Kubanting dengan kasar pintu kayu bercat putih itu. Aku merosot hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai dengan air mata yang belum jua reda. Pertengkaran beberapa menit lalu pun kembali berkelebat di pikiranku yang kacau, seolah-olah semakin menambah berat bebanku. Dadaku sesak akibat terlalu banyak menangis. Aku memukul-mukul dadaku, berharap nyeri itu berkurang, namun air mataku makin deras dan lebih menyakitkan.
Cerai. Kata itu meluncur begitu saja seperti sesuatu yang sudah tak tahan karena dipendam terlalu lama. Aku mungkin masih bisa memaafkan bila ia selalu pulang larut bahkan dalam keadaan mabuk berat, atau seringkali khilaf dengan memukuli diriku. Asal anak kami satu-satunya itu bahagia, tak terluka, aku siap menerima apapun perlakuan kasarnya. Tapi aku tetaplah seorang perempuan yang memiliki titik rapuh dalam hidupnya. Dan aku pun berada di titik itu, malam ini.
Aku masih terjaga sambil melawan kantuk yang menyerang. Jarum jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ia belum pulang. Mataku nyaris memejam ketika suara pukulan kasar di pintu depan tertangkap indera pendengaranku. Aku bergegas untuk membukakan pintu.
Ia pulang. Mabuk lagi. Rasanya seperti ada yang meneteskan air garam di atas luka yang menganga ketika kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya itu memapahnya dalam keadaan yang sama mabuk. Aku mencoba meraihnya. Ia menepis tanganku. Kasar.
Ini bukan sekali-dua kali ia membawa perempuan itu pulang ke rumah kami. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kuputuskan untuk membiarkannya pergi, bahagia dengan pilihannya. Pun denganku, aku juga akan pergi darinya. Aku menatap sebotol cairan pembunuh serangga. Itu pilihanku. Mengakhiri kerapuhan hidupku.
*****
Cerai. Kata itu meluncur begitu saja seperti sesuatu yang sudah tak tahan karena dipendam terlalu lama. Aku mungkin masih bisa memaafkan bila ia selalu pulang larut bahkan dalam keadaan mabuk berat, atau seringkali khilaf dengan memukuli diriku. Asal anak kami satu-satunya itu bahagia, tak terluka, aku siap menerima apapun perlakuan kasarnya. Tapi aku tetaplah seorang perempuan yang memiliki titik rapuh dalam hidupnya. Dan aku pun berada di titik itu, malam ini.
Aku masih terjaga sambil melawan kantuk yang menyerang. Jarum jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ia belum pulang. Mataku nyaris memejam ketika suara pukulan kasar di pintu depan tertangkap indera pendengaranku. Aku bergegas untuk membukakan pintu.
Ia pulang. Mabuk lagi. Rasanya seperti ada yang meneteskan air garam di atas luka yang menganga ketika kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya itu memapahnya dalam keadaan yang sama mabuk. Aku mencoba meraihnya. Ia menepis tanganku. Kasar.
Ini bukan sekali-dua kali ia membawa perempuan itu pulang ke rumah kami. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kuputuskan untuk membiarkannya pergi, bahagia dengan pilihannya. Pun denganku, aku juga akan pergi darinya. Aku menatap sebotol cairan pembunuh serangga. Itu pilihanku. Mengakhiri kerapuhan hidupku.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar