Rabu, 03 Desember 2014

Setangkai Hati


Jevan melambaikan tangan pada Namira dan Ale --istri dan anaknya-- yang berada di atas kuda komidi putar yang mulai bergerak. Malam ini adalah akhir pekan, dan ia selalu mengkhususkan akhir pekannya untuk keluarga. Sambil menyilangkan tangan di dada, ia memilih untuk menunggu tak jauh dari wahana yang ada di pasar malam di alun-alun kota itu. Tiba-tiba seorang anak lelaki berambut keriting menarik-narik ujung jaketnya. Disodorkannya setangkai hati berwarna merah pada Jevan yang sedikit kebingungan. Ia berpikir mungkin anak itu sedang kehilangan orang tuanya. Ya, di tempat ramai seperti ini sudah sering terjadi hal seperti itu.
Ia membungkukkan badan agar lebih dekat dengan anak lelaki di depannya. “Ada apa, Dek?”
Anak itu tersenyum hingga terlihat deretan giginya yang rapi. “Ini hati pertama untuk Oom,” ujarnya.
Kening Jevan berkerut melihat setangkai gulali merah berbentuk hati yang disodorkan anak lelaki itu padanya. Dengan sedikit ragu, ia menerima gulali itu. Oh, bukan karena Jevan mencurigai anak lelaki itu, tapi kalimat yang diucapkannya. Kalimatnya mengingatkan Jevan pada seorang gadis dari masa lalu. Leya, cinta pertamanya.
Belum sempat Jevan bertanya, anak lelaki yang tadi memberikan gulali padanya sudah berlari ke arah lain. Ia hilang dalam kerumunan alun-alun kota yang luar biasa ramai di akhir pekan. Meninggalkan setangkai hati berwarna merah dan tanya yang mulai mengisi kepala.
Kaukah itu Leya? Yang memberikanku setangkai hati ini?

**

Kamu suka yang berbentuk hati. Selalu bentuk yang sama dan berwarna merah. Bukan bentuk dan warna yang lain. Aku pernah menanyakan tentang itu, tentang gulali kesukaanmu. Kamu hanya akan tersenyum. Tak pernah ada jawaban selain karena kamu menyukainya.
“Mengapa selalu berbentuk hati?” tanyaku ketika kita menunggu gulali pesananmu dibentuk oleh si penjual gulali langgananmu. “Bentuk bunga atau kupu-kupu juga cantik bukan?”
Sepasang mata cokelatmu memandangku sejenak sebelum kembali pada jemari kurus yang terampil membentuk hati pesananmu. “Karena aku menyukainya,” jawabmu singkat dengan mata yang seolah takut kehilangan momen bagaimana hatimu dibentuk.
“Hanya karena suka? Tidak ada alasan lain?” Aku masih penasaran. Ini adalah kali kesekian aku menemanimu membeli penganan gula kental yang manis itu.
“Apakah menyukai sesuatu harus selalu dengan alasan, Jevan?” Kamu mengakhirinya dengan senyum di bibirmu yang merah muda. Dan aku, diam.
Lelaki kurus itu menyerahkan setangkai hati pertama yang kamu sambut dengan mata yang berbinar. Kamu memandangi hasil karya lelaki itu beberapa jenak. Seolah meneliti sebuah karya seni yang langka. Plastik bening yang membungkus hatimu itu pun kamu rapikan. Lalu mengikat tali menjadi simpul berbentuk pita di bawahnya. Itu ritualmu setiap kali membeli gulali. “Hati pertama ini untukmu,” ujarnya. 

**

Gulali berbentuk hati dan berwarna merah. Langkahnya terus menyusuri alun-alun kota, mencari seseorang. Ia sangat yakin bahwa yang memberikan setangkai gulali itu adalah Leya. Perempuan yang dulu selalu memberikannya setangkai hati pertama tiap kali mereka membeli gulali bersama.
Wahana komidi putar sudah jauh darinya. Di kepalanya tak terpikirkan bagaimana jika Namira dan Ale kebingungan mencarinya nanti. Ia hanya ingin bertemu dengan Leya meski tak yakin juga apa yang akan dikatakannya nanti jika mereka bertemu.
Jevan menemukan seorang pedagang gulali yang sedang sibuk membentuk gula kental panas dari wajan kecilnya. Ia menghampirinya, berharap Leya ada di sana. Tak ada perempuan itu di antara para pembeli yang sedang menunggu gulali mereka. Leya mungkin sudah pergi.
Ia belum menyerah. Dilangkahkan lagi kakinya ke arah lain, ke mana saja karena ia pun tak punya arah. Lalu ia teringat tempat kesukaaan Leya jika ada festival atau acara seperti pasar malam seperti ini, kembang gula!
Tepat! Seorang perempuan berambut hitam sebahu dengan dress hijau floral selutut ada di sana. Senyum Jevan terkembang. Itu Leya!
Jarak mereka tidak jauh, hanya sekitar lima meter, namun tiba-tiba ada rombongan anak muda yang mengahalangi jalannya. Membuatnya terpaksa melambatkan langkah. Dengan tubuhnya yang tinggi, ia masih bisa melihat perempuan itu memegangi kembang gulanya. Perempuan itu tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya melangkah pergi. Ia mempercepat langkahnya menuju stan kembang gula. Berkali-kali pula ia harus meminta maaf pada pengunjung yang tanpa sengaja tersenggol tubuhnya saat ia mencoba menerobos jalan.
Leya sudah pergi. Ia terlambat lagi.

**

“Aku akan menikah,” ujarmu pelan, bahkan sangat terlihat santai. Tanpa beban. Kamu mengucapkannya seolah sedang mengatakan kalau kamu ingin makan atau ingin pergi tidur. Sementara itu jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika kamu mengucapkannya beberapa detik lalu.
“Menikah?” ulangku terkejut. Ya, aku berharap kamu sedang bercanda tadi. Aku bahkan belum sempat mengungkapkan perasaanku padamu dan sebentar lagi kamu akan jadi milik lelaki lain. Secepat itukah, Leya? Atau aku yang terlalu bodoh, membiarkan lima tahun berlalu begitu saja.
Kamu tersenyum dengan mata yang tak beralih dari hati kedua yang sedang dibentuk. “Kurasa kamu belum butuh pergi ke dokter THT, Jev.”
“Kamu akan menikah dan baru memberitahuku sekarang?” Aku masih mencecarnya soal pernikahan. “Bahkan kamu bisa begitu santai memberitahukannya padaku, seolah itu adalah kabar tak penting,” ujarku geleng-geleng kepala dan kusisipkan kekehan pelan yang kupaksa keluar. Menutupi lubang yang mulai menganga dalam hatiku.
“Kamu itu orang sibuk, Jev. Sulit menghubungimu,” jawabmu bergurau. “Dan kamu juga tahu bukan bahwa aku paling sebal jika menunggu terlalu lama?”
Ya, kamu betul Leya. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk berperang sendiri tentang perasaanku padamu hingga tanpa sadar telah membuatmu menunggu terlalu lama. Kamu pasti berpikir bahwa aku hanyalah Jevan, si pecundang yang bodoh.
“Jadi dengan siapa kamu akan menikah?”
Jemarimu merapikan hati kedua milikmu. “Dengan lelaki yang kepadanya akan kuberikan hati kedua ini,” jawabmu sambil menunjukkan gulali merah berbentuk hati yang sama dengan milikku.

**

“Ayah....” Dilihatnya tangan kecil Ale melambai ke arahnya, mencoba memberi tanda keberadaannya. Pun Namira yang berdiri di sampingnya, melakukan hal yang sama. Kini ia sedang berdiri di persimpangan. Terus berlari mencari Leya atau kembali pada Namira dan Ale.
“Kamu ke mana sih? Kita nyari kamu daritadi,” keluh Namira kesal.
Jevan mencoba tersenyum pada Namira, istrinya. “Maaf ya, tadi seperti melihat teman lama.”
“Siapa? Sudah ketemu?” Pertanyaan Namira dijawab dengan gelengan kepala olehnya. Tiba-tiba raut wajah Namira berubah sedih.
“Ayah, aku mau itu....” Ale menunjuk sesuatu yang ada di genggaman ayahnya.
“Hati pertama untukmu, Nak.” Senyum Jevan mengembang. Ale sangat antusias menerimanya.
Jevan menyadari wajah sedih istrinya itu lalu bertanya, “kamu kenapa, sayang?” Diusapnya rambut Namira dengan lembut.
“Barusan Vanya kabarin aku tentang Leya,” jawabnya sedikit ragu. Ia tak yakin Jevan akan baik-baik saja setelah mendengar kabar tentang teman lamanya ini. “Leya meninggal sore tadi di Amerika, jenasahnya akan tiba di Indonesia besok pagi.”
Bibir Jevan terkatup rapat. Kepalanya masih sulit mencerna kata-kata dari Namira. Istrinya pasti sedang bergurau. Tapi ia tak menangkapnya di wajah Namira. Ia benar-benar serius tentang Leya. Matanya langsung diarahkan ke atah stan kembang gula tempat terakhir melihat perempuan itu. Lalu beralih cepat ke arah hati yang ada di tangan Ale. Dadanya terasa sesak. Bibirnya tak mampu mengeluarkan apapun. Ia hanya diam memandang Namira yang sama sedihnya dengan dirinya.
Leya masih hidup. Ia ada di sini.

****

Rabu, 01 Oktober 2014

3rd day : What are You Afraid Of?





Haii...
Sudah hari ketiga untuk tantangan ngeblog nih. Kali ini judulnya tentang hal yang gue takutkan.
Sudah pasti dari sekian ketakutan gue, yang ada di daftar paling atas adalah Sang Maha Pencipta. Gue sadar banget kok sebagai manusia masih banyak melakukan hal yang dilarang oleh-Nya, tapi gue selalu berusaha untuk menjalankan perintah-Nya. Selalu berusaha untuk menjadi hamba yang lebih baik dan taat.

Mati. Semua makhluk hidup pasti akan mati kan? Iya, gue tahu. Dan nggak ada yang tahu kapan waktu itu tiba kecuali Tuhan.
Takut kehilangan orang-orang tersayang, terutama keluarga. Ah, siapa sih yang mau kehilangan keluarga?

Ular. Ketakutan gue dengan hewan jenis ini emang gak parah-parah banget sih, malah pengen belajar megang (dan tetep belum berani juga!). Pernah waktu kecil (lupa umur berapa), ketika lagi di kamar mandi di rumah kakek-nenek gue  tuh ada ular yang ngelilingin wc yg lagi gue pake. Dan gue cuma bisa teriak-teriak manggil mama. Sejak itu gue agak parno pake kamar mandi di rumah nenek gue itu dan takut tiba-tiba ada ular nongol di sana. Ahahaha

Apalagi ya? Banyak sih sebenarnya hal yang gue takutkan. Tapi gue gak menjadikan ketakutan gue itu sebagai hal yang harus gue takutkan dalam hidup. Kebanyakan gue malah belajar buat melawan ketakutan gue itu. Sok berani aja sih gue. Ahahahaaaa...


Jadi, mari belajar untuk menghadapi ketakutan yang kalian punya. Semangaaaattt....!!







Kota Hujan, 011014

Selasa, 30 September 2014

2nd day : 20 Facts About You



Allo....

Tantangan hari kedua ini adalah membeberkan 20 fakta tentang gue. Yuk mari disimak fakta-fakta yang gaje ini. Ohohohohooo 

  1. Jawa. Mungkin di hari pertama gue udah cerita tentang ini. Yep, gue keturunan Jawa yang sering dikira bukan orang jawa. Kebanyakan mereka mengira gue adalah orang sunda karena domisili gue di Bogor. Bahkan pernah ada yang ngira gue orang Aceh, Padang, atau Palembang. Oh!!
  2. Anak sulung dan perempuan satu-satunya membuat gue nggak punya saingan. Hahaha... karena dua adik gue semuanya laki-laki dan jarak usia gue dengan mereka agak jauh.
  3. Angka 9. Gue lahir di tanggal itu dan gue merasa itu adalah semacam nomor keberuntungan.
  4. Golongan darah gue B, dan gue baru tau ini beberapa bulan lalu. Diceknya sama Praka yang punya satu titik di ujung mata. Uwuwuwuww.... *toyor
  5. Ekspresif dan moody. Hehehehee....
  6. Jatuh cinta banget sama Yogyakarta dan punya mimpi bisa tinggal di kota itu sama keluarga gue kelak. XD
  7. Suka banget sama warna coklat. Sampe tiap beli baju, sepatu, atau sandal pun pasti yang dicari tuh warna coklatnya dulu.
  8. Gak suka jeruk.  Paling gak suka sama buah yang satu ini. Jangankan makan, cium bau jeruk aja udah nggak suka. Kalau ada yang makan jeruk di dekat gue, pasti gue menyingkir atau kalaupun nggak bisa pergi ya... tutup hidung ajalah. Tapi Cuma jeruk buah yang oren-oren itu aja sih. Kalo lemon atau jeruk nipis sih masih oke.
  9. Lebih suka jalan sendirian. Iya sih kalau ada teman bisa ngobrol, tapi kadang suka nggak bebas, apalagi gue suka nggak enakan orangnya. Jadi kalau sendirian kan mau sampai kaki pegel pun puas. Tinggal teparnya aja di rumah. XD
  10. Seneng  belanja buku (apalagi kalau diskonan), tapi dibacanya nggak tahu kapan. Hihihihiii
  11. Novel. Suka baca novel sejak SMP ketika teenlit lagi booming. Dan gue nggak fanatik sama satu genre aja sih.
  12. Suka nge-craft, tapi masih yang gampang-gampang aja kayak flanel dan kertas. Seru dan bisa bikin lupa waktu. Gue kadang suka sayang ngeluarin duit buat beli sesuatu yang sebenarnya bisa dibikin sendiri, jadi kalau bisa bikin kenapa mesti beli? Nggak enaknya adalah ketika selesai berkreasi dan menyadari tempat lu udah kayak kapal pecah. XD
  13. Lebih suka nonton film action, spionase, atau adventure ketimbang romance. Bukan berarti gak suka nonton romance ya, koleksi dvd gue juga banyak kok romance-nya.
  14. Will Smith. Teman gue sampe heran kenapa gue suka sama bapaknya Jayden Smith ini. Bagi gue, dia itu keren. Anaknya juga! Ahahhaha..
  15. Sheila on 7. Sebagai generasi yang melewati tahun 90-an, gue juga merasakan bagaimana lagu-lagui dari grup yang satu ini menemani hidup gue. (Dulu) gue fanatik banget sama So7, sampai ngumpulin semua tentang mereka. Playlist gue pun masih didominasi oleh lagu-lagu mereka sampai sekarang.
  16. Gak suka kucing, tapi gak sampe histeris juga kalau ada kucing.
  17. Kalau ngendarain motor suka ngebut (katanya!). Iya, kata orang-orang gitu. Sampe ada yang kapok diboncengin sama gue, padahal gak ngebut-ngebut amat kok gue. :p Tapi kalau gue yang diboncengin juga suka ngeri  (nah, lho...) dan gue jadi mikir ‘jadi gini ya rasanya diboncengin ngebut?’. *toyor
  18. Anggota Gengges. Nama ini sebenarnya cuma asal ceplos aja waktu kumpul bareng sepupu-sepupu perempuan dari garis keturunan Mbah buyut Karsoredjo. Biasanya kita suka nonton dvd bareng atau kumpul-kumpul.
  19. Lango. (Buat yang belum tau apa itu lango, silahkan googling aja ya. :p ) Banyak yang bilang gue aneh atau konyol karena suka sama lango. Yateruss? Dan gue beruntung akhirnya menemukan satu teman yang gokil kalau udah ngomongin hal yang satu ini. Nulis novel dengan dunia lango adalah salah satu cita-cita gue juga. *wish
  20. Pengen banget bisa main voli. Ahahaha... Iya, mau belajar olahraga yang satu ini. *nyariguru

Udah ah, segitu aja yang gue bocorin tentang hidup gue (ya emang cuma 20 kalii tantangannya...). Besok kita jumpa lagi dengan tantangan berikutnya. Jangan kapok mampir sini yak... :D





Kota Hujan, 300914

Senin, 29 September 2014

1st day: Introduction


Haiii...
Yep, akhirnya gue memutuskan untuk ikutan 25 days challenges ini. Tertarik untuk ikutan setelah baca blognya Kak Rula dan kayaknya seru juga. Sekalian buat ngisi blog gue yang jarang banget diisi tulisan baru. Hehehe.... Baiklah mari kita mulai dan semoga gue konsisten ngeblog selama 25 hari ke depan.

Di hari pertama ini gue mesti memperkenalkan diri. Nama lengkap gue Desvian Trisna Sekar Wulan. Ketika gue memperkenalkan diri pada orang baru, gue biasanya pakai nama Desvian dan seringnya gue mesti menyebutkannya pelan-pelan atau mengulangnya. Dan nama gue ini bikin gue ngabisin waktu ketika ujian (u know what I mean, lah). Gue punya banyak nama panggilan mulai dari Desvi, Dedes, Dedel, Vian, Trisna, Isna, Wulan, dan beberapa teman gue punya nama panggilan khusus buat gue (meski aneh). XD

Lahir di kota yang tetanggaan sama kota yang bikin gue jatuh cinta. Kedua orang tua gue asli Jawa, tapi entah kenapa banyak orang yang ngira gue bukan orang Jawa. Emang sih gue tumbuh dan besar di kota Hujan, tapi gue juga gak pinter bahasa Sunda (bahasa Jawa juga gak pinter sih. Hahaha...). Lalu gue mikir di mana letak kurang Jawa-nya muka gue? Apa gue mesti mengeksotiskan(?) warna kulit dan ngomong lemah lembut plus kemayu? Hahahaa..*abaikan.

Saat ini gue masih tercatat (etdah tercatat...) sebagai karyawati di sebuah perusahaan tesktil di kota hujan. Pekerjaan gue di bidang keuangan. Dari dulu gue lebih suka angka-angka dan menghitung ketimbang teori dan hapalan. Meski begitu, gue suka banget nulis dan baca buku. Menurut gue nulis itu semacam terapi. Kadang ada beberapa hal yang ingin diungkapkan tapi nggak bisa diungkapkan secara langsung, dan gue milih nulis buat mengungkapkan. Gue suka nulis sejak SMP, tapi baru serius nulis sih beberapa tahun yang lalu. Belum punya novel solo sih, tapi beberapa tulisan gue masuk dalam beberapa antologi. Dan saat ini sedang merancang pilar-pilar calon ‘anak’ pertama. XD

Segitu dulu kali ya perkenalan kali ini. Salam kenal untuk kalian. Kalau pada takut kenalan sama gue karena ada yang bilang gue galak atau jutek abaikan saja, karena emang gitu kok (lho?!) :o

Boleh lho mampir buat denger kicauan gak penting gue di akun @desvianwulan (promo terselubung).XD

Sampai jumpa besok.






Kota Hujan, 290914

Minggu, 21 September 2014

Just Give Her A Sign


Perempuan itu tersenyum. Lalu tertawa. Bahagia. Ingin rasanya kamu di sana. Menikmati manis senyumnya, renyah tawanya, dan tentu saja matanya yang katamu seperti telaga. Tapi kamu bisa apa? Hanya diam mengawasinya. Lalu hancur ketika lelaki lain datang. Mendapatkan yang kamu inginkan. Dan kamu mundur pelan-pelan seolah tak ingin jejakmu tertinggal.

Kamu menelanjangi dinding putih itu dari bingkai-bingkai kenangan. Semua. Tak satupun kamu biarkan tertinggal. Tidak juga hatimu yang sudah remuk. Kamu menyerah. Semudah itu.


Sedang di sana ia tahu kamu ada, mengawasinya. Ia melihat punggungmu yang menjauh. Dan ia bertanya-tanya, mungkinkah kamu sudah menyerah? Tanpa kamu tahu, ia sama remuknya denganmu. Ia ingin membagi tawanya denganmu. Mengulurkan tangannya untukmu dan membantumu menyembuhkan luka dalam hatimu. Ia tidak mengabaikanmu. Ia hanya sedang menunggu. Menunggumu. 









(Tulisan dengan 123 kata ini diikutkan dalam #Fiksilaguku @KampusFiksi
terinspirasi dari lagu Breaking Benjamin-Give Me a Sign )

Minggu, 07 September 2014

10 Books That Affected Me

Awalnya ditag seorang teman di facebook tentang buku-buku yang mempengaruhi hidupnya. Sempat minder dengan bacaan saya yang ringan-ringan ini. Seringan kapas yang ditiup lalu terbang terbawa angin. Hahahahahaa.... Jadi, ini kesepuluh buku versi saya.


  • G30S-PKI (Nggak tahu judul tepatnya) 

Sebenarnya buku ini bukanlah sebuah buku yang utuh dan lengkap, tanpa kover dan beberapa bagian buku yang hilang (dan nggak tahu kenapa bisa begitu). Saya temukan nggak sengaja di bawah meja tamu di rumah Pakde saya yang tentara, waktu saya masih SD (sekitar kelas 4 atau 5). Mengisahkan tentang proses penculikan para pahlawan revolusi sampai pengangkatan mayat-mayat di Lubang Buaya. Karena halaman yang nggak lengkap, saya sampai nyari di gudang rumah Pakde, dan nggak ketemu! Sedih. Buku inilah yang membuat saya jadi suka sama pelajaran sejarah, sampai dapat nilai 9 koma  di rapor dan seneng banget waktu itu. XD


  • Biografi Denny Sumargo 

Sebuah biografi dari pebasket nasional. Awalnya beli buku ini karena kesengsem banget sama Koko Densu, lalu saya menemukan sesuatu ketika mulai membaca tiap lembar kisah hidupnya. Hidup yang tidak mudah, keras, dan penuh perjuangan. Didikan keras dari ibunya yang orang tua tunggal membentuknya menjadi pribadi yang keras pula, mudah emosi, namun berpendirian teguh dan tidak mudah menyerah. Beberapa bagian membuat saya ingin menangis saja rasanya (emang cengeng sih. XD ). Melalui buku ini saya jadi menyadari bahwa hidup saya masih lebih mudah dari kisah-kisahnya, yang membuat saya lebih bersyukur.


  • Fairish – Esti Kinasih

Salah satu teenlit yang booming banget jamannya saya SMP. Sejak itu saya jadi keranjingan baca novel, mulai dari minjem teman (ngantri pula) sampai harus nabung buat beli. Dari hobi baca teenlit macam itu saya jadi kepengen punya karya seperti itu, jadi saya mulai nulis cerita-cerita saya di buku tulis (waktu itu belum punya komputer) yang kemudian dikonsumsi sama teman-teman terdekat dan bikin saya senang ketika mereka menagih lanjutannya. Momen sederhana itu yang bikin saya mulai suka nulis sampai menghabiskan banyak buku tulis.


  • Bangkok (Journey)- Moemoe Rizal

Buku ini yang akhirnya membuat saya jatuh cinta sama tulisannya Kak Moemoe lainnya, Fly to the sky (tepatnya sama Ardian-nya). Awal beli ini sih memang karena Bangkok-nya, tapi akhirnya lewat novel ini membuat saya belajar bagaimana membuat tulisan deskriptif yang lebih baik (ngomong apa sih). :D


  • Supernova – KPBJ

Sebenarnya bisa dibilang telat gaul juga pas baca ini. Mungkin yang lain sudah sampai Partikel bahkan nunggu Gelombang keluar, saya baru mulai dengan KPBJ. Hehehe.... Karya-karya ibu suri emang jempolan. Sains yang dipadankan dengan fiksi, penokohan yang kuat, dan banyak kejutan. Keren pake banget! Dan saya jadi kepingin beli seri selanjutnya.


  • Season Series – Ilana Tan

Idenya membuat benang merah yang menyatukan keempatnya itu bagus. Gaya tulisan Ilana Tan dalam cinta empat musimnya itu yang banyak mempengaruhi gaya tulisan saya beberapa tahun lalu (sekarang juga masih sih).


  • Harry Potter – J.K Rowling

Saya juga merasakan bagaimana hanyut dalam dunia sihirnya Tante Rowling seperti teman-teman saya yang lain waktu SMP. Membuat saya nggak sadar bahwa novel itu lebih tebal dari teenlit yang biasa saya baca.


  • You’re the apple in my eyes

Suka juga sama filmnya. Tentang persahabatan dan cerita cinta yang realistis. Saya suka endingnya. Akhirnya.... *ketawajahat


  • 9 Matahari – Adenita

Tentang semangat dan perjuangan seorang Matari untuk kuliah di tengah kesulitan ekonomi keluarga. Semangat yang sama juga terbit kembali dalam diri saya ketika membaca kisahnya.


  • Alles Liebe – Farrahnanda

Saya suka dengan pesan singkat yang dituliskannya pada halaman awal novelnya untuk  saya. Dari tokoh yang diciptakannya itu saya jadi belajar untuk berani “mengumpat” dalam tulisan. Sebuah perubahan. Ahahahahaa....






Kota Hujan, 07092014

Sabtu, 26 Juli 2014

Hujan Turun Lagi

picture from weheartit

Hujan turun lagi, Kirana.
Aku melihatmu dari balik jendela kamarku. Berlari-lari di bawah rinai hujan. Sesekali menari, berputar-putar sambil bergandeng tangan dengan temanmu. Kamu tahu Kirana, aku ingin sekali bisa keluar dari kehangatan kamarku dan berlari menujumu. Aku ingin menari di bawah hujan. Sepertimu. Namun kamu juga tentu tahu Kirana, Ibu tak akan membiarkanku melakukan itu. Aku harus tinggal di dalam kamar dan berselimut tebal. Dan tentu saja, aku hanya bisa memandang sedih ke luar jendela kamarku. Menyaksikan gadis-gadis berpesta.

Kamu menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengawasimu di balik jendela yang buram berembun. Aku menangkap senyummu. Senyum yang melengkung di bibir pucatmu. Seharusnya kamu cepat pulang dan menghangatkan tubuhmu yang menggigil itu, Kirana. Pulanglah... jangan membuat Ibu sedih jika kamu sakit karena terlalu lama bermain hujan. Jangan marah padanya jika ia banyak melarangmu ini itu. Ibu terlalu sayang padamu. Biar kuberitahu padamu, diam di dalam kamar dan hanya memandang iri pada hujan di luar sana sungguh menyebalkan, Kirana. Maka cepatlah pulang dan menurut pada apa yang Ibu katakan.

Pintu kamarku berdecit, membuatku mengabaikan dirimu. Ibu berjalan menuju ranjangku dengan membawa semangkuk sup buatannya. "Sudah waktunya makan, Kirana." Ibu duduk di sampingku, menyuapi anak gadisnya dengan sabar. Kamu tahu Kirana, aku sungguh menyesal ketika aku justru berlari membawa marah pada Ibu karena menyuruhku berhenti bermain hujan. Andai saja bisa mengulang waktu, aku akan segera pulang. Dan Kirana--aku atau kamu, sama saja--tak akan menghabiskan waktunya di atas ranjang sambil memandangi hujan dari balik jendela saja.







Kota Hujan, 26072014

Rabu, 09 Juli 2014

Senja Kesembilan Bulan Ketujuh


Teruntuk kalian, teman-teman tersayang.
(Icha, Rina, Ani, Lina, Selvi, dan Halida. )



Semua lebur menjadi satu saat kita berjumpa. Pun sudah termasuk dengan rindu di dalamnya . Sebuah pertemuan hangat di hari kesembilan bulan ketujuh pada satu senja . Duduk bertujuh di mana mengalirlah mimpi, canda, tawa, serta rangkaian cerita antara kita.

Masing-masing dari kita tentu tahu, tak mudah mencari waktu di mana kita bisa berkumpul bersama.  Hari kerja dan hari libur yang berbeda menjadi masalah kita. Namun Tuhan selalu baik bukan? Hingga kita selalu disediakan hari untuk bertemu muka, melepas rindu, membagi cerita.

Terima kasih untuk kalian yang sudah mau meluangkan waktu hari ini. Meski hanya dengan acara sederhana di salah satu sisi kota hujan tercinta. Dibalut dengan canda, tawa, dan lelucon konyol membuatnya lebih dari kata sederhana. Terasa kaya akan cinta. Hangat seperti pelukan bunda.



Terima kasih sudah membuatku lupa akan usia. Pun membuatku lupa akan suara. Hingga ia berubah, karena bersama dengan kalian selalu banyak tawa tercipta.  Tingkah kita ketika mengabadikan kenangan seperti remaja di bawah usia. Oh, tentu kita belum tua, hanya sedikit lebih dewasa dibanding mereka. Potret-potret itu akan membuat kalian tersenyum dan menahan tawa  hingga ingin kembali ke masa sebelumnya. Ya, aku juga.



Teman-teman tersayang,
Terkadang kita menyadari sesuatu tentang usia. Akan ada waktunya untuk perlahan menjauh dari  kebersamaan kita. Satu persatu akan mengikuti langkah imamnya, membina rumah tangga. Ia—yang lebih dulu—tak akan mudah mengiyakan janji temu yang terencana. Ya, satu persatu akan menyandang gelar barunya sebagai nyonya. Lalu menggoda yang masih nona tentang kapan akan menyusulnya.
Jadi, siapa yang pertama akan jadi nyonya di antara kita?




Kota hujan, 090714
Dengan penuh cinta,



Desvian Wulan



Kamis, 03 Juli 2014

Surat Untuk Abang di Tapal Batas #2

Teruntuk Abang, di tapal batas.


Ingin kubagi sedikit cerita yang membuatku masih saja menahan tawa ketika mengingatnya.
Sebuah pemberitahuan di akun sosial media membuatku mengalihkan jemariku dari lembar putih kosong itu. Lalu aku tertawa. Seorang adik sepupu bertanya tentang siapa sosok ‘abang di tapal batas’. Tentangmu. Entah bagaimana surat yang pernah kutulis untukmu itu membuatnya begitu percaya. Ya, ia percaya bahwa kamu adalah seseorang yang sungguh nyata dalam hidup kakak sepupunya ini.

Ia kemudian menanyakan tentang pertemuan kita, di mana dan bagaimana. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan tawa. Menjelaskan bahwa tak pernah ada temu dan sekadar perkenalan, juga balasan surat itu pun kuceritakan apa adanya. Seperti sepupu-sepupuku di Gengges (itu nama geng kami, keluarga Mbah buyut Karso Redjo), ia malah semakin brutal menggodaku. Hahaha.... Ia bahkan menyamakan kita dengan sepasang tokoh dalam novel yang kusuka (karena profesi tokoh utama sih sebenarnya), Fly to The Sky. Sepasang tokoh utama yang saling mencari satu sama lain dengan berbekal informasi yang terlalu sedikit. Tentu saja jauh berbeda dengan kita. Tak ada yang saling mencari. Hanya aku, mengagumimu. Tidak denganmu.

Tak ada yang membuatku sedih tentang kita. Tentang temu dan sapa yang tak pernah nyata. Tidak satupun, Bang. Kau justru menumbuhkan senyum tiap wajahmu muncul di antara potret-potret dalam album acakku. Jika aku butuh semangat untuk menulis lagi, rekaman video tentangmu seolah membuatku harus kembali. Berlebihan. Memang. Namun begitulah dirimu.

Abang, kucukupkan di sini suratku kali ini. Jangan bosan jika kelak aku mengirimu surat lagi. Kuharap kamu hidup dengan baik di sana. Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberkahi tiap langkahmu.





Kota Hujan, 03072014



Desvian Wulan

Minggu, 11 Mei 2014

Aquamarine

“Suatu hari, kita akan kembali lagi ke tempat ini.”
"Tentu saja,” balasnya santai. “Tak perlu kata 'suatu hari', karena minggu depan kita juga akan bertemu lagi di sini, di tempat ini,” tambahnya sambil tersenyum padaku. Aku memaksakan kedua sudut bibirku naik, membalas senyumya. Harapanku, lebih dari sekedar itu.

           
            Aroma khas kopi menguar dari segala penjuru, menyapa setiap indera penciuman manusia. Temasuk kita yang akhirnya tergoda untuk membuka pintu kaca yang tercetak logo berwarna hijau itu ketika hujan tak kunjung reda. Kita memesan secangkir double espresso dan segelas besar mocha frappuccino pada barista cantik berkuncir kuda.
Beruntung sudut favorit kita di cafe itu tak ada yang menempati lebih dulu. Sepasang sofa berwarna coklat tua yang dijeda meja bundar kecil warna senada. Kita berdua menikmati kopi masing-masing sembari membicarakan banyak hal. Lagu Secondhand Serenade, album terbaru Maliq 'n d'Essentials, buku-buku sci-fi koleksimu, dan entah apa lagi, masuk dalam obrolan kita.
Sesekali aku melirik ke luar sana. Beberapa anak lelaki yang kuyup dan kedinginan. Bibir mereka pucat, bergetar. Menawarkan payung-payung mereka pada pengunjung demi beberapa lembar rupiah.
“Buana, kau tak keberatan ‘kan kalau aku membagi donat-donat ini pada anak-anak itu?” tanyaku hati-hati. Telunjukku mengarah pada anak-anak lelaki yang sedari tadi kuperhatikan. Kulihat matamu mengikuti telunjukku.
            Kamu mengangguk. Senyum yang menghadirkan gelenyar aneh tiap aku melihatnya pun tak luput kau sisipkan.
Segera kuambil satu kotak berwarna kuning dari kantung belanja kami tadi. Tak sabar membagi sedikit kebahagiaan pada anak-anak itu.
**
            Iced Frappucinno dalam gelas besarku sudah sisa setengahya ketika aku membuka pesan singkat ketiga. Mataku memandang jauh ke luar pusat perbelanjaan di pusat kota ini. Sebuah tugu dengan replika senjata khas tanah Sunda di tengah kota pun masih sedikit tertangkap pandangan mata dari sini.
Tugu Kujang. Gagah berdiri meski dicumbu teriknya matahari, dibalut polusi. Bogor, mulai menjelma ibukota. Ah, itulah sebabnya aku lebih suka sepanjang jalan Ahmad Yani menuju Sudirman ataupun di sepanjang Jalan Padjajaran. Pepohonan besar dan hijau menaungi sepanjang jalan. Teduh. Sejuk. Lalu aku memindai kenangan ketika kamu menantangku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan itu.
Sudahlah. Itu masa lalu.
            Kulirik jam tangan warna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sepuluh menit berlalu. Kamu terlambat, seperti biasa. Aku menghela napas sejenak. Lalu memutuskan untuk mengambil buku yang belum tamat kubaca.
“Ayla?” suara itu mengurungkan niatku untuk melanjutkan bacaanku.
Itu kamu, orang yang kutunggu. Ketika tubuhmu yang tinggi tegap itu tertangkap pandang mataku, sesuatu bergemuruh di dalam diriku. Rasanya nyaris sama seperti dulu, namun aku buru-buru mengenyahkannya.
Aku harus tahu diri.
Kutarik kedua sudut bibirku ke atas. Novel Laura Florand pun kututup kembali. Kamu kemudian duduk di seberangku. Meja kayu bundar menjadi sekat antara tubuh kita.  
            “Maaf terlambat lagi,” ujarmu sambil memamerkan senyum yang masih saja menghadirkan getaran yang sama, membuat jantungku berkali-kali lebih cepat detaknya. Hanya saja kali ini berbeda. Aku harus mengusirnya.
“Sudah lama?” tanyamu.
            Aku menggeleng. “Baru sepuluh menit,” jawabku datar. Raut wajahmu berubah mendengarnya.
            “Maaf, Ayla,” ujarmu terlihat menyesal.
Aku tersenyum hambar. Bukan karena memaklumi keterlambatanmu, namun mendengar caramu menyebutkan namaku. Kamu menyebutkannya dengan lengkap. Ayla. Bukan ‘Ay’ yang terkadang diucapkan dengan nada manja. Ah, lupakan itu. Aku tahu kamu tak akan lagi memanggilku seperti itu.
            “Tidak apa-apa.”
            “Terima kasih karena kamu mau menyempatkan waktu dan menyanggupi permintaan yang kukirim lewat email dua minggu lalu,” katamu. “Aku bahkan sempat takut kamu tak mau menanggapi emailku.”
            Lagi-lagi aku memaksakan diri untuk tersenyum, mencoba memberi tanda padamu kalau aku selalu baik-baik sejak perpisahan kita setahun lalu.
“Saya diharuskan untuk bersikap profesional untuk menanggapi customer,” jawabku kaku. “Menanggapi permintaan desain yang anda kirimkan via email dua minggu lalu pada kami, berikut saya bawakan beberapa contoh desain yang mungkin sesuai dengan permintaan anda,” ujarku dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. Kuputar komputer jinjingku agar klien-ku bisa melihat desain yang sudah kusiapkan dari Surabaya, tempatku bekerja. 
            “Ayla,” panggilmu pelan. Mengabaikan slide-slide yang tersaji di hadapanmu.
         "Untuk contoh gambar yang ini,” kataku sambil menunjukan gambar pertama.  “Cincin dengan material platina dan batu saphire.”
Jemariku berpindah ke gambar kedua. “Untuk yang ini cincin dengan material emas murni dengan bentuk hati. Klasik, sederhana, namun bisa tetap elegan.”
            Sementara aku terus menjelaskan detail-detail gambar cincin di slide selanjutnya, kamu hanya diam dan membiarkanku bicara, tak tahu apakah kamu benar-benar mendengarkan penjelasanku atau tidak. Pun selama itu, aku tak berani memandang matamu. Bahkan untuk sesekali mencuri lihat dimana sepasang manik mata warna hitam yang dulu begitu sering membuatku rindu pun aku tak berani.
            Andai kamu tahu bahwa aku rindu. Padamu.
**
            Aquamarine.
            Batu mulia berwarna biru yang cantik. Aku terinspirasi untuk menambahkan batu itu dalam desain cincin yang sedang kugambar. Dua hari lalu aku menemukannya dalam halaman kesekian dalam sebuah judul buku yang kubaca di perpustakaan universitas.
            Aku berhenti sejenak, menilik hasil goresan pensilku. Seporsi sirloin steak yang mulai dingin pun kuabaikan sejak pelayan Steak and Shake mengantarkannya ke meja ini. Senyumku mengembang ketika daya imajinasiku membayangkan wujud tiga dimensi dari desain yang baru selesai kugores.
            Cincin cantik bertahtakan aquamarine itu hancur tak sampai hitungan menit bersamaan dengan menggelapnya pandangan mataku. Aku menggeram sembari menyebutkan nama seorang lelaki, namamu. Detik berikutnya cahaya terang menyerbu pandanganku diiringi bunyi kikik tawa  yang terdengar menyenangkan.
            Kamu kemudian mengambil gerakan untuk duduk di sampingku setelah sebelumnya memberiku isyarat dengan tangan padaku untuk menggeser tubuhku ke sebelah kiri. Ruang yang kuberikan pun langsung saja ditempati oleh tubuhmu yang tentu saja lebih besar dariku.
“Gambar apa?” tanyamu sambil berusaha mencuri lihat sketch book-ku. Aku langsung mendekap erat bukuku dan tak ingin memberimu ksempatan untuk melihat cincin pernikahanku. Ah ya, walau baru sekedar angan-angan saja.   
            Bibirmu mengerucut. “Pelit.”
            “Biarin,” balasku. Kamu tidak akan memaksaku untuk memperlihatkan apa yang kubuat di lembaran benda kesayanganku ini karena kamu tahu aku sangat keras kepala dan tak suka dipaksa. Alih-alih memaksa, kamu mengalihkan pembicaraan.  
            “Jalan kaki sampai Istana Bogor, berani nggak?” tantangmu ketika aku hendak mengiris sirloin-ku.
            “Cuma sampai Istana? Sampai Surken juga dijabanin!”
            "Kalau kamu kalah, kasih aku lihat gambar yang tadi ya?" Mukaku memerah. Bukan soal gambar, tapi tulisan tanganku di bawahnya. Tentang harapan untuk mengenakannya di hari pernikahanku dengannya.   
**
            Seorang perempuan dengan kacamata hitam datang menginterupsi. Syal warna abu yang dililit di leher dan sisanya dibiarkan jatuh di depan dada makin membuatku iri. Kamu ternyata menghadiahi syal itu untuknya. Bukan untukku.
            Seulas senyum ia berikan padaku. “Hai,” sapanya ramah. Aku bisa melihat sorot matanya yang bersahabat ketika ia melepas kacamatanya.
            Hatiku mencelos. Lagi.
            “Nania.” Ia menyebutkan namanya, pelan. Tentu saja aku sudah tahu meski ia tak menyebutkannya. Memangnya siapa yang tak mengenalnya. Top model yang tahun lalu menjadi finalis ajang Miss Indonesia.
            “Ayla,” balasku.
            Nania yang cantik itu duduk di sisimu. Serasi. Seolah ada yang meneteskan air garam di atas lukaku ketika melihat kalian saling bicara.
            “Tapi aku suka yang desain aquamarine ini,” ujarnya setelah melihat-lihat slide yang tadi kujelaskan panjang lebar padamu. “Menurutmu gimana, sayang?”
            Kamu tersenyum. “Aku juga suka,” jawabmu dengan melirik aku di ujung kalimat.
            “Oke, kalau gitu kita pilih yang ini.” Ia mengambil keputusan dengan cepat dan mantap. Lalu menyerahkan sisanya pada asistennya. Berbeda denganmu yang terlalu lama menimbang-nimbang. Sama seperti ketika akhirnya kamu memilihnya  dan meninggalkanku.
            Kamu dan perempuanmu lalu pergi setelah berpamitan dan menjabat tanganku. Meninggalkanku berdua dengan perempuan muda yang tadi dikenalkan sebagai asistennya. Kulihat punggungmu menjauh bersamanya lalu hilang di balik kaca besar itu. Lamat-lamat kudengar suara Sara Bareilles mengalunkan lagu Gravity.
            Ah sial, mau membuatku semakin sedih saja rupanya.
            Ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Darimu. Hanya satu kata. Maaf.
            Jemariku dengan cepat mengetikkan balasan.
            
      Aku sudah menepati janjiku, memperlihatkan hasil goresanku karena aku kalah. Cincin aquamarine itu.


****


Kamis, 08 Mei 2014

Surat Untuk Abang di Tapal Batas


"Ibu, tugasku sebagai tentara adalah menjaga kedaulatan wilayah negara. Tapi, aku tak bisa tinggal diam ketika ketertinggalan ada di depan mata. Sebab tak hanya musuh yang harus kita taklukan. Perang sesungguhnya adalah bagaimana memajukan kualitas masyarakat. Sekecil apapun kontribusi yang diberikan akan berpengaruh pada kekuatan Indonesia di masa depan."
 -Serda Deka Prayoga-

Dear Abang,  di tapal batas.                             

Tempo hari aku tak sengaja menemukan surat yang kau tulis di atas kertas, untuk ibu pertiwi tercinta. Jujur, aku tergerak untuk mengetahuinya. Ah, maafkan adik ya, Bang, sudah lancang ingin tahu apa yang ingin kau kabarkan.

Dalam surat itu kau mengabarkan pada beliau, tentangmu dan kawan-kawan seperjuangan di tanah perbatasan. Tugas negaralah yang membawamu jauh hingga Entikong yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Menjaga kedaulatan negeri di daerah yang jauh dari hingar bingar modernisasi. Kau dan kawan-kawan harus menyusuri hutan Kalimantan untuk melakukan patroli patok. Ya, hanya patok sederhana yang menjadi tanda perbatasan antara dua negara. Tujuan patroli tersebut tentu saja untuk memastikan bahwa patok-patok itu tidak bergeser, baik karena ulah manusia maupun gejala alam. Meski peluh terus jatuh, kau terus menyemangati mereka. Ah, andai aku bisa menyemangatimu seperti itu, Bang.

Lalu kau mengisahkan sulitnya hidup di tapal batas. Hidup dalam keterbatasan yang katamu membuat kalian tangguh dan saling mendukung satu sama lain. Ya, kehidupan tentara seringkali mengharuskan kalian bisa bertahan dalam keadaan apapun bukan? Dan aku kagum akan itu. Tak banyak yang tahu -pun termasuk aku- bahwa kehidupan saudara-saudara kita di sana sesulit itu.

“Jiwa raganya NKRI, tapi perutnya Malaysia.” Begitu ungkapmu ketika mengisahkan tentang penduduk di perbatasan. Lapangan pekerjaan yang sulit di Indonesia, khususnya daerah perbatasan, membuat mereka mencari uang di negara tetangga yang lebih mudah. Bahkan anak-anak di bawah umur pun banyak yang ikut orang tuanya bekerja di sana, menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Miris. Anak-anak yang seharusnya belajar harus bekerja demi memenuhi perut mereka.

Di desa Sei Beruang, tempatmu bertugas,  air bisa begitu langka hingga kau dan yang lain harus berlomba-lomba menuju genangan air di tepi sawah untuk mandi. Tunggu, katamu mandi di genangan air di tepi sawah? Abang, jika air bersih saja begitu sulit, tentu akan berdampak pada masalah kesehatan ‘kan? Katamu, puskesmas di sana letaknya sangat jauh hingga pos kesehatan Yonif 143-lah yang menjadi harapan bagi penduduk setempat.

Tugas tentara di perbatasan bukan sekedar menjaga dan melakukan patroli patok semata. Ada beberapa tentara yang juga menjadi guru karena jumlah guru di sana yang tak mencukupi. Tak hanya soal guru, fasilitas dan sarana pendidikan pun sangat terbatas. Satu ruangan digunakan untuk beberapa kelas. Tanpa sekat. Tak terbayang bagaimana riuhnya ruangan itu. Bahkan konsentrasi belajar pun akan sulit didapat bila keadaannya seperti itu. Namun semangat belajar anak-anak itu mengalahkan segala keterbatasan.

Lalu aku tersenyum, sesekali tertawa perihal kawanmu yang membawa kebiasaan di militer untuk mendidik anak-anak muridnya. Aku bahkan bisa menghapal lagu seperti yang dinyanyikan anak-anak sekolah dasar itu lho, Bang. Kelak aku akan menyanyikannya untukmu, entah kapan. Dan ternyata, kau pun ditugaskan di PAUD yang ada di daerah Bantan, tiga kali seminggu. Bergabung dengan anak-anak kecil yang butuh perhatian lebih. Abang, kau terlihat keren di sini. (Uupss...) Aku tahu bahwa bukan hal mudah untuk mengatur anak-anak kecil seperti itu. Betapa sabarnya dirimu, Bang. Tapi kurasa kau sangat bahagia dengan dunia mereka. Kau bahkan mengatakan bahwa mereka bisa membuatmu tersenyum ketika sedang bad mood, bisa kembali ke pos dengan senyuman lagi. 


Abang, kurasa aku harus segera mengakhiri suratku, karena tak akan cukup dalam satu-dua lembar saja yang ingin kutulis di sini. Semoga Tuhan memberikan kesehatan, kesabaran, dan semangat yang tak henti untukmu dan semua prajurit negara di manapun. Menjaga ibu pertiwi dengan segenap jiwa raga.

Tetap semangat, Abang!



Kota hujan, 08.03.2014





Ditulis karena terinspirasi  Surat dari tapal batas

Selasa, 06 Mei 2014

Last Minute


            “Kau tidak mengenalku?” Perempuan berambut mahogani menggeleng pelan ketika seorang lelaki asing menanyakan itu padanya.
            “Carmel, semudah itukah kamu melupakanku?” Laki-laki dengan jaket hitam itu terlihat frustasi. Jawaban perempuan bernama Carmel itu jauh dari yang diharapkannya.  “Aku Bill. Brilliant Miller.”
            “Maaf Bill -atau siapapun namamu- aku tak pernah merasa pernah mengenalmu, jadi menyingkirlah dari sini dan biarkan aku pergi. Ok?!” Gadis itu mengeluarkan kalimatnya nyaris tanpa jeda. Seperti menumpahkan sesuatu yang terlalu lama disimpan.
            Brilliant Miller menggeser pelan langkahnya beberapa ke samping, memberi celah untuk Carmel. Sepasang mata hazel milik Carmel menatap sinis pada Bill sebelum kedua tungkainya melangkah. Kentara sekali bila ia tak menyukai Bill. Carmel pergi. Meninggalkannya. Lagi.
            Bill menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu taman itu. Otaknya masih mencari tahu mengapa Carmel tak bisa mengenalinya.
            “Pasti ada yang salah!” Bill berujar penuh keyakinan.
            **
            “Ben selingkuh lagi!”
            Lelaki itu, Bill, memutar bola matanya. Kasus yang sama untuk kesekian kalinya meluncur dari bibir gadis di depannya. “Kau saja yang bodoh,” komentarnya. “Sudah tahu brengsek tapi masih saja kau jadikan pacar.”
            Perempuan itu menggeram. “Bill! Aku butuh saran, bukan ocehanmu yang sama sekali tak membantu!”
Langkah Carmel berhenti mengikuti Bill.
“Saran?! Kau pikir semua saran pernah yang kuberikan tentang hubunganmu dengan si brengsek itu bisa kau lakukan, hah?” Emosi Bill jelas terlihat. Kesal.
“Kau menyebalkan!”
“Kau lebih menyebalkan! Gadis bodoh!”
Sepasang hazel milik Carmel menatap tajam penuh kemarahan pada laki-laki di hadapannya. Carmel memutar arah tubuhnya, langkah kakinya melangkah cepat, meninggalkan Bill yang masih tak mengerti dengan sikap gadis bersurai mahogani itu.
            “Carmel!” Suara Bill yang terdengar keras pun tak dihiraukan gadis itu. Carmel semakin mempercepat langkahnya. Perempuan itu terlalu mudah tersinggung. Bill masih bergeming di tempatnya, memandang punggung itu menjauh.
**
            Kakinya memutar balik ke arah restoran milik Paman Ed. Sebuah restoran tua di daerah Buenau.  Pintunya berderit ketika Bill mendorongnya masuk. Restoran itu sepi pengunjung.  Tujuan Bill kembali ke restoran Paman Ed adalah sebuah brankas besar yang ada di ruang kerjany. Lemari besi yang membawanya kembali ke Buenau, menemui Carmel untuk menebus kesalahannya dulu.
            Bill menyibak kain putih yang menutupi brankas yang tingginya hampir setinggi pundaknya. Brankas yang sama dengan yang disimpan Paman Ed di gudang rumahnya di Paris.  Ia meneliti lagi angka-angka yang tertera di putaran kuncinya.
“Sial!” Bill mendengus kesal. Ia salah memutar angka-angka itu. Pantas saja Carmel tak mengenalinya. Seharusnya ia datang satu tahun lebih awal dari yang seharusnya, ketika Carmel meninggalkannya di lorong universitas mereka.
Waktunya hanya tersisa dua puluh menit.
**
“Sebelum pergi, Carmel menitipkannya untukmu, Bill.” Mom menyodorkan sebuah surat pada Bill. Lelaki itu menerimanya dan segera meninggalkan Mom untuk masuk ke dalam kamarnya, membaca surat dari Carmel.
Bill membaca tiap kalimatnya pelan-pelan seakan takut akan terlewat satu kata saja bila ia membaca terlalu cepat.
Seketika penyesalan tumbuh dalam hatinya. Ia menyadari kebodohannya dengan membiarkan Carmel bersama Ben hingga akhir hidupnya. Meninggal dalam pelukan Ben. Andai ia tahu perasaan yang selama ini disimpan gadis itu untuknya. Cinta. Ya, Carmel hanya mencintai lelaki yang pernah menyebutnya gadis bodoh karena masih berpacaran dengan Ben.
“Gadis bodoh,” lirih Ben. “Kenapa harus pacaran dengan si brengsek itu jika kau mencintaiku?” Suaranya tertahan di antara isak.
Mesin waktu.
Ide itu terlintas begitu saja di kepala Bill. Ia segera bergegas mengambil jaket dan kunci mobilnya. Paman Ed adalah tujuannya. Lelaki tua yang pernah bercerita tentang brankas yang bisa membawanya melintas waktu. Tak ada lagi yang tahu soal itu selain Bill kecil yang penuh rasa ingin tahu dan pamannya yang berbeda dengan paman dan bibinya yang lain.

“Sekarang putar kunci-kunci itu ke waktu yang kau inginkan,” perintah Paman Ed di depan brankas yang masih disimpannya di gudang bawah tanah rumahnya. Ia pernah menggunakannya. Dulu.
Bill dengan hati-hati memutarnya sambil diawasi Paman Ed. Kepalanya mengangguk ketika jemarinya selesai mengatur waktu. Ia sudah siap.
“Ingat, waktumu hanya empat puluh menit. Lebih dari itu, satu menit dihitung dengan satu harimu di masa sekarang akan hilang,” jelas Paman Ed serius.
**
“Carmel...”
Pemilik nama yang dipanggil menoleh, mencari-cari sumber suara yang sudah meneriakkan namanya begitu keras.
“Hah? Kau lagi?” Carmel mendengus kesal begitu lelkai yang memanggilnya sampai di hadapannya. “Bukankah sudah kubilang kalau aku tak mengenalmu, hah?”
Napas Bill belum teratur, dadanya masih naik turun. “Carmel, bisa beri aku waktu lima sampai sepuluh menit?”
Hazel kembar itu memutar. “Lima menit, oke?”
Kepala Bill dengan cepat mengangguk. Lima menit lebih baik daripada tidak sama sekali, pikirnya. “Oke. Lima menit.”
“Carmel, aku hanya ingin meminta maaf padamu atas kebodohan yang pernah kulakukan padamu. Maaf jika aku terlalu bodoh dan lambat untuk menyadari perasaanku.” Gadis itu memandang Bill dengan tatapan aneh.
“Kau memang belum mengenalku sekarang. Tapi kau harus mengingat ini, satu tahun lagi kau akan bertemu denganku, Brilliant Miller, di sebuah restoran tua di Buenau. Akan banyak cerita tentang kita di sana.”
Carmel masih menyimak tanpa minat.
Je’t aimee, Carmellia Manhattan,” ujar Bill akhirnya.
Oke, five minutes has gone, Man.” Gadis itu memberi tahu sebelum akhirnya melenggang pergi dengan wajah sedikit ketakutan.
**
Paman Ed berdiri di depan pintu brankas dengan wajah cemas ketika Bill melangkah keluar dari brankas tua miliknya. “Kau baik-baik saja ‘kan, Bill?” tanyanya cemas.
Bill menggeleng pelan. Wajahnya terlihat lesu. Ia gagal.
“Kita memang tak bisa mengubah masa lalu, tapi setidaknya kau sudah berusaha, Bill,” ujar Paman Ed sambil menepuk pundak keponakannya itu.
Bill tertunduk, merenungi kebodohannya sendiri. Carmel sudah meninggal. Tak ada gunanya juga ia kembali ke masa lalu. Ya, Paman Ed benar. Masa lalu memang tak akan bisa diubah. Oleh mesin waktu sekalipun.

***

Minggu, 27 April 2014

Jarak

Kita pernah dipertemukan dalam satu waktu. Melebur jarak yang dulu  pernah kukira tak pernah ada. Lalu ia -jarak- muncul di ujung temu yang hanya selewat saja. Banyak. Lebih dari waktu yang kita punya ketika bersama.

Tak ada yang tahu, pun aku, bahwa temu yang selewat itu menumbuhkan benih yang ternyata meminta waktu lebih lama. Ia tinggal, di sini.  Mencuri celah di ruang memori yang mulai sesak. Memaksa tinggal dalam bilik bernama kenangan dengan nama yang manis. Sangat manis hingga membuat kedua sudut bibirku naik tiap kali menemukannya.

Sesekali aku memindai ingatan. Memutar tentang kita yang tak banyak. Berharap ada waktu untuk bisa melebur jarak kembali.
Membunuh rindu.

Lalu aku pun sadar, aku masih di sini. Jauh. Darimu.



KotaHujan,

27042014

Sabtu, 19 April 2014

a Candle

from: here


Kau tahu rasanya jatuh cinta?
Iya, aku pun begitu. Padamu. Seharusnya kita saling jujur tentang rasa yang pernah menelusup ke dalam hati. Maaf, mungkin aku yang terlalu bodoh. Menganggap remeh soal waktu. Kupikir akan ada lebih banyak waktu untuk kita. Dulu.
Ternyata aku salah. Aku kalah, Claire. Aku sakit ketika kau memilih dia meski kau sendiri tahu hatimu adalah untukku.

Kau tahu, Claire, kau selalu cantik dalam balutan apapun, terlebih gaun putih yang melekat di tubuhmu itu. Ah Claire, harusnya kau kenakan itu ketika bersanding denganku. Bukan dia.
Kini kau mendadak terkenal. Banyak orang yang ingin bertemu dengan kekasihku, pengantin yang hilang. Tujuh hari lalu. Kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi. Tidak lagi.


Parafin yang kubakar sudah cukup panas untuk mengabadikanmu. Untukku.




...................................
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan dari @KampusFiksi yaitu  #FiksiLaguku yang harus 123 kata. :o
Terinspirasi, eh nggak terinspirasi juga sih, tepatnya karena seharian ini dicekoki lagunya Ariana Grande ft Nathan Skyes - Almost is Never Enough. Hhihihihiiii...


Kota Hujan,
19042014

Rabu, 16 April 2014

Dalam Pelukan

Sudah lewat tengah malam. Anak lelaki dengan kaus kebesaran itu belum juga terlelap. Duduk mendekap lututnya di pojok ruangan sempit itu. Tak berkawan. Bagai virus yang harus dijauhi dari radius beberapa kilometer.
Matanya menerawang jauh, coba meraih senyum-senyum yang datang membelai ingatannya. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang akan erupsi. Tangannya menyeka beberapa bulir air mata yang lolos. Karena rindu.

“Kamu harus percaya kalau kebaikan itu menular.”

“Menular? Maksudnya?” Seorang anak perempuan bertanya dengan dahi berkerut.

“Setiap kebaikan yang kita lakukan akan menciptakan kebaikan-kebaikan lainnya,” jelasnya dengan sabar pada anak perempuan di sampingnya.

“Termasuk sama Bapak yang suka mukulin kita? Atau preman yang suka malak kita itu?”

Anak lelaki itu tersenyum. “Berbuat baik itu nggak boleh pilih-pilih. Kita harus baik sama semua orang, termasuk bapak atau preman-preman itu.”

Mendengar penjelasan itu, anak perempuan berambut tipis lantas mendengus kesal. “Mereka kan jahat sama kita, kenapa juga harus dibaikin!”

“Kamu ingat nggak yang Ibu bilang ke kita bahwa nggak ada kebaikan yang sia-sia?” tanyanya yang kemudian dijawab dengan anggukan kecil si anak perempuan. “Nah, lain kali kalau anak-anak itu mengejekmu, jangan dibalas dengan kekerasan ya. Apalagi sampai melempar batu ke kepalanya.”

“Maaf ya, Bang.” Suaranya terdengar sangat pelan. Ia menunduk merasa bersalah.

Lampu di atas tiang telah berwarna merah. Ia buru-buru beranjak dari duduknya sambil menggandeng tangan anak perempuan di sampingnya. “Udah merah, ayo ngamen dulu.”
**
Tangisnya pecah di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan liar. Barisan huruf dan angka pada nisannya pun mulai pudar, tapi ia masih hapal dengan apa yang tertulis di sana. Napasnya memburu. Debar jantungnya mengencang luar biasa. Peluhnya jatuh bercampur air mata, membuat wajahnya basah. Ia ketakutan.

Dalam isak tangis, ia memanggil-manggil yang sudah terkubur di bawah sana. Berharap yang dipanggilnya datang dan memberikannya.
“I-bu....”

Wajahnya jatuh di atas tanah. Tangan kecilnya berusaha menjangkau gundukannya. Memeluk makam ibunya. Langit di atasnya semakin pekat, namun tak dihiraukannya. Ia merasa berada dalam pelukan hangat ibunya di tiap malam. Melantunkan doa sambil mengelus kepalanya sampai ia tertidur. Ia terlelap. Di atas pusara ibunya.
**
“Siapa yang membunuh adikku?!” Suaranya tak pernah setinggi ini jika sedang berbicara pada orang lain, termasuk bapaknya yang sering memukuli jika ia pulang dengan jumlah recehan yang tak banyak. “Siapaaa...!!”

Seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar menggebrak papan catur yang sedang dimainkannya. Preman yang sering meminta jatah dari hasil ia mengamen di lampu merah. Rokok yang belum habis dihirup pun dibuang dengan kasar. Preman bertato naga itu tertawa.

“Aku,” jawabnya enteng. “Aku yang sudah membunuh bocah ingusan itu. Lalu kau mau apa?” tantangnya pada anak lelaki yang matanya sedang berapi-api.

“Kalau adikmu yang bodoh itu tidak mencoba memukulku dengan botol, pasti ia masih hidup sekarang. Dasar bocah tolol.” Kali ini preman dengan tato macan di bisep kirinya yang berbicara. Lalu disambut dengan tawa preman bertato naga.

Anak lelaki itu makin berapi-api melihat wajah-wajah itu tertawa. Tanpa rasa dosa. Setan-setan sedang menguasai mereka. Berpesta pora.

Darah segar mengucur deras dari perut lelaki bertato naga, membasahi kaus tipis hitamnya. Seketika tawa yang begitu membahana pun lenyap meninggalkan gema. Sebuah pisau dapur berbalut amarah setan telah ditancapkan anak lelaki itu.

Tetiba ketakutan menelusup dengan cepat ke dalam hati anak lelaki itu ketika melihat preman bertato naga limbung.

“Dasar bocah brengsek!” Preman satunya menggeram marah sambil berusah menahan tubuh temannya.

Anak lelaki itu mundur perlahan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdebar kian kencang. Tak sampai hitungan detik, kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit kumal itu mengambil langkah meninggalkan kedua preman itu.
Ia berlari. Terus berlari.
**
Belum pernah ia merasakan ketakutan yang seperti ini sebelumnya. Ia benar-benar kasihan. Hidupnya menyedihkan. Sendirian.
Masih dalam posisi yang sama sejak sipir melewati selnya, ia membuka kedua telapak tangannya. Dipandanginya lekat-lekat tangan itu. Sudah dua anak satu selnya yang harus dilarikan ke klinik karena ulahnya.

“Apa tangan ini hanya bisa menciptakan kejahatan, Ibu?”

Air matanya lolos lagi. Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya yang menutup wajahnya pun basah air mata. Tetiba ia merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya yang berguncang karena tangis. Seperti pelukan Ibu.
**
w

Sabtu, 15 Maret 2014

Rapuh

Kubanting dengan kasar pintu kayu bercat putih itu. Aku merosot hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai dengan air mata yang belum jua reda. Pertengkaran beberapa menit lalu pun kembali berkelebat di pikiranku yang kacau, seolah-olah semakin menambah berat bebanku. Dadaku sesak akibat terlalu banyak menangis. Aku memukul-mukul dadaku, berharap nyeri itu berkurang, namun air mataku makin deras dan lebih menyakitkan.

Cerai. Kata itu meluncur begitu saja seperti sesuatu yang sudah tak tahan karena dipendam terlalu lama. Aku mungkin masih bisa memaafkan bila ia selalu pulang larut bahkan dalam keadaan mabuk berat, atau seringkali khilaf dengan memukuli diriku. Asal anak kami satu-satunya itu bahagia, tak terluka, aku siap menerima apapun perlakuan kasarnya. Tapi aku tetaplah seorang perempuan yang memiliki titik rapuh dalam hidupnya. Dan aku pun berada di titik itu, malam ini.

Aku masih terjaga sambil melawan kantuk yang menyerang. Jarum jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ia belum pulang. Mataku nyaris memejam ketika suara pukulan kasar di pintu depan tertangkap indera pendengaranku. Aku bergegas untuk membukakan pintu.

Ia pulang. Mabuk lagi. Rasanya seperti ada yang meneteskan air garam di atas luka yang menganga ketika kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya itu memapahnya dalam keadaan yang sama mabuk. Aku mencoba meraihnya. Ia menepis tanganku. Kasar.
Ini bukan sekali-dua kali ia membawa perempuan itu pulang ke rumah kami. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kuputuskan untuk membiarkannya pergi, bahagia dengan pilihannya. Pun denganku, aku juga akan pergi darinya. Aku menatap sebotol cairan pembunuh serangga. Itu pilihanku. Mengakhiri kerapuhan hidupku.

*****

Aroma Melati

Ketel yang kupakai untuk menjerang air pun menimbulkan bunyi ketika air di dalamnya sudah mendidih. Membangunkan aku dari lembaran album masa lalu. Aku beranjak, menyeduh teh dengan aroma melati. Kesukaanmu. Dulu. Aku masih suka membuatnya menjadi dua cangkir, sayang. Satu untukku, dan tentu saja satu cangkir lagi adalah untukmu.

Kita menikmati sisa sore hari itu dengan aroma melati menguar di udara, bercampur dengan aroma sehabis hujan. Hingga kuberanikan diri mengajakmu untuk menghabiskan hidup bersama, memintamu untuk menjadi pendamping hidupku yang akan menemani tiap langkah perjuanganmu. Kamu tersipu. Dan kamu mau. 

Sudah hampir seperempat abad yang lalu sejak aku memintamu. Namun, kumohon maafkan aku, sayang. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu, memaksamu untuk selalu bersamaku. Aku hanya ingin hidup bersamamu. Selamanya. Tidakkah aroma teh melati ini sangat wangi, sayang? Mengalahkan aroma tubuhmu yang mulai membusuk sejak kutemukan kamu terbujur kaku. 

Tujuh hari lalu.