Jumat, 09 Agustus 2013

Paket #theparagraph

weheartit.com

1st paragraph by Wita Purwati 
Angin berhembus dan dingin yang begitu merajam. Malam yang tak berbintang. Bintang-bintang itu sepertinya pindah malah mengitari kepalaku yang gondrong dan lengket. Sudah hampir seminggu ini aku terbaring di kamar. Sepertinya Salmonella thyposa enggan minggat dari tubuhku. Akibatnya aku tak bisa  bergerak bebas. Semakin kacau ketika teman-teman datang menjengukku. Mereka hanya merecoki keadaanku yang tidak baik ini. Menjadikan kejombloanku sebagai topik yang paling hebat ketika menjenguk. Tapi seketika hening ketika dia datang.

**
Mr. Richard menyodorkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat padaku siang itu di salah satu kursi tunggu di stasiun. Aku memandangnya dan kotak itu bergantian, menunggu penjelasan dari lelaki berjaket kulit hitam di sampingku. Ia kemudian memberikan selembar kertas kecil dan tiket pesawat. Aku membacanya cepat, sebuah alamat.
“Kamu hanya perlu antar paket ini ke alamat yang sudah kuberikan.” Mr Richard akhirnya bicara, namun dengan nada pelan. Aku berusaha menangkap semua kata-katanya di tengah riuh suasana stasiun yang tak sepi.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Kamu dibayar bukan untuk mengorek informasi tentangku,” kata Mr. Richard dengan nada yang tetap pelan dan tenang. Aku menunduk dan menyesali pertanyaanku. Ia bisa memecat siapa saja yang tidak ia suka yang bekerja padanya, apalagi aku yang hanya sebagai supirnya.
“Ingat, ini rahasia!” ujarnya. “Antar sebelum besok malam tiba,” tambahnya sebelum beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkanku. Aku mengangguk pelan. Kulihat punggungnya menjauh dan akhirnya hilang di belokan menuju pintu keluar.
**
Aku tengah mengeringkan rambutku dengan handuk ketika teman kost-ku sedang mematut diri di depan cermin yang menggantung di dinding kamar. Ia rapi sekali hari ini, kaus putih yang dibalut jaket hijau dan celana jeans yang sudah ia setrika sore tadi. Aku pun mencium wewangian yang sangat ku hafal aromanya memenuhi ruangan yang tak teralalu besar ini.
“Lu pake parfum gue, ya?!” todongku pada Herman, temanku, yang kemudian nyengir lebar mendengarku.  “Dikit doang kok, masbro,” jawabnya.
“Beli makanya, jangan minta mulu,” kataku sambil merebut botol parfum yang dipegang Herman.
“Iya, nanti gue beli sendiri, lu juga bisa gue beliin,” selorohnya sambil kembali ke cermin.
“Mau kemana sih malem-malem udah rapi banget?” tanyaku.
“Biasa, masbro,”katanya dengan senyum yang aneh. “Ketemu pacar lah.”
Aku hanya mengangguk pelan tanpa bersuara lagi. Betapa beruntungnya si Herman ini, dengan wajah yang tak lebih tampan dariku saja bisa mendapatkan perempuan cantik macam Laura yang mirip model majalah ibukota. Sedangkan aku, masih saja setia dengan kesendirianku.
“Jangan sedih, masbro, nanti gue kenalin sama temannya Laura yang cantik-cantik itu.” Herman rupanya menyadari keadaan dan berusaha menghiburku.
“Udah pergi sana, kasian pacar lu nungguin.” Aku tak ingin dia mengasihaniku seolah aku ini sudah benar-benar tak laku lagi.
“Oke, by the way itu apaan di meja lu?” tanyanya menunjuk kotak Mr. Richard.
“Tugas dari bos,” jawabku singkat.
“Mr. Richard?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. “Udah sana berangkat,” kataku malas menjawab pertanyaannya.
“Oke... oke... Gue pergi dulu ya, jaga diri baik-baik,” katanya sebelum membuka pintu dan kemudian pergi.
Kuletakkan botol parfum itu ke meja kecil di sebelah tempat tidurku. Mataku melihat kotak yang diberikan Mr. Richard tadi siang. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku sejak kotak ini diberikan padaku tadi siang. Apa isi dari kotak ini? Kenapa ia memilihku yang suka membuat masalah, dan tidak menyuruh anak buahnya yang lain untuk mengantarnya? Lalu siapa pemilik alamat yang akan menerimanya? Apa hubungannya dengan Mr. Richard?
Claire Belle. Nama seorang perempuan yang tertera di atas sebuah alamat yang diberikan Mr. Richard. Mungkin Claire ini anak atau istri bos-ku, itu tebakanku, tapi rasanya aku tak pernah tahu kalau Mr. Richard menyebutkan istri atau anaknya. Ia seorang bos besar di bidang real estate. Pengusaha sukses, terkenal, namun sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya. Aku sudah bekerja padanya selama hampir lima tahun, dan selama itu aku hanya tahu ia hidup sendiri. Ia kesepian, aku bisa melihat itu dari wajahnya yang nampak sedih jika sudah berada di rumahnya yang seperti istana. Pernah aku mencoba menanyakan tentang keluarganya, bukan jawaban yang kudapat darinya, malah sebuah surat peringatan yang kudapat. Kusingkirkan semua pertanyaan tentang Mr.Richard dan kotak berbungkus coklat di tanganku ini. Besok pagi aku harus berangkat ke bandara dan terbang ke Thailand untuk menemukan seseorang bernama Claire Belle ini.
Tetiba ponselku berdering ketika aku baru saja memasukkan kotak itu ke dalam ransel yang hendak kubawa besok. Sebuah pesan masuk. Sesuatu mengalir hangat di dalam tubuhku ketika mengetahui nama pengirim pesan tersebut.
**
Dengan susah payah aku membuka mataku. Kurasakan nyeri di bagian belakang leher yang membuatku sulit menggerakkan kepala, dan aku mendapati diriku dalam keadaan terikat. “Perbuatan siapa ini?!” Geramku tertahan. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui jawabnnya. Seorang perempuan muda dan cantik muncul dari balik pintu bersama dengan beberapa pria berbadan kekar di belakangnya.
“Mimpi indah, Nick?” tanyanya sinis padaku. Aku mengenali wajahnya ketika ia mendekat ke arahku. Bagaimana aku bisa tidak mengenalinya? Wajah itu yang sudah memenuhi otakku selama lima tahun belakangan. Sial. Aku sudah ditipu olehnya.
Aku ingat ketika ia meminta bertemu denganku semalam. Tentu saja aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami mengobrol di depan rumah kost-ku hingga membuat kami lupa waktu, mulai dari mengobrol sampai akhirnya kami menghabiskan sisa malam itu di atas ranjangku.  Bahkan aroma strawberry dari rambutnya masih begitu lekat kuingat. Perempuan ini begitu pandai menjalankan tugasnya. Bagaimana tidak, aku bahkan tak menyadari kalau ia sedang berusaha mengorek informasi tentang Mr. Richard dan kotak yang dititipkan padaku. Oh Tuhan, maafkan aku Mr. Richard...
“Terima kasih sudah menjaga kotak ini dengan baik, Nick,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang tak lagi terbungkus kertas coklat. “Hanya saja aku belum menemukan sesuatu yang juga kubutuhkan,” katanya lagi lebih dekat denganku.
