Rabu, 07 Agustus 2013

Not Too Late #TheParagraph

weheartit.com


Perempuan berambut hitam dengan panjang sebahu duduk di salah satu kursi di sudut perpustakaan universitas, tengah hanyut dalam bacaannya sore itu. Cahaya matahari yang kemerahan menerpa wajahnya lewat jendela yang membuat wajahnya seolah bersinar. Kuabaikan buku yang tadi kuambil dari rak dengan label hukum. Alih-alih membacanya, mataku sibuk mengawasinya seolah takut keindahan senja akan segera berlalu tanpa kuketahui. Ia melihat jam di pergelangan tangannya dan kemudian menutup buku tebalnya. Dibawanya tas dan buku-bukunya kemudian beranjak pergi. Hatiku mencelos. Haruskah aku mengikutinya? Tidak. Aku tak mau ia mengiraku lelaki aneh atau penguntit, atau bahkan  psikopat. Ah, tapi aku tak mau kehilangan kesempatan! Tubuhku baru saja beranjak dan hendak menuju ke arahnya, tapi akhirnya terduduk kembali ketika kulihat seorang lelaki merangkulnya dengan akrab. Aku terlambat.


Kulangkahkan kakiku tak bersemangat menuju petugas perpustakaan untuk mengurus peminjaman buku untuk materi kuliahku. Petugas perpustakaan kemudian menyodorkan selembar kertas padaku setelah selesai dengan peminjaman bukunya. “Apa ini?” tanyaku tak mengerti.
“Aku tak tahu dan lebih baik kau baca saja,” jawabnya sambil kemlbali melanjutkan pekerjaannya.
Kubuka kertas itu sambil berjalan meninggalkan perpustakaan. Goresan tangan yang cantik, pujiku begitu melihatnya. Bibirku membuat sebuah senyum yang tak kusadari ketika membaca tiap kalimat yang tertulis di kertas itu.
Kau harus bergerak lebih cepat. Jangan terlalu banyak membuang waktu atau kau akan kehilangan itu untuk selamanya.
Kalau kau ada waktu, kita bisa membahas tentang apapun di perpustakaan, besok siang pukul dua belas. Ingat, jangan membuang waktumu.
_Sara_

**
Aku memandang jam tanganku dengan gelisah. Dosenku masih belum selesai memberikan kuliahnya. Ini hampir jam setengah satu siang dan aku sudah terlambat untuk bertemu dengan Sara. Aku sudah bersiap-siap untuk lari ketika akhirnya dosen di depan sana berkata kalau kuliah sudah selesai. Tak kupedulikan orang-orang melihatku dengan tatapan aneh ataupun sebal karena aku lari sepanjang lorong agar bisa lebih cepat ke perpustakaan.
Hatiku merasa lega melihat ia masih duduk disana, di kursi yang sama ketika aku melihatnya kemarin sore. Nafasku masih terengah-engah ketika sampai di kursinya. “Kamu terlambat,” ucapnya datar dengan mata yang tetepa tertuju pada buku tebal di mejanya.
“Aku minta maaf... kuliah baru selesai... dan aku...,” aku berusaha menjelaskan keadaan dengan nafas yang masih belum normal.
“It’s okay,” ujarnya memotong kalimatku. Ia melihatku ke arahku, tanpa ekspresi. Hatiku tergelitik. Ia semakin menarik bagiku meski tanpa ekspresi seperti itu.
“Aku Bara,” kataku sambil mengulurkan tanganku.
I know. Barata Yudha Wiratama, fakultas hukum semester tujuh, right?”  Hei, dia bahkan sudah tahu tentangku. Apakah ia yang sebenarnya mengamatiku?! What a surpise.
“Hampir satu kampus juga tahu itu,” katanya seakan tahu kalau aku akan menanyakan darimana ia tahu tentangku.
**
“Kamu terlambat, seperti biasa.” Sara kemudian menyesap secangkir cafe latte-nya. Kusodorkan seikat bunga mawar putih padanya. “Sorry, urusan dengan klien baru selesai,” kataku memberikan alasan keterlambatanku. Ia menerima bunga pemberianku dengan senyum yang singkat, sangat singkat
Terkadang aku merasa Sara terlalu kaku dengan kebiasaan on time itu. Bukankah pasti ada hal-hal yang tak bisa diprediksi dengan tepat. Aku sudah menjalin hubungan dengannya selama hampir dua tahun dan aku tahu ia tak pernah terlambat meskipun hanya satu menit. Meski ia kaku soal waktu, tapi aku tak pernah lelah menghadapinya dan ia pun tak jua lelah menghadapiku yang sering terlambat. Sara terlalu indah bagiku.
“Aku tidak suka membuat orang lain menunggu,” katanya sambil meletakkan cangkirnya.
“Aku tahu itu, Sara. Kau mengucapkannya tiap kali aku membuatmu menunggumu,” kataku santai.
Ia memandangku dengan serius. Aku sudah terbiasa dengan sorot matanya yang tajam dan serius, tapi aku merasakan kalau pandangan matanya kali ini menandakan ada sesuatu yang lebih serius lagi. Diam diantara kami cukup lama, hingga ia membuka suara. “Aku tidak mau membuatmu menunggu.”
Aku terkekeh. “Kau tidak pernah membuatku menunggu, malah sebaliknya aku yang sering membuatmu menunggu,” ucapku sambil meraih tangannya. “Maaf karena terlalu sering membuatmu menunggu, Sara.”
“Kita akhiri saja,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku.
“Apa maksudmu?”
“Kita akhiri hubungan ini, apa itu tidak cukup jelas?”
“Sara...,” panggilku. “Aku selalu berusaha untuk tidak terlambat, tapi terkadang ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan dan aku tak bisa menghindarinya. Tolonglah mengerti.”
“Aku sudah berusaha untuk mengerti, tapi sepertinya aku yang terlambat menyadari kalau seharusnya kita sudah berakhir sejak dulu.”
“Aku mohon, Sara... aku akan berusaha lebih baik lagi untukmu, tak lagi terlambat untukmu, kumohon...”
Sara memandang ke luar jendela cafe. “Aku akan pergi, dan aku tidak ingin kau menungguku sampai kembali,” ucapnya.
“Kau mau pergi kemana? Kenapa aku tak boleh menunggumu?” Pertanyaan-pertanyaan itu langsung meluncur begitu ia menyelesaikan kalimatnya.
“Karena aku tidak suka membuat orang lain menunggu,” jawabnya singkat kemudian beranjak dari kursinya dan melangkah pergi meninggalkanku.
**
Paris di musim gugur.
“Kamu masih saja terlambat, Bara.”
Aku melihat arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Lima menit,” belaku. Ia tersenyum. Akhirnya aku bisa melihat senyumnya lagi setelah hampir lima tahun kami tak bertemu, bahkan bertukar sapa lewat sambungan telepon ataupun internet pun tidak sama sekali. Kami benar-benar hilang komunikasi. Hingga akhirnya aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu sudut kota Paris. Kami akhirnya setuju untuk membuat janji bertemu siang ini, dengan sedikit kupaksa tentunya.
“Arloji itu masih terlihat baik di tanganmu,” ujar Sara melirik arlojiku.
“Bukankah kamu yang bilang kalau aku akan membutuhkannya untuk mengingatkanku?” kataku.
Sara tersenyum lagi. Apakah Paris begitu hebat selama lima tahun ini, hingga mampu membuat Sara yang datar pelit ekspresi menjadi Sara yang lebih sering tersenyum? Atau ia sudah menemukan seseorang yang lebih baik dariku, yang lebih tepat waktu mungkin?
“Kamu benar. Aku memang selalu membutuhkannya untuk mengingatkanku,” kataku lagi. “Mengingatkanku pada seseorang yang menghadiahiku arloji ini.”
Kami sama-sama terbalut dalam diam masing-masing. “Aku minta maaf,” ucapku. Sara diam, menunggu kalimatku selanjutnya.
“Maaf karena aku membiarkanmu pergi dan tak mengejarmu lima tahun lalu.”
Sara tertawa kecil. “Aku tahu kamu selalu terlambat, Bara,” jawab Sara. “Lima tahun lalu aku berharap kamu akan segera mengejarku atau mencegahku pergi, bahkan berusaha lebih untuk meminta penjelasanku pun tidak. Kamu bukan hanya terlambat soal waktu, tapi juga terlambat menyadari keadaan.”
“Apa aku sudah benar-benar terlambat, Sara?” tanyaku hati-hati. Aku yakin ia pasti mengerti maksud pertanyaanku barusan. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia meraih cangkir putih di meja dan menyesap cafe latte favoritnya.
“Sara, aku... aku... lupakan saja,” kataku tak jadi melanjutkan kalimatku. Mungkin ini terlalu terburu-buru untuk kembali menyatakan perasaanku padanya. Melihatnya kembali dengan senyumnya setelah lima tahun berpisah saja sudah cukup membuatku bahagia dan memintanya kembali akan membuatku merasa tak tahu malu.
Seorang pria tinggi dengan rambut pirang menghampiri meja kami. Sara menyambutnya dengan hangat, memberikan ciuman di pipinya. Ia kemudian mengenalkanku pada pria itu.
“Bara,” ucapku sambil mengulurkan tangan pada lelaki asing di depanku.
“Aidan. Aidan Smith,” balasnya.
“He’s my husband,” ujar Sara. Aku melihat Aidan menatap Sara untuk beberapa saat yang dibalas dengan senyuman dari bibir Sara.
Hatiku mencelos. Aku benar-benar terlambat.
**
Kulihat arloji hitam pemberian Sara yang masih setia mengingatkanku. Masih ada waktu untuk mencari bunga favoritnya. Tak ingin membuang waktu lagi, segera ku kemudikan mobilku menuju toko bunga yang kuketahui dari pemilik toko bunga yang tadi kukunjungi. Beruntung masih ada bunga yang kucari. Aku pun langsung melanjutkan perjalananku menuju menara paling terkenal di kota Paris, Eiffel.
Aku menghela nafas lega ketika tahu bahwa aku tiba lima menit lebih awal. “Sara tak akan berkata ‘Kau terlambat, seperti biasa’ dengan ekspresinya yang datar itu,” kataku merasa menang. Kuedarkan pandang mencari sesosok perempuan yang selalu on time itu.
**
Darah segar mengalir dari pelipisnya. Lelaki bermata biru itu membuatku melayangkan pukulan beberapa kali ke arahnya. Aku rela bila akhirnya ia yang dipilih Sara untuk menjadi suaminya, tapi aku tak akan membiarkannya menyakiti Sara. Amarahku membuatku tak bisa menahan untuk tak menghampirinya yang tengah bersama seorang wanita dan itu tentu bukan Sara. Beberapa orang berusaha melerai kami, namun Aidan berusaha untuk mendekatiku dan mencoba menjelaskan sesuatu.
Kami akhirnya dibawa ke kantor polisi karena sudah membuat kekacauan di cafe. Beruntung masalah pemukulan itu tak diperpanjang. Aidan memanggilku ketika aku dan pengacaraku hendak meninggalkan kantor polisi.
“Bara,” panggilnya. “Aku minta maaf, tapi aku hanya ingin bilang kalau semua ini hanyalah kebohongan.”
“Kebohongan apa? Membohongi Sara tentang perselingkuhanmu?” tanyaku sambil menahan emosiku.
“Tidak. Tidak seperti itu,” jawabnya. “Aku bukan suami Sara. Kami adalah sepupu dan tentang Sara yang bilang kalau aku suaminya, itu semua hanya cara Sara untuk membuatmu berhenti menunggunya.”
“Apa maksudmu? Kenapa Sara tak ingin aku menunggunya?” tanyaku tak mengerti.
Aidan tertunduk. “Sara sakit.”
Ia kemudian pergi tanpa memberiku waktu untuk bertanya lagi. “Aidan....” teriakku memanggilnya dan ia tak menghiraukanku.
**
Lima belas menit sudah berlalu dan Sara belum juga muncul. Kucoba menghubungi ponselnya tapi tak diangkatnya, pesan singkat yang kukirim pun tak satupun dibalasnya. Pasti terjadi sesuatu padanya, karena ia tak biasanya terlambat ataupun tanpa kabar. Ia mulai membuatku cemas.
Seseorang menepuk pundakku dari arah belakang. Aku membalikkan tubuh dan mendapati perempuan dengan syal warna toska yang sangat kukenal, berdiri di depanku. Ia masih menyimpan syal pemberianku lima tahun lalu. “Sara,” ucapku pelan. Ia hanya tersenyum dengan wajah pucat dan kemudian duduk. Aku mengikutinya.
Matanya memandang lurus ke depan. “Kamu tidak terlambat, tidak seperti biasa,” ucapnya terkekeh. Aku tersenyum dan mengikuti pandangan matanya ke arah menara.
“Kamu yang bilang kalau aku tak boleh membuang waktu atau aku akan kehilangan itu untuk selamanya,” ujarku kemudian menyerahkan seikat bunga berwarna putih padanya. Ia melihatku heran.
“Tentu saja aku tak pernah lupa tentang bunga ini, warna putih dan bukan merah ataupun merah muda.”
Ia tersenyum mendengarkanku. “Sara,” panggilku. Sara mengalihkan pandangannya dari bunga ke arahku. “Aku iri dengan Paris.”
“Kenapa?” tanyanya.
“Paris begitu hebat bisa membuatmu lebih sering tersenyum sekarang, tidak seperti lima tahun lalu ketika kita masih bersama.”
Sara tertawa. Wajahnya bersinar oleh kilau lampu menara, mengingatkanku ketika matahari sore menyorotnya di perpustakaan kampus enam tahun lalu.
**
Aku bertanya kepada penjaga perpustakaan tentang lelaki yang sedari tadi mengamatiku. “Namanya Bara,” jawab penjaga perpustakaan itu.
“Barata Yudha Wiratama, semester tujuh fakultas hukum.” Seseorang menambahkan informasi sambil merangkul pundakku. Dion, kakak lelakiku.
“You know him?” tanyaku sedikit antusias.
Dion terkekeh. “Whoa, ada yang lagi jatuh cinta?” godanya. Aku menunduk malu-malu dengan wajah merah padam. Kulihat penjaga perpustakaan ikut tersenyum.
“Okay, kita bicarain ini di tempat lain, nggak boleh berisik di perpustakaan,” ajak Dion sambil merangkul pundakku dan mengajakku pergi dari perpustakaan.
“Tunggu, “ cegahku sebelum kami berjalan. Dion menunggu dengan sabar. Aku kemudian menitipkan selembar kertas yang kutulis di meja tadi sebelum menuju meja penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku. “Titip untuk lelaki itu ya,” pesanku dan wanita berkacamata itu tersenyum padaku sambil mengacungkan ibu jarinya.
Dion tertawa tertahan melihat tingkahku. Aku menyikut perutnya. “Ayo jalan,” ajakku sambil merangkul lengannya kemudian pergi meninggalkan perpustakaan dan lelaki bernama Bara, yang telah membakar hatiku hingga membuat jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar