Selasa, 06 Mei 2014

Last Minute


            “Kau tidak mengenalku?” Perempuan berambut mahogani menggeleng pelan ketika seorang lelaki asing menanyakan itu padanya.
            “Carmel, semudah itukah kamu melupakanku?” Laki-laki dengan jaket hitam itu terlihat frustasi. Jawaban perempuan bernama Carmel itu jauh dari yang diharapkannya.  “Aku Bill. Brilliant Miller.”
            “Maaf Bill -atau siapapun namamu- aku tak pernah merasa pernah mengenalmu, jadi menyingkirlah dari sini dan biarkan aku pergi. Ok?!” Gadis itu mengeluarkan kalimatnya nyaris tanpa jeda. Seperti menumpahkan sesuatu yang terlalu lama disimpan.
            Brilliant Miller menggeser pelan langkahnya beberapa ke samping, memberi celah untuk Carmel. Sepasang mata hazel milik Carmel menatap sinis pada Bill sebelum kedua tungkainya melangkah. Kentara sekali bila ia tak menyukai Bill. Carmel pergi. Meninggalkannya. Lagi.
            Bill menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu taman itu. Otaknya masih mencari tahu mengapa Carmel tak bisa mengenalinya.
            “Pasti ada yang salah!” Bill berujar penuh keyakinan.
            **
            “Ben selingkuh lagi!”
            Lelaki itu, Bill, memutar bola matanya. Kasus yang sama untuk kesekian kalinya meluncur dari bibir gadis di depannya. “Kau saja yang bodoh,” komentarnya. “Sudah tahu brengsek tapi masih saja kau jadikan pacar.”
            Perempuan itu menggeram. “Bill! Aku butuh saran, bukan ocehanmu yang sama sekali tak membantu!”
Langkah Carmel berhenti mengikuti Bill.
“Saran?! Kau pikir semua saran pernah yang kuberikan tentang hubunganmu dengan si brengsek itu bisa kau lakukan, hah?” Emosi Bill jelas terlihat. Kesal.
“Kau menyebalkan!”
“Kau lebih menyebalkan! Gadis bodoh!”
Sepasang hazel milik Carmel menatap tajam penuh kemarahan pada laki-laki di hadapannya. Carmel memutar arah tubuhnya, langkah kakinya melangkah cepat, meninggalkan Bill yang masih tak mengerti dengan sikap gadis bersurai mahogani itu.
            “Carmel!” Suara Bill yang terdengar keras pun tak dihiraukan gadis itu. Carmel semakin mempercepat langkahnya. Perempuan itu terlalu mudah tersinggung. Bill masih bergeming di tempatnya, memandang punggung itu menjauh.
**
            Kakinya memutar balik ke arah restoran milik Paman Ed. Sebuah restoran tua di daerah Buenau.  Pintunya berderit ketika Bill mendorongnya masuk. Restoran itu sepi pengunjung.  Tujuan Bill kembali ke restoran Paman Ed adalah sebuah brankas besar yang ada di ruang kerjany. Lemari besi yang membawanya kembali ke Buenau, menemui Carmel untuk menebus kesalahannya dulu.
            Bill menyibak kain putih yang menutupi brankas yang tingginya hampir setinggi pundaknya. Brankas yang sama dengan yang disimpan Paman Ed di gudang rumahnya di Paris.  Ia meneliti lagi angka-angka yang tertera di putaran kuncinya.
“Sial!” Bill mendengus kesal. Ia salah memutar angka-angka itu. Pantas saja Carmel tak mengenalinya. Seharusnya ia datang satu tahun lebih awal dari yang seharusnya, ketika Carmel meninggalkannya di lorong universitas mereka.
Waktunya hanya tersisa dua puluh menit.
**
“Sebelum pergi, Carmel menitipkannya untukmu, Bill.” Mom menyodorkan sebuah surat pada Bill. Lelaki itu menerimanya dan segera meninggalkan Mom untuk masuk ke dalam kamarnya, membaca surat dari Carmel.
Bill membaca tiap kalimatnya pelan-pelan seakan takut akan terlewat satu kata saja bila ia membaca terlalu cepat.
Seketika penyesalan tumbuh dalam hatinya. Ia menyadari kebodohannya dengan membiarkan Carmel bersama Ben hingga akhir hidupnya. Meninggal dalam pelukan Ben. Andai ia tahu perasaan yang selama ini disimpan gadis itu untuknya. Cinta. Ya, Carmel hanya mencintai lelaki yang pernah menyebutnya gadis bodoh karena masih berpacaran dengan Ben.
“Gadis bodoh,” lirih Ben. “Kenapa harus pacaran dengan si brengsek itu jika kau mencintaiku?” Suaranya tertahan di antara isak.
Mesin waktu.
Ide itu terlintas begitu saja di kepala Bill. Ia segera bergegas mengambil jaket dan kunci mobilnya. Paman Ed adalah tujuannya. Lelaki tua yang pernah bercerita tentang brankas yang bisa membawanya melintas waktu. Tak ada lagi yang tahu soal itu selain Bill kecil yang penuh rasa ingin tahu dan pamannya yang berbeda dengan paman dan bibinya yang lain.

“Sekarang putar kunci-kunci itu ke waktu yang kau inginkan,” perintah Paman Ed di depan brankas yang masih disimpannya di gudang bawah tanah rumahnya. Ia pernah menggunakannya. Dulu.
Bill dengan hati-hati memutarnya sambil diawasi Paman Ed. Kepalanya mengangguk ketika jemarinya selesai mengatur waktu. Ia sudah siap.
“Ingat, waktumu hanya empat puluh menit. Lebih dari itu, satu menit dihitung dengan satu harimu di masa sekarang akan hilang,” jelas Paman Ed serius.
**
“Carmel...”
Pemilik nama yang dipanggil menoleh, mencari-cari sumber suara yang sudah meneriakkan namanya begitu keras.
“Hah? Kau lagi?” Carmel mendengus kesal begitu lelkai yang memanggilnya sampai di hadapannya. “Bukankah sudah kubilang kalau aku tak mengenalmu, hah?”
Napas Bill belum teratur, dadanya masih naik turun. “Carmel, bisa beri aku waktu lima sampai sepuluh menit?”
Hazel kembar itu memutar. “Lima menit, oke?”
Kepala Bill dengan cepat mengangguk. Lima menit lebih baik daripada tidak sama sekali, pikirnya. “Oke. Lima menit.”
“Carmel, aku hanya ingin meminta maaf padamu atas kebodohan yang pernah kulakukan padamu. Maaf jika aku terlalu bodoh dan lambat untuk menyadari perasaanku.” Gadis itu memandang Bill dengan tatapan aneh.
“Kau memang belum mengenalku sekarang. Tapi kau harus mengingat ini, satu tahun lagi kau akan bertemu denganku, Brilliant Miller, di sebuah restoran tua di Buenau. Akan banyak cerita tentang kita di sana.”
Carmel masih menyimak tanpa minat.
Je’t aimee, Carmellia Manhattan,” ujar Bill akhirnya.
Oke, five minutes has gone, Man.” Gadis itu memberi tahu sebelum akhirnya melenggang pergi dengan wajah sedikit ketakutan.
**
Paman Ed berdiri di depan pintu brankas dengan wajah cemas ketika Bill melangkah keluar dari brankas tua miliknya. “Kau baik-baik saja ‘kan, Bill?” tanyanya cemas.
Bill menggeleng pelan. Wajahnya terlihat lesu. Ia gagal.
“Kita memang tak bisa mengubah masa lalu, tapi setidaknya kau sudah berusaha, Bill,” ujar Paman Ed sambil menepuk pundak keponakannya itu.
Bill tertunduk, merenungi kebodohannya sendiri. Carmel sudah meninggal. Tak ada gunanya juga ia kembali ke masa lalu. Ya, Paman Ed benar. Masa lalu memang tak akan bisa diubah. Oleh mesin waktu sekalipun.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar