Rabu, 13 Juni 2012

2# Pagi Kuning Keemasan


Lengkuas Island-Belitong


Kubiarkan angin dingin Belitong menerpaku, membuat rambut hitam panjang yang kubiarkan terurai menari bebas. Perahu nelayan yang membawaku dan Banyu terus bergerak menuju pulau kecil di arah jam sepuluh dari Desa Tanjung Kelayang. Sebuah pulau kecil dengan luasnya sekitar satu hektar, Pulau Lengkuas namanya. Kulirik Banyu, lelaki itu begitu bersemangat sejak beberapa hari yang lalu tiba di Belitong, ia bahkan hampir tak bisa tidur untuk mempersiapkan kamera dan peralatannya untuk berburu sunrise di pulau Lengkuas. 

Sesekali ia menurunkan tangannya ke air yang masih bening. Aku bisa melihat rona bahagia di wajahnya karena akhirnya ia bisa menginjakkan kakinya di pulau yang sejak lama jadi target wisatanya, bersamaku.
Perahu yang kami tumpangi ini menepi di bibir pantai setelah menempuh perjalanan sekitar tigapuluh menit dari Tanjung Kelayang. Sepertinya kami belum terlambat untuk sunrise di pulau Lengkuas. Pagi masih gelap ketika kaki kami menyentuh pasir putih yang basah. Banyu merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi dalam-dalam. Ia terlihat sangat menikmati petualangan barunya di Belitong. 

“Well, I’m here now, Disha..,” katanya dengan suara pelan. 

Aku tersenyum mendengarnya. “Yeah, Lengkuas Island,” jawabku.
 
Banyu melangkahkan kakinya ke arah mercusuar putih yang sudah berkarat disana-sini. Mercusuar tua yang dibangun Belanda tahun 1882 itu adalah mahkota dari pulau ini yang juga landmark dari Belitong. Kulihat Banyu mengeluarkan sebuah kamera dan tripod yang sudah dipersiapkannya.
Lelaki bermata hitam itu selalu terlihat keren ketika sedang memotret. Ia mengambil beberapa gambar mercusuar produk pabrikan Chance Brother & Co itu sampai akhirnya kamera hitamnya itu mengarah ke arahku yang berdiri tepat di dekat pintu masuk mercusuar. Aku tersenyum. Banyu terdiam, menahan jarinya untuk menekan tombol dan detik berikutnya blitz dari kameranya menerpa wajahku. Ia tersenyum puas kemudian meraih tripod dan berjalan ke tempat lain. Kuikuti langkahya yang panjang dan cepat.
“Saatnya menangkap sunrise, Sha,” katanya ketika ia membetulkan letak tripod-nya.
Aku berdiri di sampingnya sambil mengamatinya yang begitu antusias. “Take the best sunrise for me,” kataku.
“Langit kuning keemasan favoritmu, Sha,” katanya dan terdengar bunyi klik dari kameranya. Lalu terdengar bunyi yang sama dari kamera hitam itu beberapa kali lagi. Banyu menjatuhkan dirinya di atas pasir putih, membiarkan tripod-nya tetap berdiri di depannya.
Ia membiarkan air laut menyentuh ujung celana jeans selututnya dengan malu-malu. Kedua tangannya menyangga tubuhnya dari belakang. Matanya memandang langit kuning keemasan itu dengan sedih. Lalu aku ikut duduk di sisinya dan menyandarkan kepalaku ke bahu kanannya.
“Sekarang kamu tahu ‘kan maksudku kalau langit pagi ketika angkasa berwarna kuning keemasan itu sepertimu?” kata Banyu dan aku hanya diam mendengarkan.
“Ia cantik dan memberiku semangat lebih untuk menghadapi pertarunganku,” lanjutnya. “Dan kamu selalu bilang semburat jingga ketika senja itu lebih menenangkan.”
Matahari sudah lebih tinggi sejak beberapa menit lalu. “Seharusnya kita bisa saling melengkapi seperti mereka.”
Banyu menghela nafas dan melanjutkan lagi kalimatnya. “Meski pagi tak kuning keemasan dan sore tak kemerahan, kamu tetaplah semangatku, Sha.”
Kututup kedua mataku, meresapi kata-katanya. Andai ia tahu kalau aku pun berharap hal yang sama dengannya. Banyu menghela nafas pendek dan mengatur perasaannya. Kuangakt kepalaku dari bahunya yang selalu nyaman.
Kulihat mata itu tak lagi sayu, ada setitik sinar matahari pagi semangatnya terpancar disana. Tapi aku tahu perjalananmu baru saja dimulai, karena bukan sunrise Pulau Lengkuas yang cantik ini tujuan akhirmu.

Banyu, biarkan langit kuning keemasan itu padamu meski langit kemerahan tak lagi menenangkanmu. aku selalu bersamamu pun meski kita telah berbeda…

Aku bangkit meninggalkan Banyu yang masih duduk di atas pasir putih yang sama. Gaun putih panjangku berkibar tertiup angin pagi. Tubuhku dengan cepat melayang di udara meninggalkan daratan Pulau Lengkuas dan mercusuarnya.







Btzrg, June 2012


5 komentar:

  1. wedew, harusnya jgn dibaca malem malem nih :o

    BalasHapus
  2. Hhihihii...
    justru paling cocok dibaca malem2 tuh..
    :)

    BalasHapus
  3. hihi.. merinding baca endingnya..
    bagus :)

    BalasHapus
  4. hehhee.. thx mbak ayu..
    btw, ceritamu di volpen itu gak dilanjutin?
    hhheee..

    BalasHapus
  5. ahaha iya nih udh lama ga buka volpen..
    konsen 15hari dulu deh ;))

    BalasHapus