Air Terjun Benang Kelambu-Lombok Tengah |
Mereka selalu bilang kalau kesabaran itu selalu berbatas.
Tapi kesabaranku untukmu masih belum menemukan ujungnya. Aku masih dengan rasa
sabarku menunggumu dan memelihara rindu ini. Selalu berharap bisa menemukanmu
di tempat ini, Air Terjun Benang Kelambu yang tersembunyi dengan segala keindahnnya
di Lombok Tengah yang tak banyak terjamah.
Disinilah aku hari ini, di tempat yang sama seperti satu
tahun setelah pertemuan kita yang singkat, terlalu singkat bahkan. Jangankan bisa
saling mengetahui nama, sekedar menyapa pun tidak. Tepatnya aku yang tak
menggunakan kesempatan untuk menyapamu karena aku terlalu takut. Aku takut
mengusikmu yang begitu menikmati suasana air terjun sambil bermain-main air dengan
beberapa teman-temanmu. Takut tak lagi bisa menikmati kecantikanmu yang begitu
menyihirku hingga ku hanya memaku memandangimu dari kejauhan. Percikan air yang
mengalir dengan cantik diantara tumbuhan hijau merambat itu seakan ikut
memercikkan sesuatu jauh ke dalam hatiku.
Sejak saat itu hingga detik ini, aku masih tak bisa
menamainya. Aku hanya selalu merasa ingin selalu kembali ke tempat ini, lagi
dan lagi. Jatuh cinta. Ya, rasanya aku sudah jatuh cinta pada tempat ini,
tempat yang selalu membuatku rindu seperti merindukanmu.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Mereka terus bergulir
dan meninggalkanku dengan rindu yang tumbuh makin subur, seperti aliran dari
Rinjani yang membasahi kakiku. Langit mulai gelpa dan jarum di arlojiku pun sudah
menuju angka enam. Aku harus pergi dan membawa pulang lagi rinduku.
“Samudra…” Kakiku baru berdiri dengan sempurna di atas batu
besar yang tadi ku duduki ketika terdengar seseorang menyebut namaku. Aku tak
yakin dengan suara tadi, mungkin hanya salah dengar.
Aku kemudian nyaris terpleset menuruni batu dan bersiap
untuk berjalan meninggalkan air terjun benang kelambu, namun suara yang sama
memanggil namaku lagi. Aku berhenti dan
mengedarkan pandanganku mencari sumber suara namun tak kudapati seorangpun dan
tempat ini mulai sepi. Dan seseorang tiba-tiba sudah muncul di depan mataku
ketika aku berbalik. Dia, perempuan yang kurindukan sejak setahun lalu.
Lagi-lagi aku hanya bisa terpaku dengan bibir seakan
terkunci. Wajah bercahaya di depanku makin melumpuhkanku dengan senyum yang
tercipta di bibirnya. “Samudra…”
Tangannya dengan lembut meraih tanganku dan mengajakku
berjalan. “Mau kemana kita?” tanyaku ketika aku mulai merasa kalau kakiku dan
kakiknya tak lagi menyentuh daratan. Terbang, kami sedang terbang!
Tangannya mengibaskan selendang sutera ungunya ke arah rinai
air terjun. Aku terperanjat ketika air itu aliran air itu terbelah dua seperti
kelambu yang dibuka.
“Muara rindumu yang tanpa batas itu kini di depan matamu,”
katanya. Lalu pandanganku menjadi gelap dan kepalaku mulai terasa berat.
Aroma minyak kayu putih yang begitu kuat menusuk hidungku.
Dengan kepala yang terasa berat, aku memaksa membuka kedua mataku. Beberapa
orang berada di sampingku. Mereka bilang kalau aku terjatuh di dekat bebatuan
tadi.
“Udah sadar? Ini minum dulu,” ucap seseorang yang suaranya tak
asing rasanya di telingaku.
Sebotol air mineral disodorkan padaku. Aku mendongak dan
mendapati wajah yang sama yang mengajakku terbang dan membelah benang kelambu
beberapa menit lalu. Ahh, sepertinya aku masih belum benar-benar terbangun dari
tidurku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar