Jumat, 14 Desember 2012

Kekasih Terhebat



Masih terdengar suara anak-anak bermain di halaman samping rumah yang cukup luas. Teriakan-teriakan dan tawa riang terdengar manis di telingaku. Aku mengamati mereka dari jendela kamarku sambil sesekali ikut tertawa melihat tingkah mereka. Lalu mereka terlihat cemberut ketika kudengar kamu menyuruh mereka berhenti bermain karena hari sudah sore. Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang memang sudah merah pekat.
Suara langkah kaki terdengar mulai mendekat, aku lekas menutup jendela kamar di samping ranjangku. Kamu membuka pintu kamarku sambil tersenyum padaku. Senyum itu, masih saja tak berubah candunya sejak pertama kali aku melihatnya. Hanya saja senyum itu kini muncul diantara keriput di wajahmu, tapi aku selalu suka.  Dengan langkah berat kamu menghampiriku dan kemudian duduk di sisi ranjang tua ini. “Ranu dan Rinjani sudah kusuruh pulang dan segera mandi,” ucapmu melaporkan cucu-cucu kita seperti biasa. Aku tersenyum dan mengangguk menerima laporanmu.
Kamu melepaskan pakaian ku dengan hati-hati. Lalu kamu mengambil wadah besar berisi air dan sebuah handuk kecil di meja di samping ranjang. Setiap pagi dan sore kamu selalu setia membersihkan tubuhku dengan air hangat, lalu memakaikanku pakaian, menyisir rambutku yang mulai berubah warna. Kamu bahkan tak lupa mengikatnya atau kadang mengepangnya dengan rapi. “Kamu masih saja terlihat cantik,” pujimu lalu mengecup keningku.
“Sudah tak pantas kamu memujiku seperti itu, keriput sudah banyak di wajahku dan rambutku pun tak lagi hitam dan tebal seperti dulu,” jawabku.
Kamu tertawa kecil dan meraih tanganku yang lemah. “Kamu selalu cantik di mataku, tak peduli wajahmu penuh dengan keriput ataupun rambutmu yang memutih  semua,” ucapmu.
 “Maafkan aku,” ucapku lirih.  Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku nyaris saja menangis lagi kalau kamu tak menggelengkan kepalamu, mengingatkanku agar tak menangis lagi.
“Maaf aku tak bisa menjadi istri yang baik bagimu,” ucapku pelan. “Maaf karena tak bisa mengurus kamu, anak-anak kita, dan cucu-cucu kita Ranu dan Rinjani, maaf...”
Lalu hening cukup lama di antara kita hingga kamu membuka suara. “Bagiku kamu adalah istri terhebat,” katamu. “Kamu wanita terhebat karena selalu menguatkan aku, membuatku selau punya semangat di setiap pagi ketika aku membuka mataku.”
“Tapi aku tak bisa  membantumu, mengurusmu, memasak makanan kesukaanmu, dan ternyata aku  malah menyusahkanmu karena penyakit ini….”
Kamu buru-buru meletakkan telunjukmu di depan bibirku. “Kamu hanya perlu tersenyum dan jadi istriku yang kuat, jangan pernah menyerah, sayang,” ujarmu lembut. “Berada di sisimu dan menghabiskan masa senja di rumah ini sudah cukup membuatku bahagia dan menghebatkaku.”
 Sekali lagi di senja itu kamu mengecup keningku dengan lembut dan membuat air mataku jatuh membasahi pipiku tanpa bisa ku tahan.

Terima kasih sayang,
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah meninggalkanku.
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah lelah meghadapiku.
Terima kasih untuk kamu yang selalu menguatkanku
Terima kasih sudah menjadi kekasih terhebat untukku








*teruntuk sepasang kekasih terhebat di  satu rumah senja di salah  satu sudut pulau Jawa
backsound : Anji – Kekasih Terhebat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar