1st paragraph by Wita
Mungkin inilah salah satu hasil dari rasa syukur yang sering kami
panjatkan. Kehidupanku begitu damai bersama kedua orang tuaku, kedua kakakku,
dan dua orang adikku. Bahagianya ketika matahari tetap terbit di posisi yang
seharusnya, memancarkan energi yang mengakibatkan tubuh selalu segar. Meski
hawa dingin di pagi hari terkadang menjadi godaan buruk untuk meraih secercah
sinar. Tapi tinggal di daerah dengan masyarakat yang begitu saling menghormati
dan saling menghargai adalah suatu rasa syukur yang luar biasa. Bisa
berdampingan tanpa ada rasa buruk di hati masing-masing. Pagi itu keluargaku
dan masyarakat yang lain sedang melaksanakan kerja bakti mingguan di setiap
Sabtu. Kegiatan yang memberikan banyak manfaat bagi kami semua. Rumput-rumput
liar hilang, sampah-sampah pun musanah. Begitu nyamannya tempat kami tinggal.
Hingga beberapa detik kemudian, kami mendengar suara gemuruh yang mengakibatkan
burung-burung berterbangan di atas kami. Lama-lama gemuruh itu mengakibatkan
getaran hebat. Kami beserta masyarakat lain saling berpegangan. Terpampang sudah
wajah pucat pada diri kami semua. Apalagi tak lama kemudian bebrapa rumah
hancur sektika. Ya Tuhan... Ada apa ini?!
**
Gagas
Malam masih terlalu gelap ketika
gunung berapi menunjukkan adanya aktivitas vulkanik. Awan panas meluncur dari
mulut gunung. Aku dan beberapa petugas dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian terus bersiaga meski rasa takut juga tak luput
menghampiri kami. Doa tak henti-hentinya kubaca, meski dalam hati.
Empat buah seismograf yang ada,
kesemuanya mencatat amplitudo getaran yang sangat besar, bahkan ada yang
jarumnya sampai terlepas beberapa kali. Semua petugas monitoring, termasuk aku,
menjadi panik dan sibuk luar biasa dengan keadaan yang sedang terjadi. Semua
begitu mencekam dan menakutkan, karena gunung yang sedang kami pantau bisa
kapan saja memuntahkan isi perutnya.
“Gagas, cepat hubungi pos
pengamatan di lereng!” Kudengar perintah yang meluncur cepat dari Pak Adi,
ketua tim pemantau di pos pusat tempatku berada sekarang. Aku tak
membuang-buang waktu lagi untuk melaksanakan perintahnya. Segera kukontak tim
pemantau lain dengan menggunakan radio HT.
Mereka pun melaporkan kejadian
yang sama seperti yang kami tangkap. Mereka bilang semuanya tertutup kabut yang
sangat tebal, dan mereka pun tak ada yang bisa menduga tentang apa yang ada di
balik kabut tebal tersebut.
Tuhan, kumohon lindungi kami. Tak henti-hentinya aku menyebut nama
Tuhanku, baik dalam hati, pikiran , maupun bibirku.
Tak sampai setengah jam, jarum
seismograf kembali lepas dan gulungan-gulungan kertas harus diganti lebih
sering. Terjadi letusan sebanyak tiga kali yang juga diserati dengan awan
panas. Perintah untuk meninggalkan pos pun dikeluarkan untuk pos yang berada di
lereng gunung. Sirine dibunyikan, dan doa terus keluar dari bibir semua orang, menggema
di telingaku.
**
Maraya
Getaran hebat terus mengguncang
bumi dimana kami berpijak. Tubuh kami limbung, hilang keseimbangan. Semua orang
berhamburan keluar dari rumah mereka yang nyaman, berusaha semampu mereka untuk
menyelamatkan diri dan melindungi orang-orang tercinta. Semua begitu panik,
kacau, dan tak terkendali, tak terkecuali aku dan keluargaku.
Terdengar suara letusan yang
berasal dari gunung berapi beberapa kali. Kulihat gumpalan seperti asap tebal
berwarna abu yang pekat keluar dari mulut gunung yang sedang bergejolak isi
perutnya itu. Semuanya terus berlari sejauh mungkin dari desa yang indah dan
sejuk ini, sementara di atas sana, cairan merah yang disebut larva mulai
mengalir perlahan menuju desa kami yang hanya berjarak enam kilometer dari
gunung.
Sebenarnya bukan tidak ada
peringatan yang diberikan pada warga desa tentang bencana ini. Pemerintah sudah
memperingatkan tentang kemungkinan gunung meletus dan perintah untuk evakuasi
warga jauh-jauh hari sejak adanya hujan abu yang menimpa desa kami, tetapi
hampir semua warga enggan meninggalkan rumah mereka karena takut akan
kehilangan harta ataupun ternak mereka. Hujan abu atau gempa sudah sering kami
rasakan, jadi kami berpikir kalau hujan abu beberapa hari lalu hanyalah hujan
abu biasa.
Lalu rencana Tuhan terjadi di
luar dugaan manusia-manusia yang tinggal di kaki gunung ini. Semua penduduk
terus berlari dalam ketakutan dan kepanikan yang sangat tinggi. Aku menyadari
sesuatu, aku sudah terpisah. Entah dimana ayah, ibu, kakak-kakak, dan juga
adik-adikku. Kuteriakkan nama-nama mereka, namun suaraku seperti lenyap meski kerongkonganku
sakit karena berusaha mengeluarkan semua suaraku memanggil mereka.
“Ayah....”
“Ibu....”
Nafasku tercekat.
Ya Tuhan ku...
**
Para pemburu berita yang sejak
beberapa hari lalu ikut memantau aktivitas gunung untuk dilaporkan pada seluruh
penjuru negeri pun maih menunggu konfirmasi atau pernyataan dari tim pemantau
tentang letusan yang terjadi.
Pak Adi selaku ketua tim pun
menemui awak media dan mengeluarkan pernyataan resmi mengenai gunung berapi
tersebut. “Aktivitas vulkanik yang terdeteksi di seismograf mulai menurun.
Fokus kita sekarang adalah evakuasi. Meski begitu, masyarakat diharapkan untuk
tetap waspada karena hujan kerikil dan abu masih terjadi di beberapa tempat.”
Aku masih belum berhenti menyebut
nama Tuhan, sembari mengucap syukur untuk keselamatan kami yang masih diberi
waktu lebih. “Minumlah, Gas,” ucap Budi, rekan tim pemantau, sembari
menyodorkan segelas teh hangat beraroma melati yang sedikit membuat otakku
rileks. “Kamu sudah cukup tegang menghadapi gunung itu, yang membuatmu
kelimpungan mengganti gulungan kertas seismograf di atas normal. Hehehehee...,”
katanya mencoba mencairkan suasana yang sangat tegang.
Sekali lagi kubiarkan aroma
melati yang menguar dari dalam cangkir putih itu tercium indera penciumanku. Aku
melengkungkan bibirku, pertama kali setelah jarum seismograf pertama lepas dari
tempatnya. “Matur suwun, Bud,” ucapku
pada Budi.
Setidaknya gunung itu sudah
sedikit tenang sekarang. Ia sedang dalam kondisi nyenyak dalam dekap ibu
pertiwi.
**
Maraya
Aku jatuh. Terus berusaha
bangkit, namun sepertinya ibu pertiwi ingin menahanku untuk tetap tinggal di
desaku tercinta ini. Aku tersungkur dan memejamkan mata, berharap ada
keajaiban. Kurasakan sesuatu yang begitu panas mendekat. Nafasku tercekat,
nyaris tak mampu lagi membuang karbondioksida. Aku mencoba membuka mataku. Kulihat
ia mendekat, terus mendekat, dan mencoba meraihku.
Ibu... Aku bisa mencium aroma melati dari tujuh gelas belimbing yang berisi teh panas yang kau siapkan setiap pagi. Aromanya begitu kuat kurasakan, hingga aku lupa bagaimana bau belerang yang sedari tadi kuhirup.
Ibu... Aku ingin mencium aroma melati dari teh panas buatanmu esok pagi, lalu esok pagi lagi, dan esoknya lagi...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar