Selasa, 26 Juni 2012

15# Mungkin (Takkan) Ada Lagi


Raja Ampat-Papua


Aku akhirnya memutuskan untuk menemuimu ke tanah Papua, di timur nusantara. Raja Ampat, tempat yang katamu indah bagai surga di dunia. Lima belas menit perjalanan dengan speedboat dari Kota Waisai ke Waiwo.
Ahh, apa yang kamu bilang padaku tentang Raja Ampat itu salah! Ini bukan hanya indah, tapi sangat-sangat indah! Tak heran kalau kamu ternyata betah dan tak ingin meninggalkan tempat seindah dan sekeren ini.
Aku nyaris tak mampu berkata-kata lagi. Hamparan laut biru yang bening bak kristal dengan airnya yang betul-betul tenang tak berombak sejauh mata memandang. Kayu-kayu jetty sebagai halte dan trotoar laut yang menjulur ke tengah perairan menjadi keanggunan pemandangan terdekat dengan darat yang tak ada di pusat kota besar lainnya di Indonesia yang pernah kukunjungi (bersamamu).
Seorang lelaki yang sudah siap dengan pakaian menyelamnya menghampiriku. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun lalu, ketika kami terakhir kali bertemu sebelum dia memutuskan ke Raja Ampat. “Hai, Rum,” sapanya untuk pertama kali setelah dua tahun lalu. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.
“Apa kabarmu?” tanyanya basa-basi dengan nada yang sedikit canggung.
“Kabarku baik, bagaimana denganmu anak laut?” tanyaku. Dia tertawa kecil mendengar panggilanku untuknya.
“Kabarku juga baik, nona fotografer,” balasnya dengan senyum mengembang dan memperlihatkan lesung pipinya.
Terdengar suara dive master memanggil namanya untuk segera bersiap-siap karena sebentar lagi para penyelam akan segera menceburkan dirinya untuk menikmati keindahan bawah laut yang tak tertandingi. Aku dan si anak laut pun segera bergabung dengan penyelam lainnya untuk menyelam.

Kami beristirahat sejenak setelah naik ke permukaan. Aku memilih untuk memisahkan diri tak jauh dari rombongan. Si anak laut yang menjadi alasan utamaku ke timur nusantara ini menghampiriku lagi. Kmai duduk bersisian di atas pasir yang bersih dan lembut.
“Gak kalah dengan Bali, Bunaken, ataupun Wakatobi, kan?” tanyanya dengan mata memandang lurus ke lautan biru.
“Ini lebih dari keren, juara!”
Dia tertawa kecil. Aku menoleh ke arahnya dan memandanginya dari sisi kirinya sampai akhirnya di tersadar sedang diperhatikan. “Kenapa ngeliatin kayak gitu?”
Aku tersenyum. “Aku Cuma lagi mikir aja, kenapa dulu kamu nggak bawa aku pergi ke tempat ini.”
Dia hanya diam memandangku.  
“Kamu tau nggak, sejak kamu menghilang tanpa kabar sampai detik ini pun aku masih sayang banget sama kamu, dan mungkin takkan ada lagi yang bisa ngisi hatiku selain kamu,” kataku setenang mungkin.
Dia mengalihkan pandangannya dariku. “Harum, kamu pun tau kalau aku nggak akan bisa bawa kamu pergi,” katanya.
Aku mengangguk kecewa. “Tapi maukah kamu pulang Desember nanti?” tanyaku.  “Sekali saja, Banyu. Untukku…”
Banyu hanya diam tak memberiku jawaban. 

 **

Sebuah kotak biru tua berpita masih tergeletak di meja kamarku sejak satu minggu lalu. Tak kusentuh sama sekali sejak perempuan yang kupangiil nona fotografer itu memberikannya padaku di resort Raja Ampat. Tanganku ragu menyentuhnya, namun kata-kata terakir Harum menggerakkan hatiku.
Selembar foto kami ketika kami masih berstatus sepasang kekasih, foto yang diambil di Bromo tiga tahun lalu. Lalu selembar foto lagi, ia yang tampak cantik dalam balutan kebaya dan aku lengkap dengan beskap Jawa, kami duduk di samping sepasang pengantin. Ibunya dan Ayahku menikah dan kami memilih untuk memutuskan hubungan kami sejak itu dan aku meninggalkan pulau Jawa menuju Papua.
Letaknya di dasar kotak, sebuah undangan pernikahan. Dia jauh-jauh mengunjungiku ke timur hanya untuk meyerahkan undangan pernikahannnya dengan lelaki yang dijodohkan dengannya ke tanganku sendiri. 

Banyu, sekali saja kembalilah ke rumah. Meski bukan demi aku, datanglah sebagai kakak untuk adikmu. Mungkin tak akan ada lagi kisah si anak laut dan nona fotografer, tapi masih ada cerita Mas Banyu dan adiknya, Harum.  





Btzrg. June 26th 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar