weheartit.com |
Perempuan
berambut hitam dengan panjang sebahu duduk di salah satu kursi di sudut
perpustakaan universitas, tengah hanyut dalam bacaannya sore itu. Cahaya
matahari yang kemerahan menerpa wajahnya lewat jendela yang membuat wajahnya seolah
bersinar. Kuabaikan buku yang tadi kuambil dari rak dengan label hukum.
Alih-alih membacanya, mataku sibuk mengawasinya seolah takut keindahan senja
akan segera berlalu tanpa kuketahui. Ia melihat jam di pergelangan tangannya
dan kemudian menutup buku tebalnya. Dibawanya tas dan buku-bukunya kemudian
beranjak pergi. Hatiku mencelos. Haruskah aku mengikutinya? Tidak. Aku tak mau
ia mengiraku lelaki aneh atau penguntit, atau bahkan psikopat. Ah, tapi aku tak mau kehilangan
kesempatan! Tubuhku baru saja beranjak dan hendak menuju ke arahnya, tapi
akhirnya terduduk kembali ketika kulihat seorang lelaki merangkulnya dengan
akrab. Aku terlambat.
Kulangkahkan
kakiku tak bersemangat menuju petugas perpustakaan untuk mengurus peminjaman
buku untuk materi kuliahku. Petugas perpustakaan kemudian menyodorkan selembar
kertas padaku setelah selesai dengan peminjaman bukunya. “Apa ini?” tanyaku tak
mengerti.
“Aku
tak tahu dan lebih baik kau baca saja,” jawabnya sambil kemlbali melanjutkan
pekerjaannya.
Kubuka
kertas itu sambil berjalan meninggalkan perpustakaan. Goresan tangan yang
cantik, pujiku begitu melihatnya. Bibirku membuat sebuah senyum yang tak
kusadari ketika membaca tiap kalimat yang tertulis di kertas itu.
Kau harus bergerak lebih cepat. Jangan terlalu banyak
membuang waktu atau kau akan kehilangan itu untuk selamanya.
Kalau kau ada waktu, kita bisa membahas tentang apapun di
perpustakaan, besok siang pukul dua belas. Ingat, jangan membuang waktumu.
_Sara_
**
Aku
memandang jam tanganku dengan gelisah. Dosenku masih belum selesai memberikan
kuliahnya. Ini hampir jam setengah satu siang dan aku sudah terlambat untuk
bertemu dengan Sara. Aku sudah bersiap-siap untuk lari ketika akhirnya dosen di
depan sana berkata kalau kuliah sudah selesai. Tak kupedulikan orang-orang
melihatku dengan tatapan aneh ataupun sebal karena aku lari sepanjang lorong
agar bisa lebih cepat ke perpustakaan.
Hatiku
merasa lega melihat ia masih duduk disana, di kursi yang sama ketika aku
melihatnya kemarin sore. Nafasku masih terengah-engah ketika sampai di
kursinya. “Kamu terlambat,” ucapnya datar dengan mata yang tetepa tertuju pada
buku tebal di mejanya.
“Aku
minta maaf... kuliah baru selesai... dan aku...,” aku berusaha menjelaskan
keadaan dengan nafas yang masih belum normal.
“It’s okay,”
ujarnya memotong kalimatku. Ia melihatku ke arahku, tanpa ekspresi. Hatiku
tergelitik. Ia semakin menarik bagiku meski tanpa ekspresi seperti itu.
“Aku
Bara,” kataku sambil mengulurkan tanganku.
“I know. Barata Yudha Wiratama, fakultas
hukum semester tujuh, right?” Hei, dia bahkan sudah tahu tentangku. Apakah
ia yang sebenarnya mengamatiku?! What a
surpise.
“Hampir
satu kampus juga tahu itu,” katanya seakan tahu kalau aku akan menanyakan
darimana ia tahu tentangku.
**
“Kamu
terlambat, seperti biasa.” Sara kemudian menyesap secangkir cafe latte-nya. Kusodorkan
seikat bunga mawar putih padanya. “Sorry,
urusan dengan klien baru selesai,” kataku memberikan alasan keterlambatanku. Ia
menerima bunga pemberianku dengan senyum yang singkat, sangat singkat
Terkadang
aku merasa Sara terlalu kaku dengan kebiasaan on time itu. Bukankah pasti ada hal-hal yang tak bisa diprediksi
dengan tepat. Aku sudah menjalin hubungan dengannya selama hampir dua tahun dan
aku tahu ia tak pernah terlambat meskipun hanya satu menit. Meski ia kaku soal
waktu, tapi aku tak pernah lelah menghadapinya dan ia pun tak jua lelah
menghadapiku yang sering terlambat. Sara terlalu indah bagiku.
“Aku
tidak suka membuat orang lain menunggu,” katanya sambil meletakkan cangkirnya.
“Aku
tahu itu, Sara. Kau mengucapkannya tiap kali aku membuatmu menunggumu,” kataku
santai.
Ia
memandangku dengan serius. Aku sudah terbiasa dengan sorot matanya yang tajam
dan serius, tapi aku merasakan kalau pandangan matanya kali ini menandakan ada
sesuatu yang lebih serius lagi. Diam diantara kami cukup lama, hingga ia membuka
suara. “Aku tidak mau membuatmu menunggu.”
Aku
terkekeh. “Kau tidak pernah membuatku menunggu, malah sebaliknya aku yang
sering membuatmu menunggu,” ucapku sambil meraih tangannya. “Maaf karena terlalu
sering membuatmu menunggu, Sara.”
“Kita
akhiri saja,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku.
“Apa
maksudmu?”
“Kita
akhiri hubungan ini, apa itu tidak cukup jelas?”
“Sara...,”
panggilku. “Aku selalu berusaha untuk tidak terlambat, tapi terkadang ada
hal-hal yang terjadi di luar dugaan dan aku tak bisa menghindarinya. Tolonglah
mengerti.”
“Aku
sudah berusaha untuk mengerti, tapi sepertinya aku yang terlambat menyadari
kalau seharusnya kita sudah berakhir sejak dulu.”
“Aku
mohon, Sara... aku akan berusaha lebih baik lagi untukmu, tak lagi terlambat
untukmu, kumohon...”
Sara
memandang ke luar jendela cafe. “Aku akan pergi, dan aku tidak ingin kau
menungguku sampai kembali,” ucapnya.
“Kau
mau pergi kemana? Kenapa aku tak boleh menunggumu?” Pertanyaan-pertanyaan itu
langsung meluncur begitu ia menyelesaikan kalimatnya.
“Karena
aku tidak suka membuat orang lain menunggu,” jawabnya singkat kemudian beranjak
dari kursinya dan melangkah pergi meninggalkanku.
**
Paris di musim gugur.
“Kamu
masih saja terlambat, Bara.”
Aku
melihat arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Lima
menit,” belaku. Ia tersenyum. Akhirnya aku bisa melihat senyumnya lagi setelah
hampir lima tahun kami tak bertemu, bahkan bertukar sapa lewat sambungan
telepon ataupun internet pun tidak sama sekali. Kami benar-benar hilang
komunikasi. Hingga akhirnya aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu
sudut kota Paris. Kami akhirnya setuju untuk membuat janji bertemu siang ini,
dengan sedikit kupaksa tentunya.
“Arloji
itu masih terlihat baik di tanganmu,” ujar Sara melirik arlojiku.
“Bukankah
kamu yang bilang kalau aku akan membutuhkannya untuk mengingatkanku?” kataku.
Sara
tersenyum lagi. Apakah Paris begitu hebat selama lima tahun ini, hingga mampu
membuat Sara yang datar pelit ekspresi menjadi Sara yang lebih sering
tersenyum? Atau ia sudah menemukan seseorang yang lebih baik dariku, yang lebih
tepat waktu mungkin?
“Kamu
benar. Aku memang selalu membutuhkannya untuk mengingatkanku,” kataku lagi.
“Mengingatkanku pada seseorang yang menghadiahiku arloji ini.”
Kami
sama-sama terbalut dalam diam masing-masing. “Aku minta maaf,” ucapku. Sara
diam, menunggu kalimatku selanjutnya.
“Maaf
karena aku membiarkanmu pergi dan tak mengejarmu lima tahun lalu.”
Sara
tertawa kecil. “Aku tahu kamu selalu terlambat, Bara,” jawab Sara. “Lima tahun
lalu aku berharap kamu akan segera mengejarku atau mencegahku pergi, bahkan
berusaha lebih untuk meminta penjelasanku pun tidak. Kamu bukan hanya terlambat
soal waktu, tapi juga terlambat menyadari keadaan.”
“Apa
aku sudah benar-benar terlambat, Sara?” tanyaku hati-hati. Aku yakin ia pasti
mengerti maksud pertanyaanku barusan. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia
meraih cangkir putih di meja dan menyesap cafe latte favoritnya.
“Sara,
aku... aku... lupakan saja,” kataku tak jadi melanjutkan kalimatku. Mungkin ini
terlalu terburu-buru untuk kembali menyatakan perasaanku padanya. Melihatnya
kembali dengan senyumnya setelah lima tahun berpisah saja sudah cukup membuatku
bahagia dan memintanya kembali akan membuatku merasa tak tahu malu.
Seorang
pria tinggi dengan rambut pirang menghampiri meja kami. Sara menyambutnya
dengan hangat, memberikan ciuman di pipinya. Ia kemudian mengenalkanku pada
pria itu.
“Bara,”
ucapku sambil mengulurkan tangan pada lelaki asing di depanku.
“Aidan.
Aidan Smith,” balasnya.
“He’s
my husband,” ujar Sara. Aku melihat Aidan menatap Sara untuk beberapa saat yang
dibalas dengan senyuman dari bibir Sara.
Hatiku
mencelos. Aku benar-benar terlambat.
**
Kulihat
arloji hitam pemberian Sara yang masih setia mengingatkanku. Masih ada waktu
untuk mencari bunga favoritnya. Tak ingin membuang waktu lagi, segera ku
kemudikan mobilku menuju toko bunga yang kuketahui dari pemilik toko bunga yang
tadi kukunjungi. Beruntung masih ada bunga yang kucari. Aku pun langsung
melanjutkan perjalananku menuju menara paling terkenal di kota Paris, Eiffel.
Aku
menghela nafas lega ketika tahu bahwa aku tiba lima menit lebih awal. “Sara tak
akan berkata ‘Kau terlambat, seperti biasa’ dengan ekspresinya yang datar itu,”
kataku merasa menang. Kuedarkan pandang mencari sesosok perempuan yang selalu on time itu.
**
Darah
segar mengalir dari pelipisnya. Lelaki bermata biru itu membuatku melayangkan
pukulan beberapa kali ke arahnya. Aku rela bila akhirnya ia yang dipilih Sara
untuk menjadi suaminya, tapi aku tak akan membiarkannya menyakiti Sara.
Amarahku membuatku tak bisa menahan untuk tak menghampirinya yang tengah
bersama seorang wanita dan itu tentu bukan Sara. Beberapa orang berusaha melerai
kami, namun Aidan berusaha untuk mendekatiku dan mencoba menjelaskan sesuatu.
Kami
akhirnya dibawa ke kantor polisi karena sudah membuat kekacauan di cafe.
Beruntung masalah pemukulan itu tak diperpanjang. Aidan memanggilku ketika aku
dan pengacaraku hendak meninggalkan kantor polisi.
“Bara,”
panggilnya. “Aku minta maaf, tapi aku hanya ingin bilang kalau semua ini
hanyalah kebohongan.”
“Kebohongan
apa? Membohongi Sara tentang perselingkuhanmu?” tanyaku sambil menahan emosiku.
“Tidak.
Tidak seperti itu,” jawabnya. “Aku bukan suami Sara. Kami adalah sepupu dan
tentang Sara yang bilang kalau aku suaminya, itu semua hanya cara Sara untuk
membuatmu berhenti menunggunya.”
“Apa
maksudmu? Kenapa Sara tak ingin aku menunggunya?” tanyaku tak mengerti.
Aidan
tertunduk. “Sara sakit.”
Ia
kemudian pergi tanpa memberiku waktu untuk bertanya lagi. “Aidan....” teriakku
memanggilnya dan ia tak menghiraukanku.
**
Lima
belas menit sudah berlalu dan Sara belum juga muncul. Kucoba menghubungi
ponselnya tapi tak diangkatnya, pesan singkat yang kukirim pun tak satupun
dibalasnya. Pasti terjadi sesuatu padanya, karena ia tak biasanya terlambat
ataupun tanpa kabar. Ia mulai membuatku cemas.
Seseorang
menepuk pundakku dari arah belakang. Aku membalikkan tubuh dan mendapati
perempuan dengan syal warna toska yang sangat kukenal, berdiri di depanku. Ia
masih menyimpan syal pemberianku lima tahun lalu. “Sara,” ucapku pelan. Ia
hanya tersenyum dengan wajah pucat dan kemudian duduk. Aku mengikutinya.
Matanya
memandang lurus ke depan. “Kamu tidak terlambat, tidak seperti biasa,” ucapnya
terkekeh. Aku tersenyum dan mengikuti pandangan matanya ke arah menara.
“Kamu
yang bilang kalau aku tak boleh membuang waktu atau aku akan kehilangan itu
untuk selamanya,” ujarku kemudian menyerahkan seikat bunga berwarna putih
padanya. Ia melihatku heran.
“Tentu
saja aku tak pernah lupa tentang bunga ini, warna putih dan bukan merah ataupun
merah muda.”
Ia
tersenyum mendengarkanku. “Sara,” panggilku. Sara mengalihkan pandangannya dari
bunga ke arahku. “Aku iri dengan Paris.”
“Kenapa?”
tanyanya.
“Paris
begitu hebat bisa membuatmu lebih sering tersenyum sekarang, tidak seperti lima
tahun lalu ketika kita masih bersama.”
Sara
tertawa. Wajahnya bersinar oleh kilau lampu menara, mengingatkanku ketika
matahari sore menyorotnya di perpustakaan kampus enam tahun lalu.
**
Aku
bertanya kepada penjaga perpustakaan tentang lelaki yang sedari tadi
mengamatiku. “Namanya Bara,” jawab penjaga perpustakaan itu.
“Barata
Yudha Wiratama, semester tujuh fakultas hukum.” Seseorang menambahkan informasi
sambil merangkul pundakku. Dion, kakak lelakiku.
“You know him?” tanyaku
sedikit antusias.
Dion
terkekeh. “Whoa, ada yang lagi jatuh cinta?” godanya. Aku menunduk malu-malu
dengan wajah merah padam. Kulihat penjaga perpustakaan ikut tersenyum.
“Okay,
kita bicarain ini di tempat lain, nggak boleh berisik di perpustakaan,” ajak
Dion sambil merangkul pundakku dan mengajakku pergi dari perpustakaan.
“Tunggu,
“ cegahku sebelum kami berjalan. Dion menunggu dengan sabar. Aku kemudian
menitipkan selembar kertas yang kutulis di meja tadi sebelum menuju meja
penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku. “Titip untuk lelaki itu ya,”
pesanku dan wanita berkacamata itu tersenyum padaku sambil mengacungkan ibu
jarinya.
Dion
tertawa tertahan melihat tingkahku. Aku menyikut perutnya. “Ayo jalan,” ajakku
sambil merangkul lengannya kemudian pergi meninggalkan perpustakaan dan lelaki
bernama Bara, yang telah membakar hatiku hingga membuat jantungku berdetak
berkali-kali lebih cepat.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar