Jumat, 25 Januari 2013

Cut!



Hidup itu tak seindah dongeng dengan akhir yang bahagia. Pada kenyataannya hidup tak sesederhana itu, karena terkadang hidup bisa lebih kejam dari ibu tiri Cinderella. Dibutuhkan pengorbanan untuk mendapatkan akhir yang kita inginkan. Kita harus merasakan jatuh, terluka, dan tetesan air mata.
Hidup tak bisa sesempurna yang kita harapkan. Kita tak bisa seperti seorang sutradara yang bisa mengatakan cut! setiap kali mendapati adegan tak sesuai dengan keinginannya. Waktu terus saja berlalu tak mau tahu bagaimana setiap adegan dalam hidup kita berjalan.

Mandalawangi. Hamparan bunga abadinya menyambut kami dengan hangat ketika kami menginjakkan kaki di lembahnya yang indah. Langit kemerahan diatas kami mulai pekat membuat kami harus cepat-cepat mendirikan tenda untuk bermalam disana.

Vinni menghampiriku ketika aku sedang merapikan perlengkapan. “El,” panggilnya.
“Apa?” tanyaku tanpa menoleh dari isi tasku.
“Menurut lu, Jendra bener-bener nyusul ke terminal gak sih?” Pertanyaan itu membuatku teringat dia yang begitu terlupakan oleh perjalanan ini.
Aku menatap Vinni. “Dia pasti sudah melakukan hal yang seharusnya ia lakukan, aku percaya.”

**

Aku dan Vinni sengaja bangun lebih pagi untuk menikmati scene favorit kami di lembah Mandalawangi, dimana matahari perlahan naik dari timur dengan guratan jingga terang. Hamparan putih bunga abadi sejauh mata memandang pun melambai mesra pada kami. Rasanya semua sakit, lelah, dan keringat kami selama menuju puncak hingga ke lembah ini terbayar dengan indah, dan aku tak ingin memotong adegan perjalanan itu.

Aku tengah sibuk mengabadikan lembah cantik tempatku menjejak kini dengan kamera DSLR hadiah dari Jendra setahun lalu ketika telingaku menangkap suara baritonnya.
“Ternyata keindahan ini yang membuatmu tak ingin menungguku.” Suara itu mengganggu konsentrasiku. Jendra, aku hafal betul suaranya. Laki-laki dalam balutan jaket tebal sedang berdiri di tak jauh dariku dengan pandangan galaknya.
Aku tersenyum singkat padanya. “Kupikir kamu tak akan menyusulku hingga kesini,” kataku lalu kembali dengan kameraku, memotret lelaki tinggi yang sedang tersenyum padaku.
Hidupku mungkin tak seindah cerita dongeng sebelum tidur, namun aku menyukai setiap kejutan yang terselip didalamnya. Skenario hidup yang Tuhan ciptakan memang sangat indah, lebih dari sekedar drama romantic yang sering kutonton dengan Vinni. Beberapa bulan yang lalu aku sempat berharap bisa memotong adegan dimana perempuan bernama Diana tak pernah ada dalam filmku dan menggantinya dengan cerita manis antara aku dan Jendra.  Lalu aku sadar dalam dongeng pun butuh tokoh penting sepertinya, Diana.
“By the way, apa kabar Diana?” tanyaku iseng.
Jendra mengerutkan keningnya. Aku tahu ia terkejut dengan pertanyaanku.
“Aku hanya ingin tahu saja, rasanya aku perlu berterima kasih padanya,” kataku menjawab kebingungannya.
“Terakhir kudengar ia pindah ke maskapai lain, entah dimana,” jawabnya sambil merebut kamera dari tanganku lalu terdengar bunyi klik berkali-kali dari kamera yang mengarah padaku.

Hari ini, Minggu pagi di padang edelweiss Mandalawangi, aku tak ingin memotong dan membuang adegan ini. Terima kasih untuk membuat kisah ini lebih dari sekedar dongeng happily ever after.
***


5 komentar:

  1. duh.. saya jadi membayangkan indahnya Mandalawangi.
    anyway, it's a nice story. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. trims..
      smga bisa melihat keindahan secara langsung ya.. :)

      Hapus
    2. lho?
      sini aku tiupin biar ngedip.. :D
      thx sudah mampir..

      Hapus
  2. ga bisa berkata-kata jadinya

    BalasHapus