Pura Besakih-Bali |
Tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Dua tahun lalu, aku
meninggalkan pulau ini dan memilih untuk menerima tawaran pekerjaan di Jakarta.
Sebenarnya bukan karena alasan pekerjaan yang menggiurkan, melainkan untuk
memulai hidupku tanpanya. Tapi sinilah aku sekarang, kembali ke tanah kelahiranku
yang juga pernah menumbuhkan kenangan tentangnya. Kenangan yang tak bisa lenyap
tanpa bersisa di memori otakku. Selalu saja mereka mencuri-curi celah untuk
menyelinap masuk ke otakku dan memutar memori tentang kita-tentangmu.
Setelah keluar dari Bandara Ngurah Rai, aku naik taksi
menuju the Mother Temple, Pura Besakih.
Tempat yang penuh kenangan bagiku, dan di tempat ini pula aku akan
mengakhirinya. Kugendong ransel yang berisi beberapa keperluanku selama di
Bali. Kakiku baru akan menginjak anak tangga pertama ketika seseorang
memanggilku. “Oka…!!”
Aku menoleh dan mencari sumber suara. Terlihat seorang
perempuan dengan kebaya dan kain khas Bali melambaikan tangannya padaku dari
kejauhan. Kurasakan jantungku kini berdetak sangat cepat tak beraturan. Ingin rasanya aku berlari
padanya dan memeluknya penuh rindu, tapi Besakih yang suci ini memaku kakiku
untuk tetap diam di tempatku berdiri
saat ini.
Utari, perempuan itu sedikit berlari ke arahku. “Oka, kenapa
tak beri kabar kalau mau datang hari ini?” tanyanya dengan wajahnya yang
berbinar. Aku hanya memaksakan sebuah senyum di bibirku menjawabnya.
“Apa kabarmu, Ka? Sudah lama sekali kamu tak pulang, Aji dan
Ibu sangat rindu padamu,” katanya lagi dengan penuh semangat. Ahh, perempuan
ini masih sama seperti dulu. Penuh semangat dan selalu ceria, yang selalu
menjadi matahariku.
“Kau mau berdoa di pura?” tanyanya dan aku hanya menjawabnya
dengan anggukan.
Dia tersenyum senang padaku. “Kalau begitu tunggu kakakmu
sebentar ya, nanti kita berdoa bersama-sama di sana, seperti dulu.” Lalu
matanya mencari-cari kakakku dia antara pengunjung pura.
Berdoa bersama-sama
seperti dulu. Aku teringat ketika masih kecil dulu, kamu yang paling
bersemangat tiap kali kita akan ke Besakih. Kamu dengan wajahmu yang manis itu,
selalu memilih untuk berada di antara aku dan kakakku. Kamu selalu bilang kalau
kamu adalah tuan putri yang selalu dijaga oleh dua pengawalnya. Aku tersenyum
ketika potongan memori tentangmu menggodaku.
“Akhirnya kamu datang, lihat siapa yang bersamaku,” ucapan
Utari barusan membuyarkan pikiranku. Lelaki yang ditunggunya sudah ada di
sampingnya kini. Aku melihat lengan Utari merangkul lengannya.
“Oka..,” panggil lelaki itu dengan nada yang sedikit
canggung.
**
Mataku dengan awas mengamati suasana di depan kompleks Besakih
yang tidak terlalu ramai hari ini. Tiga jam lalu aku baru turun dari pesawat
dan langsung menuju pura yang disebut The Mother Temple, Pura Besakih. Semua
peralatanku sudah dalam keadaan siap, begitupun aku. Pekerjaan ini sudah biasa
bagiku, dan bekerja dalam keadaan ramai pun adalah keahlianku. Lelaki itu tidak
salah sudah membayarku untuk melakukan pekerjaan ini.
Sesuai intruksi yang diberikannya beberapa jam yang lalu,
perempuan Bali itu muncul dan menghampirinya, mengobrol cukup lama. Aku masih
menunggu target utamanya. Lelaki berbaju putih dan kain khas Bali muncul
menghampiri mereka.
Aku meraih senjata api yang kusimpan di balik jaket kulit
coklatku lalu menarik pelatuk dan mengarahkanny pada lelaki itu.
DOORRR…!!
Sebuah peluru dengan sukses menembus tubuh lelaki itu. Besakih
gempar dan beberapa orang panik. Tapi tunggu dulu, itu bukan targetku!
Aku harus segera meninggalkan tempat ini!
**
Amarah yang memenuhi mataku mendadak mencair melihat mata
yang berkaca-kaca di hadapanku. Aku rindu dan sungguh-sungguh rindu padanya,
kakak lelakiku . Aku sangat tahu seseorang sedang mengincarnya dari jauh yang
selalu siap menngirimkan peluru ke tubuh kakakku.
Aku melihat mata Utari yang menatap penuh cinta padanya.
Rasanya aku akan menjadi lelaki paling jahat jika menyakiti matahariku, Utari.
Sinar di mata Utari menggerakkan hatiku untuk meraih tubuh kakakku dan
memeluknya erat, menghalangi peluru yang beberapa detik lagi akan menembus tubuhnya. Meski aku tahu
dialah yang telah membuat hidupku merapuh sejak ia mengutarakan padaku kalau ia
mencintai Utari, perempuan yang juga kucintai. Membuatku tersingkir dan akhirnya
memilih pergi.
“Aku sangat rindu
padamu. Jaga Utari, Bli” bisikku dengan sisa nafasku.
Aku merasakan pelukannya mengencang dan sesuatu yang hangat
mengalir di tubuhku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar