Lari. Hanya itu yang ada di
otakku saat ini. Aku hanya perlu keluar dari tempat ini dan berlari secepat
mungkin menuju jalan besar di ujung sana. Semoga masih ada mobil atau kalau
beruntung, aku bisa menemukan angkutan yang bisa membawaku ke kota. Tapi rasanya
kemungkinan angkutan lewat itu sangatlah kecil karena ini sudah pukul sembilan
malam, dan itu sudah dianggap larut malam oleh tempat ini. Tetiba ada sesuatu
yang membuatku harus menghentikan langkahku. Ada yang menarikku. Nafasku
tercekat. Pelan kubailkkan badanku sambil berdoa bukan ia yang ada disana.
Tetapi sepi. Aku hanya melihat bayangan pepohonan pinus dibalik kegelapan malam
sejauh mata memandang. Tak ada sesiapapun disana. Kulihat ke arah bawah.
Ternyata rok panjangku tersangkut batang kayu.
Sialan.
**
“Kamu kemana saja?” todong Angel
ketika aku baru sampai di kontrakan yang kami tinggali selama setahun
belakangan. Aku duduk di kursi sambil melepas high heels sebelas senti milikku.
“Ada apa?” tanyaku dengan nada
malas.
Kulihat wajahnya cemas. “Barusan
adikmu telepon, katanya bapakmu sakit,” katanya.
Bapak. Lelaki itu sedang sakit
sekarang. Sakit apa hingga Ajeng meneleponku? Hati kecilku merasa gelisah,
mengkhawatirkan lelaki tua yang kupanggil bapak itu. “Sakit apa katanya?”
tanyaku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.
Angel mengangkat bahu. “Entahlah,
mungkin kangen kamu. Ajeng bilang, bapakmu hanya ingin ketemu kamu walaupun
hanya sekali.”
Bertemu denganku? Aku tak ingin
mengulangi kesalahan lagi. Satu tahun lalu, bapak pun menggunakan alasan itu
agar aku pulang dan bisa menjadi istri kesekian dari Mbah Rono, juragan desa
yang sangat kaya raya dengan banyak istri.
**
“Jadi ini anakmu? Ayu tenan...” Kudengar suara lelaki tua
dengan asap mengepul dari pipa tembakaunya. “Sopo
jenengmu, cah ayu?”
Pandanganku hanya tertuju pada
motif batik yang ku pakai. Begitu cantik dan mahal, hadiah dari Mbah Rono,
begitu kata bapak tadi. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak sudi memakai semua
ini. Membuatku gerah.
“Rinjani, mbah,” jawab bapak
kemudian menyikut lenganku pelan. Kudengar suara tawa yang jelek keluar dari
mulutnya.
Demi apapun, aku akan melakukan
segala cara untuk mengagalkan rencana busuk bapak untuk menikahkanku dengan si
tua bangka itu. Hanya karena si tua ini lebih kaya dari lelaki yang lamarannya
pernah ditolak bapak kah, hingga ia begitu gigih melakukan perjodohan ini?
**
“Kamu mau menyerah, mas?” tanyaku
lirih pada lelaki dengan caping anyaman bambu di kepalanya. Siang itu, aku
sengaja mengantar makan siang untuknya agar aku bisa bicara tentang hubungan
kami selanjutnya. Aku yakin ia begitu sakit dengan penolakan bapak atas lamarannya
untuk menikahiku.
“Bapakmu sudah menolak, dik,”
katanya sambil melepas capingnya sambil berjalan menuju saung kecil di salah
satu sisi sawah. Aku mengikuti langkahnya.
“Tapi kamu bisa mencoba
meyakinkan bapak lagi, mas,” ucapku. “Kamu masih ingin memperjuangkan hubungan
kita ‘kan, mas?”
Lelaki itu diam sampai kami duduk
di dalam saung. “Percuma, dik. Aku ini cuma buruh tani, nggak punya harta
seperti yang bapakmu mau,” jawabnya pesimis.
Aku dengan sabar menyiapkan
makannya. “Tapi aku nggak butuh hartamu. Aku maunya menikah sama kamu, jadi
istrimu, ibu dari anak-anak kita kelak.”
“Sudahlah, dik. Itu semua akan
sia-sia, bapakmu tidak akan pernah merestui hubungan kita sampai kapanpun.” Ia
terlihat frustasi. Aku bisa melihat air matanya tertahan. Kudekatkan tubuhku
padanya, memberikan pelukan yang bisa memenangkannya. Ia lelaki yang baik,
sangat baik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku tak yakin bisa hidup
bahagia tanpanya.
Kurasakan tangannya membelai
lembut rambutku. “Aku yakin kamu akan bahagia dengan pilihan bapakmu, dik.”
**
“Ajeng bilang kamu ingin ketemu
aku. Ada apa ingin bertemu denganku malam-malam begini, dik?” tanyanya panik
ketika sampai di saung yang sering kami singgahi jika aku mengunjunginya di
sawah.
Aku terdiam dan hanya menangis
sesenggukan. Ia medekat dan mengangkat wajahku dengan lembut. “Ada apa, dik?
Apa yang terjadi?” tanyanya panik.
“Besok bapak akan memaksaku untuk
menikah,” kataku sambil terisak.
Ia tertunduk lesu. “Maaf, dik.
Aku ini memang pecundang, tak bisa berbuat apapun untuk memperjuangkanmu.”
“Kamu bisa, mas,” kataku sambil
menggenggam tangannya yang kasar karena terlalu banyak bekerja di sawah. Ia
menatapku lama. “Maaf, dik,” ucapnya lirih sambil berusaha melepas tanganku.
Entah setan apa yang merasuki
otakku malam itu. Aku melepas satu persatu kancing bajuku dan mulai melucuti
pakaian yang melekat di tubuhku. Aku hanya ingin menjadi milikinya, dan aku
ingin ia menjadi milikku. Ia terlihat kaget dan tak menyangka dengan paa yang
sedang ku lakukan.
“Kenapa diam saja, mas?!”
tantangku dengan isak tangis yang masih keluar. Aku sudah berdiri di depannya
dengan tubuh indahku yang hanya tersisa pakaian dalamku saja.
Malam begitu hening, hanya suara
jangkrik dan kodok sawah yang berlomba membuat simfoni. Semilir angin begitu
dingin membelai tubuhku. Hampir tengah malam dan tak ada sesiapa selain aku dan
dia. Kulihat tangannya bergerak menyentuh tanganku dan menarik tubuhku ke pangkuannya.
Aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu cepat. Tangannya bergerak
membelai rambutku kemudian meraba tengkukku perlahan, dan detik berikutnya
bibirnya mulai menyentuh bibirku.
**
“Jadi, itu alasanmu tak pernah
menghiraukan bapakmu ?!” Angel terkejut mendengar ceritaku tentang perjodohan
itu. “Lalu bagaimana dengan lelaki itu?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Entahlah,
tak kudengar kabarnya lagi sejak malam itu.”
“Dia meninggalkanmu setelah yang
dia lakukan malam itu?!”
Aku menggelengkan kepala lagi. “Tidak.
Dia tidak melakukan apapun, bahkan ia menarik bibirnya yang baru saja menyentuh
bibirku,” kataku.
Angel memelukku, mencoba
memberikan dukungan. “Tapi kamu harus kembali kesana, Jan.”
“Untuk apa? Menikah dengan tua
bangka itu?!”
“Masalah tidak akan selesai jika
kamu terus sembunyi, Jani.”
**
Aku benar-benar mengikuti saran
Angel untuk kembali ke tanah kelahiranku. Tujuanku hanya untuk melihat bapak
sebentar kemudian kembali lagi ke kota. Tempat ini terlalu banyak
mengingatkanku akan kepedihan dan sakit hati.
Tak banyak yang berubah dari
tempat ini, mungkin hanya makin bertambah rerumahan yang memakan sedikit lahan
sawah. Kuketuk pintu rumahku ketika matahari sudah kemerahan di ufuk barat,
bersiap untuk kembali.
“Rinjani,” ucap bapak dengan
suara parau. Wajah keriputnya sangat pucat, tubuhnya kurus dan rambutnya kusut
tak terurus. Ajeng yang sudah menikah, pasti jarang menjenguk bapaknya yang
semakin tua ini. Aku melewatinya dan duduk di kursi tamu.
“Bapak sakit apa?” tanyaku
basa-basi.
Bapak hanya tersenyum. “Rindu.
Rindu kamu, Rinjani,” jawabnya lirih.
Aku bisa merasakan hatiku mulai
sakit. Aku pun rindu bapak.
Lalu aku merasa ada sesuatu
begitu keras menimpa bagian belakang kepalaku. Perlahan semuanya menggelap di
depan mataku. Aku bisa melihat bibir bapak tersenyum padaku sebelum mataku
terpejam. Masih ada satu lagi, perempuan yang muncul setelah pukulan barusan.
Angel! Pantas ia begitu memaksaku pulang.
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar