Jumat, 09 Agustus 2013

The White Book #theparagraph


weheartit.com
Aku memandangi benda itu di meja kamarku. Sebuah benda yang pernah ada di dunia khayalku ketika masih kanak-kanak, hingga akhirnya waktu membawaku pada satu kenyataan yang tak pernah kuduga. Aku pun tak mengerti mengapa buku yang kutemukan diantara buku-buku tua di ujung perpustakaan itu bergetar hebat ketika aku membuka salah satu halamannya dan mulai merapalkan bacaan yang tertulis disana, bahkan aku tak mengerti itu tertulis dalam bahasa apa. Ponsel yang kuletakkan di sebelah buku melayang perlahan ketika aku berhenti membaca. Aku nyaris saja  terjatuh dari kursiku. Segera kuraih ponselku sebelum terlihat oleh pengunjung perpustakaan lain dan pergi setelah mengurus peminjaman buku tersebut.

Tanganku mencoba meraih buku tersebut dan berniat membukanya lagi. Kurasakan sesuatu yang aneh seperti getaran listrik menyengat ketika kulitku menyentuh permukaan buku yang sampulnya seperti dari kulit hewan berwarna cokelat usang. Sesuatu yang sama terjadi seperti di perpustakaan tadi siang. Buku itu bergetar. Bukan, bukan hanya buku itu yang bergetar, tapi rasanya rumahku pun seperti terjadi gempa bumi. Buru-buru aku menutup buku tersebut ketika kudengar suara nenek dan Anne, kakakku, memanggilku dari lantai bawah. Lalu semuanya berhenti bergetar. Aku mengernyitkan kening memandang buku aneh ini. Sebenarnya buku apa yang sudah kupinjam ini?
“Ava...” Kudengar suara Anne makin keras sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku tak sabar. Dengan cepat kubuka pintu kamar dan mendapati wajah Anne dan nenek yang terlihat khawatir dan takut.
“Kamu menemukan sebuah buku tua?” tanya nenek dengan wajah yang sangat serius. Aku berpikir, apa nenek tahu tentang buku itu?
“Ava,” panggil Anne karena aku tak jua menjawab pertanyaan nenek. “Kamu menemukan sesuatu?”
Aku memandang nenek dan Anne bergantian. Mungkin aku memang harus memberitahu mereka, agar aku juga tahu tentang buku aneh itu. Aku mengajak mereka masuk dan melihat buku yang tadi kuletakkan di ranjangku. Wajah nenek terlihat sangat terkejut ketika melihat benda itu, begitupun Anne.
“Darimana kamu mendapatkan ini?” tanya Anne.
“Perpustakaan,” jawabku singkat.
“Kamu yakin? Bukan sesorang yang memeberikannya padamu?” tanya Anne tak yakin dengan jawabanku. Aku mendengus kesal. Memangnya sejak kapan Anne percaya padaku, ia bahkan selalu meremehkanku. “Ava... Jawab!”
“Aku sudah menjawabnya, Anne,” kataku kesal. “Per-pus-ta-ka-an!”
“Sudahlah Anne, Ava... bukan saatnya untuk bertengkar,” kata nenek berusaha menengahi kami.  “Ava, apa kamu sudah pernah membaca salah satu mantra dalam buku ini?” tanya nenek dengan lembut.
“Mantra?” tanyaku bingung. “Mantra apa? Aku tak mengerti, nek.”
 “Tapi kau pernah membacanya salah satu tulisannya dan menemukan sesuatu yang magis, ‘kan?” Kali ini Anne yang bertanya dengan nada yang tak kusukai.
Aku mengangguk. “Ponselku mendadak seperti melayang setelah aku membaca satu halaman,” jawabku.
Nenek dan Anne saling berpandangan. “Sekarang kita harus pergi sebelum Zart dan kelompoknya datang kemari, mereka pasti sudah menangkap sinyal yang dikirimkan buku ini tadi,” ujar nenek sambil membungkus buku tersebut dengan syalnya yang berwarna merah marun.
Anne dan nenek bergegas keluar dari kamar, sementara aku masih mematung dengan segudang pertanyaan tentang keadaan yang sedang terjadi. Rupanya Anne menyadari sesuatu, ia berhenti dan menghampiriku. “Ava, kita harus pergi,” katanya sambil menarik tanganku.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Anne?” tanyaku bingung. “Kenapa kau dan nenek begitu panik soal buku itu?”tanyaku lagi.
Anne menghela nafas sejenak. “Ava, kita tidak punya banyak waktu. Nanti akan kujelaskan semuanya, tapi sekarang kita harus segera pergi dari rumah.” Anne mengatakannya dengan nada tegas, dan aku pun menurut begitu saja tanpa bisa membantahnya seperti biasa.
**
Beberapa jam perjalanan sudah dilalui dari rumah kami di Brownwest dengan Ford milik Anne. Kami akhirnya tiba di suatu tempat yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Letak tempat ini sangat jauh dari kota, hampir menuju pedalaman hutan. Kulihat sebuah bangunan besar mirip kastil tinggi menjulang di depan mataku. Suasana sekitarnya sangat sepi dan gelap, tak ada bangunan lain dan hanya ada pohon-pohon pinus yang tinggi sejauh mata memandang. Penerangan di depan kastil pun hanya obor-obor besar yang dipasang di beberapa titik.
“Kau mau ikut masuk atau tinggal disini menunggu singa atau beruang lapar menerkammu?” Kudengar nada sinis Anne kembali lagi. Bukan Anne namanya kalau bernada lembut seperti nenek atau mendiang ibu. Aku merengut kesal dan mengikuti langkahnya menyusuri lorong kastil, sementara nenek sudah jauh di depan.
“Jadi, siapa yang sudah menemukannya, Abigail?” Kudengar suara seseorang bertanya ketika aku dan Anne masuk ke satu ruangan yang sangat besar dan sudah banyak orang yang berkumpul disana. Aku tercengang ketika semua mata mengalihkan pandangan dari lelaki tua berjanggut putih panjang yang duduk di kursi paling besar di depan sana pada kami yang baru datang, lebih tepatnya mungkin padaku. Aku merasa seperti seorang terdakwa dalam sebuah pengadilan.
“Siapa dia, Abigail?” tanya lelaki berjanggut itu pada nenekku.
“Dia adalah cucu keduaku, William. Namanya Ava,” jawab nenek dengan sangat hormat pada lelaki tua itu. Anne mengajakku mendekat dengan nenek.
“Dimana kau menemukannya, nak?” tanya lelaki tua bernama William itu padaku dengan lembut.
“Perpustakaan,” jawabku pelan.
Kulihat William mengangguk mendengar jawabanku. “Baiklah, setidaknya kita sudah tahu kalau White Book sudah ditemukan, dan kita harus lebih waspada karena Zart pasti sudah bergerak untuk mendapatkannya,” ujarnya pada seluruh orang yang datang. Buku yang kupinjam dari perpustakaan itu pasti adalah buku yang begitu berharga bagi mereka atau Zart yang sedari tadi dikhawatirkan.
**
Malam semakin larut dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Rentetan kejadian hari ini masih membuatku bingung. Hanya karena sebuah buku tua, semua menjadi terasa aneh bagiku. Buku yang lama hilang itu ditemukan olehku yang tak tahu apapun mengenai dunia mereka. Karena buku tua itu pula akhirnya aku tahu kalau ternyata aku adalah bagian dari keluarga penyihir. Aku teringat dengan keanehan-keanehan yang pernah terjadi di hidupku sebelum aku mengetahui rahasia ini. Ayah, ibu, nenek, maupun Anne begitu hebat menyimpan rahasia ini dariku.
“Kamu masih belum tidur?” Kulihat Anne terduduk di sampingku.
“ini bukan kamarku,” jawabku mengelak. Aku yakin Anne pasti percaya dengan alasanku, karena aku memang sulit tidur jika di kamar orang lain. Malam ini kami memang bermalam di kastil William yang dijadikan markas kelompok penyihir pimpinan William, karena dikhawatirkan Zart dan keompoknya sudah mengincar rumah kami dimana buku tua itu mengirim sinyal hebat tadi sore.
“Maaf,” ujar Anne pelan. Aku menoleh padanya, memastikan Anne tidak salah berucap barusan.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Maaf karena merahasiakan semua ini darimu,”jawabnya. “Mendiang ayah dan ibu yang meminta agar kamu tak tahu tentang dunia mereka.”
“Apa ayah dan ibu pergi karena buku itu? Atau karena Zart?” Aku mulai penasaran dengan semua rahasia ini. Aku harus tahu semuanya, karena aku memang sudah masuk dalam dunia sihir William ini.
Anne memandangku lama. “Tidak. Mereka pergi karena sudah seharusnya pergi, Ava.”
“Siapa Zart itu? Apa sebenarnya isi buku itu hingga Zart begitu menginginkannya?” tanyaku penasaran.
“Menurut cerita yang kudengar dari tetua, dahulu Zart dan William adalah bersaudara. Ayah mereka adalah penyihir hebat sepanjang masa, hingga ayah mereka meninggal dan mewariskan the white book yang berisi mantra-mantra hebat termasuk mantra mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati, mantra yang belum ada seorang pun tahu, bahkan ketika ayah mereka masih hidup.” Anne mengambil jeda sejenak. “Tapi sampai ayah mereka dibakar dan abunya dilarung ke laut, tak ada yang tahu dimana buku itu berada, karena buku itu mendadak menghilang entah kemana.”
“Sampai akhirnya, aku yang menemukannya?” tebakku. Anne mengangguk. “Tapi kenapa ketika aku yang menemukannya, semua jadi heboh seperti ini? Bukankah pasti ada orang sebelum aku yang menyentuhnya?”
