“Suatu hari, kita akan kembali lagi ke tempat ini.”
"Tentu saja,” balasnya santai. “Tak perlu kata 'suatu hari', karena minggu depan kita juga akan bertemu lagi di sini, di tempat ini,” tambahnya sambil tersenyum padaku. Aku memaksakan kedua sudut bibirku naik, membalas senyumya. Harapanku, lebih dari sekedar itu.
Aroma
khas kopi menguar dari segala penjuru, menyapa setiap indera penciuman manusia.
Temasuk kita yang akhirnya tergoda untuk membuka pintu kaca yang tercetak logo
berwarna hijau itu ketika hujan tak kunjung reda. Kita memesan secangkir double
espresso dan segelas besar mocha frappuccino pada barista cantik
berkuncir kuda.
Beruntung sudut
favorit kita di cafe itu tak ada yang menempati lebih dulu. Sepasang sofa
berwarna coklat tua yang dijeda meja bundar kecil warna senada. Kita berdua
menikmati kopi masing-masing sembari membicarakan banyak hal. Lagu Secondhand
Serenade, album terbaru Maliq 'n d'Essentials, buku-buku sci-fi koleksimu,
dan entah apa lagi, masuk dalam obrolan kita.
Sesekali aku melirik
ke luar sana. Beberapa anak lelaki yang kuyup dan kedinginan. Bibir mereka
pucat, bergetar. Menawarkan payung-payung mereka pada pengunjung demi beberapa
lembar rupiah.
“Buana, kau tak
keberatan ‘kan kalau aku membagi donat-donat ini pada anak-anak itu?” tanyaku
hati-hati. Telunjukku mengarah pada anak-anak lelaki yang sedari tadi
kuperhatikan. Kulihat matamu mengikuti telunjukku.
Kamu
mengangguk. Senyum yang menghadirkan gelenyar aneh tiap aku melihatnya pun tak
luput kau sisipkan.
Segera kuambil satu
kotak berwarna kuning dari kantung belanja kami tadi. Tak sabar membagi sedikit
kebahagiaan pada anak-anak itu.
**
Iced
Frappucinno dalam gelas besarku sudah sisa setengahya ketika aku membuka
pesan singkat ketiga. Mataku memandang jauh ke luar pusat perbelanjaan di pusat
kota ini. Sebuah tugu dengan replika senjata khas tanah Sunda di tengah kota
pun masih sedikit tertangkap pandangan mata dari sini.
Tugu Kujang. Gagah
berdiri meski dicumbu teriknya matahari, dibalut polusi. Bogor, mulai menjelma
ibukota. Ah, itulah sebabnya aku lebih suka sepanjang jalan Ahmad Yani menuju
Sudirman ataupun di sepanjang Jalan Padjajaran. Pepohonan besar dan hijau
menaungi sepanjang jalan. Teduh. Sejuk. Lalu aku memindai kenangan ketika kamu
menantangku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan itu.
Sudahlah. Itu masa
lalu.
Kulirik
jam tangan warna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sepuluh
menit berlalu. Kamu terlambat, seperti biasa. Aku menghela napas sejenak. Lalu
memutuskan untuk mengambil buku yang belum tamat kubaca.
“Ayla?” suara itu mengurungkan niatku untuk melanjutkan
bacaanku.
Itu kamu, orang yang
kutunggu. Ketika tubuhmu yang tinggi tegap itu tertangkap pandang mataku,
sesuatu bergemuruh di dalam diriku. Rasanya nyaris sama seperti dulu, namun aku
buru-buru mengenyahkannya.
Aku harus tahu diri.
Kutarik kedua sudut
bibirku ke atas. Novel Laura Florand pun kututup kembali. Kamu kemudian duduk
di seberangku. Meja kayu bundar menjadi sekat antara tubuh kita.
“Maaf terlambat lagi,” ujarmu sambil memamerkan senyum yang
masih saja menghadirkan getaran yang sama, membuat jantungku berkali-kali lebih
cepat detaknya. Hanya saja kali ini berbeda. Aku harus mengusirnya.
“Sudah lama?”
tanyamu.
Aku
menggeleng. “Baru sepuluh menit,” jawabku datar. Raut wajahmu berubah
mendengarnya.
“Maaf, Ayla,” ujarmu terlihat menyesal.
Aku tersenyum
hambar. Bukan karena memaklumi keterlambatanmu, namun mendengar caramu
menyebutkan namaku. Kamu menyebutkannya dengan lengkap. Ayla. Bukan ‘Ay’ yang
terkadang diucapkan dengan nada manja. Ah, lupakan itu. Aku tahu kamu tak akan
lagi memanggilku seperti itu.
“Tidak apa-apa.”
“Terima kasih karena kamu mau
menyempatkan waktu dan menyanggupi permintaan yang kukirim lewat email dua
minggu lalu,” katamu. “Aku bahkan sempat takut kamu tak mau menanggapi
emailku.”
Lagi-lagi
aku memaksakan diri untuk tersenyum, mencoba memberi tanda padamu kalau aku
selalu baik-baik sejak perpisahan kita setahun lalu.
“Saya diharuskan
untuk bersikap profesional untuk menanggapi customer,” jawabku kaku.
“Menanggapi permintaan desain yang anda kirimkan via email dua minggu lalu pada
kami, berikut saya bawakan beberapa contoh desain yang mungkin sesuai dengan
permintaan anda,” ujarku dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. Kuputar
komputer jinjingku agar klien-ku bisa
melihat desain yang sudah kusiapkan dari Surabaya, tempatku bekerja.
“Ayla,” panggilmu pelan. Mengabaikan slide-slide yang tersaji
di hadapanmu.
"Untuk contoh gambar yang ini,” kataku sambil menunjukan
gambar pertama. “Cincin dengan material
platina dan batu saphire.”
Jemariku berpindah
ke gambar kedua. “Untuk yang ini cincin dengan material emas murni dengan
bentuk hati. Klasik, sederhana, namun bisa tetap elegan.”
Sementara
aku terus menjelaskan detail-detail gambar cincin di slide selanjutnya, kamu
hanya diam dan membiarkanku bicara, tak tahu apakah kamu benar-benar
mendengarkan penjelasanku atau tidak. Pun selama itu, aku tak berani memandang
matamu. Bahkan untuk sesekali mencuri lihat dimana sepasang manik mata warna
hitam yang dulu begitu sering membuatku rindu pun aku tak berani.
Andai kamu tahu bahwa aku rindu. Padamu.
**
Aquamarine.
Batu
mulia berwarna biru yang cantik. Aku terinspirasi untuk menambahkan batu itu
dalam desain cincin yang sedang kugambar. Dua hari lalu aku menemukannya dalam
halaman kesekian dalam sebuah judul buku yang kubaca di perpustakaan
universitas.
Aku
berhenti sejenak, menilik hasil goresan pensilku. Seporsi sirloin steak yang mulai dingin pun kuabaikan sejak pelayan Steak
and Shake mengantarkannya ke meja ini. Senyumku mengembang ketika daya
imajinasiku membayangkan wujud tiga dimensi dari desain yang baru selesai
kugores.
Cincin
cantik bertahtakan aquamarine itu hancur
tak sampai hitungan menit bersamaan dengan menggelapnya pandangan mataku. Aku
menggeram sembari menyebutkan nama seorang lelaki, namamu. Detik berikutnya
cahaya terang menyerbu pandanganku diiringi bunyi kikik tawa yang terdengar menyenangkan.
Kamu
kemudian mengambil gerakan untuk duduk di sampingku setelah sebelumnya
memberiku isyarat dengan tangan padaku untuk menggeser tubuhku ke sebelah kiri.
Ruang yang kuberikan pun langsung saja ditempati oleh tubuhmu yang tentu saja
lebih besar dariku.
“Gambar apa?”
tanyamu sambil berusaha mencuri lihat sketch book-ku. Aku langsung
mendekap erat bukuku dan tak ingin memberimu ksempatan untuk melihat cincin
pernikahanku. Ah ya, walau baru sekedar angan-angan saja.
Bibirmu
mengerucut. “Pelit.”
“Biarin,”
balasku. Kamu tidak akan memaksaku untuk memperlihatkan apa yang kubuat di
lembaran benda kesayanganku ini karena kamu tahu aku sangat keras kepala dan
tak suka dipaksa. Alih-alih memaksa, kamu mengalihkan pembicaraan.
“Jalan
kaki sampai Istana Bogor, berani nggak?” tantangmu ketika aku hendak mengiris sirloin-ku.
“Cuma
sampai Istana? Sampai Surken juga dijabanin!”
"Kalau kamu kalah, kasih aku lihat gambar yang tadi ya?" Mukaku memerah. Bukan soal gambar, tapi tulisan tanganku di bawahnya. Tentang harapan untuk mengenakannya di hari pernikahanku dengannya.
"Kalau kamu kalah, kasih aku lihat gambar yang tadi ya?" Mukaku memerah. Bukan soal gambar, tapi tulisan tanganku di bawahnya. Tentang harapan untuk mengenakannya di hari pernikahanku dengannya.
**
Seorang perempuan dengan kacamata
hitam datang menginterupsi. Syal warna abu yang dililit di leher dan sisanya
dibiarkan jatuh di depan dada makin membuatku iri. Kamu ternyata menghadiahi
syal itu untuknya. Bukan untukku.
Seulas senyum ia berikan padaku.
“Hai,” sapanya ramah. Aku bisa melihat sorot matanya yang bersahabat ketika ia
melepas kacamatanya.
Hatiku mencelos. Lagi.
“Nania.” Ia menyebutkan namanya, pelan.
Tentu saja aku sudah tahu meski ia tak menyebutkannya. Memangnya siapa yang tak
mengenalnya. Top model yang tahun lalu menjadi finalis ajang Miss Indonesia.
“Ayla,” balasku.
Nania yang cantik itu duduk di
sisimu. Serasi. Seolah ada yang meneteskan air garam di atas lukaku ketika
melihat kalian saling bicara.
“Tapi aku suka yang desain aquamarine ini,” ujarnya setelah
melihat-lihat slide yang tadi kujelaskan panjang lebar padamu. “Menurutmu
gimana, sayang?”
Kamu tersenyum. “Aku juga suka,”
jawabmu dengan melirik aku di ujung kalimat.
“Oke, kalau gitu kita pilih yang
ini.” Ia mengambil keputusan dengan cepat dan mantap. Lalu menyerahkan sisanya
pada asistennya. Berbeda denganmu yang terlalu lama menimbang-nimbang. Sama
seperti ketika akhirnya kamu memilihnya
dan meninggalkanku.
Kamu dan perempuanmu lalu pergi
setelah berpamitan dan menjabat tanganku. Meninggalkanku berdua dengan
perempuan muda yang tadi dikenalkan sebagai asistennya. Kulihat punggungmu
menjauh bersamanya lalu hilang di balik kaca besar itu. Lamat-lamat kudengar
suara Sara Bareilles mengalunkan lagu Gravity.
Ah sial, mau membuatku semakin sedih
saja rupanya.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan
singkat masuk. Darimu. Hanya satu kata. Maaf.
Jemariku dengan cepat mengetikkan
balasan.
Aku
sudah menepati janjiku, memperlihatkan hasil goresanku karena aku kalah. Cincin
aquamarine itu.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar