weheartit.com |
Aku memandangi benda itu di meja
kamarku. Sebuah benda yang pernah ada di dunia khayalku ketika masih
kanak-kanak, hingga akhirnya waktu membawaku pada satu kenyataan yang tak
pernah kuduga. Aku pun tak mengerti mengapa buku yang kutemukan diantara buku-buku
tua di ujung perpustakaan itu bergetar hebat ketika aku membuka salah satu
halamannya dan mulai merapalkan bacaan yang tertulis disana, bahkan aku tak
mengerti itu tertulis dalam bahasa apa. Ponsel yang kuletakkan di sebelah buku
melayang perlahan ketika aku berhenti membaca. Aku nyaris saja terjatuh dari kursiku. Segera kuraih ponselku
sebelum terlihat oleh pengunjung perpustakaan lain dan pergi setelah mengurus
peminjaman buku tersebut.
Tanganku mencoba meraih buku
tersebut dan berniat membukanya lagi. Kurasakan sesuatu yang aneh seperti
getaran listrik menyengat ketika kulitku menyentuh permukaan buku yang
sampulnya seperti dari kulit hewan berwarna cokelat usang. Sesuatu yang sama
terjadi seperti di perpustakaan tadi siang. Buku itu bergetar. Bukan, bukan
hanya buku itu yang bergetar, tapi rasanya rumahku pun seperti terjadi gempa
bumi. Buru-buru aku menutup buku tersebut ketika kudengar suara nenek dan Anne,
kakakku, memanggilku dari lantai bawah. Lalu semuanya berhenti bergetar. Aku
mengernyitkan kening memandang buku aneh ini. Sebenarnya buku apa yang sudah
kupinjam ini?
“Ava...” Kudengar suara Anne
makin keras sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku tak sabar. Dengan cepat kubuka
pintu kamar dan mendapati wajah Anne dan nenek yang terlihat khawatir dan
takut.
“Kamu menemukan sebuah buku tua?”
tanya nenek dengan wajah yang sangat serius. Aku berpikir, apa nenek tahu tentang
buku itu?
“Ava,” panggil Anne karena aku
tak jua menjawab pertanyaan nenek. “Kamu menemukan sesuatu?”
Aku memandang nenek dan Anne
bergantian. Mungkin aku memang harus memberitahu mereka, agar aku juga tahu
tentang buku aneh itu. Aku mengajak mereka masuk dan melihat buku yang tadi
kuletakkan di ranjangku. Wajah nenek terlihat sangat terkejut ketika melihat
benda itu, begitupun Anne.
“Darimana kamu mendapatkan ini?”
tanya Anne.
“Perpustakaan,” jawabku singkat.
“Kamu yakin? Bukan sesorang yang
memeberikannya padamu?” tanya Anne tak yakin dengan jawabanku. Aku mendengus
kesal. Memangnya sejak kapan Anne percaya padaku, ia bahkan selalu meremehkanku.
“Ava... Jawab!”
“Aku sudah menjawabnya, Anne,”
kataku kesal. “Per-pus-ta-ka-an!”
“Sudahlah Anne, Ava... bukan
saatnya untuk bertengkar,” kata nenek berusaha menengahi kami. “Ava, apa kamu sudah pernah membaca salah satu
mantra dalam buku ini?” tanya nenek dengan lembut.
“Mantra?” tanyaku bingung. “Mantra
apa? Aku tak mengerti, nek.”
“Tapi kau pernah membacanya salah satu
tulisannya dan menemukan sesuatu yang magis, ‘kan?” Kali ini Anne yang bertanya
dengan nada yang tak kusukai.
Aku mengangguk. “Ponselku
mendadak seperti melayang setelah aku membaca satu halaman,” jawabku.
Nenek dan Anne saling
berpandangan. “Sekarang kita harus pergi sebelum Zart dan kelompoknya datang kemari,
mereka pasti sudah menangkap sinyal yang dikirimkan buku ini tadi,” ujar nenek
sambil membungkus buku tersebut dengan syalnya yang berwarna merah marun.
Anne dan nenek bergegas keluar
dari kamar, sementara aku masih mematung dengan segudang pertanyaan tentang
keadaan yang sedang terjadi. Rupanya Anne menyadari sesuatu, ia berhenti dan
menghampiriku. “Ava, kita harus pergi,” katanya sambil menarik tanganku.
“Apa yang sebenarnya terjadi,
Anne?” tanyaku bingung. “Kenapa kau dan nenek begitu panik soal buku
itu?”tanyaku lagi.
Anne menghela nafas sejenak.
“Ava, kita tidak punya banyak waktu. Nanti akan kujelaskan semuanya, tapi
sekarang kita harus segera pergi dari rumah.” Anne mengatakannya dengan nada
tegas, dan aku pun menurut begitu saja tanpa bisa membantahnya seperti biasa.
**
Beberapa jam perjalanan sudah
dilalui dari rumah kami di Brownwest dengan Ford milik Anne. Kami akhirnya tiba
di suatu tempat yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Letak tempat ini sangat
jauh dari kota, hampir menuju pedalaman hutan. Kulihat sebuah bangunan besar
mirip kastil tinggi menjulang di depan mataku. Suasana sekitarnya sangat sepi
dan gelap, tak ada bangunan lain dan hanya ada pohon-pohon pinus yang tinggi
sejauh mata memandang. Penerangan di depan kastil pun hanya obor-obor besar
yang dipasang di beberapa titik.
“Kau mau ikut masuk atau tinggal
disini menunggu singa atau beruang lapar menerkammu?” Kudengar nada sinis Anne
kembali lagi. Bukan Anne namanya kalau bernada lembut seperti nenek atau
mendiang ibu. Aku merengut kesal dan mengikuti langkahnya menyusuri lorong
kastil, sementara nenek sudah jauh di depan.
“Jadi, siapa yang sudah
menemukannya, Abigail?” Kudengar suara seseorang bertanya ketika aku dan Anne masuk
ke satu ruangan yang sangat besar dan sudah banyak orang yang berkumpul disana.
Aku tercengang ketika semua mata mengalihkan pandangan dari lelaki tua
berjanggut putih panjang yang duduk di kursi paling besar di depan sana pada
kami yang baru datang, lebih tepatnya mungkin padaku. Aku merasa seperti
seorang terdakwa dalam sebuah pengadilan.
“Siapa dia, Abigail?” tanya lelaki
berjanggut itu pada nenekku.
“Dia adalah cucu keduaku, William.
Namanya Ava,” jawab nenek dengan sangat hormat pada lelaki tua itu. Anne
mengajakku mendekat dengan nenek.
“Dimana kau menemukannya, nak?”
tanya lelaki tua bernama William itu padaku dengan lembut.
“Perpustakaan,” jawabku pelan.
Kulihat William mengangguk
mendengar jawabanku. “Baiklah, setidaknya kita sudah tahu kalau White Book sudah ditemukan, dan kita
harus lebih waspada karena Zart pasti sudah bergerak untuk mendapatkannya,”
ujarnya pada seluruh orang yang datang. Buku yang kupinjam dari perpustakaan
itu pasti adalah buku yang begitu berharga bagi mereka atau Zart yang sedari
tadi dikhawatirkan.
**
Malam semakin larut dan aku masih
belum bisa memejamkan mata. Rentetan kejadian hari ini masih membuatku bingung.
Hanya karena sebuah buku tua, semua menjadi terasa aneh bagiku. Buku yang lama
hilang itu ditemukan olehku yang tak tahu apapun mengenai dunia mereka. Karena
buku tua itu pula akhirnya aku tahu kalau ternyata aku adalah bagian dari
keluarga penyihir. Aku teringat dengan keanehan-keanehan yang pernah terjadi di
hidupku sebelum aku mengetahui rahasia ini. Ayah, ibu, nenek, maupun Anne
begitu hebat menyimpan rahasia ini dariku.
“Kamu masih belum tidur?” Kulihat
Anne terduduk di sampingku.
“ini bukan kamarku,” jawabku
mengelak. Aku yakin Anne pasti percaya dengan alasanku, karena aku memang sulit
tidur jika di kamar orang lain. Malam ini kami memang bermalam di kastil
William yang dijadikan markas kelompok penyihir pimpinan William, karena
dikhawatirkan Zart dan keompoknya sudah mengincar rumah kami dimana buku tua
itu mengirim sinyal hebat tadi sore.
“Maaf,” ujar Anne pelan. Aku
menoleh padanya, memastikan Anne tidak salah berucap barusan.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Maaf karena merahasiakan semua ini
darimu,”jawabnya. “Mendiang ayah dan ibu yang meminta agar kamu tak tahu
tentang dunia mereka.”
“Apa ayah dan ibu pergi karena
buku itu? Atau karena Zart?” Aku mulai penasaran dengan semua rahasia ini. Aku
harus tahu semuanya, karena aku memang sudah masuk dalam dunia sihir William
ini.
Anne memandangku lama. “Tidak. Mereka
pergi karena sudah seharusnya pergi, Ava.”
“Siapa Zart itu? Apa sebenarnya
isi buku itu hingga Zart begitu menginginkannya?” tanyaku penasaran.
“Menurut cerita yang kudengar
dari tetua, dahulu Zart dan William adalah bersaudara. Ayah mereka adalah
penyihir hebat sepanjang masa, hingga ayah mereka meninggal dan mewariskan the white book yang berisi mantra-mantra
hebat termasuk mantra mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati, mantra
yang belum ada seorang pun tahu, bahkan ketika ayah mereka masih hidup.” Anne
mengambil jeda sejenak. “Tapi sampai ayah mereka dibakar dan abunya dilarung ke
laut, tak ada yang tahu dimana buku itu berada, karena buku itu mendadak menghilang
entah kemana.”
“Sampai akhirnya, aku yang
menemukannya?” tebakku. Anne mengangguk. “Tapi kenapa ketika aku yang
menemukannya, semua jadi heboh seperti ini? Bukankah pasti ada orang sebelum
aku yang menyentuhnya?”
Anne tersenyum. “Karena kemungkinan
mereka bukan keturunan penyihir seperti kamu.”
Kusandarkan tubuhku di bantal
besar. “Anne, jika aku ini penyihir, bisakah aku membuat Jennie terbang atau
membuat Kenzie jatuh cinta padaku?” tanyaku iseng. Anne tertawa kecil. “Kenapa
tertawa? Bisa ‘kan?”
“Sihir tidak digunakan untuk
hal-hal yang tidak baik, dan sihir juga tidak berlaku untuk perasaan manusia,”
jawabnya.
Aku menghembuskan nafas kesal. Tapi
aku menyadari satu hal, setidaknya Anne tidak lagi ketus dan menyebalkan
padaku. Ia tersenyum lebih banyak malam ini.
**
Tak banyak yang kuingat tentang
semalam, ketika suara ledakan menyerbu kastil William yang megah. Udara yang
dingin berubah panas seiring dengan kobaran api yang dibuat oleh kelomok Zart.
Anne mebangunkanku dan menarikku pergi menuju ruang tengah, tempat dimana
keompok William berkumpul. Semua menjadi panik dan gaduh tak terkendali. Kemudian
William memerintahkan semuanya menggunakan kemampuan sihir masing-masing untuk melawan
serangan Zart dan kelompoknya. Aku tak tahu harus bagaimana harus melawan
kelompok sihir Zart. Jangankan menggunakan kekuatan, aku saja tidak tahu
kemampuan sihir apa yang kumiliki.
Suara seperti tembakan, ledakan,
dan teriakan mantra-mantra begitu keras terdengar di telingaku. William menyuruhku
menyelamatkan diri dan membawa the white book.
Kenapa aku harus berurusan dengan buku itu lagi?!
Tak ada pilihan lagi untukku.
Sebelum aku pergi, Anne memberikanku sebuah kalung dengan liontin bulan sabit. “Jaga
dirimu, Ava. Ini akan menyelamatkanmu,” ucapnya sambil memeberikan kalung itu
sebelum aku pergi. Satu hal lagi, ia memelukku untuk pertama kali.
“Aku menyayangimu, Anne,” ucapku
sebelum pergi. Anne tersenyum padaku.
Setelah itu aku hanya terus
berlari menuju hutan yang gelap dan hanya diterangi sinar bulan. Bukan, bukan
bulan yang ada di atas langit sana, melainkan bulan yang menggantung di
leherku. Liontin yang diberikan Anne tadi mendadak bersinar ketika aku mulai
masuk ke dalam hutan.
“Ava,” panggil seseorang dengan
suara pelan. Aku terkesiap dan semakin takut. Bagaimana jika itu adalah salah
satu kelompok Zart? Kudekap buku yang dibungkus syal nenek dengan erat. Nenek
bilang, buku itu tidak akan mengirim sinyal jika tidak tersentuh kulit penyihir
makanya dibungkus dengan sesuatu.
“Ava..” suara itu terdengar lagi.
Aku berjalan dengan hati-hati dan tetiba tanganku ditarik oleh sesuatu dibalik
semak-semak. Sinar dari liontin Anne membuatku bisa melihat wajahnya.
“Kenzie?!”
“Sssttt...” Kenzie meletakkan
telunjuknya di depan bibirnya, menyuruhku diam. “Aku juga keturunan penyihir,”
ujarnya.
Mataku membulat, tak percaya
dengan kenyataan sekali lagi. Aku mundur dan makin mendekap erat the white book. Berjaga-jaga jika Kenzie
adalah bagian dari Zart.
“Tenang, Va. Aku cucu William,”
ucapnya mencoba mendekatiku. “William yang memintaku menjagamu.”
Aku tak bisa percaya begitu saja
padanya. “Apa buktinya?”
Kulihat Kenzie menunjukkan
sesuatu di pergelangan tangannya. Sebuah tanda mirip dengan milik Anne dan
nenek. “Semua orang dari kelompok kami memilikinya,” katanya.
Aku langsung melihat pergelangan
tanganku dan menemukan tanda yang sama yang entah sejak kapan muncul di sana.
“Tidak banyak waktu untuk
bercerita, Va. Kamu harus melakukan sesuatu dengan buku itu.”
“Aku?!”
“Ya, karena kamu yang terakhir
menyentuh buku itu, jadi kamulah pemiliknya sekarang,” jelas Kenzie.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Membaca mantra halaman terakhir,”
jawab Kenzie dengan suara yang pelan. Lalu hening mencekam.
**
“Kamu sudah melakukan yang
seharusnya dilakukan, Ava.”
Aku memandang dengan lirih
melihat mayat-mayat tersebar hampir di seluruh ruang tengah kastil, tempat
dimana pertempuran semalam terjadi. Mantra halaman terakhir itu adalah mantra
mematikan yang hidup. Kenzie mengatakan kalau William berpesan agar aku
membacanya, agar perang puluhan tahun tak lagi terjadi. Seluruh penyihir dari
kelompok William dan Zart mati karena mantra yang kubaca semalam. Kini tinggal aku dan Kenzie yang tersisa,
karena kami menyentuh buku itu ketika mantra itu keluar dari bibirku.
Perang sudah berakhir.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar