weheartit.com |
1st paragraph by Wita Purwati
Angin
berhembus dan dingin yang begitu merajam. Malam yang tak berbintang.
Bintang-bintang itu sepertinya pindah malah mengitari kepalaku yang gondrong
dan lengket. Sudah hampir seminggu ini aku terbaring di kamar. Sepertinya
Salmonella thyposa enggan minggat dari tubuhku. Akibatnya aku tak bisa bergerak bebas. Semakin kacau ketika
teman-teman datang menjengukku. Mereka hanya merecoki keadaanku yang tidak baik
ini. Menjadikan kejombloanku sebagai topik yang paling hebat ketika menjenguk.
Tapi seketika hening ketika dia datang.
**
Mr. Richard menyodorkan sebuah
kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat padaku siang itu di
salah satu kursi tunggu di stasiun. Aku memandangnya dan kotak itu bergantian,
menunggu penjelasan dari lelaki berjaket kulit hitam di sampingku. Ia kemudian
memberikan selembar kertas kecil dan tiket pesawat. Aku membacanya cepat,
sebuah alamat.
“Kamu hanya perlu antar paket ini
ke alamat yang sudah kuberikan.” Mr Richard akhirnya bicara, namun dengan nada
pelan. Aku berusaha menangkap semua kata-katanya di tengah riuh suasana stasiun
yang tak sepi.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Kamu dibayar bukan untuk mengorek
informasi tentangku,” kata Mr. Richard dengan nada yang tetap pelan dan tenang.
Aku menunduk dan menyesali pertanyaanku. Ia bisa memecat siapa saja yang tidak
ia suka yang bekerja padanya, apalagi aku yang hanya sebagai supirnya.
“Ingat, ini rahasia!” ujarnya. “Antar
sebelum besok malam tiba,” tambahnya sebelum beranjak dari duduknya dan
berjalan meninggalkanku. Aku mengangguk pelan. Kulihat punggungnya menjauh dan
akhirnya hilang di belokan menuju pintu keluar.
**
Aku tengah mengeringkan rambutku
dengan handuk ketika teman kost-ku sedang mematut diri di depan cermin yang
menggantung di dinding kamar. Ia rapi sekali hari ini, kaus putih yang dibalut
jaket hijau dan celana jeans yang sudah ia setrika sore tadi. Aku pun mencium
wewangian yang sangat ku hafal aromanya memenuhi ruangan yang tak teralalu
besar ini.
“Lu pake parfum gue, ya?!”
todongku pada Herman, temanku, yang kemudian nyengir lebar mendengarku. “Dikit doang kok, masbro,” jawabnya.
“Beli makanya, jangan minta
mulu,” kataku sambil merebut botol parfum yang dipegang Herman.
“Iya, nanti gue beli sendiri, lu
juga bisa gue beliin,” selorohnya sambil kembali ke cermin.
“Mau kemana sih malem-malem udah
rapi banget?” tanyaku.
“Biasa, masbro,”katanya dengan
senyum yang aneh. “Ketemu pacar lah.”
Aku hanya mengangguk pelan tanpa
bersuara lagi. Betapa beruntungnya si Herman ini, dengan wajah yang tak lebih
tampan dariku saja bisa mendapatkan perempuan cantik macam Laura yang mirip
model majalah ibukota. Sedangkan aku, masih saja setia dengan kesendirianku.
“Jangan sedih, masbro, nanti gue
kenalin sama temannya Laura yang cantik-cantik itu.” Herman rupanya menyadari
keadaan dan berusaha menghiburku.
“Udah pergi sana, kasian pacar lu
nungguin.” Aku tak ingin dia mengasihaniku seolah aku ini sudah benar-benar tak
laku lagi.
“Oke, by the way itu apaan di meja lu?” tanyanya menunjuk kotak Mr.
Richard.
“Tugas dari bos,” jawabku
singkat.
“Mr. Richard?” tanyanya
memastikan.
Aku mengangguk. “Udah sana
berangkat,” kataku malas menjawab pertanyaannya.
“Oke... oke... Gue pergi dulu ya,
jaga diri baik-baik,” katanya sebelum membuka pintu dan kemudian pergi.
Kuletakkan botol parfum itu ke
meja kecil di sebelah tempat tidurku. Mataku melihat kotak yang diberikan Mr.
Richard tadi siang. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku sejak kotak ini
diberikan padaku tadi siang. Apa isi dari kotak ini? Kenapa ia memilihku yang
suka membuat masalah, dan tidak menyuruh anak buahnya yang lain untuk
mengantarnya? Lalu siapa pemilik alamat yang akan menerimanya? Apa hubungannya
dengan Mr. Richard?
Claire Belle. Nama seorang
perempuan yang tertera di atas sebuah alamat yang diberikan Mr. Richard.
Mungkin Claire ini anak atau istri bos-ku, itu tebakanku, tapi rasanya aku tak
pernah tahu kalau Mr. Richard menyebutkan istri atau anaknya. Ia seorang bos
besar di bidang real estate. Pengusaha sukses, terkenal, namun sangat tertutup
tentang kehidupan pribadinya. Aku sudah bekerja padanya selama hampir lima
tahun, dan selama itu aku hanya tahu ia hidup sendiri. Ia kesepian, aku bisa
melihat itu dari wajahnya yang nampak sedih jika sudah berada di rumahnya yang
seperti istana. Pernah aku mencoba menanyakan tentang keluarganya, bukan
jawaban yang kudapat darinya, malah sebuah surat peringatan yang kudapat. Kusingkirkan
semua pertanyaan tentang Mr.Richard dan kotak berbungkus coklat di tanganku
ini. Besok pagi aku harus berangkat ke bandara dan terbang ke Thailand untuk
menemukan seseorang bernama Claire Belle ini.
Tetiba ponselku berdering ketika
aku baru saja memasukkan kotak itu ke dalam ransel yang hendak kubawa besok.
Sebuah pesan masuk. Sesuatu mengalir hangat di dalam tubuhku ketika mengetahui
nama pengirim pesan tersebut.
**
Dengan susah payah aku membuka mataku.
Kurasakan nyeri di bagian belakang leher yang membuatku sulit menggerakkan
kepala, dan aku mendapati diriku dalam keadaan terikat. “Perbuatan siapa ini?!” Geramku tertahan. Tak butuh waktu lama untuk
mengetahui jawabnnya. Seorang perempuan muda dan cantik muncul dari balik pintu
bersama dengan beberapa pria berbadan kekar di belakangnya.
“Mimpi indah, Nick?” tanyanya
sinis padaku. Aku mengenali wajahnya ketika ia mendekat ke arahku. Bagaimana
aku bisa tidak mengenalinya? Wajah itu yang sudah memenuhi otakku selama lima
tahun belakangan. Sial. Aku sudah ditipu olehnya.
Aku ingat ketika ia meminta
bertemu denganku semalam. Tentu saja aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Kami mengobrol di depan rumah kost-ku hingga membuat kami lupa waktu, mulai
dari mengobrol sampai akhirnya kami menghabiskan sisa malam itu di atas
ranjangku. Bahkan aroma strawberry dari
rambutnya masih begitu lekat kuingat. Perempuan ini begitu pandai menjalankan
tugasnya. Bagaimana tidak, aku bahkan tak menyadari kalau ia sedang berusaha
mengorek informasi tentang Mr. Richard dan kotak yang dititipkan padaku. Oh
Tuhan, maafkan aku Mr. Richard...
“Terima kasih sudah menjaga kotak
ini dengan baik, Nick,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang tak lagi
terbungkus kertas coklat. “Hanya saja aku belum menemukan sesuatu yang juga
kubutuhkan,” katanya lagi lebih dekat denganku.
“Untuk apa kamu mengambil kotak
itu dariku, Marsh?” tanyaku. “Apa isi kotak itu begitu berharga untukmu?”
Dia tertawa. “Tentu saja, Nick.
Kalau tidak, untuk apa aku repot-repot membuang waktu untuk lelaki sepertimu
semalam?!”
Lalu mataku tertumbuk pada salah
satu diantara lelaki berpakaian serba hitam di belakangnya. Mataku membulat
mendapati orang itu disana. Sialan!
“Herman?!” geramku. Marsh
menengok ke arah lelaki botak yang kulihat. Dia tertawa lagi.
“Kejutan untukmu, Nick,” katanya.
Di belakangnya, Herman hanya tersenyum yang sama sinisnya dengan Marsh.
“Biar kutebak, Nick. Kamu pasti
tidak tahu isi kotak ini dan mengapa Richard mengirimmu ke Thailand ‘kan?”
Tawanya terdengar memenuhi ruangan yang pengap dan kotor ini.
“Kasihan kamu Nick, hanya
dijadikan boneka oleh lelaki tua itu,” ucapnya dengan jemarinya membelai
wajahku. “Kalau begitu, biar aku saja yang beritahu, oke?”
Marsh mendekatkan wajanya ke
arahku. Aroma strawberry kembali menusuk indera penciumanku, membuatku teringat
apa yang terjadi di ranjangku semalam. Ia meniup daun telingaku dengan lembut
kemudian membisikkan sesuatu di telingaku. Jangan...
**
“Marsh...!!” pekikku sambil
membuka mataku. Aku bisa merasakan detak jantungku tak beraturan. Mataku
berusaha mengenali sekelilingku. Beberapa laki-laki terlihat di dekatku.
“Kenapa Nick? Mimpi buruk lu?”
tanya Herman sambil tertawa yang diikuti tawa dari teman-temannku yang lain.
“Gue dimana?” tanyaku memastikan.
“Di kamar lu lah... Emang maunya
dimana, heh?” jawab Bobby.
“Herman, lu kenal sama Marsh?”
tanyaku serius pada Herman.
Herman mengernyitkan kening tak
mengerti. “Mars? Planet Mars maksud lu?” candanya.
Aku menggeleng. “Bukan. Marsh itu
cewek, cantik,” kataku.
“Jangan-jangan Marsh itu cewek
yang tadi lu panggil-panggil waktu tidur ya?” tebak Bobby.
Aku duduk dan mengahdap mereka
bertiga. “Emang tadi gue mangggil-manggil namanya waktu tidur?” tanyaku.
“Berkali-kali, udah kayak orang
kesurupan aja tadi manggil-manggil nggak jelas,” jawab Bobby yang diamini Bobby
dan Ben.
“Makanya cari pacar beneran, bro.
Jangan Cuma pacaran di mimpi aja,” seloroh Ben kali ini.
Argghh, jadi semua itu hanya mimpi?! Menyebalkan. Tugas dari
Mr.Richard, kotak bersampul coklat, tiket ke Thailand, bertemu dengan Marsh,
hingga tidur bersamanya... Oh, lupakan yang terakhir. Bahkan ketika sakit pun
aku masih bisa bermimpi macam itu?! Ckckckckk...
Ketiga temanku itu terlihat puas
menertawaiku tentang Marsh, perempuan cantik yang kutaksir sejak masih di
bangku kuliah. Aku menerima nasib saja dengan ketidakberuntunganku kali ini. Salmonella thyposa sialan yang membuatku
harus tinggal di atas tempat tidur selama seminggu terakhir dan akhirnya jadi
bahan olokan mereka. Lihat saja nanti, aku yang akan balik menertawai mereka.
Tawa mereka akhirnya terhenti
ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Ben beranjak untuk membukakan pintu.
Seorang perempuan dengan lace dress
warna putih gading dan birkin bag berwarna
oranye masuk ke dalam kamarku. Tawa Ben, Herman, dan Bobby yang sedari tadi
membuatku pening mendadak lenyap ketika ia datang. Mereka semua tentu heran
bagaimana bisa ia datang ke kamarku, seorang lelaki gondrong yang betah
menjomblo. Aku pun tak kalah kaget dengan kehadirannya. Itu Marsh!
***
Yeay! Akhirnya! <3
BalasHapuskeluar dari zona ya? hhahahaa..
BalasHapus