1st paragraph by Wita Purwati
Entah perasaan apa yang ada dalam diri ini. Tubuhku seperti melayang, ringan, tak bernyawa. Pikiranku bebas bergerak sperti terbawa maunya arah angin kemana. Hari ini begitu terasa kosong. Aku tak dapat mengendalikan seluruh bagian tubuhku. Dada ini seperti meringis, menahan sesuatu. Sesuatu itu seperti kotak besar yang berusaha masuk ke lemari kecil. Mendesak memaksa agar kotak itu bisa masuk. Dan aku merasa lemah menghadapinya. Biru. Sepertinya warna yang kurasakan hari ini memang biru. Aku benar-benar lemah.
Semua potongan kenangan dalam
otakku berputar begitu cepat. Mereka berebut untuk mendapat perhatianku, namun
aku tak dapat memilih satu untuk aku putar dengan utuh. Mengapa semuanya
berhamburan keluar hingga aku tak mampu menahannya untuk tetap tinggal di
otakku, setidaknya aku yang meminta mereka ketika aku dan dia duduk berdua
dengan dua cangkir teh melati yang harum di teras rumah kami. Duduk bersama,
berbagi cerita, atau sekedar mengingat kembali beberapa potong kenangan.
**
Malam itu, aku masih belum
terlelap meski kantuk terus memaksa mata untuk memejam. Aku masih harus
menunggu sesuatu, kabar dari seseorang yang sedang dalam perjalanan. Kinanti,
perempuan yang kunikahi satu tahun lalu, tengah lelap di kursi panjang di ruang
tamu. Tubuhnya terlihat lelah, mungkin karena perutnya yang sudah membesar,
mengandung bayi kami. Aku tersenyum pahit. Entah apakah aku bisa menemani bayi
kami tumbuh besar nanti, menggendongnya, mengganti popoknya, menemaninya tidur,
atau mengajaknya menikmati pasar malam di alun-alun kota.
Suara pintu diketuk beberapa
kali. Aku memandang pintu kayu bercat putih itu seraya menyiapkan diri dengan
kabar buruk yang mungkin akan kudengar. Kuraih gagang pintu dan memutarnya.
Seorang lelaki seumuran denganku sudah berdiri di sana. Wajahnya terlihat
cemas. Aku mengangguk dan mempersilahkannya masuk, bahkan aku sudah bisa
menebak apa yang akan ia katakan.
“Gas, mereka akan segera menuju
ke sini,” ujarnya begitu kami duduk di kursi rotan tua di ruang tamu. “Agus
benar-benar pengkhianat!” Kali ini nada bicaranya penuh kemarahan. Aku memahami
betul kemarahannya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak,
kami mencurahkan segala pemikiran dan waktu untuk menyusun strategi merebut
yang telah dicuri, lalu dengan mudahnya si pengkhianat itu menukar informasi
kami demi beberapa batang emas dan akhirnya memasukkan aku dan kelompok kami
dalam lingkar bahaya.
Mataku memandang Kinanti dengan
sedih. “Apa masih ada kereta yang akan berangkat malam ini?” tanyaku cepat pada
Haryo. Ia hanya memandangku dengan menyesal menggelengkan kepalanya.
Kepalaku tertunduk dengan
perasaan yang berkecamuk menjadi satu. Aku harus pergi, namun bagaimana dengan
Kinanti?!
**
Dari kejauhan, bisa kulihat asap
hitam membumbung hingga tinggi. Rumah kami terbakar. Dibakar lebih tepatnya.
Tanganku mengelus perutku yang membesar. Bayiku tak akan pernah sempat
merasakan tinggal di rumah itu, bahkan tempat tidur yang dibuatkan ayahnya
dengan tangannya sendiri. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.
Bagas, suamiku, meraih tanganku
pelan. “Kita harus pergi, Kinanti,” ucapnya lirih. Sebagai seorang istri, tentu
aku akan menurutinya, ikut dengannya kemanapun ia ingin membawaku. Aku akan
mengikuti langkah kakinya.
“Kita akan pergi kemana?” tanyaku
padanya yang amsih terus menggenggam tanganku. Di depan dan belakang kami ada
beberapa orang dari kelompok yang
satu pemikiran dengannya untuk
menyingkirkan para pencuri itu dari tanah ini.
“Ke Yogyakarta, rumah orang
tuamu,” jawabnya singkat sambil terus berjalan.
Bibirku tersenyum. Aku akan
kembali ke kampung halamanku, bersamanya. “Kita akan pulang...,” gumamku pelan.
Bagas menoleh padaku sebentar. “Hanya
kamu yang akan pulang, bukan kita,” katanya.
Kulepaskan tanganku dari
tangannya dan berhenti berjalan. Ia membalikkan badannya ke arahku. “Kenapa
berhenti?!”
“Kenapa hanya aku? Aku akan
pulang jika kamu pulang!”
Beberapa orang ikut berhenti dan
menunggu kami. Raut wajah Bagas terlihat galak. “Kamu harus pulang, tanpa aku!”
tegasnya. “Cepat Kinanti, mereka pasti menyusul kita!”
**
Hari sudah berganti, meski langit
di atas sana masih berwarna gelap tanpa bulan dan hanya ditemani
bintang-bintang yang tak banyak. Subuh sudah berlalu beberapa menit lalu. Stasiun
kota Surabaya sudah sangat sepi malam ini. Gelap dan hanya diterangi
lampu-lampu yang melemah cahayanya. Tidak ada kereta semalam, aku tahu itu. Namun
aku tak akan pergi sebelum Kinanti pergi. Beberapa kawanku sudah menyebar untuk
menjalankan rencana cadangan kami. Hanya Haryo dan Sugi yang masih bersamaku.
“Tak bisakah aku ikut denganmu? Menemanimu?”
tanyanya dengan nada sedih. Aku tak akan sanggup melihatnya wajahnya yang
sesedih ini, namun ia tetap harus pergi demi dirinya dan bayi yang ada dalam
perutnya.
“Ini perintah dari suamimu,
Kinanti,” kataku mengingatkan. “Berjanjilah untuk hidup dengan baik, jaga
dirimu dan juga bayi kita.”
Orang-orang mulai menyibukkan
stasiun. Terdengar suara yang memberi informasi kalau kereta akan segera
berangkat. Aku beranjak dari kursi tunggu yang semalam menjadi tempat tidur
untuk Kinanti. Ia pun beranjak dan mengikutiku hingga sampai di pintu kereta api.
Perlahan ia meraih tangan kananku dan menciumnya lembut. “Aku menunggumu
pulang, Mas... juga anak kita... Cepatlah pulang...,” ucapnya.
Aku memaksakan sebuah senyum di
bibirku, alih-alih menahan tangis yang begitu menyesak. “Aku tak bisa
menjanjikan pulang, Kinanti,” jawabku.
“Aku akan menunggu.”
**
Sinar berwarna kuning keemasan
menerpa wajahku lewat lubang jendela kereta. Hamparan padi yang mulai menguning
begitu bersinar diterpa mentari pagi. Bibirku tersenyum, mengagumi karunia
Tuhan yang diberikan pada negeri yang cantik ini. Aku tak pernah putus berdoa,
semoga kelak kami bisa menikmati pagi bersama. Aku, Mas Bagas, dan anak-anak
kami nanti.
Seperti kataku sebelum aku
meninggalkannya di sana, aku akan menunggunya. Menunggu dia kembali.
**
Mataku perlahan membuka, dan
semua terasa asing di mataku. Aku bahkan tak bisa mengingat apa yang terjadi
setelah aku keluar dari stasiun setelah kereta yang membawa Kinanti mulai
melaju menuju Yogyakarta. Tubuhku terikat di kursi kayu. Samar kulihat beberapa
orang juga dalam kondisi yang serupa denganku. Itu Haryo dan Sugi yang tadi
bersamaku, lalu beberapa teman kami. Rupanya para koloni penjajah itu berhasil
menangkap kami.
Para tentara berseragam asing itu
memaksa kami memberikan informasi tentang letak gudang senjata perang negeri
kami dan rencana yang kami lakukan. Sebagai pejuang negeri tercinta, tentu tak
akan mudah untuk mereka memaksa kami bicara.
Semua harus dibayar dengan
pengorbanan. Kami rela mati daripada harus jadi pengkhianat bagi negeri kami
sendiri. Satu-satu pukulan dan siksaan kami terima. Aku bisa merasakan darah
mengalir dari pelipis dan ujung bibirku. Wajahku penuh rasa sakit dengan ngilu
luar biasa. Tak puas sampai disitu, cambuk pun mendarat dengan keras di dadaku.
Aku meringis, nyaris tak bisa merasa dan seakan tak lagi bisa menggerakkan
tubuhku. Aku lemah. Terlalu lemah.
Aku akan menunggu...
Kalimat itu mengiang terus di
telingaku. Kinanti tak boleh menungguku. Maafkan aku Kinanti.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar