Raja Ampat-Papua |
Aku akhirnya memutuskan untuk menemuimu ke tanah Papua, di
timur nusantara. Raja Ampat, tempat yang katamu indah bagai surga di dunia. Lima
belas menit perjalanan dengan speedboat dari
Kota Waisai ke Waiwo.
Ahh, apa yang kamu
bilang padaku tentang Raja Ampat itu salah! Ini bukan hanya indah, tapi
sangat-sangat indah! Tak heran kalau kamu ternyata betah dan tak ingin
meninggalkan tempat seindah dan sekeren ini.
Aku nyaris tak mampu berkata-kata lagi. Hamparan laut biru
yang bening bak kristal dengan airnya yang betul-betul tenang tak berombak sejauh
mata memandang. Kayu-kayu jetty sebagai
halte dan trotoar laut yang menjulur ke tengah perairan menjadi keanggunan
pemandangan terdekat dengan darat yang tak ada di pusat kota besar lainnya di
Indonesia yang pernah kukunjungi (bersamamu).
Seorang lelaki yang sudah siap dengan pakaian menyelamnya
menghampiriku. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun lalu,
ketika kami terakhir kali bertemu sebelum dia memutuskan ke Raja Ampat. “Hai,
Rum,” sapanya untuk pertama kali setelah dua tahun lalu. Aku tersenyum dan
membalas sapaannya.
“Apa kabarmu?” tanyanya basa-basi dengan nada yang sedikit
canggung.
“Kabarku baik, bagaimana denganmu anak laut?” tanyaku. Dia
tertawa kecil mendengar panggilanku untuknya.
“Kabarku juga baik, nona fotografer,” balasnya dengan senyum
mengembang dan memperlihatkan lesung pipinya.
Terdengar suara dive
master memanggil namanya untuk segera bersiap-siap karena sebentar lagi
para penyelam akan segera menceburkan dirinya untuk menikmati keindahan bawah
laut yang tak tertandingi. Aku dan si anak laut pun segera bergabung dengan
penyelam lainnya untuk menyelam.
Kami beristirahat sejenak setelah naik ke permukaan. Aku
memilih untuk memisahkan diri tak jauh dari rombongan. Si anak laut yang
menjadi alasan utamaku ke timur nusantara ini menghampiriku lagi. Kmai duduk
bersisian di atas pasir yang bersih dan lembut.
“Gak kalah dengan Bali, Bunaken, ataupun Wakatobi, kan?”
tanyanya dengan mata memandang lurus ke lautan biru.
“Ini lebih dari keren, juara!”
Dia tertawa kecil. Aku menoleh ke arahnya dan memandanginya
dari sisi kirinya sampai akhirnya di tersadar sedang diperhatikan. “Kenapa
ngeliatin kayak gitu?”
Aku tersenyum. “Aku Cuma lagi mikir aja, kenapa dulu kamu
nggak bawa aku pergi ke tempat ini.”
Dia hanya diam memandangku.
“Kamu tau nggak, sejak kamu menghilang tanpa kabar sampai
detik ini pun aku masih sayang banget sama kamu, dan mungkin takkan ada lagi
yang bisa ngisi hatiku selain kamu,” kataku setenang mungkin.
Dia mengalihkan pandangannya dariku. “Harum, kamu pun tau
kalau aku nggak akan bisa bawa kamu pergi,” katanya.
Aku mengangguk kecewa. “Tapi maukah kamu pulang Desember
nanti?” tanyaku. “Sekali saja, Banyu.
Untukku…”
Banyu hanya diam tak memberiku jawaban.
**
Sebuah kotak biru tua berpita masih tergeletak di meja
kamarku sejak satu minggu lalu. Tak kusentuh sama sekali sejak perempuan yang
kupangiil nona fotografer itu memberikannya padaku di resort Raja Ampat.
Tanganku ragu menyentuhnya, namun kata-kata terakir Harum menggerakkan hatiku.
Selembar foto kami ketika kami masih berstatus sepasang
kekasih, foto yang diambil di Bromo tiga tahun lalu. Lalu selembar foto lagi,
ia yang tampak cantik dalam balutan kebaya dan aku lengkap dengan beskap Jawa,
kami duduk di samping sepasang pengantin. Ibunya dan Ayahku menikah dan kami
memilih untuk memutuskan hubungan kami sejak itu dan aku meninggalkan pulau
Jawa menuju Papua.
Letaknya di dasar kotak, sebuah undangan pernikahan. Dia
jauh-jauh mengunjungiku ke timur hanya untuk meyerahkan undangan pernikahannnya
dengan lelaki yang dijodohkan dengannya ke tanganku sendiri.
Banyu, sekali saja
kembalilah ke rumah. Meski bukan demi aku, datanglah sebagai kakak untuk
adikmu. Mungkin tak akan ada lagi kisah si anak laut dan nona fotografer, tapi
masih ada cerita Mas Banyu dan adiknya, Harum.
Btzrg. June 26th 2012