“Kau tidak mengenalku?” Perempuan
berambut mahogani menggeleng pelan ketika seorang lelaki asing menanyakan itu
padanya.
“Carmel, semudah itukah kamu
melupakanku?” Laki-laki dengan jaket hitam itu terlihat frustasi. Jawaban
perempuan bernama Carmel itu jauh dari yang diharapkannya. “Aku Bill. Brilliant Miller.”
“Maaf Bill -atau siapapun namamu- aku
tak pernah merasa pernah mengenalmu, jadi menyingkirlah dari sini dan biarkan
aku pergi. Ok?!” Gadis itu mengeluarkan kalimatnya nyaris tanpa jeda. Seperti menumpahkan
sesuatu yang terlalu lama disimpan.
Brilliant Miller menggeser pelan langkahnya
beberapa ke samping, memberi celah untuk Carmel. Sepasang mata hazel milik
Carmel menatap sinis pada Bill sebelum kedua tungkainya melangkah. Kentara
sekali bila ia tak menyukai Bill. Carmel pergi. Meninggalkannya. Lagi.
Bill menjatuhkan tubuhnya di kursi
kayu taman itu. Otaknya masih mencari tahu mengapa Carmel tak bisa
mengenalinya.
“Pasti ada yang salah!” Bill berujar
penuh keyakinan.
**
“Ben selingkuh lagi!”
Lelaki itu, Bill, memutar bola matanya.
Kasus yang sama untuk kesekian kalinya meluncur dari bibir gadis di depannya.
“Kau saja yang bodoh,” komentarnya. “Sudah tahu brengsek tapi masih saja kau
jadikan pacar.”
Perempuan itu menggeram. “Bill! Aku
butuh saran, bukan ocehanmu yang sama sekali tak membantu!”
Langkah
Carmel berhenti mengikuti Bill.
“Saran?!
Kau pikir semua saran pernah yang kuberikan tentang hubunganmu dengan si brengsek
itu bisa kau lakukan, hah?” Emosi Bill jelas terlihat. Kesal.
“Kau
menyebalkan!”
“Kau
lebih menyebalkan! Gadis bodoh!”
Sepasang
hazel milik Carmel menatap tajam penuh kemarahan pada laki-laki di hadapannya. Carmel
memutar arah tubuhnya, langkah kakinya melangkah cepat, meninggalkan Bill yang
masih tak mengerti dengan sikap gadis bersurai mahogani itu.
“Carmel!” Suara Bill yang terdengar
keras pun tak dihiraukan gadis itu. Carmel semakin mempercepat langkahnya.
Perempuan itu terlalu mudah tersinggung. Bill masih bergeming di tempatnya,
memandang punggung itu menjauh.
**
Kakinya memutar balik ke arah
restoran milik Paman Ed. Sebuah restoran tua di daerah Buenau. Pintunya berderit ketika Bill mendorongnya
masuk. Restoran itu sepi pengunjung. Tujuan Bill kembali ke restoran Paman Ed
adalah sebuah brankas besar yang ada di ruang kerjany. Lemari besi yang
membawanya kembali ke Buenau, menemui Carmel untuk menebus kesalahannya dulu.
Bill menyibak kain putih yang
menutupi brankas yang tingginya hampir setinggi pundaknya. Brankas yang sama
dengan yang disimpan Paman Ed di gudang rumahnya di Paris. Ia meneliti lagi angka-angka yang tertera di
putaran kuncinya.
“Sial!”
Bill mendengus kesal. Ia salah memutar angka-angka itu. Pantas saja Carmel tak
mengenalinya. Seharusnya ia datang satu tahun lebih awal dari yang seharusnya,
ketika Carmel meninggalkannya di lorong universitas mereka.
Waktunya
hanya tersisa dua puluh menit.
**
“Sebelum
pergi, Carmel menitipkannya untukmu, Bill.” Mom menyodorkan sebuah surat pada
Bill. Lelaki itu menerimanya dan segera meninggalkan Mom untuk masuk ke dalam
kamarnya, membaca surat dari Carmel.
Bill
membaca tiap kalimatnya pelan-pelan seakan takut akan terlewat satu kata saja
bila ia membaca terlalu cepat.
Seketika
penyesalan tumbuh dalam hatinya. Ia menyadari kebodohannya dengan membiarkan
Carmel bersama Ben hingga akhir hidupnya. Meninggal dalam pelukan Ben. Andai ia
tahu perasaan yang selama ini disimpan gadis itu untuknya. Cinta. Ya, Carmel
hanya mencintai lelaki yang pernah menyebutnya gadis bodoh karena masih
berpacaran dengan Ben.
“Gadis
bodoh,” lirih Ben. “Kenapa harus pacaran dengan si brengsek itu jika kau
mencintaiku?” Suaranya tertahan di antara isak.
Mesin
waktu.
Ide
itu terlintas begitu saja di kepala Bill. Ia segera bergegas mengambil jaket
dan kunci mobilnya. Paman Ed adalah tujuannya. Lelaki tua yang pernah bercerita
tentang brankas yang bisa membawanya melintas waktu. Tak ada lagi yang tahu
soal itu selain Bill kecil yang penuh rasa ingin tahu dan pamannya yang berbeda
dengan paman dan bibinya yang lain.
“Sekarang
putar kunci-kunci itu ke waktu yang kau inginkan,” perintah Paman Ed di depan
brankas yang masih disimpannya di gudang bawah tanah rumahnya. Ia pernah
menggunakannya. Dulu.
Bill
dengan hati-hati memutarnya sambil diawasi Paman Ed. Kepalanya mengangguk
ketika jemarinya selesai mengatur waktu. Ia sudah siap.
“Ingat,
waktumu hanya empat puluh menit. Lebih dari itu, satu menit dihitung dengan
satu harimu di masa sekarang akan hilang,” jelas Paman Ed serius.
**
“Carmel...”
Pemilik
nama yang dipanggil menoleh, mencari-cari sumber suara yang sudah meneriakkan
namanya begitu keras.
“Hah?
Kau lagi?” Carmel mendengus kesal begitu lelkai yang memanggilnya sampai di
hadapannya. “Bukankah sudah kubilang kalau aku tak mengenalmu, hah?”
Napas
Bill belum teratur, dadanya masih naik turun. “Carmel, bisa beri aku waktu lima
sampai sepuluh menit?”
Hazel
kembar itu memutar. “Lima menit, oke?”
Kepala
Bill dengan cepat mengangguk. Lima menit lebih baik daripada tidak sama sekali,
pikirnya. “Oke. Lima menit.”
“Carmel,
aku hanya ingin meminta maaf padamu atas kebodohan yang pernah kulakukan
padamu. Maaf jika aku terlalu bodoh dan lambat untuk menyadari perasaanku.” Gadis
itu memandang Bill dengan tatapan aneh.
“Kau
memang belum mengenalku sekarang. Tapi kau harus mengingat ini, satu tahun lagi
kau akan bertemu denganku, Brilliant Miller, di sebuah restoran tua di Buenau.
Akan banyak cerita tentang kita di sana.”
Carmel
masih menyimak tanpa minat.
“Je’t aimee, Carmellia Manhattan,” ujar
Bill akhirnya.
“Oke, five minutes has gone, Man.” Gadis
itu memberi tahu sebelum akhirnya melenggang pergi dengan wajah sedikit
ketakutan.
**
Paman
Ed berdiri di depan pintu brankas dengan wajah cemas ketika Bill melangkah
keluar dari brankas tua miliknya. “Kau baik-baik saja ‘kan, Bill?” tanyanya
cemas.
Bill
menggeleng pelan. Wajahnya terlihat lesu. Ia gagal.
“Kita
memang tak bisa mengubah masa lalu, tapi setidaknya kau sudah berusaha, Bill,”
ujar Paman Ed sambil menepuk pundak keponakannya itu.
Bill
tertunduk, merenungi kebodohannya sendiri. Carmel sudah meninggal. Tak ada
gunanya juga ia kembali ke masa lalu. Ya, Paman Ed benar. Masa lalu memang tak
akan bisa diubah. Oleh mesin waktu sekalipun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar