Senin, 12 Agustus 2013

Rinjani #theparagraph


Lari. Hanya itu yang ada di otakku saat ini. Aku hanya perlu keluar dari tempat ini dan berlari secepat mungkin menuju jalan besar di ujung sana. Semoga masih ada mobil atau kalau beruntung, aku bisa menemukan angkutan yang bisa membawaku ke kota. Tapi rasanya kemungkinan angkutan lewat itu sangatlah kecil karena ini sudah pukul sembilan malam, dan itu sudah dianggap larut malam oleh tempat ini. Tetiba ada sesuatu yang membuatku harus menghentikan langkahku. Ada yang menarikku. Nafasku tercekat. Pelan kubailkkan badanku sambil berdoa bukan ia yang ada disana. Tetapi sepi. Aku hanya melihat bayangan pepohonan pinus dibalik kegelapan malam sejauh mata memandang. Tak ada sesiapapun disana. Kulihat ke arah bawah. Ternyata rok panjangku tersangkut batang kayu.  Sialan.
**
“Kamu kemana saja?” todong Angel ketika aku baru sampai di kontrakan yang kami tinggali selama setahun belakangan. Aku duduk di kursi sambil melepas high heels sebelas senti milikku.
“Ada apa?” tanyaku dengan nada malas.
Kulihat wajahnya cemas. “Barusan adikmu telepon, katanya bapakmu sakit,” katanya.
Bapak. Lelaki itu sedang sakit sekarang. Sakit apa hingga Ajeng meneleponku? Hati kecilku merasa gelisah, mengkhawatirkan lelaki tua yang kupanggil bapak itu. “Sakit apa katanya?” tanyaku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.
Angel mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin kangen kamu. Ajeng bilang, bapakmu hanya ingin ketemu kamu walaupun hanya sekali.”
Bertemu denganku? Aku tak ingin mengulangi kesalahan lagi. Satu tahun lalu, bapak pun menggunakan alasan itu agar aku pulang dan bisa menjadi istri kesekian dari Mbah Rono, juragan desa yang sangat kaya raya dengan banyak istri.
**
“Jadi ini anakmu? Ayu tenan...” Kudengar suara lelaki tua dengan asap mengepul dari pipa tembakaunya. “Sopo jenengmu, cah ayu?”
Pandanganku hanya tertuju pada motif batik yang ku pakai. Begitu cantik dan mahal, hadiah dari Mbah Rono, begitu kata bapak tadi. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak sudi memakai semua ini. Membuatku gerah.
“Rinjani, mbah,” jawab bapak kemudian menyikut lenganku pelan. Kudengar suara tawa yang jelek keluar dari mulutnya.
Demi apapun, aku akan melakukan segala cara untuk mengagalkan rencana busuk bapak untuk menikahkanku dengan si tua bangka itu. Hanya karena si tua ini lebih kaya dari lelaki yang lamarannya pernah ditolak bapak kah, hingga ia begitu gigih melakukan perjodohan ini?
**
“Kamu mau menyerah, mas?” tanyaku lirih pada lelaki dengan caping anyaman bambu di kepalanya. Siang itu, aku sengaja mengantar makan siang untuknya agar aku bisa bicara tentang hubungan kami selanjutnya. Aku yakin ia begitu sakit dengan penolakan bapak atas lamarannya untuk menikahiku.
“Bapakmu sudah menolak, dik,” katanya sambil melepas capingnya sambil berjalan menuju saung kecil di salah satu sisi sawah. Aku mengikuti langkahnya.
“Tapi kamu bisa mencoba meyakinkan bapak lagi, mas,” ucapku. “Kamu masih ingin memperjuangkan hubungan kita ‘kan, mas?”
Lelaki itu diam sampai kami duduk di dalam saung. “Percuma, dik. Aku ini cuma buruh tani, nggak punya harta seperti yang bapakmu mau,” jawabnya pesimis.
Aku dengan sabar menyiapkan makannya. “Tapi aku nggak butuh hartamu. Aku maunya menikah sama kamu, jadi istrimu, ibu dari anak-anak kita kelak.”
“Sudahlah, dik. Itu semua akan sia-sia, bapakmu tidak akan pernah merestui hubungan kita sampai kapanpun.” Ia terlihat frustasi. Aku bisa melihat air matanya tertahan. Kudekatkan tubuhku padanya, memberikan pelukan yang bisa memenangkannya. Ia lelaki yang baik, sangat baik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku tak yakin bisa hidup bahagia tanpanya.
Kurasakan tangannya membelai lembut rambutku. “Aku yakin kamu akan bahagia dengan pilihan bapakmu, dik.”
**
“Ajeng bilang kamu ingin ketemu aku. Ada apa ingin bertemu denganku malam-malam begini, dik?” tanyanya panik ketika sampai di saung yang sering kami singgahi jika aku mengunjunginya di sawah.
Aku terdiam dan hanya menangis sesenggukan. Ia medekat dan mengangkat wajahku dengan lembut. “Ada apa, dik? Apa yang terjadi?” tanyanya panik.
“Besok bapak akan memaksaku untuk menikah,” kataku sambil terisak.
Ia tertunduk lesu. “Maaf, dik. Aku ini memang pecundang, tak bisa berbuat apapun untuk memperjuangkanmu.”
“Kamu bisa, mas,” kataku sambil menggenggam tangannya yang kasar karena terlalu banyak bekerja di sawah. Ia menatapku lama. “Maaf, dik,” ucapnya lirih sambil berusaha melepas tanganku.
Entah setan apa yang merasuki otakku malam itu. Aku melepas satu persatu kancing bajuku dan mulai melucuti pakaian yang melekat di tubuhku. Aku hanya ingin menjadi milikinya, dan aku ingin ia menjadi milikku. Ia terlihat kaget dan tak menyangka dengan paa yang sedang ku lakukan.
“Kenapa diam saja, mas?!” tantangku dengan isak tangis yang masih keluar. Aku sudah berdiri di depannya dengan tubuh indahku yang hanya tersisa pakaian dalamku saja.
Malam begitu hening, hanya suara jangkrik dan kodok sawah yang berlomba membuat simfoni. Semilir angin begitu dingin membelai tubuhku. Hampir tengah malam dan tak ada sesiapa selain aku dan dia. Kulihat tangannya bergerak menyentuh tanganku dan menarik tubuhku ke pangkuannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu cepat. Tangannya bergerak membelai rambutku kemudian meraba tengkukku perlahan, dan detik berikutnya bibirnya mulai menyentuh bibirku.
**
“Jadi, itu alasanmu tak pernah menghiraukan bapakmu ?!” Angel terkejut mendengar ceritaku tentang perjodohan itu. “Lalu bagaimana dengan lelaki itu?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Entahlah, tak kudengar kabarnya lagi sejak malam itu.”
“Dia meninggalkanmu setelah yang dia lakukan malam itu?!”
Aku menggelengkan kepala lagi. “Tidak. Dia tidak melakukan apapun, bahkan ia menarik bibirnya yang baru saja menyentuh bibirku,” kataku.
Angel memelukku, mencoba memberikan dukungan. “Tapi kamu harus kembali kesana, Jan.”
“Untuk apa? Menikah dengan tua bangka itu?!”
“Masalah tidak akan selesai jika kamu terus sembunyi, Jani.”
**
Aku benar-benar mengikuti saran Angel untuk kembali ke tanah kelahiranku. Tujuanku hanya untuk melihat bapak sebentar kemudian kembali lagi ke kota. Tempat ini terlalu banyak mengingatkanku akan kepedihan dan sakit hati.
Tak banyak yang berubah dari tempat ini, mungkin hanya makin bertambah rerumahan yang memakan sedikit lahan sawah. Kuketuk pintu rumahku ketika matahari sudah kemerahan di ufuk barat, bersiap untuk kembali.
“Rinjani,” ucap bapak dengan suara parau. Wajah keriputnya sangat pucat, tubuhnya kurus dan rambutnya kusut tak terurus. Ajeng yang sudah menikah, pasti jarang menjenguk bapaknya yang semakin tua ini. Aku melewatinya dan duduk di kursi tamu.
“Bapak sakit apa?” tanyaku basa-basi.
Bapak hanya tersenyum. “Rindu. Rindu kamu, Rinjani,” jawabnya lirih.
Aku bisa merasakan hatiku mulai sakit. Aku pun rindu bapak.
Lalu aku merasa ada sesuatu begitu keras menimpa bagian belakang kepalaku. Perlahan semuanya menggelap di depan mataku. Aku bisa melihat bibir bapak tersenyum padaku sebelum mataku terpejam. Masih ada satu lagi, perempuan yang muncul setelah pukulan barusan. Angel! Pantas ia begitu memaksaku pulang. 
**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar