Minggu, 29 Januari 2012

September Rainy



Mengapa aku harus menghindar kalau ternyata hujan  itu indah?
Karena aku tak pernah menyentuhnya sedalam ini..
Sampai aku menemukanmu kembali melalui hujan..

15.09.11
Sejak siang tadi langit biru kesukaanku terlihat mulai gelap dan teduh. Warnanya pun bertambah pekat menjelang pukul empat sore. Aku yang masih membereskan sisa pekerjaan ku mulai gelisah melihat langit yang makin gelap dan tak lama akan di temani dengan tetesan air yang perlahan mulai membasahi kota Bogor ku tercinta yang rindu akan tetesannya. Aku menghela nafas panjang dan mulai berpikir bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan hujan dan akupun lupa membawa jas hujan di  motor kesayanganku.
Bel berbunyi ketika jam menunjukkan tepat pukul empat. Satu persatu penghuni kantor tempat ku bekerja mulai berlalu. Aku tak punya pilihan lain selain ‘nekat’. Ya, aku segera merapatkan cardigan abu-abuku dan berniat menerobos hujan yang masih malu-malu, menuju tempat parkir motor yang letaknya lumayan jauh di belakang gedung.
Tetes demi tetes air hujan menyentuh kulitku dan aku merasa tetesan itu rasanya menyejukkan, bagaikan tanah kering tandus yang dilanda kemarau panjang sekian lama. Aku menghentikan langkahku sejenak, mencoba menikmati anugerah Allah sore ini. Aku berpikir mengapa aku harus menggerutu tentang datangnya anugerah ini beberapa menit yang lalu yang akhirnya sekarang aku malah menikmati setiap tetes yang membasahi cardigan dan mulai meresap ke dalam menyentuh kulit.
Sembari kembali melanjutkan langkahku aku teringat ucapan teman satu kantor yang menanggapi gerutuanku sebelum hujan turun tadi.
“Ahh, gelap banget langitnya, jangan hujan dong,”gerutuku menanggapi warna langit yang makin pekat.
“Alhamdulillah akhirnya hujan turun dan semoga deras,” ucap Wiwin ketika air mulai turun perlahan.
Aku memasang muka sebal karena hujan mulai turun. Melihat ekspresi wajahku, Wiwin berkata, ”Lu harusnya bersyukur hujan turun, banyak daerah yang kekeringan sampai susah dapat air bersih.”
Aku terdiam dan kemudian mengiyakan kata-kata Wiwin barusan. Walaupun masih sedikit sebal tapi aku mulai mencoba berpikir positif  seperti Wiwin. Allah itu memang benar-benar Maha Adil kan? Pasti sudah ada sesuatu yang baik menunggu, pikirku.
**
Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian. Tak lama setelah itu hujan pun tak malu-malu lagi untuk menghapus rindu bumi yang lama tak tersentuh. Aku kembali bersyukur dan menikmati sore yang dingin berhias tirai hujan. Sambil menikmati pemandangan indah lewat kaca ruang tamu, aku membuka facebook ku untuk sekedar membagi cerita atau membalas wall dari teman. Sore ini aku saling berbalas wall dengan teman dekatku, April. Dengannya aku berbagi cerita, mulai dari sekedar hal tak penting sampai yang serius. Aku dan dia punya satu kesamaan, yaitu sama-sama punya kisah tentang tentara. Kami sering bercerita mulai dari indahnya diberi senyum, dikirimi pesan, bagaimana menyiksanya rindu, pedihnya tak mengungkap rasa, sakitnya ditinggal pergi, dan segala hal tentang kisah kami dengan mereka. Aku pernah menyimpulkan bahwa obrolan apapun yang terjadi antara aku dan April pasti akan berujung pada hal-hal tentang tentara dan aku menyebutnya ‘menghijau’.

Sore ini ketika aku ‘menghijau’ bareng April di facebook, muncul pesan di akun facebook dan kubuka saja. Aku yang awalnya biasa saja berubah sedikit histeris ketika membaca nama akun yang mengirim pesan tersebut. Hhah?! Ini beneran dia kirim pesan? Aku jadi heboh sendiri membacanya. Aku senang campur kesal. Senang karena dia yang sudah lama, bahkan terlalu lama mengacuhkanku akhirnya menyapaku lagi walau sekedar lewat pesan di jejaring sosial. Kesalku adalah karena dia kembali di saat aku mulai belajar untuk lepas dari bayang-bayangnya.

Aku mengenalnya kurang lebih satu tahun yang lalu lewat jejaring sosial facebook juga. Kami saling kirim pesan, bertukar nomor handphone dan sms-an. Aku cukup senang dengan kehadirannya di hidupku, setidaknya kehadirannya sedikit mampu menjadi obat untuk hatiku yang merasa kehilangan seseorang yang hadir sebelum sebelum dia.
Namun komunikasi kami jadi berubah setelah aku menolak sesuatu yang pernah diutarakannya. Aku sungguh-sungguh menghargai perasaanya dan andai saat itu ia tahu betapa dilemanya aku memutuskan jawabannya. Hingga akhirnya aku lebih memilih untuk berteman saja dengannya. Entah apa yang dipikirkannya, tapi setelah hari  itu dia seperti menghilang ditelan bumi dan tak ada kabar apapun. Kucoba kirim sms ataupun pesan di facebook  tapi tak ada tanggapan.
Setelah itu aku pun merasa kehilangan seorang teman. Aku mencoba mengerti keadaan dan berpikir positif tentangnya. Aku membiarkannya pergi namun tetap membuka ruang untuknya jikalau suatu saat dia kembali. Hingga baru sedikit kusesali beberapa bulan berikutnya, rasa kehilangan itu merubah rasaku padanya. I don’t know why, but it happen! Aku merindukannya dan entah darimana rasa itu muncul awalnya. Sesekali aku iseng mampir menengok akun facebooknya dan masih ada aktifitas, tapi tak sekalipun ia membalas pesanku. Aku berpikir mungkin aku yang harus sadar diri, apa masih mau seseorang berhubungan dengan orang yang sudah menolak perasaannya? atau ini yang sesuatu yang bernama ‘karma’? Entahlah.

Kembali pada cerita ketika aku membaca pesannya sore ini. “Kenapa tho ndo’?” Begitulah isi pesannya yang ia tulis dengan bahasa jawa. Kuketik kalimat membalas pesannya. “Mboten nopo-nopo, mas. Sampean isoh boso jowo tho mas?” dan ku klik post. Walaupun sejujurnya aku sangat senang akhirnya dia menyapaku lebih dulu, tapi aku berkata pada diriku sendiri untuk tak terlalu berharap lebih dia akan membalasnya lagi. Aku belajar menetralkan perasaan di hati dan pikiranku. Kembali kulanjutkan acara menghijau dengan April di facebook dan sesekali mataku bandel melirik ikon messages di layar, tapi belum ada angka satu muncul. Aku semakin menguatkan hatiku untuk berhenti berharap dia akan membalasnya.

Menit demi menit pun berlalu tanpa terasa dan tetap tak ada pesan baru masuk. “Stop to waitin’ for his reply!” kataku pada diriku sendiri. Tapi ternyata pesan yang ditunggu itu muncul juga. Segenap keteguhanku untuk tak mengharapkannya pun runtuh seketika. Akhirnya kami malah saling berkirim pesan, dia juga meminta nomor ponselku lagi dengan alasan ponselnya hilang dan akupun memberikannya.
Setelah mengirimkan nomorku, aku langsung offline dan segera berangkat kuliah. Langsung ku pacu motor ku dengan cepat karena aku sudah terlambat sepertinya. Sekitar duapuluh menit kemudian aku sampai di kampus dan kuparkir motor. Ketika ku lihat handphoneku, bermaksud melihat sudah jam berapa saat aku sampai di kampus, ternyata ada satu missed call dan sms masuk dari nomor baru. “Pasti dia!” tebakku.
Setelah sms terakhir dariku, tak ada lagi sms masuk darinya hingga aku masuk kelas dan akhirnya keluar kelas selesai kuliah. Sepulang dari kuliah, aku menerima ajakan teman untuk makan bersama dengan teman-teman yang lain dalam rangka ulang tahunnya. Setelah menentukan tempat,  kami berangkat dengan menggunakan mobil teman yang lain. Di perjalanan aku iseng sms. Aku hanya ingin memastikan kalau itu benar-benar dia, karena aku merasa agak sedikit aneh saja dia yang dulu berubah menjadi tak peduli dan mengacuhkanku sekian lama tiba-tiba kembali saat aku mulai belajar mengabaikannya.

Aku mencari kamu dalam hujan
Aku bertanya tentang kamu pada hujan
Kutitipkan pesanku  melalui hujan
Berharap kamu kembali saat hujan
Mengajakku menari bersama hujan..


Setelah hari itu, kami pun kembali menjalin komunikasi yang dulu sempat kupikir telah benar-benar berakhir. Walaupun tidak sering tetapi entah mengapa aku merasa cukup senang ketika melihat ada sms masuk darinya. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya hingga mau menyapaku lagi. Apakah benar-benar tulus atau ada yang lain? Entahlah, aku juga tak ingin berprasangka dan biar saja nanti jawaban itu akan datang dengan caranya sendiri.

Inginku kuingkari perasaanku ini
Mengapa harus kuakui ku suka padanya
Mungkin memangnya salahku
Yang tak pernah mengerti cinta tak mengenal arti sebuah keangkuhan
(Sherine - Arti Sebuah Keangkuhan)

Untuk sementara aku bisa menyingkirkan semua perasaan takutku itu. Akupun bersikap lebih hati-hati dalam setiap pembicaraan kami. Entah aku benar atau tidak, tapi kadang aku menangkap maksud lain dari kata-katanya. Maksud seperti satu tahun yang lalu ketika dia mencoba menjadi bagian dari ruang hatiku. Tapi seperti kataku tadi, aku bersikap lebih hati–hati dan tidak mau terburu-buru menyimpulkan sesuatu.
Hujan mencoba menyampaikan sesuatu padaku

            Seperti malam ini ketika dalam obrolan kami terselip kata-kata yang menurutku akan mengarah ke pembicaraan seperti setahun yang lalu tapi semuanya kuanggap hanya sebagai gurauan. Walaupun dia tak mengatakan secara langsung, tapi aku menangkap maksudnya yang menyiratkan bahwa ia masih memiliki perasaan padaku. Tapi aku tetap tenang dan menanggapinya dengan santai dan sebagai bahan bercandaan. Entah apa yang dipikirkannya tentangku, tapi yang jelas aku tak mau begitu saja luluh padanya.  Aku hanya pelu waktu untuk meyakinkan.

Kita hanya berputar-putar tanpa menemukan titik temu kita..
Satu bicara, satu tak peka
Satu memberi, satu mengabaikan
Satu menarik, satu mengulur..


Kini aku mulai mengerti jalan cerita antara aku dan dia. Entah ini benar atau tidak, tapi yang ku tangkap dari sudut pandang dan cara pikirku, kami berdua sebenarnya saling memiliki rasa tetapi tak ada yang berani menyatakan atau istilahnya gengsi. Tapi aku tak akan pernah melakukannya karena bagiku itu adalah harga diri seorang wanita. Walaupun tak bisa kupungkiri setan dalam diriku sangat sering menggoda untuk melupakan soal sesuatu yang bernama harga diri itu. Beruntung aku masih bisa bertahan dan berusaha berjuang melawan diriku sendiri.

Jika kau butuh, katakan butuh..
Jika kau cinta, katakan cinta..
Jika berpisah, pisahlah saja..
Sakit dan perih hanya sementara..
(Dewiq – Katakan yang Sebenarnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar