Minggu, 11 Agustus 2013

Melati #theparagraph

1st paragraph by Wita
Mungkin inilah salah satu hasil dari rasa syukur yang sering kami panjatkan. Kehidupanku begitu damai bersama kedua orang tuaku, kedua kakakku, dan dua orang adikku. Bahagianya ketika matahari tetap terbit di posisi yang seharusnya, memancarkan energi yang mengakibatkan tubuh selalu segar. Meski hawa dingin di pagi hari terkadang menjadi godaan buruk untuk meraih secercah sinar. Tapi tinggal di daerah dengan masyarakat yang begitu saling menghormati dan saling menghargai adalah suatu rasa syukur yang luar biasa. Bisa berdampingan tanpa ada rasa buruk di hati masing-masing. Pagi itu keluargaku dan masyarakat yang lain sedang melaksanakan kerja bakti mingguan di setiap Sabtu. Kegiatan yang memberikan banyak manfaat bagi kami semua. Rumput-rumput liar hilang, sampah-sampah pun musanah. Begitu nyamannya tempat kami tinggal. Hingga beberapa detik kemudian, kami mendengar suara gemuruh yang mengakibatkan burung-burung berterbangan di atas kami. Lama-lama gemuruh itu mengakibatkan getaran hebat. Kami beserta masyarakat lain saling berpegangan. Terpampang sudah wajah pucat pada diri kami semua. Apalagi tak lama kemudian bebrapa rumah hancur sektika. Ya Tuhan... Ada apa ini?!
**

Gagas

Malam masih terlalu gelap ketika gunung berapi menunjukkan adanya aktivitas vulkanik. Awan panas meluncur dari mulut gunung. Aku dan beberapa petugas dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian terus bersiaga meski rasa takut juga tak luput menghampiri kami. Doa tak henti-hentinya kubaca, meski dalam hati.
Empat buah seismograf yang ada, kesemuanya mencatat amplitudo getaran yang sangat besar, bahkan ada yang jarumnya sampai terlepas beberapa kali. Semua petugas monitoring, termasuk aku, menjadi panik dan sibuk luar biasa dengan keadaan yang sedang terjadi. Semua begitu mencekam dan menakutkan, karena gunung yang sedang kami pantau bisa kapan saja memuntahkan isi perutnya.
“Gagas, cepat hubungi pos pengamatan di lereng!” Kudengar perintah yang meluncur cepat dari Pak Adi, ketua tim pemantau di pos pusat tempatku berada sekarang. Aku tak membuang-buang waktu lagi untuk melaksanakan perintahnya. Segera kukontak tim pemantau lain dengan menggunakan radio HT.
Mereka pun melaporkan kejadian yang sama seperti yang kami tangkap. Mereka bilang semuanya tertutup kabut yang sangat tebal, dan mereka pun tak ada yang bisa menduga tentang apa yang ada di balik kabut tebal tersebut.
Tuhan, kumohon lindungi kami. Tak henti-hentinya aku menyebut nama Tuhanku, baik dalam hati, pikiran , maupun bibirku.  
Tak sampai setengah jam, jarum seismograf kembali lepas dan gulungan-gulungan kertas harus diganti lebih sering. Terjadi letusan sebanyak tiga kali yang juga diserati dengan awan panas. Perintah untuk meninggalkan pos pun dikeluarkan untuk pos yang berada di lereng gunung. Sirine dibunyikan, dan doa terus keluar dari bibir semua orang, menggema di telingaku.
**

Maraya

Getaran hebat terus mengguncang bumi dimana kami berpijak. Tubuh kami limbung, hilang keseimbangan. Semua orang berhamburan keluar dari rumah mereka yang nyaman, berusaha semampu mereka untuk menyelamatkan diri dan melindungi orang-orang tercinta. Semua begitu panik, kacau, dan tak terkendali, tak terkecuali aku dan keluargaku.
Terdengar suara letusan yang berasal dari gunung berapi beberapa kali. Kulihat gumpalan seperti asap tebal berwarna abu yang pekat keluar dari mulut gunung yang sedang bergejolak isi perutnya itu. Semuanya terus berlari sejauh mungkin dari desa yang indah dan sejuk ini, sementara di atas sana, cairan merah yang disebut larva mulai mengalir perlahan menuju desa kami yang hanya berjarak enam kilometer dari gunung.
Sebenarnya bukan tidak ada peringatan yang diberikan pada warga desa tentang bencana ini. Pemerintah sudah memperingatkan tentang kemungkinan gunung meletus dan perintah untuk evakuasi warga jauh-jauh hari sejak adanya hujan abu yang menimpa desa kami, tetapi hampir semua warga enggan meninggalkan rumah mereka karena takut akan kehilangan harta ataupun ternak mereka. Hujan abu atau gempa sudah sering kami rasakan, jadi kami berpikir kalau hujan abu beberapa hari lalu hanyalah hujan abu biasa.
Lalu rencana Tuhan terjadi di luar dugaan manusia-manusia yang tinggal di kaki gunung ini. Semua penduduk terus berlari dalam ketakutan dan kepanikan yang sangat tinggi. Aku menyadari sesuatu, aku sudah terpisah. Entah dimana ayah, ibu, kakak-kakak, dan juga adik-adikku. Kuteriakkan nama-nama mereka, namun suaraku seperti lenyap meski kerongkonganku sakit karena berusaha mengeluarkan semua suaraku memanggil mereka.   
“Ayah....”
“Ibu....”
Nafasku tercekat.
Ya Tuhan ku...
**

Gagas

Para pemburu berita yang sejak beberapa hari lalu ikut memantau aktivitas gunung untuk dilaporkan pada seluruh penjuru negeri pun maih menunggu konfirmasi atau pernyataan dari tim pemantau tentang letusan yang terjadi.
Pak Adi selaku ketua tim pun menemui awak media dan mengeluarkan pernyataan resmi mengenai gunung berapi tersebut. “Aktivitas vulkanik yang terdeteksi di seismograf mulai menurun. Fokus kita sekarang adalah evakuasi. Meski begitu, masyarakat diharapkan untuk tetap waspada karena hujan kerikil dan abu masih terjadi di beberapa tempat.”
Aku masih belum berhenti menyebut nama Tuhan, sembari mengucap syukur untuk keselamatan kami yang masih diberi waktu lebih. “Minumlah, Gas,” ucap Budi, rekan tim pemantau, sembari menyodorkan segelas teh hangat beraroma melati yang sedikit membuat otakku rileks. “Kamu sudah cukup tegang menghadapi gunung itu, yang membuatmu kelimpungan mengganti gulungan kertas seismograf di atas normal. Hehehehee...,” katanya mencoba mencairkan suasana yang sangat tegang.
Sekali lagi kubiarkan aroma melati yang menguar dari dalam cangkir putih itu tercium indera penciumanku. Aku melengkungkan bibirku, pertama kali setelah jarum seismograf pertama lepas dari tempatnya. “Matur suwun, Bud,” ucapku pada Budi.
Setidaknya gunung itu sudah sedikit tenang sekarang. Ia sedang dalam kondisi nyenyak dalam dekap ibu pertiwi.
**

Maraya

Aku jatuh. Terus berusaha bangkit, namun sepertinya ibu pertiwi ingin menahanku untuk tetap tinggal di desaku tercinta ini. Aku tersungkur dan memejamkan mata, berharap ada keajaiban. Kurasakan sesuatu yang begitu panas mendekat. Nafasku tercekat, nyaris tak mampu lagi membuang karbondioksida. Aku mencoba membuka mataku. Kulihat ia mendekat, terus mendekat, dan mencoba meraihku.  


Ibu... Aku bisa mencium aroma melati dari tujuh gelas belimbing yang berisi teh panas yang kau siapkan setiap pagi. Aromanya begitu kuat kurasakan, hingga aku lupa bagaimana bau belerang yang sedari tadi kuhirup. 
Ibu... Aku ingin mencium aroma melati dari teh panas buatanmu esok pagi, lalu esok pagi lagi, dan esoknya lagi...


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar