Kamis, 15 Agustus 2013

Pulang #theparagraph


Matahari bahkan belum ingin memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan pagi ini. Pun dengan udara yang masih saja terasa dingin menusuk tiap lapis epidermis meski aku sudah melapisi pakaianku dengan satu lembar sweater rajut dan satu jaket tebal di lapisan paling luar. Suara jangkrik terdengar masih berlomba, menghampiri telingaku begitu pintu kayu itu kubuka. Sambil sesekali terdengar suara katak menimpalinya. Kubuka lipatan payung warna merah muda dengan beberapa gambar Lilium Candidum L di tepiannya.  Hujan masih belum berhenti sejak semalam. Samar-samar aku melihatnya di sana, di ujung jalan itu. Berdiri dengan tubuh menyandar dinding, mencoba melindungi dirinya dari rintik hujan yang masih rindu mencumbu bumi. Kepalanya tertunduk memandang air yang menggenang di lubang kecil tepi jalan. Sesekali sepatunya memecah genang air di dekatnya. Bibirku melengkung bersamaan dengan ingatan yang melayang ke masa dua puluh tahun lalu, ketika aku menangis dan marah besar karena genangan air berwarna coklat yang ia pecah dengan sepatunya menciptakan sesuatu di dress merah muda yang dibelikan Ibu untuk hadiah ulang tahunku. 


Ia mendongak ketika suara leather boots-ku menciptakan riak sewaktu menginjak kubangan kecil tak jauh darinya. Wajahnya nampak lebih tua dari yang kulihat terakhir kali. Ahh, tentu saja sudah lama, itu adalah tiga tahun lalu ketika aku mengantarnya pergi di bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Ketika itu tubuhnya masih berisi dan wajahnya bersih karena sering bercukur. Lelaki itu menyunggingkan senyum dibawah kumis tipisnya. Diturunkannya hoodie yang sedari tadi menutupi rambutnya dari rintik hujan. Aku bisa melihat rambutnya yang ikal hitam pun kini ia biarkan sedikit panjang.
“Lilian.” Ia menyebut namaku begitu aku menghentikan langkah kakiku di depannya.
“Adam,” balasku tanpa bisa menahan diri untuk tak memeluknya lebih dulu. Hangat. Pelukannya selalu hangat.
**
Keluar dari stasiun Waterloo, kami memutuskan menyusuri jalanan London dengan berjalan kaki. Aku melingkarkan tanganku di lengan kanannya, dan ia membiarkanku melakukannya sementara tangan kirinya memegang payung untuk melindungi kami dari rintik kecil yang masih mengguyur kota ini.
“Itu sungai Thames, dan yang berdiri di atasnya itu adalah Tower Bridge, jembatan kebanggaan London,” jelasnya sambil menunjukkan padaku bangunan besar yang kokoh berdiri di atas sungai Thames. Kubiarkan ia menjadi pemanduku hari ini, meski sebenarnya aku sudah mempelajari  tentang kota ini sejak lama. Aku dengan senang hati mendengarkan penjelasannya tentang Tower Bridge dan Sungai Thames-nya. Ia begitu lancar menceritakan bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota London, tempatnya tinggal selama tiga tahun terakhir ini, yang membuatnya meninggalkan Indonesia dan tentu saja aku.
Langkah kakiku ikut terhenti ketika ia menghentikan langkah kakinya. “Kalau yang itu, pasti kamu sudah tahu ’kan?” tanyanya sambil menunjuk bangunan tinggi yang menyatu dengan Palace of Westminster itu.
Aku tersenyum. “Big Ben, the clock tower,” jawabku mantap. “Lalu disebelahnya itu Gedung Parlemen Westminster ‘kan?”
“Pintar,” ucapnya sambil mengacak-acak pelan rambutku.
“Tapi tak sepintar dirimu, tentu saja,” balasku. Ia hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Mau mendengar sejarah sambil berjalan-jalan?” tanyanya menawarkan padaku. Aku dengan cepat mengangguk mengiyakan tawarannya. Apapun, agar aku bisa menikmati waktu bersama lelaki yang begitu kurindukan dengan ribuan kilometer jarak yang membentang di antara kami. Lalu ketika jarak itu lenyap dengan pertemuan ini, aku tak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Setiap detik yang berlalu di London yang kelabu hari ini, akan kubuat begitu cerah seperti matahari yang masih malu-malu dibalik awan.
Detik berikutnya, berbagai cerita tentang bangunan-bangunan yang ada di sekitar sungai terpanjang di Inggris Raya ini diceritakannya dengan baik, layaknya guru sejarah namun tak membosankan. Mulai dari The Shakespeare’s Globe Theatre yang berada di selatan sungai Thames, Tower Bridge yang masih membelah sungai Thames, Big Ben yang didesain oleh ahli astronomi kerajaan Sir  George Airy bersama seorang pengacara dan horologis Edmund Beckett Dennison, hingga sebuah ikon baru London yang selalu ramai antrean, London Eye.
“Aku mau naik itu,” rajukku sambil menunjuk komidi putar raksasa yang berada tak jauh dari Big Ben dan Palace of Westminster.
“Mahal, antre lagi,” jawabnya santai sembari menutup payung merah muda milikku sebelum masuk salah satu restoran  yang berjejer di tepi sungai Thames. Aku merengut dan mengikutinya masuk.
“Oh ya, bagaimana London Fashion Week-nya?” tanyanya teringat satu event yang membawaku sampai ke kota ini, setelah memesan makanan pada pelayan.
Suasana pagelaran busana terbesar di London yang kuhadiri dengan bos-ku, Kak Tessa, pun kembali muncul ke permukaan memoriku. “Amazing, keren gila deh!” jawabku bersemangat.
“Kalau nanti karyamu ikut di acara begituan, kabarin aku ya,” candanya.
“Pasti, kamu orang pertama yang bakal terima undangannya,” balasku. “Terus, sudah berapa bangunan yang dibangun dari desain-mu?”
Ia tersenyum. “Ada beberapa, meski bukan di London,” jawabnya kembali dengan nadanya yang biasa, tenang.
“Besok aku sudah pulang,” ucapku mengingatkannya tentang waktuku yang tak lama.
“Aku akan mengantarmu sampai Heathrow,” katanya.
 “Bukan itu yang aku mau, Bang.”
Ia tertawa dipaksakan. “Sudah kubilang jangan panggil aku ‘abang’. Kita hanya beda satu setengah tahun,” keluhnya yang selalu sama tiap aku memaksa memanggilnya dengan sebutan abang. Dulu, ia tak ingin dianggap tua dengan dipanggil seperti itu, ia ingin sama denganku. Tapi setelah dua puluh tahun berlalu, kami pun menua dan ia masih berkeras tak mau dipanggil abang.
“Abang harus pulang.”
“Lilian...” Ia menggeleng, memberiku isyarat agar aku tak mengulang cerita yang sama.
“Pokoknya abang harus pulang,” kataku tak menghiraukan isyaratnya. Ia menghembuskan nafas sambil menyandarkan tubuhnya ke badan kursi. “Sudah lima tahun, bang. Ayah rindu abang,” kataku lagi.
Ia hanya diam tanpa menyahuti kata-kataku. Aku sudah berjanji pada ayah sebelum aku berangkat ke London untuk urusan kerja, sekaligus untuk membawa abang ku pulang, kembali ke rumahnya. Lima tahun lalu Ayah dan abang bertengkar hebat tentang pilihan abang ingin menjadi arsitek di London.
“Apa tidak bisa jadi arsitek di Indonesia? Negeri abang itu butuh orang-orang seperti abang, mungkin Abang bisa membuat sungai-sungai di Indonesia seperti Thames atau yang lainnya?”
“Pekerjaanku di sini, dan aku akan di sini, Lilian.” Ia akhirnya bersuara, namun itu tak menggoyahkan semangatku.
“Abang tak perlu meninggalkan cita-cita dan mimpi abang di sini selamanya, abang hanya harus pulang sebentar untuk Ayah,” pintaku. Ia menatapku lama, hingga akhirya menggeleng pelan.
“Lakukan saja demi almarhumah ibu, Bang. Makamnya kering tak pernah kau kunjungi.”
Ia menunduk seperti frustasi. Aku tahu ia sangat menyayangi Ibu, ia akan melakukannya demi ibu.
“Pulanglah, Bang,” pintaku sekali lagi.  
**
Aku menarik koperku di bandara Heathrow, hendak pulang. Di depanku, Kak Tessa terlihat sibuk dengan teleponnya. Sesekali aku mengedarkan pandang, berharap menemukan sosok Adam di antara mereka. Namun aku juga tahu sifat Adam yang keras, jika ia bilang tidak pulang, maka kemungkinannya akan kecil ia muncul di Heathrow dengan tasnya untuk pulang ke rumah.
Ponsel dalam saku mantelku memberi tanda ada pesan masuk. Dari Adam.
Take care my Lilian...  
Kubalas pesannya dengan cepat.
Bahkan abang tak memenuhi janji untuk mengantarku sampai Heathrow!!
Tak sampai semenit, balasannya masuk.
Sorry, my Lil.
Hanya itu?! Aku memasukkannya kembali dalam saku dengan kesal. Maafkan aku Ayah, tak bisa memenuhi janjiku membawa Adam pulang.
Setelah melewati pemeriksaan, aku dan Kak Tessa pun masuk ke dalam pesawat. Aku memandangi suasana Inggris untuk terakhir kali sebelum burung besi yang kutumpagi ini mengudara. Sementara Kak Tessa masih saja sibuk dengan teleponnya lalu ke toilet. London, jaga abangku dengan baik ya...
“Sedih banget ya, mbak?” Terdengar suara seseorang membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap dan tak percaya ketika mataku bertemu dengan si pemilik suara barusan. Seorang pria dengan ransel di pundaknya.
“Abang?!” Tanganku langsung memeluknya kuat-kuat, seolah takut ia akan pergi lagi. Di belakangnya, kulihat Kak Tessa tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Ia pasti membantuku dengan meyakinkan mantan kekasihnya ini untuk memenuhi keinginan adiknya untuk pulang.
Ayah, Ibu... Abang pulang...

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar