Penyanyi
di atas panggung café itu adalah alasanku datang kesini. Sepertinya dia
menyadari kehadiranku. Sesekali dia melihat ke arahku yang duduk di kursi di
sudut ruangan. Dia tersenyum, manis sekali. Akupun tersenyum saat mata kami
bertemu. Aku masih ingat bagaimana kami bertemu lima tahun lalu di lorong
sekolah saat masih berseragam abu-abu. Sejak dia membantuku dari keusilan
anak-anak nakal, karena aku masih murid baru pindahan dari luar kota. Kami
beteman dan menjadi dekat. Teman. Bahkan status itu belum juga berubah hingga
lima tahun kemudian, saat ini.
Aku
memang tak pernah punya cukup nyali untuk mengatakan semua rasa yang kupendam
untuknya. Pecundang. Aku hanya terlalu takut kehilangan. Kehilangan dia yang
begitu berarti di hidupku lima tahun ini. Seseorang yang membuatku begitu
menghargai hidup setelah kehilangan seseorang yang sangat penting dalam
hidupku, Ibu. Saat aku nyaris putus asa, dia datang memberikanku kekuatan lewat
senyumannya yang manis itu, membuat aku kembali.
Dia
menghampiriku setelah lagu yang dinyanyikannya berakhir. “Hai,” sapanya sambil
duduk di kursi di depanku. “Hai, “balasku.
Ia
hendak bicara padaku saat tiba-tiba ponselnya bordering. Satu detik kemudian
dia sedang berbicara dengan orang di seberang telepon sana. Sementara aku? Aku
menunggunya. Kupandangi wajahnya cukup lama. Melihat mata coklatnya yang indah.
Andai aku bisa mengatakannya.
Begitu
selesai dengan teleponnya, ia mengalihkan pandangannya padaku. Dia terdiam
sejenak, sepertinya sedang memandangiku sambil tersenyum. Oh damn, dia manis
sekali!
“Kamu manis sekali,” kataku. Ternyata aku bisa
mengatakan kata-kata itu! Dia tertawa.
“Kamu
terlihat beda hari ini. Cantik,“ kataku lagi. Sepertinya aku sudah mulai
bernyali sekarang. Lanjutkan!
“Ini
hari spesial buatku, aku punya surprise buat kamu,“ jawabnya.
“Surprise
apa?” tanyaku penasaran. “Aku juga punya surprise buat kamu,“ kataku tak mau
kalah. Ya, surprise-ku adalah menyatakan perasaanku.
Seorang
laki-laki datang lalu mengecup keningmu. Di depan mataku! Rasanya nyaliku yang
sudah sebesar Himalaya runtuh, hancur seperti debu.
“AYAH??”
kataku dengan suara tercekat.
###
MHoho, si ayah sabanya ke situ juga :|
BalasHapusLatree
hhehee..
BalasHapusayahnya saingannya..