“Untuk apa kamu mengambil kotak itu dariku, Marsh?” tanyaku. “Apa isi kotak itu begitu berharga untukmu?”
Dia tertawa. “Tentu saja, Nick. Kalau tidak, untuk apa aku repot-repot membuang waktu untuk lelaki sepertimu semalam?!”
Lalu mataku tertumbuk pada salah satu diantara lelaki berpakaian serba hitam di belakangnya. Mataku membulat mendapati orang itu disana. Sialan!
“Herman?!” geramku. Marsh menengok ke arah lelaki botak yang kulihat. Dia tertawa lagi.
“Kejutan untukmu, Nick,” katanya. Di belakangnya, Herman hanya tersenyum yang sama sinisnya dengan Marsh.
“Biar kutebak, Nick. Kamu pasti tidak tahu isi kotak ini dan mengapa Richard mengirimmu ke Thailand ‘kan?” Tawanya terdengar memenuhi ruangan yang pengap dan kotor ini.
“Kasihan kamu Nick, hanya dijadikan boneka oleh lelaki tua itu,” ucapnya dengan jemarinya membelai wajahku. “Kalau begitu, biar aku saja yang beritahu, oke?”
Marsh mendekatkan wajanya ke arahku. Aroma strawberry kembali menusuk indera penciumanku, membuatku teringat apa yang terjadi di ranjangku semalam. Ia meniup daun telingaku dengan lembut kemudian membisikkan sesuatu di telingaku. Jangan...
**
“Marsh...!!” pekikku sambil membuka mataku. Aku bisa merasakan detak jantungku tak beraturan. Mataku berusaha mengenali sekelilingku. Beberapa laki-laki terlihat di dekatku.
“Kenapa Nick? Mimpi buruk lu?” tanya Herman sambil tertawa yang diikuti tawa dari teman-temannku yang lain.
“Gue dimana?” tanyaku memastikan.
“Di kamar lu lah... Emang maunya dimana, heh?” jawab Bobby.
“Herman, lu kenal sama Marsh?” tanyaku serius pada Herman.
Herman mengernyitkan kening tak mengerti. “Mars? Planet Mars maksud lu?” candanya.
Aku menggeleng. “Bukan. Marsh itu cewek, cantik,” kataku.
“Jangan-jangan Marsh itu cewek yang tadi lu panggil-panggil waktu tidur ya?” tebak Bobby.
Aku duduk dan mengahdap mereka bertiga. “Emang tadi gue mangggil-manggil namanya waktu tidur?” tanyaku.
“Berkali-kali, udah kayak orang kesurupan aja tadi manggil-manggil nggak jelas,” jawab Bobby yang diamini Bobby dan Ben.
“Makanya cari pacar beneran, bro. Jangan Cuma pacaran di mimpi aja,” seloroh Ben kali ini. 
Argghh, jadi semua itu hanya mimpi?! Menyebalkan. Tugas dari Mr.Richard, kotak bersampul coklat, tiket ke Thailand, bertemu dengan Marsh, hingga tidur bersamanya... Oh, lupakan yang terakhir. Bahkan ketika sakit pun aku masih bisa bermimpi macam itu?! Ckckckckk...
Ketiga temanku itu terlihat puas menertawaiku tentang Marsh, perempuan cantik yang kutaksir sejak masih di bangku kuliah. Aku menerima nasib saja dengan ketidakberuntunganku kali ini. Salmonella thyposa sialan yang membuatku harus tinggal di atas tempat tidur selama seminggu terakhir dan akhirnya jadi bahan olokan mereka. Lihat saja nanti, aku yang akan balik menertawai mereka.
Tawa mereka akhirnya terhenti ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Ben beranjak untuk membukakan pintu. Seorang perempuan dengan lace dress warna putih gading dan birkin bag berwarna oranye masuk ke dalam kamarku. Tawa Ben, Herman, dan Bobby yang sedari tadi membuatku pening mendadak lenyap ketika ia datang. Mereka semua tentu heran bagaimana bisa ia datang ke kamarku, seorang lelaki gondrong yang betah menjomblo. Aku pun tak kalah kaget dengan kehadirannya. Itu Marsh!


***

2 komentar: