weheartit.com |
Jendra membatalkan makan malam setelah bertemu Elka di parkiran restoran
semalam. Ia meminta maaf dan mengantarku pulang. Setelah itu, aku belum
mendapatkan kabarnya lagi hingga siang ini. Kupandangi layar ponselku sembari
berharap ia akan menghubungiku atau sekedar mengirimiku pesan singkat.
Berkali-kali pula kubuka contact list dan hendak menghubunginya terlebih
dulu, namun kali itu juga aku mengurungkan niatku.
Siang ini aku sedang berada di toko buku yang ada di pusat
perbelanjaan. Melakukan sesuatu untuk meringankan pikiranku dari masalah yang
membuatku nyaris tidak bisa tidur setiap malam. Kulangkahkan kakiku menyusuri
barisan rak dan mencari buku yang bisa menarik perhatianku untuk kubawa pulang.
“Diana.” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Novel yang
sedang kupegang nyaris lepas dari tanganku. Aku menoleh dan mendapati lelaki
itu ada di depan mataku. Ia tersenyum padaku. “Syukurlah aku tidak salah
orang.”
“Natha?” Ia terlihat berbeda sekali dengan ia di tujuh tahun yang
lalu. Menurutku raut wajahnya terlihat lebih dewasa sekarang, dengan kacamata frame
less dan rambut yang disisir rapi, lalu kemeja panjang warna biru yang
digulung bagian lengannya hingga siku dan celana hitam panjang.
“Sedang cari buku apa?” tanyanya sambil mencoba melihat buku yang
kupegang. Aku segera meletakkan buku itu kembali bersama teman-temannya.
Aku menghiraukannya dan berjalan pelan ke rak buku yang lain.
Natha mengikutiku dan menyejajarkan langkahnya denganku. “Di, kamu tak ingin
menanyakan kabarku atau apalah, kita sudah lama nggak ketemu 'kan...?” ujarnya.
“Oke, apa kabarmu Nath?” tanyaku malas tanpa melihatnya dan tetap
menyusuri barisan buku.
“Kabar baik setelah menjejakkan kaki di kota ini lagi.”
“Baguslah, setidaknya aku tahu kau baik-baik saja setelah perpisahan
kita.”
Natha menghela nafas pendek. “Ahh, perpisahan... bodohnya aku dulu
ketika memutuskan hubungan kita.”
“Baru sadar kalau kamu itu bodoh?” balasku.
“Ya, aku sadar kalau aku ini bodoh karena harusnya keputusanku
untuk meninggalkanmu itu tak pernah ada, Di.”
“Kamu menyesal meninggalkanku?” kataku terkekeh. Ternyata kini ia
merasakan rasa sakitku dulu.
“Aku sangat menyesal, Di.”
“Kamu tak pernah berubah, Nath. Selalu saja terlambat.”
“Apa tak ada sedikitpun celah agar aku bisa kembali di hatimu?”
tanyanya sambil melihatku.
Deg. Aku benar-benar terkejut mendengar kalimatnya.
Mengapa dunia harus sesempit ini, Tuhan?!
**
Diana terlihat sangat terkejut mendengarku. Novel yang dipegangnya
pun sudah jatuh ke lantai. Aku tahu ia pasti tak begitu saja percaya
kata-kataku beberapa detik lalu, tapi aku harus membuatnya percaya. Apakah
aku egois, Tuhan?
“Tidak semudah itu, Nath,” jawabnya.
Aku membungkuk untuk mengambil novel yang dijatuhkannya.
“Segalanya butuh proses. Itu 'kan yang mau kau katakan?”
Diana hanya diam menerima novelnya. Sepertinya aku sudah salah
mengira, perempuan ini jauh lebih kuat sekarang. “Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Di,” kataku sambil menyodorkan novel itu padanya dan melangkah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar