Jevan melambaikan tangan pada Namira
dan Ale --istri dan anaknya-- yang berada di atas kuda komidi putar yang mulai
bergerak. Malam ini adalah akhir pekan, dan ia selalu mengkhususkan akhir
pekannya untuk keluarga. Sambil menyilangkan tangan di dada, ia memilih untuk
menunggu tak jauh dari wahana yang ada di pasar malam di alun-alun kota itu. Tiba-tiba
seorang anak lelaki berambut keriting menarik-narik ujung jaketnya.
Disodorkannya setangkai hati berwarna merah pada Jevan yang sedikit kebingungan.
Ia berpikir mungkin anak itu sedang kehilangan orang tuanya. Ya, di tempat
ramai seperti ini sudah sering terjadi hal seperti itu.
Ia membungkukkan badan agar lebih
dekat dengan anak lelaki di depannya. “Ada apa, Dek?”
Anak itu tersenyum hingga terlihat
deretan giginya yang rapi. “Ini hati pertama untuk Oom,” ujarnya.
Kening Jevan berkerut melihat
setangkai gulali merah berbentuk hati yang disodorkan anak lelaki itu padanya.
Dengan sedikit ragu, ia menerima gulali itu. Oh, bukan karena Jevan mencurigai
anak lelaki itu, tapi kalimat yang diucapkannya. Kalimatnya mengingatkan Jevan pada
seorang gadis dari masa lalu. Leya, cinta pertamanya.
Belum sempat Jevan bertanya, anak
lelaki yang tadi memberikan gulali padanya sudah berlari ke arah lain. Ia
hilang dalam kerumunan alun-alun kota yang luar biasa ramai di akhir pekan.
Meninggalkan setangkai hati berwarna merah dan tanya yang mulai mengisi kepala.
Kaukah
itu Leya? Yang memberikanku setangkai hati ini?
**
Kamu
suka yang berbentuk hati. Selalu bentuk yang sama dan berwarna merah. Bukan
bentuk dan warna yang lain. Aku pernah menanyakan tentang itu, tentang gulali
kesukaanmu. Kamu hanya akan tersenyum. Tak pernah ada jawaban selain karena
kamu menyukainya.
“Mengapa
selalu berbentuk hati?” tanyaku ketika kita menunggu gulali pesananmu dibentuk
oleh si penjual gulali langgananmu. “Bentuk bunga atau kupu-kupu juga cantik
bukan?”
Sepasang
mata cokelatmu memandangku sejenak sebelum kembali pada jemari kurus yang
terampil membentuk hati pesananmu. “Karena aku menyukainya,” jawabmu singkat
dengan mata yang seolah takut kehilangan momen bagaimana hatimu dibentuk.
“Hanya
karena suka? Tidak ada alasan lain?” Aku masih penasaran. Ini adalah kali kesekian
aku menemanimu membeli penganan gula kental yang manis itu.
“Apakah
menyukai sesuatu harus selalu dengan alasan, Jevan?” Kamu mengakhirinya dengan
senyum di bibirmu yang merah muda. Dan aku, diam.
Lelaki
kurus itu menyerahkan setangkai hati pertama yang kamu sambut dengan mata yang
berbinar. Kamu memandangi hasil karya lelaki itu beberapa jenak. Seolah
meneliti sebuah karya seni yang langka. Plastik bening yang membungkus hatimu
itu pun kamu rapikan. Lalu mengikat tali menjadi simpul berbentuk pita di
bawahnya. Itu ritualmu setiap kali membeli gulali. “Hati pertama ini untukmu,” ujarnya.
**
Gulali berbentuk hati dan berwarna
merah. Langkahnya terus menyusuri alun-alun kota, mencari seseorang. Ia sangat
yakin bahwa yang memberikan setangkai gulali itu adalah Leya. Perempuan yang
dulu selalu memberikannya setangkai hati pertama tiap kali mereka membeli gulali
bersama.
Wahana komidi putar sudah jauh
darinya. Di kepalanya tak terpikirkan bagaimana jika Namira dan Ale kebingungan
mencarinya nanti. Ia hanya ingin bertemu dengan Leya meski tak yakin juga apa
yang akan dikatakannya nanti jika mereka bertemu.
Jevan menemukan seorang pedagang
gulali yang sedang sibuk membentuk gula kental panas dari wajan kecilnya. Ia
menghampirinya, berharap Leya ada di sana. Tak ada perempuan itu di antara para
pembeli yang sedang menunggu gulali mereka. Leya mungkin sudah pergi.
Ia belum menyerah. Dilangkahkan lagi
kakinya ke arah lain, ke mana saja karena ia pun tak punya arah. Lalu ia
teringat tempat kesukaaan Leya jika ada festival atau acara seperti pasar malam
seperti ini, kembang gula!
Tepat! Seorang perempuan berambut
hitam sebahu dengan dress hijau floral selutut ada di sana. Senyum Jevan
terkembang. Itu Leya!
Jarak mereka tidak jauh, hanya sekitar
lima meter, namun tiba-tiba ada rombongan anak muda yang mengahalangi jalannya.
Membuatnya terpaksa melambatkan langkah. Dengan tubuhnya yang tinggi, ia masih
bisa melihat perempuan itu memegangi kembang gulanya. Perempuan itu tersenyum
ke arahnya sebelum akhirnya melangkah pergi. Ia mempercepat langkahnya menuju
stan kembang gula. Berkali-kali pula ia harus meminta maaf pada pengunjung yang
tanpa sengaja tersenggol tubuhnya saat ia mencoba menerobos jalan.
Leya sudah pergi. Ia terlambat lagi.
**
“Aku
akan menikah,” ujarmu pelan, bahkan sangat terlihat santai. Tanpa beban. Kamu
mengucapkannya seolah sedang mengatakan kalau kamu ingin makan atau ingin pergi
tidur. Sementara itu jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika kamu
mengucapkannya beberapa detik lalu.
“Menikah?”
ulangku terkejut. Ya, aku berharap kamu sedang bercanda tadi. Aku bahkan belum
sempat mengungkapkan perasaanku padamu dan sebentar lagi kamu akan jadi milik
lelaki lain. Secepat itukah, Leya? Atau aku yang terlalu bodoh, membiarkan lima
tahun berlalu begitu saja.
Kamu
tersenyum dengan mata yang tak beralih dari hati kedua yang sedang dibentuk.
“Kurasa kamu belum butuh pergi ke dokter THT, Jev.”
“Kamu
akan menikah dan baru memberitahuku sekarang?” Aku masih mencecarnya soal
pernikahan. “Bahkan kamu bisa begitu santai memberitahukannya padaku, seolah
itu adalah kabar tak penting,” ujarku geleng-geleng kepala dan kusisipkan
kekehan pelan yang kupaksa keluar. Menutupi lubang yang mulai menganga dalam
hatiku.
“Kamu
itu orang sibuk, Jev. Sulit menghubungimu,” jawabmu bergurau. “Dan kamu juga
tahu bukan bahwa aku paling sebal jika menunggu terlalu lama?”
Ya,
kamu betul Leya. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk berperang
sendiri tentang perasaanku padamu hingga tanpa sadar telah membuatmu menunggu
terlalu lama. Kamu pasti berpikir bahwa aku hanyalah Jevan, si pecundang yang
bodoh.
“Jadi
dengan siapa kamu akan menikah?”
Jemarimu
merapikan hati kedua milikmu. “Dengan lelaki yang kepadanya akan kuberikan hati
kedua ini,” jawabmu sambil menunjukkan gulali merah berbentuk hati yang sama
dengan milikku.
**
“Ayah....” Dilihatnya tangan kecil Ale
melambai ke arahnya, mencoba memberi tanda keberadaannya. Pun Namira yang
berdiri di sampingnya, melakukan hal yang sama. Kini ia sedang berdiri di
persimpangan. Terus berlari mencari Leya atau kembali pada Namira dan Ale.
“Kamu ke mana sih? Kita nyari kamu daritadi,”
keluh Namira kesal.
Jevan mencoba tersenyum pada Namira,
istrinya. “Maaf ya, tadi seperti melihat teman lama.”
“Siapa? Sudah ketemu?” Pertanyaan
Namira dijawab dengan gelengan kepala olehnya. Tiba-tiba raut wajah Namira
berubah sedih.
“Ayah, aku mau itu....” Ale menunjuk
sesuatu yang ada di genggaman ayahnya.
“Hati pertama untukmu, Nak.” Senyum
Jevan mengembang. Ale sangat antusias menerimanya.
Jevan menyadari wajah sedih istrinya
itu lalu bertanya, “kamu kenapa, sayang?” Diusapnya rambut Namira dengan
lembut.
“Barusan Vanya kabarin aku tentang
Leya,” jawabnya sedikit ragu. Ia tak yakin Jevan akan baik-baik saja setelah
mendengar kabar tentang teman lamanya ini. “Leya meninggal sore tadi di
Amerika, jenasahnya akan tiba di Indonesia besok pagi.”
Bibir Jevan terkatup rapat. Kepalanya
masih sulit mencerna kata-kata dari Namira. Istrinya pasti sedang bergurau.
Tapi ia tak menangkapnya di wajah Namira. Ia benar-benar serius tentang Leya.
Matanya langsung diarahkan ke atah stan kembang gula tempat terakhir melihat
perempuan itu. Lalu beralih cepat ke arah hati yang ada di tangan Ale. Dadanya
terasa sesak. Bibirnya tak mampu mengeluarkan apapun. Ia hanya diam memandang
Namira yang sama sedihnya dengan dirinya.
Leya
masih hidup. Ia ada di sini.
****