Rabu, 14 Agustus 2013

After Juli #theparagraph

Denting yang bunyinya kelu. Karena aku tak pernah tahu mengapa aku dilahirkan. Mengapa aku masih bisa bertahan hidup. Meski masa selalu menguntit sejak ramai hingga sepi tak terbilang. Aku pun tak tahu, mengapa waktu mempertemukan aku denganmu. Denganmu yang hampir tergapai indah meski akhirnya aku melemah dan berusaha mengikhlaskan dirimu demi cahaya yang tak akan pernah redup. Karena aku hanya lilin yang apinya mudah tergoyah angin dan sewaktu-waktu bisa mati. Karena ini murni kesalahanku. Sudah aku sebutkan bahwa aku hanya lilin yang mudah meleleh yang apinya mudah tergoyah angin. Tapi mengapa kamu begitu keukeuh dengan keputusanmu. Tapi ini bukanlah keputusanmu. Ini adalah keputusanku. Kamu harus mengikuti apa yang aku pilih. Tapi aku akan berada di depanmu. Selalu. Maafkan aku Juli.
“Maafkan aku, Pras,” ucap perempuan itu sambil terisak. Bukan kamu yang seharusnya menangis, Juls, tapi aku. Kuraih tangannya dan mengenggamnya, berharap ia sedikit lebih tenang.
“Bukan salahmu, Juls,” ucapku pelan. Ia mengangkat wajahnya, melihat ku dengan pandangan bersalah. “Berjanjilah padaku kalau kamu akan hidup dengan baik dan bahagia setelah ini.”
“Pras...,” Juli balik menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan segera pergi dari sisinya. Aku memang akan pergi, dan sudah seharusnya begitu. Tempatku bukan di sini, di sisimu yang selalu menjadi salah satu alasanku untuk selalu pulang.
Perlahan kulepaskan tangannya dari tanganku. Aku tetap pada keputusanku untuk pergi, meninggalkanmu. Juli harus hidup bahagia, meski bukan denganku.
**
Cangkir kecil berisi kopi itu bahkan masih belum berkurang isinya semenjak pramusaji tadi meletakkannya di meja lima belas menit lalu. Aku masih berkutat dengan autocad-ku, mengerjakan design sebuah rumah. Hanya perlu sedikit detail lagi dan selesai. Perempuan yang duduk di depanku pun tenggelam dalam bacaanya sambil sesekali menyesap teh hijau kesukaannya. Kami begitu hanyut dalam dunia kami masing-masing.
“Aku hampir selesai,” ucapku memberitahunya.
“Kalau begitu, aku pun akan selesai,” balasnya dengan mata yang masih belum beranjak dari deretan aksara yang begitu menghipnotisnya sejak dulu.
“Oh ya, kudengar Juls... mmm maksudku Juli, memintamu untuk merancangkan gaunnya padamu bukan?” tanyaku teringat akan cerita dari temanku tentang Juli yang benar-benar akan menikah dengan lelaki itu.
“Kau keberatan?” tanyanya, masih dengan novel tebalnya.
“Kenapa harus keberatan? Bukankah kau designer-nya?”
“Aku akan menolaknya jika kamu mau.” Nada bicaranya tenang, khas dirinya. Salah satu hal yang kusuka darinya selain mandiri, cerdas, dewasa, dan tentu saja cantik. April.
**

“Kapan kamu akan menghubungiku?” tanya Juls, panggilanku untuk Juli. Tangannya bergelayut manja di lenganku.
“Juls, aku bahkan belum naik pesawat, dan kau sudah menanyakan hal itu?!” kataku terkekeh.
“Aku hanya tak bisa jauh darimu, Pras.”
“Aku pun begitu, Juls. Kamu adalah alasanku untuk cepat pulang,” ucapku sambil membelai rambutnya yang kemerahan.
“Berjanjilah kau akan hidup dengan baik, makan dengan baik, dan selalu kabari aku.”
“I promise!” Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke arahnya.
Tentu aku akan pulang, Juls, karena alasan terbesarku adalah dirimu. Hanya kamu. Dan aku berharap, cincin yang kusimpan dalam saku ini masih setia bersamaku hingga aku kembali nanti. Semua itu sudah tentu ada waktunya, dan aku memilih hari dimana aku pulang untukmu nanti. Segalanya sudah terprogram dengan baik dalam otakku.
Ya, dan segala yang sudah ku program dengan baik pun bisa saja hancur seketika. Aku tak menyalahkan kamu tentu saja. Kegagalan ini adalah kesalahan yang kubuat sendiri. Mungkin aku seharusnya tak pernah menunda untuk memintamu sebelum aku pergi ketika itu. Waktu selalu saja memberi kejutan untuk kita, aku dan kamu.
Lelaki itu, yang hadir setelah aku pergi, aku yakin ia tak akan pernah menyia-nyiakanmu dengan menunda sesuatu yang besar seperti yang pernah kulakukan. Aku merelakanmu, Juli. Karena ini adalah salahku. Hanya salahku.
Perasaan manusia tentu bisa berubah seiring waktu, seperti katamu itu. Kamu tentu merasakan perubahan itu semenjak aku pergi dan dia datang. Aku tak menyalahkanmu, Juli. Tentu tidak. Tapi aku masih belum bisa merubah perasaanku padamu. Ia masih sama seperti terakhir kita bertemu. Aku masih mencintaimu. Mungkin bukan akulah yang memenuhi sebagian besar ruang hatimu.
**
“Kita pergi sekarang, Pras?” tanya April, sambil memastikan rambutnya tak ada yang lepas dari sanggul kecilnya.
“Jika kamu sudah siap,” jawabku.
April berdecak. “Harusnya aku yang berkata seperti itu, bukan kamu.” Ia mengangkat wajahku yang tertunduk, memaksaku melihat mata cokelatnya yang indah. “Kamu sudah siap, Pras?”
Kubentuk senyum di bibirku. “Selalu siap.”
April meraih tas tangannya dan bersiap pergi. “April...,” panggilku. Ia menoleh dan kembali menghampiriku yang masih saja duduk di kursi teras rumahnya.
“Kenapa lagi, Pras? Berubah pikiran?”
Aku menggeleng. “Maaf.”
April mengernyitkan keningnya bingung. “Untuk?”
“Maaf karena menyeretmu dalam masalahku dan Juli.”
“Aku akan membantu dengan senang hati, Pras. Kau berkorban begitu banyak untuknya, meski harus menyaksikan ia menikah dengan lelaki yang tentu saja bukan dirimu,” ucapnya.
Aku menyeret April dalam pusaran masalahku dan Juli. Aku tahu Juli mencintai lelaki itu namun tak ingin melepasku juga. Ia bahkan nyaris membatalkan pernikahannya dengan kembalinya aku. April kubawa sebagai alasan agar ia bisa hidup lebih baik. Selalu ada yang dikorbankan untuk sebuah kebahagiaan.
“Kau begitu baik, terima kasih April,” kataku padanya.
“Selalu ada yang dikorbankan untuk satu kebahagiaan, Pras. Dan ini adalah caraku membuatmu bahagia,” balasnya.
Maafkan aku, April. Kuharap pengorbananmu tak akan pernah aku sia-siakan. Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Akan kucoba untuk belajar mencintaimu, jadi mohon tetaplah bersamaku.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar