Rabu, 05 Maret 2014

Kursi Kayu

Katamu, kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya di bawah pohon tanjung inilah tempat kamu akan menungguku datang. Seraya menghisap beberapa batang rokok dan mendengarkan alunan musik dari sepasang earphone yang kuhadiahi untukmu. Lalu kamu buru-buru mematikan ujung rokokmu ketika matamu menangkap diriku yang semakin dekat dengan kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya, karena kamu tahu bibirku akan menceramahimu tentang kebiasaan burukmu. Membunuh bosan, katamu beralasan jika aku mulai memberikan pandangan menyelidik ke bawah sepatumu. Meski berulang kali aku mengeluhkan kebiasaanmu, tapi kamu tak mengeluhkanku. Sebuah senyum selalu kau jadikan senjata andalan untuk melumpuhkanku. Jemarimu yang hangat pun meraih jemariku, mengajakku pergi dan akhirnya meninggalkan kursi kayu yang tak pernah lelah menemani kita. Meski kursi kayu atau pohon tanjung itu tak lagi ada, kamu tetap akan menungguku. Ya. Katamu, kamu akan menunggu. Aku tahu itu.

Senja kelima, bulan ketiga. Kini aku menunggu di tempat yang sama ketika kamu menungguku datang dengan setumpuk buku. Aku merasai udara sore dengan matahari yang teduh. Tak ada langit kemerahan ataupun kicau burung hendak kembali ke sangkar. Kau tahu, pohon tanjung yang selalu menaungi kursi kayu kita tak lagi serindang dulu. Semua berubah. Pun kamu, yang kini tak lagi menungguku. Hanya kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya yang masih setia menungguku datang, memberikan tempat untukku melepas penat.  Entah sampai kapan aku berharap kamu akan kembali meski kursi kayu ini kadang menyadarkan aku tentang penantian yang sia-sia. Aku tak peduli. Di sinilah aku di setiap sore, menunggumu. Harusnya kamu tahu itu meski nisan itu telah tercetak namamu. Setahun lalu

2 komentar:

  1. Ini tulisanmu? Bagus. Kembangkan lagi jadi novel :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Kaanisa. 😊😊
      Belum terpikir mengembangkannya jadi novel. Ini juga flash fiction kebutan.
      Hehehehe

      Hapus