Sabtu, 23 Juni 2012

12# Memori Tentangmu

Pura Besakih-Bali



Tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Dua tahun lalu, aku meninggalkan pulau ini dan memilih untuk menerima tawaran pekerjaan di Jakarta. Sebenarnya bukan karena alasan pekerjaan yang menggiurkan, melainkan untuk memulai hidupku tanpanya. Tapi sinilah aku sekarang, kembali ke tanah kelahiranku yang juga pernah menumbuhkan kenangan tentangnya. Kenangan yang tak bisa lenyap tanpa bersisa di memori otakku. Selalu saja mereka mencuri-curi celah untuk menyelinap masuk ke otakku dan memutar memori tentang kita-tentangmu.
Setelah keluar dari Bandara Ngurah Rai, aku naik taksi menuju the Mother Temple, Pura Besakih. Tempat yang penuh kenangan bagiku, dan di tempat ini pula aku akan mengakhirinya. Kugendong ransel yang berisi beberapa keperluanku selama di Bali. Kakiku baru akan menginjak anak tangga pertama ketika seseorang memanggilku. “Oka…!!”
Aku menoleh dan mencari sumber suara. Terlihat seorang perempuan dengan kebaya dan kain khas Bali melambaikan tangannya padaku dari kejauhan. Kurasakan jantungku kini berdetak sangat cepat  tak beraturan. Ingin rasanya aku berlari padanya dan memeluknya penuh rindu, tapi Besakih yang suci ini memaku kakiku untuk tetap diam di tempatku berdiri  saat ini.
Utari, perempuan itu sedikit berlari ke arahku. “Oka, kenapa tak beri kabar kalau mau datang hari ini?” tanyanya dengan wajahnya yang berbinar. Aku hanya memaksakan sebuah senyum di bibirku menjawabnya.
“Apa kabarmu, Ka? Sudah lama sekali kamu tak pulang, Aji dan Ibu sangat rindu padamu,” katanya lagi dengan penuh semangat. Ahh, perempuan ini masih sama seperti dulu. Penuh semangat dan selalu ceria, yang selalu menjadi matahariku.
“Kau mau berdoa di pura?” tanyanya dan aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Dia tersenyum senang padaku. “Kalau begitu tunggu kakakmu sebentar ya, nanti kita berdoa bersama-sama di sana, seperti dulu.” Lalu matanya mencari-cari kakakku dia antara pengunjung pura.
Berdoa bersama-sama seperti dulu. Aku teringat ketika masih kecil dulu, kamu yang paling bersemangat tiap kali kita akan ke Besakih. Kamu dengan wajahmu yang manis itu, selalu memilih untuk berada di antara aku dan kakakku. Kamu selalu bilang kalau kamu adalah tuan putri yang selalu dijaga oleh dua pengawalnya. Aku tersenyum ketika potongan memori tentangmu menggodaku.
“Akhirnya kamu datang, lihat siapa yang bersamaku,” ucapan Utari barusan membuyarkan pikiranku. Lelaki yang ditunggunya sudah ada di sampingnya kini. Aku melihat lengan Utari merangkul lengannya.
“Oka..,” panggil lelaki itu dengan nada yang sedikit canggung.
**
Mataku dengan awas mengamati suasana di depan kompleks Besakih yang tidak terlalu ramai hari ini. Tiga jam lalu aku baru turun dari pesawat dan langsung menuju pura yang disebut The Mother Temple, Pura Besakih. Semua peralatanku sudah dalam keadaan siap, begitupun aku. Pekerjaan ini sudah biasa bagiku, dan bekerja dalam keadaan ramai pun adalah keahlianku. Lelaki itu tidak salah sudah membayarku untuk melakukan pekerjaan ini.
Sesuai intruksi yang diberikannya beberapa jam yang lalu, perempuan Bali itu muncul dan menghampirinya, mengobrol cukup lama. Aku masih menunggu target utamanya. Lelaki berbaju putih dan kain khas Bali muncul menghampiri mereka.
Aku meraih senjata api yang kusimpan di balik jaket kulit coklatku lalu menarik pelatuk dan mengarahkanny pada lelaki itu.
DOORRR…!!
Sebuah peluru dengan sukses menembus tubuh lelaki itu. Besakih gempar dan beberapa orang panik. Tapi tunggu dulu, itu bukan targetku!
Aku harus segera meninggalkan tempat ini!

**

Amarah yang memenuhi mataku mendadak mencair melihat mata yang berkaca-kaca di hadapanku. Aku rindu dan sungguh-sungguh rindu padanya, kakak lelakiku . Aku sangat tahu seseorang sedang mengincarnya dari jauh yang selalu siap menngirimkan peluru ke tubuh kakakku.
Aku melihat mata Utari yang menatap penuh cinta padanya. Rasanya aku akan menjadi lelaki paling jahat jika menyakiti matahariku, Utari. Sinar di mata Utari menggerakkan hatiku untuk meraih tubuh kakakku dan memeluknya erat, menghalangi peluru yang beberapa detik  lagi akan menembus tubuhnya. Meski aku tahu dialah yang telah membuat hidupku merapuh sejak ia mengutarakan padaku kalau ia mencintai Utari, perempuan yang juga kucintai. Membuatku tersingkir dan akhirnya memilih pergi.
 “Aku sangat rindu padamu. Jaga Utari, Bli” bisikku dengan sisa nafasku.
Aku merasakan pelukannya mengencang dan sesuatu yang hangat mengalir di tubuhku.
***






Btzrg, June 23rd 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar