"Ibu, tugasku sebagai tentara adalah menjaga kedaulatan wilayah negara. Tapi, aku tak bisa tinggal diam ketika ketertinggalan ada di depan mata. Sebab tak hanya musuh yang harus kita taklukan. Perang sesungguhnya adalah bagaimana memajukan kualitas masyarakat. Sekecil apapun kontribusi yang diberikan akan berpengaruh pada kekuatan Indonesia di masa depan."
-Serda Deka Prayoga-
Dear Abang, di tapal batas.
Tempo hari aku tak sengaja menemukan
surat yang kau tulis di atas kertas, untuk ibu pertiwi tercinta. Jujur, aku
tergerak untuk mengetahuinya. Ah, maafkan adik ya, Bang, sudah lancang ingin
tahu apa yang ingin kau kabarkan.
Dalam surat itu kau mengabarkan
pada beliau, tentangmu dan kawan-kawan seperjuangan di tanah perbatasan. Tugas
negaralah yang membawamu jauh hingga Entikong yang berbatasan langsung dengan
Serawak, Malaysia. Menjaga kedaulatan negeri di daerah yang jauh dari hingar
bingar modernisasi. Kau dan kawan-kawan harus menyusuri hutan Kalimantan untuk
melakukan patroli patok. Ya, hanya patok sederhana yang menjadi tanda
perbatasan antara dua negara. Tujuan patroli tersebut tentu saja untuk
memastikan bahwa patok-patok itu tidak bergeser, baik karena ulah manusia
maupun gejala alam. Meski peluh terus jatuh, kau terus menyemangati mereka. Ah,
andai aku bisa menyemangatimu seperti itu, Bang.
Lalu kau mengisahkan sulitnya
hidup di tapal batas. Hidup dalam keterbatasan yang katamu membuat kalian
tangguh dan saling mendukung satu sama lain. Ya, kehidupan tentara seringkali
mengharuskan kalian bisa bertahan dalam keadaan apapun bukan? Dan aku kagum
akan itu. Tak banyak yang tahu -pun termasuk aku- bahwa kehidupan
saudara-saudara kita di sana sesulit itu.
“Jiwa raganya NKRI, tapi perutnya
Malaysia.” Begitu ungkapmu ketika mengisahkan tentang penduduk di perbatasan.
Lapangan pekerjaan yang sulit di Indonesia, khususnya daerah perbatasan,
membuat mereka mencari uang di negara tetangga yang lebih mudah. Bahkan
anak-anak di bawah umur pun banyak yang ikut orang tuanya bekerja di sana,
menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Miris. Anak-anak yang seharusnya belajar
harus bekerja demi memenuhi perut mereka.
Di desa Sei Beruang, tempatmu
bertugas, air bisa begitu langka hingga
kau dan yang lain harus berlomba-lomba menuju genangan air di tepi sawah untuk
mandi. Tunggu, katamu mandi di genangan air di tepi sawah? Abang, jika air bersih
saja begitu sulit, tentu akan berdampak pada masalah kesehatan ‘kan? Katamu,
puskesmas di sana letaknya sangat jauh hingga pos kesehatan Yonif 143-lah yang menjadi
harapan bagi penduduk setempat.
Tugas tentara di perbatasan bukan
sekedar menjaga dan melakukan patroli patok semata. Ada beberapa tentara yang
juga menjadi guru karena jumlah guru di sana yang tak mencukupi. Tak hanya soal
guru, fasilitas dan sarana pendidikan pun sangat terbatas. Satu ruangan
digunakan untuk beberapa kelas. Tanpa sekat. Tak terbayang bagaimana riuhnya
ruangan itu. Bahkan konsentrasi belajar pun akan sulit didapat bila keadaannya
seperti itu. Namun semangat belajar anak-anak itu mengalahkan segala
keterbatasan.
Lalu aku tersenyum, sesekali
tertawa perihal kawanmu yang membawa kebiasaan di militer untuk mendidik
anak-anak muridnya. Aku bahkan bisa menghapal lagu seperti yang dinyanyikan
anak-anak sekolah dasar itu lho, Bang. Kelak aku akan menyanyikannya untukmu,
entah kapan. Dan ternyata, kau pun ditugaskan di PAUD yang ada di daerah Bantan,
tiga kali seminggu. Bergabung dengan anak-anak kecil yang butuh perhatian
lebih. Abang, kau terlihat keren di sini. (Uupss...) Aku tahu bahwa bukan hal
mudah untuk mengatur anak-anak kecil seperti itu. Betapa sabarnya dirimu, Bang.
Tapi kurasa kau sangat bahagia dengan dunia mereka. Kau bahkan mengatakan bahwa
mereka bisa membuatmu tersenyum ketika sedang bad mood, bisa kembali ke pos dengan senyuman lagi.
Abang, kurasa aku harus segera
mengakhiri suratku, karena tak akan cukup dalam satu-dua lembar saja yang ingin
kutulis di sini. Semoga Tuhan memberikan kesehatan, kesabaran, dan semangat
yang tak henti untukmu dan semua prajurit negara di manapun. Menjaga ibu
pertiwi dengan segenap jiwa raga.
Tetap semangat, Abang!
Kota hujan, 08.03.2014
Ditulis karena terinspirasi Surat dari tapal batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar