Minggu, 11 Mei 2014

Aquamarine

“Suatu hari, kita akan kembali lagi ke tempat ini.”
"Tentu saja,” balasnya santai. “Tak perlu kata 'suatu hari', karena minggu depan kita juga akan bertemu lagi di sini, di tempat ini,” tambahnya sambil tersenyum padaku. Aku memaksakan kedua sudut bibirku naik, membalas senyumya. Harapanku, lebih dari sekedar itu.

           
            Aroma khas kopi menguar dari segala penjuru, menyapa setiap indera penciuman manusia. Temasuk kita yang akhirnya tergoda untuk membuka pintu kaca yang tercetak logo berwarna hijau itu ketika hujan tak kunjung reda. Kita memesan secangkir double espresso dan segelas besar mocha frappuccino pada barista cantik berkuncir kuda.
Beruntung sudut favorit kita di cafe itu tak ada yang menempati lebih dulu. Sepasang sofa berwarna coklat tua yang dijeda meja bundar kecil warna senada. Kita berdua menikmati kopi masing-masing sembari membicarakan banyak hal. Lagu Secondhand Serenade, album terbaru Maliq 'n d'Essentials, buku-buku sci-fi koleksimu, dan entah apa lagi, masuk dalam obrolan kita.
Sesekali aku melirik ke luar sana. Beberapa anak lelaki yang kuyup dan kedinginan. Bibir mereka pucat, bergetar. Menawarkan payung-payung mereka pada pengunjung demi beberapa lembar rupiah.
“Buana, kau tak keberatan ‘kan kalau aku membagi donat-donat ini pada anak-anak itu?” tanyaku hati-hati. Telunjukku mengarah pada anak-anak lelaki yang sedari tadi kuperhatikan. Kulihat matamu mengikuti telunjukku.
            Kamu mengangguk. Senyum yang menghadirkan gelenyar aneh tiap aku melihatnya pun tak luput kau sisipkan.
Segera kuambil satu kotak berwarna kuning dari kantung belanja kami tadi. Tak sabar membagi sedikit kebahagiaan pada anak-anak itu.
**
            Iced Frappucinno dalam gelas besarku sudah sisa setengahya ketika aku membuka pesan singkat ketiga. Mataku memandang jauh ke luar pusat perbelanjaan di pusat kota ini. Sebuah tugu dengan replika senjata khas tanah Sunda di tengah kota pun masih sedikit tertangkap pandangan mata dari sini.
Tugu Kujang. Gagah berdiri meski dicumbu teriknya matahari, dibalut polusi. Bogor, mulai menjelma ibukota. Ah, itulah sebabnya aku lebih suka sepanjang jalan Ahmad Yani menuju Sudirman ataupun di sepanjang Jalan Padjajaran. Pepohonan besar dan hijau menaungi sepanjang jalan. Teduh. Sejuk. Lalu aku memindai kenangan ketika kamu menantangku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan itu.
Sudahlah. Itu masa lalu.
            Kulirik jam tangan warna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sepuluh menit berlalu. Kamu terlambat, seperti biasa. Aku menghela napas sejenak. Lalu memutuskan untuk mengambil buku yang belum tamat kubaca.
“Ayla?” suara itu mengurungkan niatku untuk melanjutkan bacaanku.
Itu kamu, orang yang kutunggu. Ketika tubuhmu yang tinggi tegap itu tertangkap pandang mataku, sesuatu bergemuruh di dalam diriku. Rasanya nyaris sama seperti dulu, namun aku buru-buru mengenyahkannya.
Aku harus tahu diri.
Kutarik kedua sudut bibirku ke atas. Novel Laura Florand pun kututup kembali. Kamu kemudian duduk di seberangku. Meja kayu bundar menjadi sekat antara tubuh kita.  
            “Maaf terlambat lagi,” ujarmu sambil memamerkan senyum yang masih saja menghadirkan getaran yang sama, membuat jantungku berkali-kali lebih cepat detaknya. Hanya saja kali ini berbeda. Aku harus mengusirnya.
“Sudah lama?” tanyamu.
            Aku menggeleng. “Baru sepuluh menit,” jawabku datar. Raut wajahmu berubah mendengarnya.
            “Maaf, Ayla,” ujarmu terlihat menyesal.
Aku tersenyum hambar. Bukan karena memaklumi keterlambatanmu, namun mendengar caramu menyebutkan namaku. Kamu menyebutkannya dengan lengkap. Ayla. Bukan ‘Ay’ yang terkadang diucapkan dengan nada manja. Ah, lupakan itu. Aku tahu kamu tak akan lagi memanggilku seperti itu.
            “Tidak apa-apa.”
            “Terima kasih karena kamu mau menyempatkan waktu dan menyanggupi permintaan yang kukirim lewat email dua minggu lalu,” katamu. “Aku bahkan sempat takut kamu tak mau menanggapi emailku.”
            Lagi-lagi aku memaksakan diri untuk tersenyum, mencoba memberi tanda padamu kalau aku selalu baik-baik sejak perpisahan kita setahun lalu.
“Saya diharuskan untuk bersikap profesional untuk menanggapi customer,” jawabku kaku. “Menanggapi permintaan desain yang anda kirimkan via email dua minggu lalu pada kami, berikut saya bawakan beberapa contoh desain yang mungkin sesuai dengan permintaan anda,” ujarku dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. Kuputar komputer jinjingku agar klien-ku bisa melihat desain yang sudah kusiapkan dari Surabaya, tempatku bekerja. 
            “Ayla,” panggilmu pelan. Mengabaikan slide-slide yang tersaji di hadapanmu.
         "Untuk contoh gambar yang ini,” kataku sambil menunjukan gambar pertama.  “Cincin dengan material platina dan batu saphire.”
Jemariku berpindah ke gambar kedua. “Untuk yang ini cincin dengan material emas murni dengan bentuk hati. Klasik, sederhana, namun bisa tetap elegan.”
            Sementara aku terus menjelaskan detail-detail gambar cincin di slide selanjutnya, kamu hanya diam dan membiarkanku bicara, tak tahu apakah kamu benar-benar mendengarkan penjelasanku atau tidak. Pun selama itu, aku tak berani memandang matamu. Bahkan untuk sesekali mencuri lihat dimana sepasang manik mata warna hitam yang dulu begitu sering membuatku rindu pun aku tak berani.
            Andai kamu tahu bahwa aku rindu. Padamu.
**
            Aquamarine.
            Batu mulia berwarna biru yang cantik. Aku terinspirasi untuk menambahkan batu itu dalam desain cincin yang sedang kugambar. Dua hari lalu aku menemukannya dalam halaman kesekian dalam sebuah judul buku yang kubaca di perpustakaan universitas.
            Aku berhenti sejenak, menilik hasil goresan pensilku. Seporsi sirloin steak yang mulai dingin pun kuabaikan sejak pelayan Steak and Shake mengantarkannya ke meja ini. Senyumku mengembang ketika daya imajinasiku membayangkan wujud tiga dimensi dari desain yang baru selesai kugores.
            Cincin cantik bertahtakan aquamarine itu hancur tak sampai hitungan menit bersamaan dengan menggelapnya pandangan mataku. Aku menggeram sembari menyebutkan nama seorang lelaki, namamu. Detik berikutnya cahaya terang menyerbu pandanganku diiringi bunyi kikik tawa  yang terdengar menyenangkan.
            Kamu kemudian mengambil gerakan untuk duduk di sampingku setelah sebelumnya memberiku isyarat dengan tangan padaku untuk menggeser tubuhku ke sebelah kiri. Ruang yang kuberikan pun langsung saja ditempati oleh tubuhmu yang tentu saja lebih besar dariku.
“Gambar apa?” tanyamu sambil berusaha mencuri lihat sketch book-ku. Aku langsung mendekap erat bukuku dan tak ingin memberimu ksempatan untuk melihat cincin pernikahanku. Ah ya, walau baru sekedar angan-angan saja.   
            Bibirmu mengerucut. “Pelit.”
            “Biarin,” balasku. Kamu tidak akan memaksaku untuk memperlihatkan apa yang kubuat di lembaran benda kesayanganku ini karena kamu tahu aku sangat keras kepala dan tak suka dipaksa. Alih-alih memaksa, kamu mengalihkan pembicaraan.  
            “Jalan kaki sampai Istana Bogor, berani nggak?” tantangmu ketika aku hendak mengiris sirloin-ku.
            “Cuma sampai Istana? Sampai Surken juga dijabanin!”
            "Kalau kamu kalah, kasih aku lihat gambar yang tadi ya?" Mukaku memerah. Bukan soal gambar, tapi tulisan tanganku di bawahnya. Tentang harapan untuk mengenakannya di hari pernikahanku dengannya.   
**
            Seorang perempuan dengan kacamata hitam datang menginterupsi. Syal warna abu yang dililit di leher dan sisanya dibiarkan jatuh di depan dada makin membuatku iri. Kamu ternyata menghadiahi syal itu untuknya. Bukan untukku.
            Seulas senyum ia berikan padaku. “Hai,” sapanya ramah. Aku bisa melihat sorot matanya yang bersahabat ketika ia melepas kacamatanya.
            Hatiku mencelos. Lagi.
            “Nania.” Ia menyebutkan namanya, pelan. Tentu saja aku sudah tahu meski ia tak menyebutkannya. Memangnya siapa yang tak mengenalnya. Top model yang tahun lalu menjadi finalis ajang Miss Indonesia.
            “Ayla,” balasku.
            Nania yang cantik itu duduk di sisimu. Serasi. Seolah ada yang meneteskan air garam di atas lukaku ketika melihat kalian saling bicara.
            “Tapi aku suka yang desain aquamarine ini,” ujarnya setelah melihat-lihat slide yang tadi kujelaskan panjang lebar padamu. “Menurutmu gimana, sayang?”
            Kamu tersenyum. “Aku juga suka,” jawabmu dengan melirik aku di ujung kalimat.
            “Oke, kalau gitu kita pilih yang ini.” Ia mengambil keputusan dengan cepat dan mantap. Lalu menyerahkan sisanya pada asistennya. Berbeda denganmu yang terlalu lama menimbang-nimbang. Sama seperti ketika akhirnya kamu memilihnya  dan meninggalkanku.
            Kamu dan perempuanmu lalu pergi setelah berpamitan dan menjabat tanganku. Meninggalkanku berdua dengan perempuan muda yang tadi dikenalkan sebagai asistennya. Kulihat punggungmu menjauh bersamanya lalu hilang di balik kaca besar itu. Lamat-lamat kudengar suara Sara Bareilles mengalunkan lagu Gravity.
            Ah sial, mau membuatku semakin sedih saja rupanya.
            Ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Darimu. Hanya satu kata. Maaf.
            Jemariku dengan cepat mengetikkan balasan.
            
      Aku sudah menepati janjiku, memperlihatkan hasil goresanku karena aku kalah. Cincin aquamarine itu.


****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar