Minggu, 29 Januari 2012

A man in the bus

           Langit sudah mulai gelap ketika aku tiba di halte, menunggu bus kota jurusan Bogor. Kupasang headshet di telingaku dan mulai memutar lagu-lagu yang bisa menemaniku membunuh rasa sepi dan dingin karena harus menunggu bus tanpa teman. Lagu-lagu dari penyanyi pop-rock, Avril Lavigne, sedikit mampu mengusir rasa jenuh. Cukup lama juga aku menunggu kendaraan rakyat yang murah meriah itu, sampai akhirnya yang kutunggu-tunggu bersama orang-orang lainnya datang juga.
           Sore itu bus lumayan ramai dan penuh hingga aku terpaksa harus berdiri sampai ada tempat duduk kosong. Tangan kananku berpegangan pada besi yang ada di atas kepalaku dan tangan kiri mendekap erat tas kerjaku, satu tindakan kewaspadaan terhadap hal-hal kriminal yang kerap terjadi di angkutan umum. Di depanku berdiri seorang pria setengah baya dengan pakaian yang agak lusuh tapi satu yang membuatku ingin keluar dari bus yang sebenarnya sudah overload ini adalah bau badannya yang sangat menusuk hidung. “Ya ampun pengen muntah rasanya, udah ga mandi berapa hari sih ni orang?!” gerutuku dalam hati. Belum lagi kalau supir bus menginjak rem seenaknya sehingga tubuhku terpaksa condong ke depan, bahkan nyaris jatuh, dan aroma tak sedap itu makin membuat perutku mual. Tapi setiap kali itu terjadi, seorang laki-laki muda bertubuh tinggi dan tampan (menurutku) di belakangku dengan sigap memegangi pundakku agar aku tak jatuh. Aku melempar senyum dan berterima kasih padanya.

            Beruntungnya aku tak perlu berlama-lama menikmati aroma yang sangat menusuk hidung ini, seorang wanita turun dan aku dengan sigap langsung menempati tempat duduk dekat jendela, bekas wanita tadi. Setidaknya aku bisa bernafas lega sekarang. Air hujan mulai membasahi kaca jendela di samping kananku. Aku sesekali menengok ke arah laki-laki yang tadi membantuku. “Ganteng!” pujiku dalam hati dan akupun senyum-senyum sendiri tiap kali aku menengok ke arahnya. “Ya Tuhan, semoga orang yang duduk di sebelahku ini cepat turun biar si Mas Ganteng itu duduk di sebelahku,” kataku berdoa dalam hatiku dan aku tertawa kecil tentang doa yang agak konyol barusan. Hei, apa sih yang kupikirkan?!
            Meski aku berusaha sedikit jaga image, tetap saja mataku ini bandel dan sesekali mencuri pandang kearahnya. Tubuhnya yang tinggi, rambut cepak, dan senyumnya yang hangat. Oh God!aku ini kenapa sih?. Aku mencoba untuk menahan diri untuk tak bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Kurogoh kantung tasku mencari benda kotak dan tipis, ipod ku yang tadi sempat kumasukkan kembali kedalam tas sebelum masuk bus. Aku memasang headshet di kedua telingaku dan memainkan lagu-lagu kesukaanku alih-alih memandangi laki-laki itu.

            Aku memandangi suasana hujan lewat jendela yang mulai buram karena mengembun. Udara dingin dan rasa lelah karena kesibukanku di kantor hari ini membuatku mengantuk dan matakupun terpejam perlahan. Aku tertidur dan sudah masuk dunia mimpi yang mana lagi. Entah kenapa aku merasakan suatu keadaan yang sangat nyaman dan tidurku makin pulas. Entah sudah berapa lama aku tidur di bus, aku terbangun ketika seseprang mencoba membangunkanku dengan menepuk pundakku berkali-kali.  Akupun tersadar dari lelapku dan aku baru tersadar kalau kepalaku sedang bersandar di bahu orang lain. Alangkah terkejutnya diriku ketika kedua mataku mendapati seseorang dengan wajah tampan dan senyum nan indah  di sampingku. Ternyata dia adalah orang yang tadi kuharapkan duduk di sampingku. Aku jadi salah tingkah sendiri dan buru-buru minta maaf. “Maaf ya mas udah tidur di bahunya,” kataku dengan polosnya.
            Dia tersenyum dan berkata, “Enggak apa-apa kok mba. Ngomong-ngomong mba mau turun dimana?”
            Mendengar pertanyaannya, aku dengan refleks langsung melihat ke jendela, mencari tahu bus ini sudah sampai mana. Melihat aku yang panik, dia dengan cepat memberitahuku.”Baru sampai pasar Cibinong, mba,” katanya. Aku menghela nafas lega dan menyandarkan tubuhku di kursi karena tempat tujuanku belum terlewati.
“Emang mau turun dimana , mba?” tanyanya.
“Pajajaran. Terima kasih udah dibangunin ya,” jawabku. Dia tersenyum sambil mengangguk. “Oh senyumnya..!!” seruku dalam hati.
Menit berikutnya kami sama-sama terdiam sampai akhirnya dia yang memecah keheningan dia antara  kami. “Baru pulang kerja ya, mba?” tanyanya. Aku yang dari tadi hanya mampu menunduk malu karena tak tahan melihat senyumnya itu, menjawabnya dengan anggukan pelan. “Mas nya juga sama?” kataku balik tanya.
“Iya, saya juga baru pulang kerja.”
“Kerja dimana mas? Jakarta?”
“Iya mba,” jawabnya.

Aku terhanyut dalam obrolan kami sore itu di dalam bus kota yang tua ini. Kami  bertukar cerita banyak hal. Kami seperti teman lama yang telah sekian lama berpisah dan baru dipertemukan saat ini, padahal aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Siapa sih dia sampai bisa membuatku sebahagiai ini? Well, aku menikmati saat-saat ini. Tuhan benar-benar mendengar doaku agar ia bisa duduk disampingku dan bahkan lebih dari itu, aku pun diberi kesempatan untuk berbicara dengannya! 
Aku melihat tatapan matanya yang meneduhkan, senyumnya yang menghangatkan,dan rasanya aku bagai terbang diantara bunga-bunga yang indah dan merekah. Lalu ia meraih tanganku dan mengajakku untuk terbang lebih tinggi.


With a smile and that`s how it all started

And you came right in time
When I needed someone
And we said hello suddenly my heart beating fast

So it`s you I`ve been waiting for so long
So it`s you where were you all along
Very special moments these will always be with me
We are here you and I, we belong
We touched and we felt more beautiful
At two hands reaching out
Filled with so much longing
It felt good inside
There is no denying I’m in love
We are here you and I, we belong

_Christian Bautista – So it’s you_

            Seseorang menepuk pundakku berkali-kali dan aku membuka mataku. Seorang laki-laki yang ternyata adalah kernet bus ada di depanku. “Mba mau turun dimana? Sudah sampai terminal ini,” katanya dengan logat Medan yang kental dan aku bengong mendengar kata-katanya barusan. “Terminal?!” tanyaku setengah berteriak tidak percaya, aku berdiri dan melihat sekeliling dan kosong! Aku menepuk keningku dan kemudian berjalan keluar dari bus dengan lesu.  Kepalaku rasanya pusing sekali, mungkin efek dari terbang dan jatuh begitu cepat. Terbang di alam mimpi karena bisa bersama dengan lelaki ganteng di bus, dan akhirnya harus jatuh dan ketika bangun ternyata sudah jauh dari tujuan dan ada di terminal. “Oh sial banget sih gue hari ini!” rutukku dalam hati. Gerimis masih turun dan aku terus berjalan keluar terminal tanpa payung, seorang diri.
            Mataku mencari-cari angkot yang rutenya ke arah jalan Pajajaran. Ketika aku sedang serius dalam pencarianku, aku merasakan air hujan tak lagi menetes di atas kepalaku padahal hujan belum benar-benar berhenti. Aku menengok ke atas dan sebuah payung besar berwarna pelangi ada diatas kepalaku. Dengan cepat kepalaku menengok ke sekelilingku dan mendapati seseorang yang memayungiku berada di belakangku. “Hai!” kata orang itu.
            Aku menutup kedua mataku dan berharap ketika kubuka kembali, aku sudah tersadar dari mimpi yang makin tak jelas. Tapi semuanya sia-sia karena orang tersebut tetap berdiri di depanku dan aku hanya mampu untuk membisu melihat seseorang yang kini tepat berada di depan mataku, sedekat ini. Rasanya lututku melemas, jantungku seperti ingin lepas dari tempatnya.

Oh God! Makhluk darimana lagi ini?! Malaikat-Mu kah? Ahh, masih saja aku di alam mimpi, cepat bangun Andissa!!

>>>

September Rainy



Mengapa aku harus menghindar kalau ternyata hujan  itu indah?
Karena aku tak pernah menyentuhnya sedalam ini..
Sampai aku menemukanmu kembali melalui hujan..

15.09.11
Sejak siang tadi langit biru kesukaanku terlihat mulai gelap dan teduh. Warnanya pun bertambah pekat menjelang pukul empat sore. Aku yang masih membereskan sisa pekerjaan ku mulai gelisah melihat langit yang makin gelap dan tak lama akan di temani dengan tetesan air yang perlahan mulai membasahi kota Bogor ku tercinta yang rindu akan tetesannya. Aku menghela nafas panjang dan mulai berpikir bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan hujan dan akupun lupa membawa jas hujan di  motor kesayanganku.
Bel berbunyi ketika jam menunjukkan tepat pukul empat. Satu persatu penghuni kantor tempat ku bekerja mulai berlalu. Aku tak punya pilihan lain selain ‘nekat’. Ya, aku segera merapatkan cardigan abu-abuku dan berniat menerobos hujan yang masih malu-malu, menuju tempat parkir motor yang letaknya lumayan jauh di belakang gedung.
Tetes demi tetes air hujan menyentuh kulitku dan aku merasa tetesan itu rasanya menyejukkan, bagaikan tanah kering tandus yang dilanda kemarau panjang sekian lama. Aku menghentikan langkahku sejenak, mencoba menikmati anugerah Allah sore ini. Aku berpikir mengapa aku harus menggerutu tentang datangnya anugerah ini beberapa menit yang lalu yang akhirnya sekarang aku malah menikmati setiap tetes yang membasahi cardigan dan mulai meresap ke dalam menyentuh kulit.
Sembari kembali melanjutkan langkahku aku teringat ucapan teman satu kantor yang menanggapi gerutuanku sebelum hujan turun tadi.
“Ahh, gelap banget langitnya, jangan hujan dong,”gerutuku menanggapi warna langit yang makin pekat.
“Alhamdulillah akhirnya hujan turun dan semoga deras,” ucap Wiwin ketika air mulai turun perlahan.
Aku memasang muka sebal karena hujan mulai turun. Melihat ekspresi wajahku, Wiwin berkata, ”Lu harusnya bersyukur hujan turun, banyak daerah yang kekeringan sampai susah dapat air bersih.”
Aku terdiam dan kemudian mengiyakan kata-kata Wiwin barusan. Walaupun masih sedikit sebal tapi aku mulai mencoba berpikir positif  seperti Wiwin. Allah itu memang benar-benar Maha Adil kan? Pasti sudah ada sesuatu yang baik menunggu, pikirku.
**
Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diri dan berganti pakaian. Tak lama setelah itu hujan pun tak malu-malu lagi untuk menghapus rindu bumi yang lama tak tersentuh. Aku kembali bersyukur dan menikmati sore yang dingin berhias tirai hujan. Sambil menikmati pemandangan indah lewat kaca ruang tamu, aku membuka facebook ku untuk sekedar membagi cerita atau membalas wall dari teman. Sore ini aku saling berbalas wall dengan teman dekatku, April. Dengannya aku berbagi cerita, mulai dari sekedar hal tak penting sampai yang serius. Aku dan dia punya satu kesamaan, yaitu sama-sama punya kisah tentang tentara. Kami sering bercerita mulai dari indahnya diberi senyum, dikirimi pesan, bagaimana menyiksanya rindu, pedihnya tak mengungkap rasa, sakitnya ditinggal pergi, dan segala hal tentang kisah kami dengan mereka. Aku pernah menyimpulkan bahwa obrolan apapun yang terjadi antara aku dan April pasti akan berujung pada hal-hal tentang tentara dan aku menyebutnya ‘menghijau’.

Sore ini ketika aku ‘menghijau’ bareng April di facebook, muncul pesan di akun facebook dan kubuka saja. Aku yang awalnya biasa saja berubah sedikit histeris ketika membaca nama akun yang mengirim pesan tersebut. Hhah?! Ini beneran dia kirim pesan? Aku jadi heboh sendiri membacanya. Aku senang campur kesal. Senang karena dia yang sudah lama, bahkan terlalu lama mengacuhkanku akhirnya menyapaku lagi walau sekedar lewat pesan di jejaring sosial. Kesalku adalah karena dia kembali di saat aku mulai belajar untuk lepas dari bayang-bayangnya.

Aku mengenalnya kurang lebih satu tahun yang lalu lewat jejaring sosial facebook juga. Kami saling kirim pesan, bertukar nomor handphone dan sms-an. Aku cukup senang dengan kehadirannya di hidupku, setidaknya kehadirannya sedikit mampu menjadi obat untuk hatiku yang merasa kehilangan seseorang yang hadir sebelum sebelum dia.
Namun komunikasi kami jadi berubah setelah aku menolak sesuatu yang pernah diutarakannya. Aku sungguh-sungguh menghargai perasaanya dan andai saat itu ia tahu betapa dilemanya aku memutuskan jawabannya. Hingga akhirnya aku lebih memilih untuk berteman saja dengannya. Entah apa yang dipikirkannya, tapi setelah hari  itu dia seperti menghilang ditelan bumi dan tak ada kabar apapun. Kucoba kirim sms ataupun pesan di facebook  tapi tak ada tanggapan.
Setelah itu aku pun merasa kehilangan seorang teman. Aku mencoba mengerti keadaan dan berpikir positif tentangnya. Aku membiarkannya pergi namun tetap membuka ruang untuknya jikalau suatu saat dia kembali. Hingga baru sedikit kusesali beberapa bulan berikutnya, rasa kehilangan itu merubah rasaku padanya. I don’t know why, but it happen! Aku merindukannya dan entah darimana rasa itu muncul awalnya. Sesekali aku iseng mampir menengok akun facebooknya dan masih ada aktifitas, tapi tak sekalipun ia membalas pesanku. Aku berpikir mungkin aku yang harus sadar diri, apa masih mau seseorang berhubungan dengan orang yang sudah menolak perasaannya? atau ini yang sesuatu yang bernama ‘karma’? Entahlah.

Kembali pada cerita ketika aku membaca pesannya sore ini. “Kenapa tho ndo’?” Begitulah isi pesannya yang ia tulis dengan bahasa jawa. Kuketik kalimat membalas pesannya. “Mboten nopo-nopo, mas. Sampean isoh boso jowo tho mas?” dan ku klik post. Walaupun sejujurnya aku sangat senang akhirnya dia menyapaku lebih dulu, tapi aku berkata pada diriku sendiri untuk tak terlalu berharap lebih dia akan membalasnya lagi. Aku belajar menetralkan perasaan di hati dan pikiranku. Kembali kulanjutkan acara menghijau dengan April di facebook dan sesekali mataku bandel melirik ikon messages di layar, tapi belum ada angka satu muncul. Aku semakin menguatkan hatiku untuk berhenti berharap dia akan membalasnya.

Menit demi menit pun berlalu tanpa terasa dan tetap tak ada pesan baru masuk. “Stop to waitin’ for his reply!” kataku pada diriku sendiri. Tapi ternyata pesan yang ditunggu itu muncul juga. Segenap keteguhanku untuk tak mengharapkannya pun runtuh seketika. Akhirnya kami malah saling berkirim pesan, dia juga meminta nomor ponselku lagi dengan alasan ponselnya hilang dan akupun memberikannya.
Setelah mengirimkan nomorku, aku langsung offline dan segera berangkat kuliah. Langsung ku pacu motor ku dengan cepat karena aku sudah terlambat sepertinya. Sekitar duapuluh menit kemudian aku sampai di kampus dan kuparkir motor. Ketika ku lihat handphoneku, bermaksud melihat sudah jam berapa saat aku sampai di kampus, ternyata ada satu missed call dan sms masuk dari nomor baru. “Pasti dia!” tebakku.
Setelah sms terakhir dariku, tak ada lagi sms masuk darinya hingga aku masuk kelas dan akhirnya keluar kelas selesai kuliah. Sepulang dari kuliah, aku menerima ajakan teman untuk makan bersama dengan teman-teman yang lain dalam rangka ulang tahunnya. Setelah menentukan tempat,  kami berangkat dengan menggunakan mobil teman yang lain. Di perjalanan aku iseng sms. Aku hanya ingin memastikan kalau itu benar-benar dia, karena aku merasa agak sedikit aneh saja dia yang dulu berubah menjadi tak peduli dan mengacuhkanku sekian lama tiba-tiba kembali saat aku mulai belajar mengabaikannya.

Aku mencari kamu dalam hujan
Aku bertanya tentang kamu pada hujan
Kutitipkan pesanku  melalui hujan
Berharap kamu kembali saat hujan
Mengajakku menari bersama hujan..


Setelah hari itu, kami pun kembali menjalin komunikasi yang dulu sempat kupikir telah benar-benar berakhir. Walaupun tidak sering tetapi entah mengapa aku merasa cukup senang ketika melihat ada sms masuk darinya. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya hingga mau menyapaku lagi. Apakah benar-benar tulus atau ada yang lain? Entahlah, aku juga tak ingin berprasangka dan biar saja nanti jawaban itu akan datang dengan caranya sendiri.

Inginku kuingkari perasaanku ini
Mengapa harus kuakui ku suka padanya
Mungkin memangnya salahku
Yang tak pernah mengerti cinta tak mengenal arti sebuah keangkuhan
(Sherine - Arti Sebuah Keangkuhan)

Untuk sementara aku bisa menyingkirkan semua perasaan takutku itu. Akupun bersikap lebih hati-hati dalam setiap pembicaraan kami. Entah aku benar atau tidak, tapi kadang aku menangkap maksud lain dari kata-katanya. Maksud seperti satu tahun yang lalu ketika dia mencoba menjadi bagian dari ruang hatiku. Tapi seperti kataku tadi, aku bersikap lebih hati–hati dan tidak mau terburu-buru menyimpulkan sesuatu.
Hujan mencoba menyampaikan sesuatu padaku

            Seperti malam ini ketika dalam obrolan kami terselip kata-kata yang menurutku akan mengarah ke pembicaraan seperti setahun yang lalu tapi semuanya kuanggap hanya sebagai gurauan. Walaupun dia tak mengatakan secara langsung, tapi aku menangkap maksudnya yang menyiratkan bahwa ia masih memiliki perasaan padaku. Tapi aku tetap tenang dan menanggapinya dengan santai dan sebagai bahan bercandaan. Entah apa yang dipikirkannya tentangku, tapi yang jelas aku tak mau begitu saja luluh padanya.  Aku hanya pelu waktu untuk meyakinkan.

Kita hanya berputar-putar tanpa menemukan titik temu kita..
Satu bicara, satu tak peka
Satu memberi, satu mengabaikan
Satu menarik, satu mengulur..


Kini aku mulai mengerti jalan cerita antara aku dan dia. Entah ini benar atau tidak, tapi yang ku tangkap dari sudut pandang dan cara pikirku, kami berdua sebenarnya saling memiliki rasa tetapi tak ada yang berani menyatakan atau istilahnya gengsi. Tapi aku tak akan pernah melakukannya karena bagiku itu adalah harga diri seorang wanita. Walaupun tak bisa kupungkiri setan dalam diriku sangat sering menggoda untuk melupakan soal sesuatu yang bernama harga diri itu. Beruntung aku masih bisa bertahan dan berusaha berjuang melawan diriku sendiri.

Jika kau butuh, katakan butuh..
Jika kau cinta, katakan cinta..
Jika berpisah, pisahlah saja..
Sakit dan perih hanya sementara..
(Dewiq – Katakan yang Sebenarnya)

Sabtu, 28 Januari 2012

Soto Koya - FF

                Hujan terlalu deras di luar sana. Kamu mendengus kesal dan mengeluh tentang hujan yang menurutmu sudah mengacaukan rencanamu. Hari ini kamu akan pergi nonton film di bioskop dan makan malam dengan teman dekatmu. Teman dekat yang kamupun menyimpan perasaan yang lebih padanya. Aku juga melihatmu sibuk sekali menyiapkan diri sejak kemarin malam hanya untuk hari ini bersamanya. Menyeretku dengan paksa untuk mengantarmu beli baju baru, wedges pertamamu, dan aksesoris lain yang ‘perempuan banget’.
                Kamu masih dengan wajah kesalmu yang menurutku lucu. Aku senyum-senyum sendiri melihatmu seperti itu. Lalu kamu menyadarinya. “Ih malah senyum-senyum. Seneng ya kalo acara gue gagal?!” katanya makin kesal. Aku tak menjawab dan mengalihkan pandanganku ke hujan di luar sana yang makin deras.
                “Ahhhh, cepetan reda dong hujannya!”
                “Udahlah, berarti Tuhan tuh ga ngijinin elu buat ketemu dia hari ini,” kataku kalem.
                Dia melempar tas kecilnya ke arahku dan sukses mengenai dadaku. “Huh bukannya ngasih solusi malah bikin tambah kesel aja lu!”
                “Terserah deh. Gue laper mau makan!” kataku sambil meninggalkannya menuju dapur rumahku.

                Setelah aku di dapur entah apa yang dilakukannya di ruang tamuku, yang samar-samar kudengar ia menelepon teman dekatnya itu. Aku sedikit mendengar ia minta maaf dan sangat menyesal. Pembicaraan selanjutnya aku tak tertarik untuk mendengarnya dan aku menyibukkan diri, mencari sesuatu yang bisa mengganjal perut sambil menunggu Mama kembali dari acaranya.
                Cukup lama aku di dapur dan kembali ke ruang tamu dengan dua mangkuk soto koya buatan Mama tadi. Gista masih di duduk di tempat yang sama seperti saat aku meninggalkannya tadi, tapi dengan penampilan yang sudah tak rapi lagi.
                “Masih kesel?” tanyaku. Dia tetap saja memandangku sebal. Aku meletakkan mangkuk itu di meja dan matanya melirik dengan minat.
                “Makan dulu nih, lumayan daripada lumanyun,” kataku sambil memberikan satu mangkuk padanya. Dia mencium wanginya dan tersenyum. “Hmm.. soto koya, thanks Gio.”
Aku sangat bersyukur Tuhan menurunkan hujan sore ini. Membuatmu terjebak di rumahku dan tak bisa pergi makan malam dengan menu yang tak jauh-jauh dari steak sambil diiringi home band.  Sebagai gantinya  kamu menikmati makan malam dengan soto koya diiringi alunan orchestra alam bersamaku, temanmu yang menyimpan perasaan khusus padamu sekian lama.


Bogor, when rain

Kamis, 26 Januari 2012

testimoni #15HariNgeblogFF


#15HariNgeblogFF itu seru dan sangat menyenangkan sekali. Sukses bikin saya bisa nulis dengan judul yang udah ditentuin  + deadline.. Saya ini orangnya ga bisa dipaksa bikin tulisan yang udah dijudulin duluan (TADINYA!!) dan saya ini moody sekali buat nulis.. dan itu semua ga berlaku di #15HariNgeblogFF.. 

#15HariNgeblogFF ini bikin saya bisa nulis tanpa beban, ga mikirin gimana kata orang nanti, dan saya suka itu.. dan ternyata tulisan saya ga seburuk yang saya takutkan ya.. :D 

#15HariNgeblog juga bikin saya ga stress karena kerjaan yang buanyaak  plus UAS yang njelimet!! hahahhaaa.. Serasa ga punya beban aja gituh..

Seru bnaget nungguin judulnya diumumin tiap malem, nulis dan posting walopun  bolong tiga garagara sinyal yang menyebalkan ga ketulungan!! maklum rumah di pelosok.. :D

Apa lagii yahh?? 

Ahh kayaknya tadi banyak banget deh yang mau dikeluarin testimony buat #15HariNgeblogFF nya.. ini kenapa jadi speechless yah?? 

Pokoknya salut deh buat masmin dan yumin yang punya ide KEREN pake banget ini. . HHehehhee..
Kalian KEREN pake bangeett…!!

sayang masmo dan mba unge..

*hugs

Menikahlah Denganku - #FF15 (2)


Jam di kamarku sudah menunjukkan jam delapan malam. Aku menyisihkan diktat-diktat kuliahku dan menyalakan radio dari handphoneku. Malam ini adalah jadwal acara radio kesukaanku, atau lebih tepatnya penyiarnya adalah penyiar favoritku. Aku hampir tak pernah absen mendengarkannya siaran. Namanya  Hendry, penyiar  yang juga berstatus sebagai kekasihku.  
Suaranya mulai terdengar membuka acaranya malam ini. Dia dan temannya, Aldo, menyapa para pendengarnya dan memberikan sedikit info-info. Lalu diselingi lagu yang merupakan request dari pendengar. Aku tak ikut-ikutan mengirim request karena Hendry yang menginginkannya. Dia sedikit pemalu. Tapi sifatnya itu seperti tak berlaku jika ia sudah siaran. Beda sekali. Tapi aku mengerti, mungkin ia tak ingin aku mengganggu konsentrasinya dan tak mau jadi bahan ejekan teman-temannya. Ahh kadang dia itu lucu dan manja sekali.
Acara dilanjutkan kembali, dan Hendry berkata, “Selamat malam buat pendengar yang baru bergabung dan selamat malam buat Viana yang sedang sibuk dengan tumpukan diktat kuliahnya.”
Ahh, tumben sekali dia menyelipkan namaku dalam siarannya.
“Malam ini akan ada bintang tamu khusus yang bakal perform, tunggu ya habis satu lagu dari Bruno Mars dengan Just The Way You are, enjoy it,” kata Aldo.
Aku yang penasaran langsung mengirim pesan sngkat padanya.  Siapa sih bintang tamunya?
Tak lama kemudian balasannya masuk. Tungguin aja, pasti suka!
Pelit ih, awas ya kalo ternyata itu penyanyi favoritku!
Lalu tak ada balasan lagi sampai Just the way you are dari Bruno Mars pun berakhir. Lalu Aldo berkata,” Oke, sekarang kita sambut bintang tamu special kita, Hendry Dirgantara.”
Aku yang sedang meneguk susu coklat hangatku pun tersedak mendengarnya. Aku tak salah dengar kan? Barusan Aldo menyebut nama Hendry? Aku mengencangkan volume suara. Hening beberapa saat dan terdengar petikan gitar. Hendry pun bernyanyi.

Berjuta rasa rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kata
Dengan beribu cara-cara kau selalu membuat ku bahagia
Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan
Yang benar-benar kuinginkan hanyalah kau untuk selalu di sini ada untukku
Maukah kau tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata

Ijinkan aku memilikimu, mengasihimu, menjagamu, menyayangimu,
memberi cinta
memberi semua yang engkau inginkan
selama aku mampu aku akan berusaha
mewujudkan semua impian dan harapan
tuk menjadi kenyataan

Maukah kau tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata

Jadilah yang terakhir
Tuk jadi yang pertama
Tuk jadi selamanya...

Seiring dengan berakhirnya lagu itu, ponselku berdering. Dari radio. Aku langsung mengangkatnya. Di akhir lagunya Hendry berkata, “Viana Maheswari, maukah kau menjadi pilihanku?.”
Aku menangis terharu. Suara-suara di seberang sana menyerukan agar aku menerimanya.
“Viana menikahlah denganku, “ kata Hendry lagi.
                “Ya aku mau,” jawabku yakin.  



Sah! - #FF15 (1)


                Cantik sekali wajah di seberang sana. Aku tak henti-hentinya menyadarkan diri bahwa akulah pemilik wajah di seberang itu. Sebenarnya aku sudah benar-benar menunggu saat ini cukup lama. Saat aku menggunakan kebaya warna putih gading dan kain batik yang cantik ini. Aku menitikkan sedikit air mata dan buru-buru menghapusnya takut riasan sahabatku yang seorang perias professional itu rusak begitu saja. Aku meyakinkan diri bahwa aku bisa melalui hari ini. Ya, aku bisa.
Lalu aku berjalan menuju ruangan yang sudah disiapkan untuk acara akad dilangsungkan. Dekorasi yang indah dan cantik. Bunga-bunga lily putih terlihat di beberapa tempat. Menambah kesan manis dengan dekorasi wana putih dan hijau muda yang lembut. Persis seperti yang kubayangkan. Aku ingin menjatuhkan lagi air mata ini rasanya. Sepertinya kelopak mataku sudah tak sanggup untuk tidak membiarkannya jatuh. Aku menghapusnya dengan selembar tisu di tanganku.
Aku duduk di tempat yang sudah disiapkan. Aku memanadangi laki-laki yang duduk di depan penghulu yang akan menikahkannya. Aku menarik sudut bibirku membuat satu senyuman menyambutnya.Ia pun membalasnya. Ahh, sebentar lagi waktunya tiba. Pria paruh baya berpeci itu kemudian mengucapkan ijab dan laki-laki di depannya menjawabnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Alisha Syamira Putri binti Muhammad Akbar dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan uang senilai sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah tunai,” ucapnya dengan suaranya yang tegas dan lancar. Lalu para saksi berkata sah!
Sah! satu kata sederhana dan singkat itu membuat keteguhan hatiku runtuh bak dibombardir atom. Menjadikannya hancur merupa debu. Aku rapuh tak ada yang menopang. Aku tak mampu lagi untuk menahan air mata ini. Kubiarkan saja mereka mengalir. Sah, artinya kini ikatan suami istri telah resmi disandang. Ya statusnya telah berubah mulai kini. Aku menangis. “Kamu kenapa?” Tanya Dini sahabatku. “Terharu,”jawabku singkat.
Sungguh aku menangis bukan karena terharu menyaksikan serangkaian acara yang khidmat tadi. Aku menangis karena aku terlalu sakit melihatnya. Semua konsep pernikahan ini adalah impianku sejak lama. Semua! Termasuk pengantin pria yang disana. Harusnya aku yang duduk disampingnya, menjadi pengantin wanitanya. Harusnya namaku yang disebutnya. Kenapa harus aku yang mengalah. Bukankah seorang kakak yang semestinya mengalah untuk adiknya? Mengapa harus aku?


Rabu, 25 Januari 2012

Ini bukan judul terakhir #FF14

Aku menatap cermin di depanku. Memandangi wajah di seberang sana dengan sedih. Begitu banyak kata yang kuciptakan untukmu, tapi tak satupun yang mampu kusampaikan. Aku lalu menepis kertas-kertas putih yang ada di meja. Rasanya semua percuma saja. Aku mulai lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin kamu mendengar satu saja. Tak bisakah?
                Mungkin aku yang seharusnya sadar diri, kamu tak mungkin tahu tempatku jadi mana mungkin kamu bisa datang dan mendengarku. Mendengarkan suaraku yang sudah mampu menyenangkan banyak orang. Seorang perempuan berambut pendek masuk ke ruangan, memberitahuku kalalu sudah waktunya aku untuk tampil. Aku menarik nafas sejenak, mencoba meninggalkan tentangmu yang sedari tadi berkelebat hebat di pikiranku.
                Aku meraih mikrofon di meja kecil itu. Aku mencoba menyapa semua orang yang ada di depanku dengan ramah meski sebenarnya hatiku sedang buruk. Akupun mulai menyanyikan lagu itu. Lagu yang sengaja kuciptakan untukmu. Pikiranku melayang dan merasa kalau semestinya aku mulai berhenti menuliskannya untukmu. Meski kadang aku merasa lelah, tapi sesekali aku seringakali berharap kalau ini bukanlah judul terakhir yang bisa kuciptakan.
                Sudut mataku menangkap satu sosok yang ada di sudut ruangan sana. Itu kamu. Aku melihat wajahmu dari jarak yang cukup dekat. Aku melihatmu begitu memperhatikanku. Andai kamu tahu lagu ini untukmu. Ingin rasanya aku menghampirimu dan menyapamu, sekali saja. Aku sudah terlalu lelah menyimpan kerinduan ini sejak lima tahun lalu.

                Kamu menghampiriku di belakang panggung. “Hei, “ sapamu. Aku hanya tersenyum.
                “Namaku Arbi,” katamu lagi. Ya aku sudah tahu namamu lima tahun lalu.
                “Ada apa ya?” tanyaku mencoba lebih datar.
                “Tadi aku mendengarkan suaramu, bagus sekali dan apakah itu lagu ciptaan sendiri,” Tanya Arbi.
                “Ya, itu ciptaanku untuk seseorang, Ada masalah?”
              “Aku tertarik dengan lagumu. Aku ingin mengajakmu bekerja sama, dan ini kartu namaku,” katamu sambil menyodorkan kartu namamu. “Aku tertarik untuk membeli lagumu.”
                Aku hanya diam memandangi kartu nama yang ada di tanganku. Arbiandra, SE. , general manager dari salah satu perusahan rekaman.
                “Apakah itu artinya aku masih harus menciptakan lagu lagi?” tanyaku.
                “Aku harap begitu.”
                Tentu saja ini bukanlah judul terakhir dan aku harus memulai judul baru tentangmu karena masih akan banyak judul lagi yang akan tercipta. 




 

Selasa, 24 Januari 2012

Kalau odol jatuh cinta - #FF13


Kalau odol jatuh cinta? Aku sendiripun bingung bagaimana membayangkannya. Lalu pada siapa odol akan menambatkan hatinya. Memang sih tak ada yang salah jika odol jatuh cinta pada siapa dan bagaimana ia bisa jatuh cinta. Tapi aku sedikit berpikir alangkah beruntungnya dia yang mendapatkan cinta odol. Menurutku sih begitu, bagaimana tidak beruntung, odol siap memberikan perlindungan pada kekasihnya selama dua puluh empat jam! Bahkan ia pun bisa mengerti jika ternyata kekasihnya itu sensitif.
Semua pun dibuat kebingungan dengan kejadian akhir-akhir ini. Namanya Orizeta Diani Okto Lukmansyah atau aku lebih suka memanggilnya ODOL, singakatan dari namanya yang sampe empat gerbong itu. Pagi-pagi buta sudah terdengar suara berisik di dapur. Aku yang masih memakai piyama kuningku mencoba melihat apa yang terjadi. “jangan-jangan maling!” seruku panik.
Ternyata si odol yang lagi sibuk masak. “Lu ngapain pagi-pagi buta gini udah nongkrong di dapur?” tanyaku heran. “Tumben banget lu bisa bangun pagi.
“Emangnya elu, perawan jam segini belum mandi,” balas Odol mengejekku dan aku lagsung menoyor kepalanya.


Hari-hari selanjutnya pun berlalu tak biasa. Odol itu anak bontot, manjanya minta ampun. Akupun iseng-iseng membicarakan ini dengan Mami. “Mi, si Odol berubah yah?” tanyaku.
Mami menurunkan bukunya dan ganti memandangku serius. “Iya Mor, jadi lebih cewek ya sekarang, jangan-jangan…” Mami menggantung kalimatnya.
“Odol jatuh cinta!” pekikku dan Mami hampir bersamaan.
“Pantes sekarang dia jadi rajin mandi dua kali sehari, biasanya kan sehari sekali malah ga mandi kali tuh kalo libur,” kataku sambil tertawa.
“SEkarang dia juga rajin bangun pagi, masak, rapiin kamar, pokoknya rajin banget, Mor,” tambah Mami. Aku mengiyakan.
“Tapi merugikan aku, Mi,” sanggahku. Mami mengernyitkan keningnya bingung. “Kok ngerugiin kamu?”
“Gimana ga rugi, tiap hari parfum, bedak, lotion, banyak deh,” kataku.
“Biarlah, berarti anak mami tuh emang cewek bener, ga ada lagi deh Odol yang pake jeans robek, kaus belel, sepatu dekil, rambut acak-acakan lagi.”
“Tetep aja Mi,”
“kenapa lagi?”
“Aku kan belum punya pacar Mi,” kataku sedih.

Tiba-tiba Odol muncul dan duduk di sampingku. “Tenang ya Chimory, kakakku tersayang, Odol Cuma lagi jatuh cinta bukan mau nikah dalam waktu dekat tau,” katanya dengan wajah lucunya.
“bener ya, awas kalo ngelangkahin gue.”
“Makanya jadi perempuan seutuhnya dong, rajin masak rajin bangun pagi, daaannn…” katanya menggantung kalimatnya sambil bangun dari sisiku.
“Apa?” tanyaku.
“Jangan suka kentut sembarangan..” teriaknya sambil berlari.
“ODOOOOOLLLL…”

Kalau Odol jatuh cinta? Biarkan saja!
Toh semua berhak jatuh cinta pada siapapun juga.

Senin, 23 Januari 2012

Merindukanmu itu seru! #FF12


Merindukanmu itu seru. Aku bisa jadi apa saja yang tak pernah kubayangkan. Aku bisa jadi pelukis yang bisa menggambarkan bagaimana rupa wajahmu. Menjadi pujangga yang pandai merangkai kata-kata indah tentang kita. Atau menjadi penulis yang bisa menceritakan tentang rinduku hingga menyimpannya dalam satu folder khusus di laptopku.
Merindukanmu itu sakit. Menahan perih karena tak kunjung bersua denganmu. Merindukanmu itu pahit. Terkadang saat bertemu denganmu tak selalu manis seperti yang kubayangkan. Hingga kadang aku berharap rindu itu tak pernah ada. Aku hanya ingin rindu itu yang mencariku, merindukanku.
Merindukanmu itu seperti menikmati secangkir kopi. Pahit tapi tak pernah membuatku menggantinya dengan yang lain. Kamu seperti candu. Kadang membuatku sakit tapi tak jua membuatku berhenti merindumu.
Aku melangkahkan kedua kakiku dengan penuh rasa percaya diri. Rasa bahagia yang melambung tinggi membuat rasa rinduku padamu makin bergejolak hebat. Hari ini kita akan bertemu di senja yang cerah,.Persis seperti dugaanku, kamu memilih coffee shop sebagai tempat dimana aku bisa melebur rinduku. Aku memilih duduk di tempat favoritku, di sudut ruangan dekat kaca. Aku membuka laptopku, mengetik beberapa baris tentang kamu. Seakan tak pernah habis kata-kata tentangmu.
Aku begitu asyik dengan laptopku sampai tak menyadari kehadiranmu. Kamu datang lalu mencium kening dan mengatakan maaf karena terlambat datang. Lalu kamu bicara, entah tentang apa. Maaf aku tak memperhatikan ceritamu karena kedua mataku terlalu terpaut pada kedua matamu. Memandangimu pun terasa sudah mampu melebur rinduku.
Lalu kamu diam cukup lama. Aku menunggu. Sebuah kotak kecil kamu sodorkan sembari berkata, “Menikahlah denganku.”
Diam. Aku tak mampu berkata-kata. Kemana kata-kata yang biasanya mengalir deras tentangmu. Mereka menghilang dariku. Meninggalkanku dan membiarkan aku mencari-cari sendiri kepingan kata yang terserak entah dimana. Kamu menunggu jawabannya dengan wajah was-was. Sementara aku masih terlalu sibuk mempertahankan diriku untuk tetap sadar. Dan wajahmu yang tampan itu berbinar campur haru lalu menyematkan cincin cantik itu. Aku menangis tanpa kusadari. Lalu kamu mencium keningnya. Ya, keningnya bukan keningku.

Merindukanmu itu sakit. Merindukanmu itu pahit. Tapi merindukanmu itu seru meski kau tak pernah jadi milikku. Meski kamu tak mengenalku dan merasakan rinduku.
Merindukanmu itu seru!




(special to Serda Hendri, whereever you are)