Denting yang bunyinya kelu.
Karena aku tak pernah tahu mengapa aku dilahirkan. Mengapa aku masih bisa
bertahan hidup. Meski masa selalu menguntit sejak ramai hingga sepi tak
terbilang. Aku pun tak tahu, mengapa waktu mempertemukan aku denganmu. Denganmu
yang hampir tergapai indah meski akhirnya aku melemah dan berusaha
mengikhlaskan dirimu demi cahaya yang tak akan pernah redup. Karena aku hanya
lilin yang apinya mudah tergoyah angin dan sewaktu-waktu bisa mati. Karena ini
murni kesalahanku. Sudah aku sebutkan bahwa aku hanya lilin yang mudah meleleh
yang apinya mudah tergoyah angin. Tapi mengapa kamu begitu keukeuh dengan
keputusanmu. Tapi ini bukanlah keputusanmu. Ini adalah keputusanku. Kamu harus
mengikuti apa yang aku pilih. Tapi aku akan berada di depanmu. Selalu. Maafkan
aku Juli.
“Maafkan aku, Pras,” ucap
perempuan itu sambil terisak. Bukan kamu yang seharusnya menangis, Juls, tapi
aku. Kuraih tangannya dan mengenggamnya, berharap ia sedikit lebih tenang.
“Bukan salahmu, Juls,” ucapku
pelan. Ia mengangkat wajahnya, melihat ku dengan pandangan bersalah.
“Berjanjilah padaku kalau kamu akan hidup dengan baik dan bahagia setelah ini.”
“Pras...,” Juli balik menggenggam
tanganku erat, seolah takut aku akan segera pergi dari sisinya. Aku memang akan
pergi, dan sudah seharusnya begitu. Tempatku bukan di sini, di sisimu yang
selalu menjadi salah satu alasanku untuk selalu pulang.
Perlahan kulepaskan tangannya
dari tanganku. Aku tetap pada keputusanku untuk pergi, meninggalkanmu. Juli
harus hidup bahagia, meski bukan denganku.
**
Cangkir kecil berisi kopi itu
bahkan masih belum berkurang isinya semenjak pramusaji tadi meletakkannya di
meja lima belas menit lalu. Aku masih berkutat dengan autocad-ku, mengerjakan
design sebuah rumah. Hanya perlu sedikit detail lagi dan selesai. Perempuan
yang duduk di depanku pun tenggelam dalam bacaanya sambil sesekali menyesap teh
hijau kesukaannya. Kami begitu hanyut dalam dunia kami masing-masing.
“Aku hampir selesai,” ucapku
memberitahunya.
“Kalau begitu, aku pun akan
selesai,” balasnya dengan mata yang masih belum beranjak dari deretan aksara
yang begitu menghipnotisnya sejak dulu.
“Oh ya, kudengar Juls... mmm
maksudku Juli, memintamu untuk merancangkan gaunnya padamu bukan?” tanyaku
teringat akan cerita dari temanku tentang Juli yang benar-benar akan menikah
dengan lelaki itu.
“Kau keberatan?” tanyanya, masih
dengan novel tebalnya.
“Kenapa harus keberatan? Bukankah
kau designer-nya?”
“Aku akan menolaknya jika kamu
mau.” Nada bicaranya tenang, khas dirinya. Salah satu hal yang kusuka darinya
selain mandiri, cerdas, dewasa, dan tentu saja cantik. April.
**
“Kapan kamu akan menghubungiku?”
tanya Juls, panggilanku untuk Juli. Tangannya bergelayut manja di lenganku.
“Juls, aku bahkan belum naik
pesawat, dan kau sudah menanyakan hal itu?!” kataku terkekeh.
“Aku hanya tak bisa jauh darimu,
Pras.”
“Aku pun begitu, Juls. Kamu
adalah alasanku untuk cepat pulang,” ucapku sambil membelai rambutnya yang
kemerahan.
“Berjanjilah kau akan hidup
dengan baik, makan dengan baik, dan selalu kabari aku.”
“I promise!” Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke
arahnya.
Tentu aku akan pulang, Juls,
karena alasan terbesarku adalah dirimu. Hanya kamu. Dan aku berharap, cincin
yang kusimpan dalam saku ini masih setia bersamaku hingga aku kembali nanti.
Semua itu sudah tentu ada waktunya, dan aku memilih hari dimana aku pulang
untukmu nanti. Segalanya sudah terprogram dengan baik dalam otakku.
Ya, dan segala yang sudah ku
program dengan baik pun bisa saja hancur seketika. Aku tak menyalahkan kamu
tentu saja. Kegagalan ini adalah kesalahan yang kubuat sendiri. Mungkin aku
seharusnya tak pernah menunda untuk memintamu sebelum aku pergi ketika itu.
Waktu selalu saja memberi kejutan untuk kita, aku dan kamu.
Lelaki itu, yang hadir setelah
aku pergi, aku yakin ia tak akan pernah menyia-nyiakanmu dengan menunda sesuatu
yang besar seperti yang pernah kulakukan. Aku merelakanmu, Juli. Karena ini
adalah salahku. Hanya salahku.
Perasaan manusia tentu bisa
berubah seiring waktu, seperti katamu itu. Kamu tentu merasakan perubahan itu
semenjak aku pergi dan dia datang. Aku tak menyalahkanmu, Juli. Tentu tidak.
Tapi aku masih belum bisa merubah perasaanku padamu. Ia masih sama seperti
terakhir kita bertemu. Aku masih mencintaimu. Mungkin bukan akulah yang
memenuhi sebagian besar ruang hatimu.
**
“Kita pergi sekarang, Pras?”
tanya April, sambil memastikan rambutnya tak ada yang lepas dari sanggul
kecilnya.
“Jika kamu sudah siap,” jawabku.
April berdecak. “Harusnya aku
yang berkata seperti itu, bukan kamu.” Ia mengangkat wajahku yang tertunduk,
memaksaku melihat mata cokelatnya yang indah. “Kamu sudah siap, Pras?”
Kubentuk senyum di bibirku.
“Selalu siap.”
April meraih tas tangannya dan
bersiap pergi. “April...,” panggilku. Ia menoleh dan kembali menghampiriku yang
masih saja duduk di kursi teras rumahnya.
“Kenapa lagi, Pras? Berubah
pikiran?”
Aku menggeleng. “Maaf.”
April mengernyitkan keningnya
bingung. “Untuk?”
“Maaf karena menyeretmu dalam
masalahku dan Juli.”
“Aku akan membantu dengan senang
hati, Pras. Kau berkorban begitu banyak untuknya, meski harus menyaksikan ia
menikah dengan lelaki yang tentu saja bukan dirimu,” ucapnya.
Aku menyeret April dalam pusaran
masalahku dan Juli. Aku tahu Juli mencintai lelaki itu namun tak ingin
melepasku juga. Ia bahkan nyaris membatalkan pernikahannya dengan kembalinya
aku. April kubawa sebagai alasan agar ia bisa hidup lebih baik. Selalu ada yang
dikorbankan untuk sebuah kebahagiaan.
“Kau begitu baik, terima kasih
April,” kataku padanya.
“Selalu ada yang dikorbankan
untuk satu kebahagiaan, Pras. Dan ini adalah caraku membuatmu bahagia,”
balasnya.
Maafkan aku, April. Kuharap
pengorbananmu tak akan pernah aku sia-siakan. Aku tak ingin mengulangi
kesalahan yang sama. Akan kucoba untuk belajar mencintaimu, jadi mohon tetaplah
bersamaku.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar