lu, Jendra bener-bener
nyusul ke terminal gak sih?” Pertanyaan itu membuatku teringat dia yang begitu
terlupakan oleh perjalanan ini.
Aku menatap Vinni. “Dia pasti
sudah melakukan hal yang seharusnya ia lakukan, aku percaya.”
**
Aku dan Vinni sengaja bangun
lebih pagi untuk menikmati scene favorit
kami di lembah Mandalawangi, dimana matahari perlahan naik dari timur dengan
guratan jingga terang. Hamparan putih bunga abadi sejauh mata memandang pun melambai
mesra pada kami. Rasanya semua sakit, lelah, dan keringat kami selama menuju
puncak hingga ke lembah ini terbayar dengan indah, dan aku tak ingin memotong
adegan perjalanan itu.
Aku tengah sibuk mengabadikan
lembah cantik tempatku menjejak kini dengan kamera DSLR hadiah dari Jendra
setahun lalu ketika telingaku menangkap suara baritonnya.
“Ternyata keindahan ini yang
membuatmu tak ingin menungguku.” Suara itu mengganggu konsentrasiku. Jendra,
aku hafal betul suaranya. Laki-laki dalam balutan jaket tebal sedang berdiri di
tak jauh dariku dengan pandangan galaknya.
Aku tersenyum singkat padanya. “Kupikir
kamu tak akan menyusulku hingga kesini,” kataku lalu kembali dengan kameraku,
memotret lelaki tinggi yang sedang tersenyum padaku.
Hidupku mungkin tak seindah
cerita dongeng sebelum tidur, namun aku menyukai setiap kejutan yang terselip
didalamnya. Skenario hidup yang Tuhan ciptakan memang sangat indah, lebih dari
sekedar drama romantic yang sering kutonton dengan Vinni. Beberapa bulan yang
lalu aku sempat berharap bisa memotong adegan dimana perempuan bernama Diana
tak pernah ada dalam filmku dan menggantinya dengan cerita manis antara aku dan
Jendra. Lalu aku sadar dalam dongeng pun
butuh tokoh penting sepertinya, Diana.
“By the way, apa kabar Diana?”
tanyaku iseng.
Jendra mengerutkan keningnya. Aku
tahu ia terkejut dengan pertanyaanku.
“Aku hanya ingin tahu saja,
rasanya aku perlu berterima kasih padanya,” kataku menjawab kebingungannya.
“Terakhir kudengar ia pindah ke
maskapai lain, entah dimana,” jawabnya sambil merebut kamera dari tanganku lalu
terdengar bunyi klik berkali-kali dari kamera yang mengarah padaku.
Hari ini, Minggu pagi di padang
edelweiss Mandalawangi, aku tak ingin memotong dan membuang adegan ini. Terima
kasih untuk membuat kisah ini lebih dari sekedar dongeng happily ever after.
duh.. saya jadi membayangkan indahnya Mandalawangi.
BalasHapusanyway, it's a nice story. :)
trims..
Hapussmga bisa melihat keindahan secara langsung ya.. :)
gak bisa ngedip. -,-
Hapuslho?
Hapussini aku tiupin biar ngedip.. :D
thx sudah mampir..
ga bisa berkata-kata jadinya
BalasHapus