Anne tersenyum. “Karena kemungkinan mereka bukan keturunan penyihir seperti kamu.”
Kusandarkan tubuhku di bantal besar. “Anne, jika aku ini penyihir, bisakah aku membuat Jennie terbang atau membuat Kenzie jatuh cinta padaku?” tanyaku iseng. Anne tertawa kecil. “Kenapa tertawa? Bisa ‘kan?”
“Sihir tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, dan sihir juga tidak berlaku untuk perasaan manusia,” jawabnya.
Aku menghembuskan nafas kesal. Tapi aku menyadari satu hal, setidaknya Anne tidak lagi ketus dan menyebalkan padaku. Ia tersenyum lebih banyak malam ini.
**
Tak banyak yang kuingat tentang semalam, ketika suara ledakan menyerbu kastil William yang megah. Udara yang dingin berubah panas seiring dengan kobaran api yang dibuat oleh kelomok Zart. Anne mebangunkanku dan menarikku pergi menuju ruang tengah, tempat dimana keompok William berkumpul. Semua menjadi panik dan gaduh tak terkendali. Kemudian William memerintahkan semuanya menggunakan kemampuan sihir masing-masing untuk melawan serangan Zart dan kelompoknya. Aku tak tahu harus bagaimana harus melawan kelompok sihir Zart. Jangankan menggunakan kekuatan, aku saja tidak tahu kemampuan sihir apa yang kumiliki.
Suara seperti tembakan, ledakan, dan teriakan mantra-mantra begitu keras terdengar di telingaku. William menyuruhku menyelamatkan diri dan membawa the white book. Kenapa aku harus berurusan dengan buku itu lagi?!
Tak ada pilihan lagi untukku. Sebelum aku pergi, Anne memberikanku sebuah kalung dengan liontin bulan sabit. “Jaga dirimu, Ava. Ini akan menyelamatkanmu,” ucapnya sambil memeberikan kalung itu sebelum aku pergi. Satu hal lagi, ia memelukku untuk pertama kali.
“Aku menyayangimu, Anne,” ucapku sebelum pergi. Anne tersenyum padaku.
Setelah itu aku hanya terus berlari menuju hutan yang gelap dan hanya diterangi sinar bulan. Bukan, bukan bulan yang ada di atas langit sana, melainkan bulan yang menggantung di leherku. Liontin yang diberikan Anne tadi mendadak bersinar ketika aku mulai masuk ke dalam hutan.
“Ava,” panggil seseorang dengan suara pelan. Aku terkesiap dan semakin takut. Bagaimana jika itu adalah salah satu kelompok Zart? Kudekap buku yang dibungkus syal nenek dengan erat. Nenek bilang, buku itu tidak akan mengirim sinyal jika tidak tersentuh kulit penyihir makanya dibungkus dengan sesuatu.
“Ava..” suara itu terdengar lagi. Aku berjalan dengan hati-hati dan tetiba tanganku ditarik oleh sesuatu dibalik semak-semak. Sinar dari liontin Anne membuatku bisa melihat wajahnya.
“Kenzie?!”
“Sssttt...” Kenzie meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, menyuruhku diam. “Aku juga keturunan penyihir,” ujarnya.
Mataku membulat, tak percaya dengan kenyataan sekali lagi. Aku mundur dan makin mendekap erat the white book. Berjaga-jaga jika Kenzie adalah bagian dari Zart.
“Tenang, Va. Aku cucu William,” ucapnya mencoba mendekatiku. “William yang memintaku menjagamu.”
Aku tak bisa percaya begitu saja padanya. “Apa buktinya?”
Kulihat Kenzie menunjukkan sesuatu di pergelangan tangannya. Sebuah tanda mirip dengan milik Anne dan nenek. “Semua orang dari kelompok kami memilikinya,” katanya.
Aku langsung melihat pergelangan tanganku dan menemukan tanda yang sama yang entah sejak kapan muncul di sana.
“Tidak banyak waktu untuk bercerita, Va. Kamu harus melakukan sesuatu dengan buku itu.”
“Aku?!”
“Ya, karena kamu yang terakhir menyentuh buku itu, jadi kamulah pemiliknya sekarang,” jelas Kenzie.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Membaca mantra halaman terakhir,” jawab Kenzie dengan suara yang pelan. Lalu hening mencekam.
**
“Kamu sudah melakukan yang seharusnya dilakukan, Ava.”
Aku memandang dengan lirih melihat mayat-mayat tersebar hampir di seluruh ruang tengah kastil, tempat dimana pertempuran semalam terjadi. Mantra halaman terakhir itu adalah mantra mematikan yang hidup. Kenzie mengatakan kalau William berpesan agar aku membacanya, agar perang puluhan tahun tak lagi terjadi. Seluruh penyihir dari kelompok William dan Zart mati karena mantra yang kubaca semalam.  Kini tinggal aku dan Kenzie yang tersisa, karena kami menyentuh buku itu ketika mantra itu keluar dari bibirku.
Perang  sudah berakhir.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar