Jl. Braga-Bandung (West Java) |
Braga - West Java
Henry terus mengejarku sepanjang jalan yang kini bernama
Braga ini. Dia tak henti-hentinya memanggil namaku sambil terus menyuruhku berhenti. Hari sudah malam
ketika itu, dan jalanan tak terlalu ramai seperti siang hari. Tidak ada pedati
yang lewat untuk mengangkut kopi ataupun penduduk yang lalu lalang, jalanan pun
becek dan gelap. Sampai akhirnya tubuhku menabrak seseorang di sudut jalan itu.
Tubuhnya kurus dan bau dan aku mengenalinya. Namanya Saiful, tukang kebun di
rumahku.
“Saiful, kau harus menolong saya,” pintaku dengan nafas
memburu. Lelaki di depanku itu berusaha tenang.
“Tenang non, apa yang terjadi?” tanyanya.
“Henry, dia sudah membunuh keluargaku, semuaaa..” Air mataku
pun jatuh ketika menceritakannya.
Saifu dengan cepat menarik tanganku. “Sepertinya kita harus
segera pergi, non. Suara Tuan Henry sudah mulai terdengar,” ajaknya.
“Bella, dimana kamu?!”
Aku terus berlari mengikuti langkah kaki Saiful dengan
cepat. Sampai akhirnya Saiful mengajakku bersembunyi di dekat pedati yang
diparkir pemiliknya tak jauh dari Braga.
Terdengar suara sepatu mendekat. “Itu pasti Henry!”
“Ssstt, jangan keras-keras,” kata Saiful mengingatkanku. “Jangan
sampai dia menemukan kita.” Aku hanya mengangguk mengerti, keringat yang jatuh
pun bercampur air mata ketakutan.
Aku benar-benar tak menyangka kalau lelaki itu akan senekat
ini karena aku menolaknya. Ia tega membunuh Daddy, Mommy, dan Stevan kakakku.
Aku ingat ketika ia mencoba mencekikku di rumah tadi sebelu aku berhasil kabur.
Ia bilang, “Kalau aku tak bisa
memilikimu, tidak juga orang lain, Bella!”
Mata Saiful dengan awas mengamati keadaan sekitar kami.
Lelaki kurus dan tak pernah bersekolah ini, yang seringkali kuhina kini menjadi
penolongku, ia membantuku lari dari kejaran Henry yang adalah seorang
berpendidikan tinggi. Selama ini mataku telah salah menilai orang, tidak selalu
orang tak punya seperti tukang kebunku ini tak layak berkawan dengan orang
seperti keluargaku.
“Tuan Henry sudah pergi, non,” ujarnya yang membuatku
tersadar dari renunganku.
“Benarkah itu?” tanyaku dengan nada yang sedikit lebih
tenang. Saiful menganggukkan kepalanya sopan.
Aku menghela nafas lega. Lalu Saiful mengulurkan tangannya
untuk membantuku berdiri.
“Terima kasih,” ucapku sambil menerima uluran tangannya yang
kasar. Dia tersenyum dan aku merasakan ketulusan disana.
“Lalu apa rencana nona sekarang?” tanyanya dengan hati-hati.
Aku diam sejenak. “Saya punya rencana kembali ke Belanda, ke
tempat nenek saya,” jawabku. “Tapi maukah kamu membantu saya lagi?”
“Budak akan mengikuti perintah majikannya, nona.”
“Bantu saya kembali ke rumah, ada yang tertinggal dan harus
kuambil.”
“Tidakkah itu berbahaya?” tanyanya ragu.
“karena itulah saya minta bantuan kamu.”
Saiful terlihat berpikir sebelum akhirnya mengaggukkan
kepalanya tanda setuju. Lalu kami kembali menyusuri jalan Braga yang sepi
dengan mata telinga yang selalu waspada. Lalu terdengar suara tembakan
berkali-kali dari kejauhan. Saiful yang berada di sampingku roboh tak berdaya.
“Saiful..!!!” teriakku ketika melihatnya sudah terkapar di
jalan.
“Larii..!!” kata Saiful dengan sisa tenaga dan suaranya. Aku
tak mungkin meninggalkannya sendirian di Braga. Aku berusaha memapahnya.
Sementara itu Henry semakin mendekat ke arah kami. “Kamu tak
akan bisa pergi kemanapun, Bella!” teriak Henry yang kemudian meletakkan ujung
pistolnya tepat di kepalaku.
Saiful memandangku sedih tak berdaya. Aku tak bergerak.
**
Namanya Bella, seorang noni Belanda yang meninggal di salah
satu jalan yang ada di kota kembang ini. Jalan Braga yang punya kisah
tersendiri baginya, begitupun aku. Jalan dengan beberapa bangunannya yang khas
eropa ini punya kisah tersendiri bagiku dan lelaki itu, Banyu. Akhirnya ia
kembali ke kota ini untuk mengunjungi rumahku.
“Jadi lelaki di ujung jalan ini adalah Banyu kekasihmu?”
tanya Bella dengan gaun warna putih gading lengakap dengan topi khas noni
Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar