Sabtu, 31 Agustus 2013

Pintu

Aku mendengarnya. Tentu saja aku mendengar ketika benda itu diketuk beberapa kali dari seberang sana. Bagaimana aku bisa tak mendengarnya jika kau ketuk ia sekeras itu?! Kau menarikku menuju ia, yang kau ketuk sedari tadi. Aku tak mau! Bukankah sudah jelas kukatakan bahwa aku tak mau membukanya?!

Kau kembali. Lagi! Aku tak lagi memintamu kembali dan sekarang kau memaksaku untuk membukanya lalu membiarkan mereka dengan bebas menyerangku? Bilang saja aku bodoh atau munafik. Sebut saja sesukamu karena aku tak lagi peduli. Mungkin aku ingin menjadi tuli dengan derap langkahmu, buta dengan kedatanganmu, dan bisu untuk semua ucapmu.

Silahkan saja kembali. Hanya saja, jangan pernah mengetuknya sekeras itu..





Kota Hujan
25082013.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Menunggu #theparagraph


1st paragraph by Wita Purwati
Entah perasaan apa yang ada dalam diri ini. Tubuhku seperti melayang, ringan, tak bernyawa. Pikiranku bebas  bergerak sperti terbawa maunya arah angin kemana. Hari ini begitu terasa kosong. Aku tak dapat mengendalikan seluruh bagian tubuhku. Dada ini seperti meringis, menahan sesuatu. Sesuatu itu seperti kotak besar yang berusaha masuk ke lemari kecil. Mendesak memaksa agar kotak itu bisa masuk. Dan aku merasa lemah menghadapinya. Biru. Sepertinya warna yang kurasakan hari ini memang biru. Aku benar-benar lemah. 

Semua potongan kenangan dalam otakku berputar begitu cepat. Mereka berebut untuk mendapat perhatianku, namun aku tak dapat memilih satu untuk aku putar dengan utuh. Mengapa semuanya berhamburan keluar hingga aku tak mampu menahannya untuk tetap tinggal di otakku, setidaknya aku yang meminta mereka ketika aku dan dia duduk berdua dengan dua cangkir teh melati yang harum di teras rumah kami. Duduk bersama, berbagi cerita, atau sekedar mengingat kembali beberapa potong kenangan.
**
Malam itu, aku masih belum terlelap meski kantuk terus memaksa mata untuk memejam. Aku masih harus menunggu sesuatu, kabar dari seseorang yang sedang dalam perjalanan. Kinanti, perempuan yang kunikahi satu tahun lalu, tengah lelap di kursi panjang di ruang tamu. Tubuhnya terlihat lelah, mungkin karena perutnya yang sudah membesar, mengandung bayi kami. Aku tersenyum pahit. Entah apakah aku bisa menemani bayi kami tumbuh besar nanti, menggendongnya, mengganti popoknya, menemaninya tidur, atau mengajaknya menikmati pasar malam di alun-alun kota.
Suara pintu diketuk beberapa kali. Aku memandang pintu kayu bercat putih itu seraya menyiapkan diri dengan kabar buruk yang mungkin akan kudengar. Kuraih gagang pintu dan memutarnya. Seorang lelaki seumuran denganku sudah berdiri di sana. Wajahnya terlihat cemas. Aku mengangguk dan mempersilahkannya masuk, bahkan aku sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan.
“Gas, mereka akan segera menuju ke sini,” ujarnya begitu kami duduk di kursi rotan tua di ruang tamu. “Agus benar-benar pengkhianat!” Kali ini nada bicaranya penuh kemarahan. Aku memahami betul kemarahannya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak, kami mencurahkan segala pemikiran dan waktu untuk menyusun strategi merebut yang telah dicuri, lalu dengan mudahnya si pengkhianat itu menukar informasi kami demi beberapa batang emas dan akhirnya memasukkan aku dan kelompok kami dalam lingkar bahaya.
Mataku memandang Kinanti dengan sedih. “Apa masih ada kereta yang akan berangkat malam ini?” tanyaku cepat pada Haryo. Ia hanya memandangku dengan menyesal menggelengkan kepalanya.
Kepalaku tertunduk dengan perasaan yang berkecamuk menjadi satu. Aku harus pergi, namun bagaimana dengan Kinanti?!
**
Dari kejauhan, bisa kulihat asap hitam membumbung hingga tinggi. Rumah kami terbakar. Dibakar lebih tepatnya. Tanganku mengelus perutku yang membesar. Bayiku tak akan pernah sempat merasakan tinggal di rumah itu, bahkan tempat tidur yang dibuatkan ayahnya dengan tangannya sendiri. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.
Bagas, suamiku, meraih tanganku pelan. “Kita harus pergi, Kinanti,” ucapnya lirih. Sebagai seorang istri, tentu aku akan menurutinya, ikut dengannya kemanapun ia ingin membawaku. Aku akan mengikuti langkah kakinya.
“Kita akan pergi kemana?” tanyaku padanya yang amsih terus menggenggam tanganku. Di depan dan belakang kami ada beberapa orang  dari kelompok yang satu  pemikiran dengannya untuk menyingkirkan para pencuri itu dari tanah ini.
“Ke Yogyakarta, rumah orang tuamu,” jawabnya singkat sambil terus berjalan.
Bibirku tersenyum. Aku akan kembali ke kampung halamanku, bersamanya. “Kita akan pulang...,” gumamku pelan.
Bagas menoleh padaku sebentar. “Hanya kamu yang akan pulang, bukan kita,” katanya.
Kulepaskan tanganku dari tangannya dan berhenti berjalan. Ia membalikkan badannya ke arahku. “Kenapa berhenti?!”
“Kenapa hanya aku? Aku akan pulang jika kamu pulang!”
Beberapa orang ikut berhenti dan menunggu kami. Raut wajah Bagas terlihat galak. “Kamu harus pulang, tanpa aku!” tegasnya. “Cepat Kinanti, mereka pasti menyusul kita!”
**
Hari sudah berganti, meski langit di atas sana masih berwarna gelap tanpa bulan dan hanya ditemani bintang-bintang yang tak banyak. Subuh sudah berlalu beberapa menit lalu. Stasiun kota Surabaya sudah sangat sepi malam ini. Gelap dan hanya diterangi lampu-lampu yang melemah cahayanya. Tidak ada kereta semalam, aku tahu itu. Namun aku tak akan pergi sebelum Kinanti pergi. Beberapa kawanku sudah menyebar untuk menjalankan rencana cadangan kami. Hanya Haryo dan Sugi yang masih bersamaku.
“Tak bisakah aku ikut denganmu? Menemanimu?” tanyanya dengan nada sedih. Aku tak akan sanggup melihatnya wajahnya yang sesedih ini, namun ia tetap harus pergi demi dirinya dan bayi yang ada dalam perutnya.
“Ini perintah dari suamimu, Kinanti,” kataku mengingatkan. “Berjanjilah untuk hidup dengan baik, jaga dirimu dan juga bayi kita.”
Orang-orang mulai menyibukkan stasiun. Terdengar suara yang memberi informasi kalau kereta akan segera berangkat. Aku beranjak dari kursi tunggu yang semalam menjadi tempat tidur untuk Kinanti. Ia pun beranjak dan mengikutiku hingga sampai di pintu kereta api. Perlahan ia meraih tangan kananku dan menciumnya lembut. “Aku menunggumu pulang, Mas... juga anak kita... Cepatlah pulang...,” ucapnya.
Aku memaksakan sebuah senyum di bibirku, alih-alih menahan tangis yang begitu menyesak. “Aku tak bisa menjanjikan pulang, Kinanti,” jawabku.
“Aku akan menunggu.”
**
Sinar berwarna kuning keemasan menerpa wajahku lewat lubang jendela kereta. Hamparan padi yang mulai menguning begitu bersinar diterpa mentari pagi. Bibirku tersenyum, mengagumi karunia Tuhan yang diberikan pada negeri yang cantik ini. Aku tak pernah putus berdoa, semoga kelak kami bisa menikmati pagi bersama. Aku, Mas Bagas, dan anak-anak kami nanti.
Seperti kataku sebelum aku meninggalkannya di sana, aku akan menunggunya. Menunggu dia kembali.
**
Mataku perlahan membuka, dan semua terasa asing di mataku. Aku bahkan tak bisa mengingat apa yang terjadi setelah aku keluar dari stasiun setelah kereta yang membawa Kinanti mulai melaju menuju Yogyakarta. Tubuhku terikat di kursi kayu. Samar kulihat beberapa orang juga dalam kondisi yang serupa denganku. Itu Haryo dan Sugi yang tadi bersamaku, lalu beberapa teman kami. Rupanya para koloni penjajah itu berhasil menangkap kami.
Para tentara berseragam asing itu memaksa kami memberikan informasi tentang letak gudang senjata perang negeri kami dan rencana yang kami lakukan. Sebagai pejuang negeri tercinta, tentu tak akan mudah untuk mereka memaksa kami bicara.
Semua harus dibayar dengan pengorbanan. Kami rela mati daripada harus jadi pengkhianat bagi negeri kami sendiri. Satu-satu pukulan dan siksaan kami terima. Aku bisa merasakan darah mengalir dari pelipis dan ujung bibirku. Wajahku penuh rasa sakit dengan ngilu luar biasa. Tak puas sampai disitu, cambuk pun mendarat dengan keras di dadaku. Aku meringis, nyaris tak bisa merasa dan seakan tak lagi bisa menggerakkan tubuhku. Aku lemah. Terlalu lemah.
Aku akan menunggu...
Kalimat itu mengiang terus di telingaku. Kinanti tak boleh menungguku. Maafkan aku Kinanti.
**

Kamis, 15 Agustus 2013

Pulang #theparagraph


Matahari bahkan belum ingin memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan pagi ini. Pun dengan udara yang masih saja terasa dingin menusuk tiap lapis epidermis meski aku sudah melapisi pakaianku dengan satu lembar sweater rajut dan satu jaket tebal di lapisan paling luar. Suara jangkrik terdengar masih berlomba, menghampiri telingaku begitu pintu kayu itu kubuka. Sambil sesekali terdengar suara katak menimpalinya. Kubuka lipatan payung warna merah muda dengan beberapa gambar Lilium Candidum L di tepiannya.  Hujan masih belum berhenti sejak semalam. Samar-samar aku melihatnya di sana, di ujung jalan itu. Berdiri dengan tubuh menyandar dinding, mencoba melindungi dirinya dari rintik hujan yang masih rindu mencumbu bumi. Kepalanya tertunduk memandang air yang menggenang di lubang kecil tepi jalan. Sesekali sepatunya memecah genang air di dekatnya. Bibirku melengkung bersamaan dengan ingatan yang melayang ke masa dua puluh tahun lalu, ketika aku menangis dan marah besar karena genangan air berwarna coklat yang ia pecah dengan sepatunya menciptakan sesuatu di dress merah muda yang dibelikan Ibu untuk hadiah ulang tahunku. 


Ia mendongak ketika suara leather boots-ku menciptakan riak sewaktu menginjak kubangan kecil tak jauh darinya. Wajahnya nampak lebih tua dari yang kulihat terakhir kali. Ahh, tentu saja sudah lama, itu adalah tiga tahun lalu ketika aku mengantarnya pergi di bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Ketika itu tubuhnya masih berisi dan wajahnya bersih karena sering bercukur. Lelaki itu menyunggingkan senyum dibawah kumis tipisnya. Diturunkannya hoodie yang sedari tadi menutupi rambutnya dari rintik hujan. Aku bisa melihat rambutnya yang ikal hitam pun kini ia biarkan sedikit panjang.
“Lilian.” Ia menyebut namaku begitu aku menghentikan langkah kakiku di depannya.
“Adam,” balasku tanpa bisa menahan diri untuk tak memeluknya lebih dulu. Hangat. Pelukannya selalu hangat.
**
Keluar dari stasiun Waterloo, kami memutuskan menyusuri jalanan London dengan berjalan kaki. Aku melingkarkan tanganku di lengan kanannya, dan ia membiarkanku melakukannya sementara tangan kirinya memegang payung untuk melindungi kami dari rintik kecil yang masih mengguyur kota ini.
“Itu sungai Thames, dan yang berdiri di atasnya itu adalah Tower Bridge, jembatan kebanggaan London,” jelasnya sambil menunjukkan padaku bangunan besar yang kokoh berdiri di atas sungai Thames. Kubiarkan ia menjadi pemanduku hari ini, meski sebenarnya aku sudah mempelajari  tentang kota ini sejak lama. Aku dengan senang hati mendengarkan penjelasannya tentang Tower Bridge dan Sungai Thames-nya. Ia begitu lancar menceritakan bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota London, tempatnya tinggal selama tiga tahun terakhir ini, yang membuatnya meninggalkan Indonesia dan tentu saja aku.
Langkah kakiku ikut terhenti ketika ia menghentikan langkah kakinya. “Kalau yang itu, pasti kamu sudah tahu ’kan?” tanyanya sambil menunjuk bangunan tinggi yang menyatu dengan Palace of Westminster itu.
Aku tersenyum. “Big Ben, the clock tower,” jawabku mantap. “Lalu disebelahnya itu Gedung Parlemen Westminster ‘kan?”
“Pintar,” ucapnya sambil mengacak-acak pelan rambutku.
“Tapi tak sepintar dirimu, tentu saja,” balasku. Ia hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Mau mendengar sejarah sambil berjalan-jalan?” tanyanya menawarkan padaku. Aku dengan cepat mengangguk mengiyakan tawarannya. Apapun, agar aku bisa menikmati waktu bersama lelaki yang begitu kurindukan dengan ribuan kilometer jarak yang membentang di antara kami. Lalu ketika jarak itu lenyap dengan pertemuan ini, aku tak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Setiap detik yang berlalu di London yang kelabu hari ini, akan kubuat begitu cerah seperti matahari yang masih malu-malu dibalik awan.
Detik berikutnya, berbagai cerita tentang bangunan-bangunan yang ada di sekitar sungai terpanjang di Inggris Raya ini diceritakannya dengan baik, layaknya guru sejarah namun tak membosankan. Mulai dari The Shakespeare’s Globe Theatre yang berada di selatan sungai Thames, Tower Bridge yang masih membelah sungai Thames, Big Ben yang didesain oleh ahli astronomi kerajaan Sir  George Airy bersama seorang pengacara dan horologis Edmund Beckett Dennison, hingga sebuah ikon baru London yang selalu ramai antrean, London Eye.
“Aku mau naik itu,” rajukku sambil menunjuk komidi putar raksasa yang berada tak jauh dari Big Ben dan Palace of Westminster.
“Mahal, antre lagi,” jawabnya santai sembari menutup payung merah muda milikku sebelum masuk salah satu restoran  yang berjejer di tepi sungai Thames. Aku merengut dan mengikutinya masuk.
“Oh ya, bagaimana London Fashion Week-nya?” tanyanya teringat satu event yang membawaku sampai ke kota ini, setelah memesan makanan pada pelayan.
Suasana pagelaran busana terbesar di London yang kuhadiri dengan bos-ku, Kak Tessa, pun kembali muncul ke permukaan memoriku. “Amazing, keren gila deh!” jawabku bersemangat.
“Kalau nanti karyamu ikut di acara begituan, kabarin aku ya,” candanya.
“Pasti, kamu orang pertama yang bakal terima undangannya,” balasku. “Terus, sudah berapa bangunan yang dibangun dari desain-mu?”
Ia tersenyum. “Ada beberapa, meski bukan di London,” jawabnya kembali dengan nadanya yang biasa, tenang.
“Besok aku sudah pulang,” ucapku mengingatkannya tentang waktuku yang tak lama.
“Aku akan mengantarmu sampai Heathrow,” katanya.
 “Bukan itu yang aku mau, Bang.”
Ia tertawa dipaksakan. “Sudah kubilang jangan panggil aku ‘abang’. Kita hanya beda satu setengah tahun,” keluhnya yang selalu sama tiap aku memaksa memanggilnya dengan sebutan abang. Dulu, ia tak ingin dianggap tua dengan dipanggil seperti itu, ia ingin sama denganku. Tapi setelah dua puluh tahun berlalu, kami pun menua dan ia masih berkeras tak mau dipanggil abang.
“Abang harus pulang.”
“Lilian...” Ia menggeleng, memberiku isyarat agar aku tak mengulang cerita yang sama.
“Pokoknya abang harus pulang,” kataku tak menghiraukan isyaratnya. Ia menghembuskan nafas sambil menyandarkan tubuhnya ke badan kursi. “Sudah lima tahun, bang. Ayah rindu abang,” kataku lagi.
Ia hanya diam tanpa menyahuti kata-kataku. Aku sudah berjanji pada ayah sebelum aku berangkat ke London untuk urusan kerja, sekaligus untuk membawa abang ku pulang, kembali ke rumahnya. Lima tahun lalu Ayah dan abang bertengkar hebat tentang pilihan abang ingin menjadi arsitek di London.
“Apa tidak bisa jadi arsitek di Indonesia? Negeri abang itu butuh orang-orang seperti abang, mungkin Abang bisa membuat sungai-sungai di Indonesia seperti Thames atau yang lainnya?”
“Pekerjaanku di sini, dan aku akan di sini, Lilian.” Ia akhirnya bersuara, namun itu tak menggoyahkan semangatku.
“Abang tak perlu meninggalkan cita-cita dan mimpi abang di sini selamanya, abang hanya harus pulang sebentar untuk Ayah,” pintaku. Ia menatapku lama, hingga akhirya menggeleng pelan.
“Lakukan saja demi almarhumah ibu, Bang. Makamnya kering tak pernah kau kunjungi.”
Ia menunduk seperti frustasi. Aku tahu ia sangat menyayangi Ibu, ia akan melakukannya demi ibu.
“Pulanglah, Bang,” pintaku sekali lagi.  
**
Aku menarik koperku di bandara Heathrow, hendak pulang. Di depanku, Kak Tessa terlihat sibuk dengan teleponnya. Sesekali aku mengedarkan pandang, berharap menemukan sosok Adam di antara mereka. Namun aku juga tahu sifat Adam yang keras, jika ia bilang tidak pulang, maka kemungkinannya akan kecil ia muncul di Heathrow dengan tasnya untuk pulang ke rumah.
Ponsel dalam saku mantelku memberi tanda ada pesan masuk. Dari Adam.
Take care my Lilian...  
Kubalas pesannya dengan cepat.
Bahkan abang tak memenuhi janji untuk mengantarku sampai Heathrow!!
Tak sampai semenit, balasannya masuk.
Sorry, my Lil.
Hanya itu?! Aku memasukkannya kembali dalam saku dengan kesal. Maafkan aku Ayah, tak bisa memenuhi janjiku membawa Adam pulang.
Setelah melewati pemeriksaan, aku dan Kak Tessa pun masuk ke dalam pesawat. Aku memandangi suasana Inggris untuk terakhir kali sebelum burung besi yang kutumpagi ini mengudara. Sementara Kak Tessa masih saja sibuk dengan teleponnya lalu ke toilet. London, jaga abangku dengan baik ya...
“Sedih banget ya, mbak?” Terdengar suara seseorang membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap dan tak percaya ketika mataku bertemu dengan si pemilik suara barusan. Seorang pria dengan ransel di pundaknya.
“Abang?!” Tanganku langsung memeluknya kuat-kuat, seolah takut ia akan pergi lagi. Di belakangnya, kulihat Kak Tessa tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Ia pasti membantuku dengan meyakinkan mantan kekasihnya ini untuk memenuhi keinginan adiknya untuk pulang.
Ayah, Ibu... Abang pulang...

**

Rabu, 14 Agustus 2013

After Juli #theparagraph

Denting yang bunyinya kelu. Karena aku tak pernah tahu mengapa aku dilahirkan. Mengapa aku masih bisa bertahan hidup. Meski masa selalu menguntit sejak ramai hingga sepi tak terbilang. Aku pun tak tahu, mengapa waktu mempertemukan aku denganmu. Denganmu yang hampir tergapai indah meski akhirnya aku melemah dan berusaha mengikhlaskan dirimu demi cahaya yang tak akan pernah redup. Karena aku hanya lilin yang apinya mudah tergoyah angin dan sewaktu-waktu bisa mati. Karena ini murni kesalahanku. Sudah aku sebutkan bahwa aku hanya lilin yang mudah meleleh yang apinya mudah tergoyah angin. Tapi mengapa kamu begitu keukeuh dengan keputusanmu. Tapi ini bukanlah keputusanmu. Ini adalah keputusanku. Kamu harus mengikuti apa yang aku pilih. Tapi aku akan berada di depanmu. Selalu. Maafkan aku Juli.
“Maafkan aku, Pras,” ucap perempuan itu sambil terisak. Bukan kamu yang seharusnya menangis, Juls, tapi aku. Kuraih tangannya dan mengenggamnya, berharap ia sedikit lebih tenang.
“Bukan salahmu, Juls,” ucapku pelan. Ia mengangkat wajahnya, melihat ku dengan pandangan bersalah. “Berjanjilah padaku kalau kamu akan hidup dengan baik dan bahagia setelah ini.”
“Pras...,” Juli balik menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan segera pergi dari sisinya. Aku memang akan pergi, dan sudah seharusnya begitu. Tempatku bukan di sini, di sisimu yang selalu menjadi salah satu alasanku untuk selalu pulang.
Perlahan kulepaskan tangannya dari tanganku. Aku tetap pada keputusanku untuk pergi, meninggalkanmu. Juli harus hidup bahagia, meski bukan denganku.
**
Cangkir kecil berisi kopi itu bahkan masih belum berkurang isinya semenjak pramusaji tadi meletakkannya di meja lima belas menit lalu. Aku masih berkutat dengan autocad-ku, mengerjakan design sebuah rumah. Hanya perlu sedikit detail lagi dan selesai. Perempuan yang duduk di depanku pun tenggelam dalam bacaanya sambil sesekali menyesap teh hijau kesukaannya. Kami begitu hanyut dalam dunia kami masing-masing.
“Aku hampir selesai,” ucapku memberitahunya.
“Kalau begitu, aku pun akan selesai,” balasnya dengan mata yang masih belum beranjak dari deretan aksara yang begitu menghipnotisnya sejak dulu.
“Oh ya, kudengar Juls... mmm maksudku Juli, memintamu untuk merancangkan gaunnya padamu bukan?” tanyaku teringat akan cerita dari temanku tentang Juli yang benar-benar akan menikah dengan lelaki itu.
“Kau keberatan?” tanyanya, masih dengan novel tebalnya.
“Kenapa harus keberatan? Bukankah kau designer-nya?”
“Aku akan menolaknya jika kamu mau.” Nada bicaranya tenang, khas dirinya. Salah satu hal yang kusuka darinya selain mandiri, cerdas, dewasa, dan tentu saja cantik. April.
**

“Kapan kamu akan menghubungiku?” tanya Juls, panggilanku untuk Juli. Tangannya bergelayut manja di lenganku.
“Juls, aku bahkan belum naik pesawat, dan kau sudah menanyakan hal itu?!” kataku terkekeh.
“Aku hanya tak bisa jauh darimu, Pras.”
“Aku pun begitu, Juls. Kamu adalah alasanku untuk cepat pulang,” ucapku sambil membelai rambutnya yang kemerahan.
“Berjanjilah kau akan hidup dengan baik, makan dengan baik, dan selalu kabari aku.”
“I promise!” Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke arahnya.
Tentu aku akan pulang, Juls, karena alasan terbesarku adalah dirimu. Hanya kamu. Dan aku berharap, cincin yang kusimpan dalam saku ini masih setia bersamaku hingga aku kembali nanti. Semua itu sudah tentu ada waktunya, dan aku memilih hari dimana aku pulang untukmu nanti. Segalanya sudah terprogram dengan baik dalam otakku.
Ya, dan segala yang sudah ku program dengan baik pun bisa saja hancur seketika. Aku tak menyalahkan kamu tentu saja. Kegagalan ini adalah kesalahan yang kubuat sendiri. Mungkin aku seharusnya tak pernah menunda untuk memintamu sebelum aku pergi ketika itu. Waktu selalu saja memberi kejutan untuk kita, aku dan kamu.
Lelaki itu, yang hadir setelah aku pergi, aku yakin ia tak akan pernah menyia-nyiakanmu dengan menunda sesuatu yang besar seperti yang pernah kulakukan. Aku merelakanmu, Juli. Karena ini adalah salahku. Hanya salahku.
Perasaan manusia tentu bisa berubah seiring waktu, seperti katamu itu. Kamu tentu merasakan perubahan itu semenjak aku pergi dan dia datang. Aku tak menyalahkanmu, Juli. Tentu tidak. Tapi aku masih belum bisa merubah perasaanku padamu. Ia masih sama seperti terakhir kita bertemu. Aku masih mencintaimu. Mungkin bukan akulah yang memenuhi sebagian besar ruang hatimu.
**
“Kita pergi sekarang, Pras?” tanya April, sambil memastikan rambutnya tak ada yang lepas dari sanggul kecilnya.
“Jika kamu sudah siap,” jawabku.
April berdecak. “Harusnya aku yang berkata seperti itu, bukan kamu.” Ia mengangkat wajahku yang tertunduk, memaksaku melihat mata cokelatnya yang indah. “Kamu sudah siap, Pras?”
Kubentuk senyum di bibirku. “Selalu siap.”
April meraih tas tangannya dan bersiap pergi. “April...,” panggilku. Ia menoleh dan kembali menghampiriku yang masih saja duduk di kursi teras rumahnya.
“Kenapa lagi, Pras? Berubah pikiran?”
Aku menggeleng. “Maaf.”
April mengernyitkan keningnya bingung. “Untuk?”
“Maaf karena menyeretmu dalam masalahku dan Juli.”
“Aku akan membantu dengan senang hati, Pras. Kau berkorban begitu banyak untuknya, meski harus menyaksikan ia menikah dengan lelaki yang tentu saja bukan dirimu,” ucapnya.
Aku menyeret April dalam pusaran masalahku dan Juli. Aku tahu Juli mencintai lelaki itu namun tak ingin melepasku juga. Ia bahkan nyaris membatalkan pernikahannya dengan kembalinya aku. April kubawa sebagai alasan agar ia bisa hidup lebih baik. Selalu ada yang dikorbankan untuk sebuah kebahagiaan.
“Kau begitu baik, terima kasih April,” kataku padanya.
“Selalu ada yang dikorbankan untuk satu kebahagiaan, Pras. Dan ini adalah caraku membuatmu bahagia,” balasnya.
Maafkan aku, April. Kuharap pengorbananmu tak akan pernah aku sia-siakan. Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Akan kucoba untuk belajar mencintaimu, jadi mohon tetaplah bersamaku.

**

Senin, 12 Agustus 2013

Rinjani #theparagraph


Lari. Hanya itu yang ada di otakku saat ini. Aku hanya perlu keluar dari tempat ini dan berlari secepat mungkin menuju jalan besar di ujung sana. Semoga masih ada mobil atau kalau beruntung, aku bisa menemukan angkutan yang bisa membawaku ke kota. Tapi rasanya kemungkinan angkutan lewat itu sangatlah kecil karena ini sudah pukul sembilan malam, dan itu sudah dianggap larut malam oleh tempat ini. Tetiba ada sesuatu yang membuatku harus menghentikan langkahku. Ada yang menarikku. Nafasku tercekat. Pelan kubailkkan badanku sambil berdoa bukan ia yang ada disana. Tetapi sepi. Aku hanya melihat bayangan pepohonan pinus dibalik kegelapan malam sejauh mata memandang. Tak ada sesiapapun disana. Kulihat ke arah bawah. Ternyata rok panjangku tersangkut batang kayu.  Sialan.
**
“Kamu kemana saja?” todong Angel ketika aku baru sampai di kontrakan yang kami tinggali selama setahun belakangan. Aku duduk di kursi sambil melepas high heels sebelas senti milikku.
“Ada apa?” tanyaku dengan nada malas.
Kulihat wajahnya cemas. “Barusan adikmu telepon, katanya bapakmu sakit,” katanya.
Bapak. Lelaki itu sedang sakit sekarang. Sakit apa hingga Ajeng meneleponku? Hati kecilku merasa gelisah, mengkhawatirkan lelaki tua yang kupanggil bapak itu. “Sakit apa katanya?” tanyaku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.
Angel mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin kangen kamu. Ajeng bilang, bapakmu hanya ingin ketemu kamu walaupun hanya sekali.”
Bertemu denganku? Aku tak ingin mengulangi kesalahan lagi. Satu tahun lalu, bapak pun menggunakan alasan itu agar aku pulang dan bisa menjadi istri kesekian dari Mbah Rono, juragan desa yang sangat kaya raya dengan banyak istri.
**
“Jadi ini anakmu? Ayu tenan...” Kudengar suara lelaki tua dengan asap mengepul dari pipa tembakaunya. “Sopo jenengmu, cah ayu?”
Pandanganku hanya tertuju pada motif batik yang ku pakai. Begitu cantik dan mahal, hadiah dari Mbah Rono, begitu kata bapak tadi. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak sudi memakai semua ini. Membuatku gerah.
“Rinjani, mbah,” jawab bapak kemudian menyikut lenganku pelan. Kudengar suara tawa yang jelek keluar dari mulutnya.
Demi apapun, aku akan melakukan segala cara untuk mengagalkan rencana busuk bapak untuk menikahkanku dengan si tua bangka itu. Hanya karena si tua ini lebih kaya dari lelaki yang lamarannya pernah ditolak bapak kah, hingga ia begitu gigih melakukan perjodohan ini?
**
“Kamu mau menyerah, mas?” tanyaku lirih pada lelaki dengan caping anyaman bambu di kepalanya. Siang itu, aku sengaja mengantar makan siang untuknya agar aku bisa bicara tentang hubungan kami selanjutnya. Aku yakin ia begitu sakit dengan penolakan bapak atas lamarannya untuk menikahiku.
“Bapakmu sudah menolak, dik,” katanya sambil melepas capingnya sambil berjalan menuju saung kecil di salah satu sisi sawah. Aku mengikuti langkahnya.
“Tapi kamu bisa mencoba meyakinkan bapak lagi, mas,” ucapku. “Kamu masih ingin memperjuangkan hubungan kita ‘kan, mas?”
Lelaki itu diam sampai kami duduk di dalam saung. “Percuma, dik. Aku ini cuma buruh tani, nggak punya harta seperti yang bapakmu mau,” jawabnya pesimis.
Aku dengan sabar menyiapkan makannya. “Tapi aku nggak butuh hartamu. Aku maunya menikah sama kamu, jadi istrimu, ibu dari anak-anak kita kelak.”
“Sudahlah, dik. Itu semua akan sia-sia, bapakmu tidak akan pernah merestui hubungan kita sampai kapanpun.” Ia terlihat frustasi. Aku bisa melihat air matanya tertahan. Kudekatkan tubuhku padanya, memberikan pelukan yang bisa memenangkannya. Ia lelaki yang baik, sangat baik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku tak yakin bisa hidup bahagia tanpanya.
Kurasakan tangannya membelai lembut rambutku. “Aku yakin kamu akan bahagia dengan pilihan bapakmu, dik.”
**
“Ajeng bilang kamu ingin ketemu aku. Ada apa ingin bertemu denganku malam-malam begini, dik?” tanyanya panik ketika sampai di saung yang sering kami singgahi jika aku mengunjunginya di sawah.
Aku terdiam dan hanya menangis sesenggukan. Ia medekat dan mengangkat wajahku dengan lembut. “Ada apa, dik? Apa yang terjadi?” tanyanya panik.
“Besok bapak akan memaksaku untuk menikah,” kataku sambil terisak.
Ia tertunduk lesu. “Maaf, dik. Aku ini memang pecundang, tak bisa berbuat apapun untuk memperjuangkanmu.”
“Kamu bisa, mas,” kataku sambil menggenggam tangannya yang kasar karena terlalu banyak bekerja di sawah. Ia menatapku lama. “Maaf, dik,” ucapnya lirih sambil berusaha melepas tanganku.
Entah setan apa yang merasuki otakku malam itu. Aku melepas satu persatu kancing bajuku dan mulai melucuti pakaian yang melekat di tubuhku. Aku hanya ingin menjadi milikinya, dan aku ingin ia menjadi milikku. Ia terlihat kaget dan tak menyangka dengan paa yang sedang ku lakukan.
“Kenapa diam saja, mas?!” tantangku dengan isak tangis yang masih keluar. Aku sudah berdiri di depannya dengan tubuh indahku yang hanya tersisa pakaian dalamku saja.
Malam begitu hening, hanya suara jangkrik dan kodok sawah yang berlomba membuat simfoni. Semilir angin begitu dingin membelai tubuhku. Hampir tengah malam dan tak ada sesiapa selain aku dan dia. Kulihat tangannya bergerak menyentuh tanganku dan menarik tubuhku ke pangkuannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu cepat. Tangannya bergerak membelai rambutku kemudian meraba tengkukku perlahan, dan detik berikutnya bibirnya mulai menyentuh bibirku.
**
“Jadi, itu alasanmu tak pernah menghiraukan bapakmu ?!” Angel terkejut mendengar ceritaku tentang perjodohan itu. “Lalu bagaimana dengan lelaki itu?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Entahlah, tak kudengar kabarnya lagi sejak malam itu.”
“Dia meninggalkanmu setelah yang dia lakukan malam itu?!”
Aku menggelengkan kepala lagi. “Tidak. Dia tidak melakukan apapun, bahkan ia menarik bibirnya yang baru saja menyentuh bibirku,” kataku.
Angel memelukku, mencoba memberikan dukungan. “Tapi kamu harus kembali kesana, Jan.”
“Untuk apa? Menikah dengan tua bangka itu?!”
“Masalah tidak akan selesai jika kamu terus sembunyi, Jani.”
**
Aku benar-benar mengikuti saran Angel untuk kembali ke tanah kelahiranku. Tujuanku hanya untuk melihat bapak sebentar kemudian kembali lagi ke kota. Tempat ini terlalu banyak mengingatkanku akan kepedihan dan sakit hati.
Tak banyak yang berubah dari tempat ini, mungkin hanya makin bertambah rerumahan yang memakan sedikit lahan sawah. Kuketuk pintu rumahku ketika matahari sudah kemerahan di ufuk barat, bersiap untuk kembali.
“Rinjani,” ucap bapak dengan suara parau. Wajah keriputnya sangat pucat, tubuhnya kurus dan rambutnya kusut tak terurus. Ajeng yang sudah menikah, pasti jarang menjenguk bapaknya yang semakin tua ini. Aku melewatinya dan duduk di kursi tamu.
“Bapak sakit apa?” tanyaku basa-basi.
Bapak hanya tersenyum. “Rindu. Rindu kamu, Rinjani,” jawabnya lirih.
Aku bisa merasakan hatiku mulai sakit. Aku pun rindu bapak.
Lalu aku merasa ada sesuatu begitu keras menimpa bagian belakang kepalaku. Perlahan semuanya menggelap di depan mataku. Aku bisa melihat bibir bapak tersenyum padaku sebelum mataku terpejam. Masih ada satu lagi, perempuan yang muncul setelah pukulan barusan. Angel! Pantas ia begitu memaksaku pulang. 
**


Minggu, 11 Agustus 2013

Melati #theparagraph

1st paragraph by Wita
Mungkin inilah salah satu hasil dari rasa syukur yang sering kami panjatkan. Kehidupanku begitu damai bersama kedua orang tuaku, kedua kakakku, dan dua orang adikku. Bahagianya ketika matahari tetap terbit di posisi yang seharusnya, memancarkan energi yang mengakibatkan tubuh selalu segar. Meski hawa dingin di pagi hari terkadang menjadi godaan buruk untuk meraih secercah sinar. Tapi tinggal di daerah dengan masyarakat yang begitu saling menghormati dan saling menghargai adalah suatu rasa syukur yang luar biasa. Bisa berdampingan tanpa ada rasa buruk di hati masing-masing. Pagi itu keluargaku dan masyarakat yang lain sedang melaksanakan kerja bakti mingguan di setiap Sabtu. Kegiatan yang memberikan banyak manfaat bagi kami semua. Rumput-rumput liar hilang, sampah-sampah pun musanah. Begitu nyamannya tempat kami tinggal. Hingga beberapa detik kemudian, kami mendengar suara gemuruh yang mengakibatkan burung-burung berterbangan di atas kami. Lama-lama gemuruh itu mengakibatkan getaran hebat. Kami beserta masyarakat lain saling berpegangan. Terpampang sudah wajah pucat pada diri kami semua. Apalagi tak lama kemudian bebrapa rumah hancur sektika. Ya Tuhan... Ada apa ini?!
**

Gagas

Malam masih terlalu gelap ketika gunung berapi menunjukkan adanya aktivitas vulkanik. Awan panas meluncur dari mulut gunung. Aku dan beberapa petugas dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian terus bersiaga meski rasa takut juga tak luput menghampiri kami. Doa tak henti-hentinya kubaca, meski dalam hati.
Empat buah seismograf yang ada, kesemuanya mencatat amplitudo getaran yang sangat besar, bahkan ada yang jarumnya sampai terlepas beberapa kali. Semua petugas monitoring, termasuk aku, menjadi panik dan sibuk luar biasa dengan keadaan yang sedang terjadi. Semua begitu mencekam dan menakutkan, karena gunung yang sedang kami pantau bisa kapan saja memuntahkan isi perutnya.
“Gagas, cepat hubungi pos pengamatan di lereng!” Kudengar perintah yang meluncur cepat dari Pak Adi, ketua tim pemantau di pos pusat tempatku berada sekarang. Aku tak membuang-buang waktu lagi untuk melaksanakan perintahnya. Segera kukontak tim pemantau lain dengan menggunakan radio HT.
Mereka pun melaporkan kejadian yang sama seperti yang kami tangkap. Mereka bilang semuanya tertutup kabut yang sangat tebal, dan mereka pun tak ada yang bisa menduga tentang apa yang ada di balik kabut tebal tersebut.
Tuhan, kumohon lindungi kami. Tak henti-hentinya aku menyebut nama Tuhanku, baik dalam hati, pikiran , maupun bibirku.  
Tak sampai setengah jam, jarum seismograf kembali lepas dan gulungan-gulungan kertas harus diganti lebih sering. Terjadi letusan sebanyak tiga kali yang juga diserati dengan awan panas. Perintah untuk meninggalkan pos pun dikeluarkan untuk pos yang berada di lereng gunung. Sirine dibunyikan, dan doa terus keluar dari bibir semua orang, menggema di telingaku.
**

Maraya

Getaran hebat terus mengguncang bumi dimana kami berpijak. Tubuh kami limbung, hilang keseimbangan. Semua orang berhamburan keluar dari rumah mereka yang nyaman, berusaha semampu mereka untuk menyelamatkan diri dan melindungi orang-orang tercinta. Semua begitu panik, kacau, dan tak terkendali, tak terkecuali aku dan keluargaku.
Terdengar suara letusan yang berasal dari gunung berapi beberapa kali. Kulihat gumpalan seperti asap tebal berwarna abu yang pekat keluar dari mulut gunung yang sedang bergejolak isi perutnya itu. Semuanya terus berlari sejauh mungkin dari desa yang indah dan sejuk ini, sementara di atas sana, cairan merah yang disebut larva mulai mengalir perlahan menuju desa kami yang hanya berjarak enam kilometer dari gunung.
Sebenarnya bukan tidak ada peringatan yang diberikan pada warga desa tentang bencana ini. Pemerintah sudah memperingatkan tentang kemungkinan gunung meletus dan perintah untuk evakuasi warga jauh-jauh hari sejak adanya hujan abu yang menimpa desa kami, tetapi hampir semua warga enggan meninggalkan rumah mereka karena takut akan kehilangan harta ataupun ternak mereka. Hujan abu atau gempa sudah sering kami rasakan, jadi kami berpikir kalau hujan abu beberapa hari lalu hanyalah hujan abu biasa.
Lalu rencana Tuhan terjadi di luar dugaan manusia-manusia yang tinggal di kaki gunung ini. Semua penduduk terus berlari dalam ketakutan dan kepanikan yang sangat tinggi. Aku menyadari sesuatu, aku sudah terpisah. Entah dimana ayah, ibu, kakak-kakak, dan juga adik-adikku. Kuteriakkan nama-nama mereka, namun suaraku seperti lenyap meski kerongkonganku sakit karena berusaha mengeluarkan semua suaraku memanggil mereka.   
“Ayah....”
“Ibu....”
Nafasku tercekat.
Ya Tuhan ku...
**

Gagas

Para pemburu berita yang sejak beberapa hari lalu ikut memantau aktivitas gunung untuk dilaporkan pada seluruh penjuru negeri pun maih menunggu konfirmasi atau pernyataan dari tim pemantau tentang letusan yang terjadi.
Pak Adi selaku ketua tim pun menemui awak media dan mengeluarkan pernyataan resmi mengenai gunung berapi tersebut. “Aktivitas vulkanik yang terdeteksi di seismograf mulai menurun. Fokus kita sekarang adalah evakuasi. Meski begitu, masyarakat diharapkan untuk tetap waspada karena hujan kerikil dan abu masih terjadi di beberapa tempat.”
Aku masih belum berhenti menyebut nama Tuhan, sembari mengucap syukur untuk keselamatan kami yang masih diberi waktu lebih. “Minumlah, Gas,” ucap Budi, rekan tim pemantau, sembari menyodorkan segelas teh hangat beraroma melati yang sedikit membuat otakku rileks. “Kamu sudah cukup tegang menghadapi gunung itu, yang membuatmu kelimpungan mengganti gulungan kertas seismograf di atas normal. Hehehehee...,” katanya mencoba mencairkan suasana yang sangat tegang.
Sekali lagi kubiarkan aroma melati yang menguar dari dalam cangkir putih itu tercium indera penciumanku. Aku melengkungkan bibirku, pertama kali setelah jarum seismograf pertama lepas dari tempatnya. “Matur suwun, Bud,” ucapku pada Budi.
Setidaknya gunung itu sudah sedikit tenang sekarang. Ia sedang dalam kondisi nyenyak dalam dekap ibu pertiwi.
**

Maraya

Aku jatuh. Terus berusaha bangkit, namun sepertinya ibu pertiwi ingin menahanku untuk tetap tinggal di desaku tercinta ini. Aku tersungkur dan memejamkan mata, berharap ada keajaiban. Kurasakan sesuatu yang begitu panas mendekat. Nafasku tercekat, nyaris tak mampu lagi membuang karbondioksida. Aku mencoba membuka mataku. Kulihat ia mendekat, terus mendekat, dan mencoba meraihku.  


Ibu... Aku bisa mencium aroma melati dari tujuh gelas belimbing yang berisi teh panas yang kau siapkan setiap pagi. Aromanya begitu kuat kurasakan, hingga aku lupa bagaimana bau belerang yang sedari tadi kuhirup. 
Ibu... Aku ingin mencium aroma melati dari teh panas buatanmu esok pagi, lalu esok pagi lagi, dan esoknya lagi...


***

Jumat, 09 Agustus 2013

The White Book #theparagraph


weheartit.com
Aku memandangi benda itu di meja kamarku. Sebuah benda yang pernah ada di dunia khayalku ketika masih kanak-kanak, hingga akhirnya waktu membawaku pada satu kenyataan yang tak pernah kuduga. Aku pun tak mengerti mengapa buku yang kutemukan diantara buku-buku tua di ujung perpustakaan itu bergetar hebat ketika aku membuka salah satu halamannya dan mulai merapalkan bacaan yang tertulis disana, bahkan aku tak mengerti itu tertulis dalam bahasa apa. Ponsel yang kuletakkan di sebelah buku melayang perlahan ketika aku berhenti membaca. Aku nyaris saja  terjatuh dari kursiku. Segera kuraih ponselku sebelum terlihat oleh pengunjung perpustakaan lain dan pergi setelah mengurus peminjaman buku tersebut.

Tanganku mencoba meraih buku tersebut dan berniat membukanya lagi. Kurasakan sesuatu yang aneh seperti getaran listrik menyengat ketika kulitku menyentuh permukaan buku yang sampulnya seperti dari kulit hewan berwarna cokelat usang. Sesuatu yang sama terjadi seperti di perpustakaan tadi siang. Buku itu bergetar. Bukan, bukan hanya buku itu yang bergetar, tapi rasanya rumahku pun seperti terjadi gempa bumi. Buru-buru aku menutup buku tersebut ketika kudengar suara nenek dan Anne, kakakku, memanggilku dari lantai bawah. Lalu semuanya berhenti bergetar. Aku mengernyitkan kening memandang buku aneh ini. Sebenarnya buku apa yang sudah kupinjam ini?
“Ava...” Kudengar suara Anne makin keras sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku tak sabar. Dengan cepat kubuka pintu kamar dan mendapati wajah Anne dan nenek yang terlihat khawatir dan takut.
“Kamu menemukan sebuah buku tua?” tanya nenek dengan wajah yang sangat serius. Aku berpikir, apa nenek tahu tentang buku itu?
“Ava,” panggil Anne karena aku tak jua menjawab pertanyaan nenek. “Kamu menemukan sesuatu?”
Aku memandang nenek dan Anne bergantian. Mungkin aku memang harus memberitahu mereka, agar aku juga tahu tentang buku aneh itu. Aku mengajak mereka masuk dan melihat buku yang tadi kuletakkan di ranjangku. Wajah nenek terlihat sangat terkejut ketika melihat benda itu, begitupun Anne.
“Darimana kamu mendapatkan ini?” tanya Anne.
“Perpustakaan,” jawabku singkat.
“Kamu yakin? Bukan sesorang yang memeberikannya padamu?” tanya Anne tak yakin dengan jawabanku. Aku mendengus kesal. Memangnya sejak kapan Anne percaya padaku, ia bahkan selalu meremehkanku. “Ava... Jawab!”
“Aku sudah menjawabnya, Anne,” kataku kesal. “Per-pus-ta-ka-an!”
“Sudahlah Anne, Ava... bukan saatnya untuk bertengkar,” kata nenek berusaha menengahi kami.  “Ava, apa kamu sudah pernah membaca salah satu mantra dalam buku ini?” tanya nenek dengan lembut.
“Mantra?” tanyaku bingung. “Mantra apa? Aku tak mengerti, nek.”
 “Tapi kau pernah membacanya salah satu tulisannya dan menemukan sesuatu yang magis, ‘kan?” Kali ini Anne yang bertanya dengan nada yang tak kusukai.
Aku mengangguk. “Ponselku mendadak seperti melayang setelah aku membaca satu halaman,” jawabku.
Nenek dan Anne saling berpandangan. “Sekarang kita harus pergi sebelum Zart dan kelompoknya datang kemari, mereka pasti sudah menangkap sinyal yang dikirimkan buku ini tadi,” ujar nenek sambil membungkus buku tersebut dengan syalnya yang berwarna merah marun.
Anne dan nenek bergegas keluar dari kamar, sementara aku masih mematung dengan segudang pertanyaan tentang keadaan yang sedang terjadi. Rupanya Anne menyadari sesuatu, ia berhenti dan menghampiriku. “Ava, kita harus pergi,” katanya sambil menarik tanganku.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Anne?” tanyaku bingung. “Kenapa kau dan nenek begitu panik soal buku itu?”tanyaku lagi.
Anne menghela nafas sejenak. “Ava, kita tidak punya banyak waktu. Nanti akan kujelaskan semuanya, tapi sekarang kita harus segera pergi dari rumah.” Anne mengatakannya dengan nada tegas, dan aku pun menurut begitu saja tanpa bisa membantahnya seperti biasa.
**
Beberapa jam perjalanan sudah dilalui dari rumah kami di Brownwest dengan Ford milik Anne. Kami akhirnya tiba di suatu tempat yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Letak tempat ini sangat jauh dari kota, hampir menuju pedalaman hutan. Kulihat sebuah bangunan besar mirip kastil tinggi menjulang di depan mataku. Suasana sekitarnya sangat sepi dan gelap, tak ada bangunan lain dan hanya ada pohon-pohon pinus yang tinggi sejauh mata memandang. Penerangan di depan kastil pun hanya obor-obor besar yang dipasang di beberapa titik.
“Kau mau ikut masuk atau tinggal disini menunggu singa atau beruang lapar menerkammu?” Kudengar nada sinis Anne kembali lagi. Bukan Anne namanya kalau bernada lembut seperti nenek atau mendiang ibu. Aku merengut kesal dan mengikuti langkahnya menyusuri lorong kastil, sementara nenek sudah jauh di depan.
“Jadi, siapa yang sudah menemukannya, Abigail?” Kudengar suara seseorang bertanya ketika aku dan Anne masuk ke satu ruangan yang sangat besar dan sudah banyak orang yang berkumpul disana. Aku tercengang ketika semua mata mengalihkan pandangan dari lelaki tua berjanggut putih panjang yang duduk di kursi paling besar di depan sana pada kami yang baru datang, lebih tepatnya mungkin padaku. Aku merasa seperti seorang terdakwa dalam sebuah pengadilan.
“Siapa dia, Abigail?” tanya lelaki berjanggut itu pada nenekku.
“Dia adalah cucu keduaku, William. Namanya Ava,” jawab nenek dengan sangat hormat pada lelaki tua itu. Anne mengajakku mendekat dengan nenek.
“Dimana kau menemukannya, nak?” tanya lelaki tua bernama William itu padaku dengan lembut.
“Perpustakaan,” jawabku pelan.
Kulihat William mengangguk mendengar jawabanku. “Baiklah, setidaknya kita sudah tahu kalau White Book sudah ditemukan, dan kita harus lebih waspada karena Zart pasti sudah bergerak untuk mendapatkannya,” ujarnya pada seluruh orang yang datang. Buku yang kupinjam dari perpustakaan itu pasti adalah buku yang begitu berharga bagi mereka atau Zart yang sedari tadi dikhawatirkan.
**
Malam semakin larut dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Rentetan kejadian hari ini masih membuatku bingung. Hanya karena sebuah buku tua, semua menjadi terasa aneh bagiku. Buku yang lama hilang itu ditemukan olehku yang tak tahu apapun mengenai dunia mereka. Karena buku tua itu pula akhirnya aku tahu kalau ternyata aku adalah bagian dari keluarga penyihir. Aku teringat dengan keanehan-keanehan yang pernah terjadi di hidupku sebelum aku mengetahui rahasia ini. Ayah, ibu, nenek, maupun Anne begitu hebat menyimpan rahasia ini dariku.
“Kamu masih belum tidur?” Kulihat Anne terduduk di sampingku.
“ini bukan kamarku,” jawabku mengelak. Aku yakin Anne pasti percaya dengan alasanku, karena aku memang sulit tidur jika di kamar orang lain. Malam ini kami memang bermalam di kastil William yang dijadikan markas kelompok penyihir pimpinan William, karena dikhawatirkan Zart dan keompoknya sudah mengincar rumah kami dimana buku tua itu mengirim sinyal hebat tadi sore.
“Maaf,” ujar Anne pelan. Aku menoleh padanya, memastikan Anne tidak salah berucap barusan.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Maaf karena merahasiakan semua ini darimu,”jawabnya. “Mendiang ayah dan ibu yang meminta agar kamu tak tahu tentang dunia mereka.”
“Apa ayah dan ibu pergi karena buku itu? Atau karena Zart?” Aku mulai penasaran dengan semua rahasia ini. Aku harus tahu semuanya, karena aku memang sudah masuk dalam dunia sihir William ini.
Anne memandangku lama. “Tidak. Mereka pergi karena sudah seharusnya pergi, Ava.”
“Siapa Zart itu? Apa sebenarnya isi buku itu hingga Zart begitu menginginkannya?” tanyaku penasaran.
“Menurut cerita yang kudengar dari tetua, dahulu Zart dan William adalah bersaudara. Ayah mereka adalah penyihir hebat sepanjang masa, hingga ayah mereka meninggal dan mewariskan the white book yang berisi mantra-mantra hebat termasuk mantra mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati, mantra yang belum ada seorang pun tahu, bahkan ketika ayah mereka masih hidup.” Anne mengambil jeda sejenak. “Tapi sampai ayah mereka dibakar dan abunya dilarung ke laut, tak ada yang tahu dimana buku itu berada, karena buku itu mendadak menghilang entah kemana.”
“Sampai akhirnya, aku yang menemukannya?” tebakku. Anne mengangguk. “Tapi kenapa ketika aku yang menemukannya, semua jadi heboh seperti ini? Bukankah pasti ada orang sebelum aku yang menyentuhnya?”
Anne tersenyum. “Karena kemungkinan mereka bukan keturunan penyihir seperti kamu.”
Kusandarkan tubuhku di bantal besar. “Anne, jika aku ini penyihir, bisakah aku membuat Jennie terbang atau membuat Kenzie jatuh cinta padaku?” tanyaku iseng. Anne tertawa kecil. “Kenapa tertawa? Bisa ‘kan?”
“Sihir tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, dan sihir juga tidak berlaku untuk perasaan manusia,” jawabnya.
Aku menghembuskan nafas kesal. Tapi aku menyadari satu hal, setidaknya Anne tidak lagi ketus dan menyebalkan padaku. Ia tersenyum lebih banyak malam ini.
**
Tak banyak yang kuingat tentang semalam, ketika suara ledakan menyerbu kastil William yang megah. Udara yang dingin berubah panas seiring dengan kobaran api yang dibuat oleh kelomok Zart. Anne mebangunkanku dan menarikku pergi menuju ruang tengah, tempat dimana keompok William berkumpul. Semua menjadi panik dan gaduh tak terkendali. Kemudian William memerintahkan semuanya menggunakan kemampuan sihir masing-masing untuk melawan serangan Zart dan kelompoknya. Aku tak tahu harus bagaimana harus melawan kelompok sihir Zart. Jangankan menggunakan kekuatan, aku saja tidak tahu kemampuan sihir apa yang kumiliki.
Suara seperti tembakan, ledakan, dan teriakan mantra-mantra begitu keras terdengar di telingaku. William menyuruhku menyelamatkan diri dan membawa the white book. Kenapa aku harus berurusan dengan buku itu lagi?!
Tak ada pilihan lagi untukku. Sebelum aku pergi, Anne memberikanku sebuah kalung dengan liontin bulan sabit. “Jaga dirimu, Ava. Ini akan menyelamatkanmu,” ucapnya sambil memeberikan kalung itu sebelum aku pergi. Satu hal lagi, ia memelukku untuk pertama kali.
“Aku menyayangimu, Anne,” ucapku sebelum pergi. Anne tersenyum padaku.
Setelah itu aku hanya terus berlari menuju hutan yang gelap dan hanya diterangi sinar bulan. Bukan, bukan bulan yang ada di atas langit sana, melainkan bulan yang menggantung di leherku. Liontin yang diberikan Anne tadi mendadak bersinar ketika aku mulai masuk ke dalam hutan.
“Ava,” panggil seseorang dengan suara pelan. Aku terkesiap dan semakin takut. Bagaimana jika itu adalah salah satu kelompok Zart? Kudekap buku yang dibungkus syal nenek dengan erat. Nenek bilang, buku itu tidak akan mengirim sinyal jika tidak tersentuh kulit penyihir makanya dibungkus dengan sesuatu.
“Ava..” suara itu terdengar lagi. Aku berjalan dengan hati-hati dan tetiba tanganku ditarik oleh sesuatu dibalik semak-semak. Sinar dari liontin Anne membuatku bisa melihat wajahnya.
“Kenzie?!”
“Sssttt...” Kenzie meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, menyuruhku diam. “Aku juga keturunan penyihir,” ujarnya.
Mataku membulat, tak percaya dengan kenyataan sekali lagi. Aku mundur dan makin mendekap erat the white book. Berjaga-jaga jika Kenzie adalah bagian dari Zart.
“Tenang, Va. Aku cucu William,” ucapnya mencoba mendekatiku. “William yang memintaku menjagamu.”
Aku tak bisa percaya begitu saja padanya. “Apa buktinya?”
Kulihat Kenzie menunjukkan sesuatu di pergelangan tangannya. Sebuah tanda mirip dengan milik Anne dan nenek. “Semua orang dari kelompok kami memilikinya,” katanya.
Aku langsung melihat pergelangan tanganku dan menemukan tanda yang sama yang entah sejak kapan muncul di sana.
“Tidak banyak waktu untuk bercerita, Va. Kamu harus melakukan sesuatu dengan buku itu.”
“Aku?!”
“Ya, karena kamu yang terakhir menyentuh buku itu, jadi kamulah pemiliknya sekarang,” jelas Kenzie.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Membaca mantra halaman terakhir,” jawab Kenzie dengan suara yang pelan. Lalu hening mencekam.
**
“Kamu sudah melakukan yang seharusnya dilakukan, Ava.”
Aku memandang dengan lirih melihat mayat-mayat tersebar hampir di seluruh ruang tengah kastil, tempat dimana pertempuran semalam terjadi. Mantra halaman terakhir itu adalah mantra mematikan yang hidup. Kenzie mengatakan kalau William berpesan agar aku membacanya, agar perang puluhan tahun tak lagi terjadi. Seluruh penyihir dari kelompok William dan Zart mati karena mantra yang kubaca semalam.  Kini tinggal aku dan Kenzie yang tersisa, karena kami menyentuh buku itu ketika mantra itu keluar dari bibirku.
Perang  sudah berakhir.
***

Paket #theparagraph

weheartit.com

1st paragraph by Wita Purwati 
Angin berhembus dan dingin yang begitu merajam. Malam yang tak berbintang. Bintang-bintang itu sepertinya pindah malah mengitari kepalaku yang gondrong dan lengket. Sudah hampir seminggu ini aku terbaring di kamar. Sepertinya Salmonella thyposa enggan minggat dari tubuhku. Akibatnya aku tak bisa  bergerak bebas. Semakin kacau ketika teman-teman datang menjengukku. Mereka hanya merecoki keadaanku yang tidak baik ini. Menjadikan kejombloanku sebagai topik yang paling hebat ketika menjenguk. Tapi seketika hening ketika dia datang.

**
Mr. Richard menyodorkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat padaku siang itu di salah satu kursi tunggu di stasiun. Aku memandangnya dan kotak itu bergantian, menunggu penjelasan dari lelaki berjaket kulit hitam di sampingku. Ia kemudian memberikan selembar kertas kecil dan tiket pesawat. Aku membacanya cepat, sebuah alamat.
“Kamu hanya perlu antar paket ini ke alamat yang sudah kuberikan.” Mr Richard akhirnya bicara, namun dengan nada pelan. Aku berusaha menangkap semua kata-katanya di tengah riuh suasana stasiun yang tak sepi.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Kamu dibayar bukan untuk mengorek informasi tentangku,” kata Mr. Richard dengan nada yang tetap pelan dan tenang. Aku menunduk dan menyesali pertanyaanku. Ia bisa memecat siapa saja yang tidak ia suka yang bekerja padanya, apalagi aku yang hanya sebagai supirnya.
“Ingat, ini rahasia!” ujarnya. “Antar sebelum besok malam tiba,” tambahnya sebelum beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkanku. Aku mengangguk pelan. Kulihat punggungnya menjauh dan akhirnya hilang di belokan menuju pintu keluar.
**
Aku tengah mengeringkan rambutku dengan handuk ketika teman kost-ku sedang mematut diri di depan cermin yang menggantung di dinding kamar. Ia rapi sekali hari ini, kaus putih yang dibalut jaket hijau dan celana jeans yang sudah ia setrika sore tadi. Aku pun mencium wewangian yang sangat ku hafal aromanya memenuhi ruangan yang tak teralalu besar ini.
“Lu pake parfum gue, ya?!” todongku pada Herman, temanku, yang kemudian nyengir lebar mendengarku.  “Dikit doang kok, masbro,” jawabnya.
“Beli makanya, jangan minta mulu,” kataku sambil merebut botol parfum yang dipegang Herman.
“Iya, nanti gue beli sendiri, lu juga bisa gue beliin,” selorohnya sambil kembali ke cermin.
“Mau kemana sih malem-malem udah rapi banget?” tanyaku.
“Biasa, masbro,”katanya dengan senyum yang aneh. “Ketemu pacar lah.”
Aku hanya mengangguk pelan tanpa bersuara lagi. Betapa beruntungnya si Herman ini, dengan wajah yang tak lebih tampan dariku saja bisa mendapatkan perempuan cantik macam Laura yang mirip model majalah ibukota. Sedangkan aku, masih saja setia dengan kesendirianku.
“Jangan sedih, masbro, nanti gue kenalin sama temannya Laura yang cantik-cantik itu.” Herman rupanya menyadari keadaan dan berusaha menghiburku.
“Udah pergi sana, kasian pacar lu nungguin.” Aku tak ingin dia mengasihaniku seolah aku ini sudah benar-benar tak laku lagi.
“Oke, by the way itu apaan di meja lu?” tanyanya menunjuk kotak Mr. Richard.
“Tugas dari bos,” jawabku singkat.
“Mr. Richard?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. “Udah sana berangkat,” kataku malas menjawab pertanyaannya.
“Oke... oke... Gue pergi dulu ya, jaga diri baik-baik,” katanya sebelum membuka pintu dan kemudian pergi.
Kuletakkan botol parfum itu ke meja kecil di sebelah tempat tidurku. Mataku melihat kotak yang diberikan Mr. Richard tadi siang. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku sejak kotak ini diberikan padaku tadi siang. Apa isi dari kotak ini? Kenapa ia memilihku yang suka membuat masalah, dan tidak menyuruh anak buahnya yang lain untuk mengantarnya? Lalu siapa pemilik alamat yang akan menerimanya? Apa hubungannya dengan Mr. Richard?
Claire Belle. Nama seorang perempuan yang tertera di atas sebuah alamat yang diberikan Mr. Richard. Mungkin Claire ini anak atau istri bos-ku, itu tebakanku, tapi rasanya aku tak pernah tahu kalau Mr. Richard menyebutkan istri atau anaknya. Ia seorang bos besar di bidang real estate. Pengusaha sukses, terkenal, namun sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya. Aku sudah bekerja padanya selama hampir lima tahun, dan selama itu aku hanya tahu ia hidup sendiri. Ia kesepian, aku bisa melihat itu dari wajahnya yang nampak sedih jika sudah berada di rumahnya yang seperti istana. Pernah aku mencoba menanyakan tentang keluarganya, bukan jawaban yang kudapat darinya, malah sebuah surat peringatan yang kudapat. Kusingkirkan semua pertanyaan tentang Mr.Richard dan kotak berbungkus coklat di tanganku ini. Besok pagi aku harus berangkat ke bandara dan terbang ke Thailand untuk menemukan seseorang bernama Claire Belle ini.
Tetiba ponselku berdering ketika aku baru saja memasukkan kotak itu ke dalam ransel yang hendak kubawa besok. Sebuah pesan masuk. Sesuatu mengalir hangat di dalam tubuhku ketika mengetahui nama pengirim pesan tersebut.
**
Dengan susah payah aku membuka mataku. Kurasakan nyeri di bagian belakang leher yang membuatku sulit menggerakkan kepala, dan aku mendapati diriku dalam keadaan terikat. “Perbuatan siapa ini?!” Geramku tertahan. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui jawabnnya. Seorang perempuan muda dan cantik muncul dari balik pintu bersama dengan beberapa pria berbadan kekar di belakangnya.
“Mimpi indah, Nick?” tanyanya sinis padaku. Aku mengenali wajahnya ketika ia mendekat ke arahku. Bagaimana aku bisa tidak mengenalinya? Wajah itu yang sudah memenuhi otakku selama lima tahun belakangan. Sial. Aku sudah ditipu olehnya.
Aku ingat ketika ia meminta bertemu denganku semalam. Tentu saja aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami mengobrol di depan rumah kost-ku hingga membuat kami lupa waktu, mulai dari mengobrol sampai akhirnya kami menghabiskan sisa malam itu di atas ranjangku.  Bahkan aroma strawberry dari rambutnya masih begitu lekat kuingat. Perempuan ini begitu pandai menjalankan tugasnya. Bagaimana tidak, aku bahkan tak menyadari kalau ia sedang berusaha mengorek informasi tentang Mr. Richard dan kotak yang dititipkan padaku. Oh Tuhan, maafkan aku Mr. Richard...
“Terima kasih sudah menjaga kotak ini dengan baik, Nick,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang tak lagi terbungkus kertas coklat. “Hanya saja aku belum menemukan sesuatu yang juga kubutuhkan,” katanya lagi lebih dekat denganku.
“Untuk apa kamu mengambil kotak itu dariku, Marsh?” tanyaku. “Apa isi kotak itu begitu berharga untukmu?”
Dia tertawa. “Tentu saja, Nick. Kalau tidak, untuk apa aku repot-repot membuang waktu untuk lelaki sepertimu semalam?!”
Lalu mataku tertumbuk pada salah satu diantara lelaki berpakaian serba hitam di belakangnya. Mataku membulat mendapati orang itu disana. Sialan!
“Herman?!” geramku. Marsh menengok ke arah lelaki botak yang kulihat. Dia tertawa lagi.
“Kejutan untukmu, Nick,” katanya. Di belakangnya, Herman hanya tersenyum yang sama sinisnya dengan Marsh.
“Biar kutebak, Nick. Kamu pasti tidak tahu isi kotak ini dan mengapa Richard mengirimmu ke Thailand ‘kan?” Tawanya terdengar memenuhi ruangan yang pengap dan kotor ini.
“Kasihan kamu Nick, hanya dijadikan boneka oleh lelaki tua itu,” ucapnya dengan jemarinya membelai wajahku. “Kalau begitu, biar aku saja yang beritahu, oke?”
Marsh mendekatkan wajanya ke arahku. Aroma strawberry kembali menusuk indera penciumanku, membuatku teringat apa yang terjadi di ranjangku semalam. Ia meniup daun telingaku dengan lembut kemudian membisikkan sesuatu di telingaku. Jangan...
**
“Marsh...!!” pekikku sambil membuka mataku. Aku bisa merasakan detak jantungku tak beraturan. Mataku berusaha mengenali sekelilingku. Beberapa laki-laki terlihat di dekatku.
“Kenapa Nick? Mimpi buruk lu?” tanya Herman sambil tertawa yang diikuti tawa dari teman-temannku yang lain.
“Gue dimana?” tanyaku memastikan.
“Di kamar lu lah... Emang maunya dimana, heh?” jawab Bobby.
“Herman, lu kenal sama Marsh?” tanyaku serius pada Herman.
Herman mengernyitkan kening tak mengerti. “Mars? Planet Mars maksud lu?” candanya.
Aku menggeleng. “Bukan. Marsh itu cewek, cantik,” kataku.
“Jangan-jangan Marsh itu cewek yang tadi lu panggil-panggil waktu tidur ya?” tebak Bobby.
Aku duduk dan mengahdap mereka bertiga. “Emang tadi gue mangggil-manggil namanya waktu tidur?” tanyaku.
“Berkali-kali, udah kayak orang kesurupan aja tadi manggil-manggil nggak jelas,” jawab Bobby yang diamini Bobby dan Ben.
“Makanya cari pacar beneran, bro. Jangan Cuma pacaran di mimpi aja,” seloroh Ben kali ini. 
Argghh, jadi semua itu hanya mimpi?! Menyebalkan. Tugas dari Mr.Richard, kotak bersampul coklat, tiket ke Thailand, bertemu dengan Marsh, hingga tidur bersamanya... Oh, lupakan yang terakhir. Bahkan ketika sakit pun aku masih bisa bermimpi macam itu?! Ckckckckk...
Ketiga temanku itu terlihat puas menertawaiku tentang Marsh, perempuan cantik yang kutaksir sejak masih di bangku kuliah. Aku menerima nasib saja dengan ketidakberuntunganku kali ini. Salmonella thyposa sialan yang membuatku harus tinggal di atas tempat tidur selama seminggu terakhir dan akhirnya jadi bahan olokan mereka. Lihat saja nanti, aku yang akan balik menertawai mereka.
Tawa mereka akhirnya terhenti ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Ben beranjak untuk membukakan pintu. Seorang perempuan dengan lace dress warna putih gading dan birkin bag berwarna oranye masuk ke dalam kamarku. Tawa Ben, Herman, dan Bobby yang sedari tadi membuatku pening mendadak lenyap ketika ia datang. Mereka semua tentu heran bagaimana bisa ia datang ke kamarku, seorang lelaki gondrong yang betah menjomblo. Aku pun tak kalah kaget dengan kehadirannya. Itu Marsh!


***

Rabu, 07 Agustus 2013

Not Too Late #TheParagraph

weheartit.com


Perempuan berambut hitam dengan panjang sebahu duduk di salah satu kursi di sudut perpustakaan universitas, tengah hanyut dalam bacaannya sore itu. Cahaya matahari yang kemerahan menerpa wajahnya lewat jendela yang membuat wajahnya seolah bersinar. Kuabaikan buku yang tadi kuambil dari rak dengan label hukum. Alih-alih membacanya, mataku sibuk mengawasinya seolah takut keindahan senja akan segera berlalu tanpa kuketahui. Ia melihat jam di pergelangan tangannya dan kemudian menutup buku tebalnya. Dibawanya tas dan buku-bukunya kemudian beranjak pergi. Hatiku mencelos. Haruskah aku mengikutinya? Tidak. Aku tak mau ia mengiraku lelaki aneh atau penguntit, atau bahkan  psikopat. Ah, tapi aku tak mau kehilangan kesempatan! Tubuhku baru saja beranjak dan hendak menuju ke arahnya, tapi akhirnya terduduk kembali ketika kulihat seorang lelaki merangkulnya dengan akrab. Aku terlambat.


Kulangkahkan kakiku tak bersemangat menuju petugas perpustakaan untuk mengurus peminjaman buku untuk materi kuliahku. Petugas perpustakaan kemudian menyodorkan selembar kertas padaku setelah selesai dengan peminjaman bukunya. “Apa ini?” tanyaku tak mengerti.
“Aku tak tahu dan lebih baik kau baca saja,” jawabnya sambil kemlbali melanjutkan pekerjaannya.
Kubuka kertas itu sambil berjalan meninggalkan perpustakaan. Goresan tangan yang cantik, pujiku begitu melihatnya. Bibirku membuat sebuah senyum yang tak kusadari ketika membaca tiap kalimat yang tertulis di kertas itu.
Kau harus bergerak lebih cepat. Jangan terlalu banyak membuang waktu atau kau akan kehilangan itu untuk selamanya.
Kalau kau ada waktu, kita bisa membahas tentang apapun di perpustakaan, besok siang pukul dua belas. Ingat, jangan membuang waktumu.
_Sara_

**
Aku memandang jam tanganku dengan gelisah. Dosenku masih belum selesai memberikan kuliahnya. Ini hampir jam setengah satu siang dan aku sudah terlambat untuk bertemu dengan Sara. Aku sudah bersiap-siap untuk lari ketika akhirnya dosen di depan sana berkata kalau kuliah sudah selesai. Tak kupedulikan orang-orang melihatku dengan tatapan aneh ataupun sebal karena aku lari sepanjang lorong agar bisa lebih cepat ke perpustakaan.
Hatiku merasa lega melihat ia masih duduk disana, di kursi yang sama ketika aku melihatnya kemarin sore. Nafasku masih terengah-engah ketika sampai di kursinya. “Kamu terlambat,” ucapnya datar dengan mata yang tetepa tertuju pada buku tebal di mejanya.
“Aku minta maaf... kuliah baru selesai... dan aku...,” aku berusaha menjelaskan keadaan dengan nafas yang masih belum normal.
“It’s okay,” ujarnya memotong kalimatku. Ia melihatku ke arahku, tanpa ekspresi. Hatiku tergelitik. Ia semakin menarik bagiku meski tanpa ekspresi seperti itu.
“Aku Bara,” kataku sambil mengulurkan tanganku.
I know. Barata Yudha Wiratama, fakultas hukum semester tujuh, right?”  Hei, dia bahkan sudah tahu tentangku. Apakah ia yang sebenarnya mengamatiku?! What a surpise.
“Hampir satu kampus juga tahu itu,” katanya seakan tahu kalau aku akan menanyakan darimana ia tahu tentangku.
**
“Kamu terlambat, seperti biasa.” Sara kemudian menyesap secangkir cafe latte-nya. Kusodorkan seikat bunga mawar putih padanya. “Sorry, urusan dengan klien baru selesai,” kataku memberikan alasan keterlambatanku. Ia menerima bunga pemberianku dengan senyum yang singkat, sangat singkat
Terkadang aku merasa Sara terlalu kaku dengan kebiasaan on time itu. Bukankah pasti ada hal-hal yang tak bisa diprediksi dengan tepat. Aku sudah menjalin hubungan dengannya selama hampir dua tahun dan aku tahu ia tak pernah terlambat meskipun hanya satu menit. Meski ia kaku soal waktu, tapi aku tak pernah lelah menghadapinya dan ia pun tak jua lelah menghadapiku yang sering terlambat. Sara terlalu indah bagiku.
“Aku tidak suka membuat orang lain menunggu,” katanya sambil meletakkan cangkirnya.
“Aku tahu itu, Sara. Kau mengucapkannya tiap kali aku membuatmu menunggumu,” kataku santai.
Ia memandangku dengan serius. Aku sudah terbiasa dengan sorot matanya yang tajam dan serius, tapi aku merasakan kalau pandangan matanya kali ini menandakan ada sesuatu yang lebih serius lagi. Diam diantara kami cukup lama, hingga ia membuka suara. “Aku tidak mau membuatmu menunggu.”
Aku terkekeh. “Kau tidak pernah membuatku menunggu, malah sebaliknya aku yang sering membuatmu menunggu,” ucapku sambil meraih tangannya. “Maaf karena terlalu sering membuatmu menunggu, Sara.”
“Kita akhiri saja,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku.
“Apa maksudmu?”
“Kita akhiri hubungan ini, apa itu tidak cukup jelas?”
“Sara...,” panggilku. “Aku selalu berusaha untuk tidak terlambat, tapi terkadang ada hal-hal yang terjadi di luar dugaan dan aku tak bisa menghindarinya. Tolonglah mengerti.”
“Aku sudah berusaha untuk mengerti, tapi sepertinya aku yang terlambat menyadari kalau seharusnya kita sudah berakhir sejak dulu.”
“Aku mohon, Sara... aku akan berusaha lebih baik lagi untukmu, tak lagi terlambat untukmu, kumohon...”
Sara memandang ke luar jendela cafe. “Aku akan pergi, dan aku tidak ingin kau menungguku sampai kembali,” ucapnya.
“Kau mau pergi kemana? Kenapa aku tak boleh menunggumu?” Pertanyaan-pertanyaan itu langsung meluncur begitu ia menyelesaikan kalimatnya.
“Karena aku tidak suka membuat orang lain menunggu,” jawabnya singkat kemudian beranjak dari kursinya dan melangkah pergi meninggalkanku.
**
Paris di musim gugur.
“Kamu masih saja terlambat, Bara.”
Aku melihat arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Lima menit,” belaku. Ia tersenyum. Akhirnya aku bisa melihat senyumnya lagi setelah hampir lima tahun kami tak bertemu, bahkan bertukar sapa lewat sambungan telepon ataupun internet pun tidak sama sekali. Kami benar-benar hilang komunikasi. Hingga akhirnya aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu sudut kota Paris. Kami akhirnya setuju untuk membuat janji bertemu siang ini, dengan sedikit kupaksa tentunya.
“Arloji itu masih terlihat baik di tanganmu,” ujar Sara melirik arlojiku.
“Bukankah kamu yang bilang kalau aku akan membutuhkannya untuk mengingatkanku?” kataku.
Sara tersenyum lagi. Apakah Paris begitu hebat selama lima tahun ini, hingga mampu membuat Sara yang datar pelit ekspresi menjadi Sara yang lebih sering tersenyum? Atau ia sudah menemukan seseorang yang lebih baik dariku, yang lebih tepat waktu mungkin?
“Kamu benar. Aku memang selalu membutuhkannya untuk mengingatkanku,” kataku lagi. “Mengingatkanku pada seseorang yang menghadiahiku arloji ini.”
Kami sama-sama terbalut dalam diam masing-masing. “Aku minta maaf,” ucapku. Sara diam, menunggu kalimatku selanjutnya.
“Maaf karena aku membiarkanmu pergi dan tak mengejarmu lima tahun lalu.”
Sara tertawa kecil. “Aku tahu kamu selalu terlambat, Bara,” jawab Sara. “Lima tahun lalu aku berharap kamu akan segera mengejarku atau mencegahku pergi, bahkan berusaha lebih untuk meminta penjelasanku pun tidak. Kamu bukan hanya terlambat soal waktu, tapi juga terlambat menyadari keadaan.”
“Apa aku sudah benar-benar terlambat, Sara?” tanyaku hati-hati. Aku yakin ia pasti mengerti maksud pertanyaanku barusan. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia meraih cangkir putih di meja dan menyesap cafe latte favoritnya.
“Sara, aku... aku... lupakan saja,” kataku tak jadi melanjutkan kalimatku. Mungkin ini terlalu terburu-buru untuk kembali menyatakan perasaanku padanya. Melihatnya kembali dengan senyumnya setelah lima tahun berpisah saja sudah cukup membuatku bahagia dan memintanya kembali akan membuatku merasa tak tahu malu.
Seorang pria tinggi dengan rambut pirang menghampiri meja kami. Sara menyambutnya dengan hangat, memberikan ciuman di pipinya. Ia kemudian mengenalkanku pada pria itu.
“Bara,” ucapku sambil mengulurkan tangan pada lelaki asing di depanku.
“Aidan. Aidan Smith,” balasnya.
“He’s my husband,” ujar Sara. Aku melihat Aidan menatap Sara untuk beberapa saat yang dibalas dengan senyuman dari bibir Sara.
Hatiku mencelos. Aku benar-benar terlambat.
**
Kulihat arloji hitam pemberian Sara yang masih setia mengingatkanku. Masih ada waktu untuk mencari bunga favoritnya. Tak ingin membuang waktu lagi, segera ku kemudikan mobilku menuju toko bunga yang kuketahui dari pemilik toko bunga yang tadi kukunjungi. Beruntung masih ada bunga yang kucari. Aku pun langsung melanjutkan perjalananku menuju menara paling terkenal di kota Paris, Eiffel.
Aku menghela nafas lega ketika tahu bahwa aku tiba lima menit lebih awal. “Sara tak akan berkata ‘Kau terlambat, seperti biasa’ dengan ekspresinya yang datar itu,” kataku merasa menang. Kuedarkan pandang mencari sesosok perempuan yang selalu on time itu.
**
Darah segar mengalir dari pelipisnya. Lelaki bermata biru itu membuatku melayangkan pukulan beberapa kali ke arahnya. Aku rela bila akhirnya ia yang dipilih Sara untuk menjadi suaminya, tapi aku tak akan membiarkannya menyakiti Sara. Amarahku membuatku tak bisa menahan untuk tak menghampirinya yang tengah bersama seorang wanita dan itu tentu bukan Sara. Beberapa orang berusaha melerai kami, namun Aidan berusaha untuk mendekatiku dan mencoba menjelaskan sesuatu.
Kami akhirnya dibawa ke kantor polisi karena sudah membuat kekacauan di cafe. Beruntung masalah pemukulan itu tak diperpanjang. Aidan memanggilku ketika aku dan pengacaraku hendak meninggalkan kantor polisi.
“Bara,” panggilnya. “Aku minta maaf, tapi aku hanya ingin bilang kalau semua ini hanyalah kebohongan.”
“Kebohongan apa? Membohongi Sara tentang perselingkuhanmu?” tanyaku sambil menahan emosiku.
“Tidak. Tidak seperti itu,” jawabnya. “Aku bukan suami Sara. Kami adalah sepupu dan tentang Sara yang bilang kalau aku suaminya, itu semua hanya cara Sara untuk membuatmu berhenti menunggunya.”
“Apa maksudmu? Kenapa Sara tak ingin aku menunggunya?” tanyaku tak mengerti.
Aidan tertunduk. “Sara sakit.”
Ia kemudian pergi tanpa memberiku waktu untuk bertanya lagi. “Aidan....” teriakku memanggilnya dan ia tak menghiraukanku.
**
Lima belas menit sudah berlalu dan Sara belum juga muncul. Kucoba menghubungi ponselnya tapi tak diangkatnya, pesan singkat yang kukirim pun tak satupun dibalasnya. Pasti terjadi sesuatu padanya, karena ia tak biasanya terlambat ataupun tanpa kabar. Ia mulai membuatku cemas.
Seseorang menepuk pundakku dari arah belakang. Aku membalikkan tubuh dan mendapati perempuan dengan syal warna toska yang sangat kukenal, berdiri di depanku. Ia masih menyimpan syal pemberianku lima tahun lalu. “Sara,” ucapku pelan. Ia hanya tersenyum dengan wajah pucat dan kemudian duduk. Aku mengikutinya.
Matanya memandang lurus ke depan. “Kamu tidak terlambat, tidak seperti biasa,” ucapnya terkekeh. Aku tersenyum dan mengikuti pandangan matanya ke arah menara.
“Kamu yang bilang kalau aku tak boleh membuang waktu atau aku akan kehilangan itu untuk selamanya,” ujarku kemudian menyerahkan seikat bunga berwarna putih padanya. Ia melihatku heran.
“Tentu saja aku tak pernah lupa tentang bunga ini, warna putih dan bukan merah ataupun merah muda.”
Ia tersenyum mendengarkanku. “Sara,” panggilku. Sara mengalihkan pandangannya dari bunga ke arahku. “Aku iri dengan Paris.”
“Kenapa?” tanyanya.
“Paris begitu hebat bisa membuatmu lebih sering tersenyum sekarang, tidak seperti lima tahun lalu ketika kita masih bersama.”
Sara tertawa. Wajahnya bersinar oleh kilau lampu menara, mengingatkanku ketika matahari sore menyorotnya di perpustakaan kampus enam tahun lalu.
**
Aku bertanya kepada penjaga perpustakaan tentang lelaki yang sedari tadi mengamatiku. “Namanya Bara,” jawab penjaga perpustakaan itu.
“Barata Yudha Wiratama, semester tujuh fakultas hukum.” Seseorang menambahkan informasi sambil merangkul pundakku. Dion, kakak lelakiku.
“You know him?” tanyaku sedikit antusias.
Dion terkekeh. “Whoa, ada yang lagi jatuh cinta?” godanya. Aku menunduk malu-malu dengan wajah merah padam. Kulihat penjaga perpustakaan ikut tersenyum.
“Okay, kita bicarain ini di tempat lain, nggak boleh berisik di perpustakaan,” ajak Dion sambil merangkul pundakku dan mengajakku pergi dari perpustakaan.
“Tunggu, “ cegahku sebelum kami berjalan. Dion menunggu dengan sabar. Aku kemudian menitipkan selembar kertas yang kutulis di meja tadi sebelum menuju meja penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku. “Titip untuk lelaki itu ya,” pesanku dan wanita berkacamata itu tersenyum padaku sambil mengacungkan ibu jarinya.
Dion tertawa tertahan melihat tingkahku. Aku menyikut perutnya. “Ayo jalan,” ajakku sambil merangkul lengannya kemudian pergi meninggalkan perpustakaan dan lelaki bernama Bara, yang telah membakar hatiku hingga membuat jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat.

*****