Selasa, 26 Juni 2012

15# Mungkin (Takkan) Ada Lagi


Raja Ampat-Papua


Aku akhirnya memutuskan untuk menemuimu ke tanah Papua, di timur nusantara. Raja Ampat, tempat yang katamu indah bagai surga di dunia. Lima belas menit perjalanan dengan speedboat dari Kota Waisai ke Waiwo.
Ahh, apa yang kamu bilang padaku tentang Raja Ampat itu salah! Ini bukan hanya indah, tapi sangat-sangat indah! Tak heran kalau kamu ternyata betah dan tak ingin meninggalkan tempat seindah dan sekeren ini.
Aku nyaris tak mampu berkata-kata lagi. Hamparan laut biru yang bening bak kristal dengan airnya yang betul-betul tenang tak berombak sejauh mata memandang. Kayu-kayu jetty sebagai halte dan trotoar laut yang menjulur ke tengah perairan menjadi keanggunan pemandangan terdekat dengan darat yang tak ada di pusat kota besar lainnya di Indonesia yang pernah kukunjungi (bersamamu).
Seorang lelaki yang sudah siap dengan pakaian menyelamnya menghampiriku. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun lalu, ketika kami terakhir kali bertemu sebelum dia memutuskan ke Raja Ampat. “Hai, Rum,” sapanya untuk pertama kali setelah dua tahun lalu. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.
“Apa kabarmu?” tanyanya basa-basi dengan nada yang sedikit canggung.
“Kabarku baik, bagaimana denganmu anak laut?” tanyaku. Dia tertawa kecil mendengar panggilanku untuknya.
“Kabarku juga baik, nona fotografer,” balasnya dengan senyum mengembang dan memperlihatkan lesung pipinya.
Terdengar suara dive master memanggil namanya untuk segera bersiap-siap karena sebentar lagi para penyelam akan segera menceburkan dirinya untuk menikmati keindahan bawah laut yang tak tertandingi. Aku dan si anak laut pun segera bergabung dengan penyelam lainnya untuk menyelam.

Kami beristirahat sejenak setelah naik ke permukaan. Aku memilih untuk memisahkan diri tak jauh dari rombongan. Si anak laut yang menjadi alasan utamaku ke timur nusantara ini menghampiriku lagi. Kmai duduk bersisian di atas pasir yang bersih dan lembut.
“Gak kalah dengan Bali, Bunaken, ataupun Wakatobi, kan?” tanyanya dengan mata memandang lurus ke lautan biru.
“Ini lebih dari keren, juara!”
Dia tertawa kecil. Aku menoleh ke arahnya dan memandanginya dari sisi kirinya sampai akhirnya di tersadar sedang diperhatikan. “Kenapa ngeliatin kayak gitu?”
Aku tersenyum. “Aku Cuma lagi mikir aja, kenapa dulu kamu nggak bawa aku pergi ke tempat ini.”
Dia hanya diam memandangku.  
“Kamu tau nggak, sejak kamu menghilang tanpa kabar sampai detik ini pun aku masih sayang banget sama kamu, dan mungkin takkan ada lagi yang bisa ngisi hatiku selain kamu,” kataku setenang mungkin.
Dia mengalihkan pandangannya dariku. “Harum, kamu pun tau kalau aku nggak akan bisa bawa kamu pergi,” katanya.
Aku mengangguk kecewa. “Tapi maukah kamu pulang Desember nanti?” tanyaku.  “Sekali saja, Banyu. Untukku…”
Banyu hanya diam tak memberiku jawaban. 

 **

Sebuah kotak biru tua berpita masih tergeletak di meja kamarku sejak satu minggu lalu. Tak kusentuh sama sekali sejak perempuan yang kupangiil nona fotografer itu memberikannya padaku di resort Raja Ampat. Tanganku ragu menyentuhnya, namun kata-kata terakir Harum menggerakkan hatiku.
Selembar foto kami ketika kami masih berstatus sepasang kekasih, foto yang diambil di Bromo tiga tahun lalu. Lalu selembar foto lagi, ia yang tampak cantik dalam balutan kebaya dan aku lengkap dengan beskap Jawa, kami duduk di samping sepasang pengantin. Ibunya dan Ayahku menikah dan kami memilih untuk memutuskan hubungan kami sejak itu dan aku meninggalkan pulau Jawa menuju Papua.
Letaknya di dasar kotak, sebuah undangan pernikahan. Dia jauh-jauh mengunjungiku ke timur hanya untuk meyerahkan undangan pernikahannnya dengan lelaki yang dijodohkan dengannya ke tanganku sendiri. 

Banyu, sekali saja kembalilah ke rumah. Meski bukan demi aku, datanglah sebagai kakak untuk adikmu. Mungkin tak akan ada lagi kisah si anak laut dan nona fotografer, tapi masih ada cerita Mas Banyu dan adiknya, Harum.  





Btzrg. June 26th 2012

Sabtu, 23 Juni 2012

12# Memori Tentangmu

Pura Besakih-Bali



Tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Dua tahun lalu, aku meninggalkan pulau ini dan memilih untuk menerima tawaran pekerjaan di Jakarta. Sebenarnya bukan karena alasan pekerjaan yang menggiurkan, melainkan untuk memulai hidupku tanpanya. Tapi sinilah aku sekarang, kembali ke tanah kelahiranku yang juga pernah menumbuhkan kenangan tentangnya. Kenangan yang tak bisa lenyap tanpa bersisa di memori otakku. Selalu saja mereka mencuri-curi celah untuk menyelinap masuk ke otakku dan memutar memori tentang kita-tentangmu.
Setelah keluar dari Bandara Ngurah Rai, aku naik taksi menuju the Mother Temple, Pura Besakih. Tempat yang penuh kenangan bagiku, dan di tempat ini pula aku akan mengakhirinya. Kugendong ransel yang berisi beberapa keperluanku selama di Bali. Kakiku baru akan menginjak anak tangga pertama ketika seseorang memanggilku. “Oka…!!”
Aku menoleh dan mencari sumber suara. Terlihat seorang perempuan dengan kebaya dan kain khas Bali melambaikan tangannya padaku dari kejauhan. Kurasakan jantungku kini berdetak sangat cepat  tak beraturan. Ingin rasanya aku berlari padanya dan memeluknya penuh rindu, tapi Besakih yang suci ini memaku kakiku untuk tetap diam di tempatku berdiri  saat ini.
Utari, perempuan itu sedikit berlari ke arahku. “Oka, kenapa tak beri kabar kalau mau datang hari ini?” tanyanya dengan wajahnya yang berbinar. Aku hanya memaksakan sebuah senyum di bibirku menjawabnya.
“Apa kabarmu, Ka? Sudah lama sekali kamu tak pulang, Aji dan Ibu sangat rindu padamu,” katanya lagi dengan penuh semangat. Ahh, perempuan ini masih sama seperti dulu. Penuh semangat dan selalu ceria, yang selalu menjadi matahariku.
“Kau mau berdoa di pura?” tanyanya dan aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Dia tersenyum senang padaku. “Kalau begitu tunggu kakakmu sebentar ya, nanti kita berdoa bersama-sama di sana, seperti dulu.” Lalu matanya mencari-cari kakakku dia antara pengunjung pura.
Berdoa bersama-sama seperti dulu. Aku teringat ketika masih kecil dulu, kamu yang paling bersemangat tiap kali kita akan ke Besakih. Kamu dengan wajahmu yang manis itu, selalu memilih untuk berada di antara aku dan kakakku. Kamu selalu bilang kalau kamu adalah tuan putri yang selalu dijaga oleh dua pengawalnya. Aku tersenyum ketika potongan memori tentangmu menggodaku.
“Akhirnya kamu datang, lihat siapa yang bersamaku,” ucapan Utari barusan membuyarkan pikiranku. Lelaki yang ditunggunya sudah ada di sampingnya kini. Aku melihat lengan Utari merangkul lengannya.
“Oka..,” panggil lelaki itu dengan nada yang sedikit canggung.
**
Mataku dengan awas mengamati suasana di depan kompleks Besakih yang tidak terlalu ramai hari ini. Tiga jam lalu aku baru turun dari pesawat dan langsung menuju pura yang disebut The Mother Temple, Pura Besakih. Semua peralatanku sudah dalam keadaan siap, begitupun aku. Pekerjaan ini sudah biasa bagiku, dan bekerja dalam keadaan ramai pun adalah keahlianku. Lelaki itu tidak salah sudah membayarku untuk melakukan pekerjaan ini.
Sesuai intruksi yang diberikannya beberapa jam yang lalu, perempuan Bali itu muncul dan menghampirinya, mengobrol cukup lama. Aku masih menunggu target utamanya. Lelaki berbaju putih dan kain khas Bali muncul menghampiri mereka.
Aku meraih senjata api yang kusimpan di balik jaket kulit coklatku lalu menarik pelatuk dan mengarahkanny pada lelaki itu.
DOORRR…!!
Sebuah peluru dengan sukses menembus tubuh lelaki itu. Besakih gempar dan beberapa orang panik. Tapi tunggu dulu, itu bukan targetku!
Aku harus segera meninggalkan tempat ini!

**

Amarah yang memenuhi mataku mendadak mencair melihat mata yang berkaca-kaca di hadapanku. Aku rindu dan sungguh-sungguh rindu padanya, kakak lelakiku . Aku sangat tahu seseorang sedang mengincarnya dari jauh yang selalu siap menngirimkan peluru ke tubuh kakakku.
Aku melihat mata Utari yang menatap penuh cinta padanya. Rasanya aku akan menjadi lelaki paling jahat jika menyakiti matahariku, Utari. Sinar di mata Utari menggerakkan hatiku untuk meraih tubuh kakakku dan memeluknya erat, menghalangi peluru yang beberapa detik  lagi akan menembus tubuhnya. Meski aku tahu dialah yang telah membuat hidupku merapuh sejak ia mengutarakan padaku kalau ia mencintai Utari, perempuan yang juga kucintai. Membuatku tersingkir dan akhirnya memilih pergi.
 “Aku sangat rindu padamu. Jaga Utari, Bli” bisikku dengan sisa nafasku.
Aku merasakan pelukannya mengencang dan sesuatu yang hangat mengalir di tubuhku.
***






Btzrg, June 23rd 2012

Selasa, 19 Juni 2012

8# Ramai



Jl. Malioboro-Yogyakarta


Kulepas earphone-ku yang menyuarakan lagu a twist in my story milik Secondhand Serenade dari i-pod ku karena aku lebih tertarik mendengarkan suara musisi jalanan yang sedang menyanyikan lagu Yogyakarta ketika aku lewat di dekat Pasar Beringharjo. Aku berhenti sejenak, menikmati suguhan musik mereka yang menggunakan alat-alat musik tradisional dan bagiku itu keren,  sambil aku mengambil beberapa gambar dengan kameraku.
Yogyakarta, disinilah aku sekarang. Kembali ke kota yang selalu membuatku rindu pulang. Siang ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati Yogyakarta-ku tercinta. Kota ini tak banyak berubah sejak beberapa tahun aku pergi merantau ke kota hujan di selatan ibukota. Setelah selesai menyusuri pasar Beringharjo, aku melangkahkan kakiku menyebrang jalan menuju arcade sepanjang Malioboro yang selalu ramai.
Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya sepanjang arcade. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu, juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Aku berjalan dengan tenang menikmati ramainya Malioboro dan tetap sesekali memotret.
Kakiku berhenti dan melihat-lihat di salah satu pedagang yang menjual miniature dari kayu. Terdengar suara yang pernah kukenal sebelumnya, namun aku ragu menebaknya. Kubalikkan badanku dan mendapati seorang perempuan yang kutahu pasti bukan dari tanah Jawa. Dialeknya dan cara dia bicara.. Ahh, aku lupa! Aku memejamkan mataku dan berusaha mengingat-ingat lagi siapa pemilik suara yang ada di seberangku ini.
Awas agek ado Antu Banyu….
“Jingga!” seruku sambil membuka mata. Senyum yang satu detik lalu merekah di bibirku pun lenyap begitu tahu perempuan yang kukenal di ujung senja itu pun lenyap dari pandanganku. Kuedarkan pandanganku mencarinya. Hanya punggung-punggung dan wajah tak kukenal yang muncul sepanjang pandanganku. Kuputuskan menyusuri arcade untuk mengejarnya, dan aku memilih ke arah Vredeburg.
Kaus hijau dan celana pendek coklat, hanya itu yang kuingat sebagai petunjukku. Ahh, Malioboro ini terlalu ramai dan padat, bagaimana aku bisa menemukannya?! Tapi aku belum akan berhenti sampai ujung Malioboro, bahkan kalau perlu aku akan menyusuri lagi arah sebaliknya.
“Jingga, akhirnya kita bisa bertemu lagi,” kataku dalam hati.
Sebelumnya aku belum bisa menggantikan Disha sampai akhirnya Jingga yang kutemui di ujung Senja di tepian Musi satu tahun lalu lah yang membuatku jatuh hati lagi. Sekilas aku melihat perempuan mirip Jingga masuk menyebrang dan masuk ke Beringharjo. Tanpa pikir panjang pun aku segera mengikutinya masuk pasar. Ahh, tapi sialnya aku kehilangan jejaknya karena Beringharjo pun sama ramainya dengan Malioboro.
“Permisi,” kata seseorang . Aku pun menyingkir dan memberi jalan pada orang di belakangku. Beberapa orang yang salah satuya berkaus hijau dan bercelana coklat. Wajahku yang tadi sempat lesu karena putus asa pun kembali cerah.
“Jingga!” panggilku dan perempuan itu benar-benar menoleh. Ia berhenti dan aku menghampirinya.  
“Siapa ya?” tanyanya bingung.
“Banyu, satu tahun lalu di sungai Musi, sudah lupa ya?”
Ia nampak berpikir.  “Ah ya, antu banyu itu kah?”
Aku mengangguk dengan semangat. “Tapi Banyu di depanmu ini bukan antu ya.”
Dia dan teman-temannya tertawa. “Apa kabar? Sedang liburan disini kah?” tanyanya.
“Liburan sekalian pulang kampung, kau liburan juga?” tanyaku.
“Oh ya, aku liburan dengan teman-temanku,” katanya lalu mengenalkanku pada tiga orang di sampingnya.
“Ini temanku Isha dan Doni, lalu yang di sampingku ini Fahmi, tunanganku,” katanya lagi. Aku tersenyum dan menyalami mereka satu persatu.
Tunggu dulu,  siapa orang yang terakhir dia kenalkan tadi? Tunangan?
Aku melongo tak percaya. Tak terdengar suara keramaian di telingaku.  Kemudian seseorang menepuk pundakku.
“Mas, mas,” panggilnya. Aku pun tersadar dan membuka mataku. “Sampun tekan Jogja, mas,” katanya lagi. 





Btzrg, June 19th 2012



Note: ff ini ngebut, ga direncanakan, ga mateng.. 
ahh.. pulang kerja langsung cpet2 ngetik sebelum ngampus..!
dan ga bagus kayak yang lain.. :(

Minggu, 17 Juni 2012

7# Biru, Jatuh Hati


Pangandaran Beach


Biru, aku jatuh hati. 
Mungkin kata-kata itulah yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Kupejamkan mata dan kurentangkan kedua tanganku dan menikmati angin yang dengan bebas memainkan rambutku yang panjang tergerai. Kurasakan seseorang di belakangku memegangi kedua tanganku seperti adegan Jack dan Rose di anjungan kapal Titanic. Aku yang kaget langsung membuka mata dan menurunkan tanganku lalu berbalik menghadap lelaki berkacamata hitam di depanku kini.
“Huh, gak lucu tauukk..!!” teriakku kesal.
Lelaki di depanku tertawa sambil melepas kacamata hitamnya. “Lagian siapa yang bilang lucu coba? Yang barusan itu emang gak lucu tapi romantis,” jawabnya.
“Idih, romantis darimana coba? Ngarang aja kamu!”
“Kan mirip Jack sama Rose di titanic,” katanya lagi.
“Tapi kita ini bukan Jack dan Rose di film itu, Banyu…,” balasku kesal. “Dan kita gak perlu seperti mereka, karena kita…” Kalimatku belum selesai keluar karena Banyu meletakkan telunjuknya di depan bibirku. Aku diam. Dia mengusap rambutku yang tak beraturan tertiup angin Pangandaran. “Iya, iya.. kita emang bukan mereka,” jawabnya sabar. “Dan kita bisa romantis dengan cara kita sendiri, itu kan yang mau kamu bilang?”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Banyu sepertinya sudah hafal betul dengan kalimat yang sering kuucapkan ketika ia mencoba untuk romantis seperti orang lain.
Banyu kemudian mengajakku duduk di tempat yang agak teduh tak jauh dari bibir pantai. Kami duduk bersisian di atas pasir. “Jadi apa jawabanmu, Sha?” tanyanya tanpa melihatku. Aku menoleh dan melihatnya sedang memandang lurus ke lautan biru di depan kami.
“Jawaban tentang apa?” tanyaku.
“Tentang yang kuungkapkan di konser Jakarta dua bulan lalu,” jawabnya masih tak melihatku.
Aku sebenarnya ingat betul dengan apa yang dilakukannya setelah kami selesai menonton konser Secondhand Serenade di Tennis Indoor Senayan, April lalu. Ia melamarku dan itu bukan kali pertama ia melakukannya. Kita sudah berteman sejak masih berseragam putih abu dan kami punya banyak hal yang sama-sama kita sukai, salah satunya band indie yang kita tonton konsernya April lalu yang akhirnya membuat kita makin dekat. Masa pacaran kami pun sudah cukup lama, umur kamipun bertambah tua. Tapi bagiku menikah itu bukan soal usia, melainkan menemukan orang yang benar-benar tepat.
Kami masih saling diam. Banyu pun masih memandang lautan biru itu dengan tenang. Cukup lama kebisuan ini membalut kebersamaan kami sampai akhirnya Banyu bersuara. Ia tidak menagih jawabanku, melainkan menyanyikan lagu yang sudah kukenal. Aku tersenyum lalu ikut bernyanyi bersamanya.

Slow down, the world isn't watching us break down
It's safe to say we are alone now, we're alone now
Not a whisper, the only noise is the receiver
I'm counting the seconds until you break the silence
So please just break the silence

The whispers turn to shouting
The shouting turns to tears
Your tears turn into laughter
And it takes away our fears

So you see, this world doesn't matter to me
I'll give up all I had just to breathe
The same air as you till the day that I die
I can't take my eyes off of you…

Banyu menghentikan lagunya. “Aku gak akan maksa kamu, Sha,” katanya.
“Banyu,” panggilku. Ia menoleh padaku, matanya yang hitam dan teduh itu memandangku dengan penuh kelembutan.
“Kau tahu kan apa yang sudah membuatku jatuh hati?”
“Laut, kamu selalu bilang kalau kamu jatuh hati pada birunya laut,” jawabnya.
“Biru, aku jatuh hati pada biru,” kataku.
“Jadi, tak ada lagi ruang di hatimu selain Biru?” tanyanya.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Samudera Banyu Biru, ruang ini milikmu.”
Ia memandangku tak percaya ketika aku menyebut namanya. Aku mengangguk meyakinkannya dan ia memelukku. “This’s a twist in my story, Sha,’ katanya.
Aku melepas pelukannya dan memukul bahunya. “Heh itu kan judul lagunya Secondhand serenade, ga kreatif banget sih kamu!” ejekku lalu berlari menghambur ke biru yang selalu membuatku jatuh hati. 





Btzrg, June 17th 2012

Sabtu, 16 Juni 2012

5# Sepanjang Jalan Braga

Jl. Braga-Bandung (West Java)



Braga - West Java


Henry terus mengejarku sepanjang jalan yang kini bernama Braga ini. Dia tak henti-hentinya memanggil namaku sambil  terus menyuruhku berhenti. Hari sudah malam ketika itu, dan jalanan tak terlalu ramai seperti siang hari. Tidak ada pedati yang lewat untuk mengangkut kopi ataupun penduduk yang lalu lalang, jalanan pun becek dan gelap. Sampai akhirnya tubuhku menabrak seseorang di sudut jalan itu. Tubuhnya kurus dan bau dan aku mengenalinya. Namanya Saiful, tukang kebun di rumahku.
“Saiful, kau harus menolong saya,” pintaku dengan nafas memburu. Lelaki di depanku itu berusaha tenang.
“Tenang non, apa yang terjadi?” tanyanya.
“Henry, dia sudah membunuh keluargaku, semuaaa..” Air mataku pun jatuh ketika menceritakannya.
Saifu dengan cepat menarik tanganku. “Sepertinya kita harus segera pergi, non. Suara Tuan Henry sudah mulai terdengar,” ajaknya.
“Bella, dimana kamu?!”
Aku terus berlari mengikuti langkah kaki Saiful dengan cepat. Sampai akhirnya Saiful mengajakku bersembunyi di dekat pedati yang diparkir pemiliknya tak jauh dari Braga.
Terdengar suara sepatu mendekat. “Itu pasti Henry!”
“Ssstt, jangan keras-keras,” kata Saiful mengingatkanku. “Jangan sampai dia menemukan kita.” Aku hanya mengangguk mengerti, keringat yang jatuh pun bercampur air mata ketakutan.
Aku benar-benar tak menyangka kalau lelaki itu akan senekat ini karena aku menolaknya. Ia tega membunuh Daddy, Mommy, dan Stevan kakakku. Aku ingat ketika ia mencoba mencekikku di rumah tadi sebelu aku berhasil kabur. Ia bilang, “Kalau aku tak bisa memilikimu, tidak juga orang lain, Bella!”
Mata Saiful dengan awas mengamati keadaan sekitar kami. Lelaki kurus dan tak pernah bersekolah ini, yang seringkali kuhina kini menjadi penolongku, ia membantuku lari dari kejaran Henry yang adalah seorang berpendidikan tinggi. Selama ini mataku telah salah menilai orang, tidak selalu orang tak punya seperti tukang kebunku ini tak layak berkawan dengan orang seperti keluargaku.
“Tuan Henry sudah pergi, non,” ujarnya yang membuatku tersadar dari renunganku.
“Benarkah itu?” tanyaku dengan nada yang sedikit lebih tenang. Saiful menganggukkan kepalanya sopan.
Aku menghela nafas lega. Lalu Saiful mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
“Terima kasih,” ucapku sambil menerima uluran tangannya yang kasar. Dia tersenyum dan aku merasakan ketulusan disana.
“Lalu apa rencana nona sekarang?” tanyanya dengan hati-hati.
Aku diam sejenak. “Saya punya rencana kembali ke Belanda, ke tempat nenek saya,” jawabku. “Tapi maukah kamu membantu  saya lagi?”
“Budak akan mengikuti perintah majikannya, nona.”
“Bantu saya kembali ke rumah, ada yang tertinggal dan harus kuambil.”
“Tidakkah itu berbahaya?” tanyanya ragu.
“karena itulah saya minta bantuan kamu.”
Saiful terlihat berpikir sebelum akhirnya mengaggukkan kepalanya tanda setuju. Lalu kami kembali menyusuri jalan Braga yang sepi dengan mata telinga yang selalu waspada. Lalu terdengar suara tembakan berkali-kali dari kejauhan. Saiful yang berada di sampingku roboh tak berdaya.
“Saiful..!!!” teriakku ketika melihatnya sudah terkapar di jalan.
“Larii..!!” kata Saiful dengan sisa tenaga dan suaranya. Aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di Braga. Aku berusaha memapahnya.
Sementara itu Henry semakin mendekat ke arah kami. “Kamu tak akan bisa pergi kemanapun, Bella!” teriak Henry yang kemudian meletakkan ujung pistolnya tepat di kepalaku.
Saiful memandangku sedih tak berdaya. Aku tak bergerak.
**

Namanya Bella, seorang noni Belanda yang meninggal di salah satu jalan yang ada di kota kembang ini. Jalan Braga yang punya kisah tersendiri baginya, begitupun aku. Jalan dengan beberapa bangunannya yang khas eropa ini punya kisah tersendiri bagiku dan lelaki itu, Banyu. Akhirnya ia kembali ke kota ini untuk mengunjungi rumahku.
“Jadi lelaki di ujung jalan ini adalah Banyu kekasihmu?” tanya Bella dengan gaun warna putih gading lengakap dengan topi khas noni Belanda.
Aku tersenyum padanya yang sudah puluhan tahun tinggal di jalan Braga yang tak pernah usai ceritanya. Lalu ia merangkulku dan mengajakku terbang sepanjang jalan Braga.






Btzrg, June 16th 2012

Jumat, 15 Juni 2012

4# Kerudung Merah



Danau Toba


Toba Lake-North Sumatera

PRAAAANNGGG!!!
Terdengar suara benda pecah belah jatuh ke lantai. Aku yang sedang menikmati makan siangku di salah satu warung makan tak jauh dari danau yang menjadi cirri khas Sumatera Utara ini jadi terkejut dan ikut menoleh mencari sumber suara seperti pengunjung lainnya.
Tidak ada suara yang terdengar beberapa saat setelah bunyi itu sampai akhirnya seorang perempuan tua yang sepertinya adalah pemilik warung makan ini datang. Aku melihat seorang perempuan muda dengan serbet kumal tersampir di bahu kanannya berjongkok mengambil pecahan piring yang tadi dijatuhkannya.
“Berapa piring dan gelas lagi yang mau kau pecahkan, hah?!” bentak perempuan tua itu tanpa mempedulikan banyak pengunjungnya yang memperhatikan mereka. Sementara itu si perempuan muda di bawahnya berwajah ketakutan sambil tak henti-hentinya meminta maaf pada majikannya.
Seorang laki-laki yang sepertinya suami dari si perempuan tua itu datang dan menenangkan istrinya itu lalu minta maaf pada pengunjung atas ketidaknyamanan yang telah terjadi. Si lelaki itu berhasil membujuk istrinya untuk pergi dari sana, sedang si perempuan muda mengikuti tuannya dengan membawa pecahan piring yang tadi ia jatuhkan.
Ada-ada saja, kataku dalam hati dan melanjutkan kembali makan siangku.
Setelah selesai makan siang dan membayarnya, aku melanjutkan lagi perjalanan wisataku di danau Toba. Danau yang terbentuk karena proses vulkanik itu ternyata lebih indah dari yang selama ini kulihat dalam gambar-gambar. Aku sedang mencari objek bagus dengan kamera lensa panjangku ketika aku menangkap seorang perempuan dengan kerudung panjang berwarna merah berdiri memandang danau. Jariku menekan tombol besar itu dan mengambil fotonya secara candid. Entah apa yang membuatku tertarik pada perempuan berkerudung merah itu hingga aku mengambil banyak gambarnya.
Tepat di bunyi klik yang kelima itulah ia menoleh ke arahku yang berdiri agak jauh darinya. Ia memandang kaget padaku yang masih dengan kamera di depan wajahku. Buru-buru kuturunkan kameraku dan memandang ke arah lain hingga tanpa kusadari dia sudah berada di sampingku.
“Hei, kau memotretku?” tanyanya dengan suara yang tidak terdengar marah.
Kualihkan pandanganku ke arah kiri tempat ia berdiri. Aku tersenyum malu. “Maaf ya.”
Alih-alih menjawab permohonan maafku, dia malah mengangkat kedua bahunya. Dengan cepat aku mengenali wajahnya. “Hei, bukankah kamu pelayan yang di warung makan tadi?” tanyaku hati-hati.
Dia hanya mengangguk sambil membenarkan letak kerudung panjangnya. “Tadinya aku memang pelayan di sana, tapi sekarang bukan lagi,” jawabnya sedih.
“Dipecat?” tebakku. Dia mengangguk lagi.
“Aku hanya ingin tinggal di sini, agar aku bisa setiap saat ke tempat ini,” ujarnya. “Tapi perempuan tua itu memang tak pernah suka padaku, apapun yang kulakukan pun tak pernah benar di matanya.”
“Mereka itu siapamu?” tanyaku. “Ouh sorry, aku tak bermaksud ikut campur.”
“Ahh tak apa, mereka itu orang tua suamiku.”
Hatiku mencelos. “Kau sudah menikah?”
“Ya, tapi kini suamiku sudah meninggal,” jawabnya tenang. “Danau Toba inilah tempat kenangan kami, maka dari itu aku tak ingin jauh dari tempat ini.”
I’m sorry to hear that.”
Raut wajahnya terlihat tegar dan kuat. Aku merasa ia bukan tipe wanita cengeng dan terus terbelenggu masa lalu. Lalu kami saling diam beberapa detik sampai akhirnya dia berkata, “Hei, kita belum berkenalan.”
Aku tertawa kecil. “Ah ya, aku Banyu,” kataku sambil mengulurkan tangan padanya.
Dia membalas tanganku dengan erat. “Aku Debby!”
“Namamu bagus,” pujiku dan dia hanya tersenyum.
“Mmm, karena tadi kau sudah memotretku diam-diam, sekarang aku mau lihat foto itu boleh?” pintanya.
Aku mengagguk setuju. Aku menunjukkan gambar-gambar yang tadi kuambil di kameraku itu padanya. Ia mendekatkan badannya padaku untuk dapat melihat denga jelas.
“Kau ini fotografer ya?” tanyanya setelah melihat hasil jepretanku.
“Ahh, tidak seperti itu, itu hobiku  saja.” Lalu kami larut dalam obrolan yang terasa menyenangkan padahl kami baru saling kenal.
“Duh, maaf sekali aku harus pergi sekarang,” ujarnya sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.
“Oh sayang sekali ya, senang berkenalan denganmu,” kataku.
“Sama-sama, semoga liburanmu di Toba menyenagkan dan jangan pernah menyesal datang kemari ya,” aku tersenyum mengiyakan. Setelah membenarkan lagi letak kerudungnya, ia kemudian berjalan meninggalkanku.
Ahh, si kerudung merah sudah pergi sekarang.
Tak lama kemudian setelah  perempuan itu sudah lenyap dari pandanganku, seorang pria menghampiriku. “Bang, tak ada barangmu yang hilang?” tanyanya.
Aku mengerutkan kening bingung. “Maksud abang?”
“Perempuan tadi itu pencopet!”
Buru-buru kurogoh kantung celanaku dan tak kutemukan dompet coklat miliku, lalu jam tangan Swiss Army-ku pun lenyap.
ARRGGHHH, SIAALLL!! SI KERUDUNG MERAH ITU…..!! geramku.
****


Btzrg, June 2012

Rabu, 13 Juni 2012

3# Jingga di Ujung Senja



Ampera-Palembang (South Sumatera)

Musi-South Sumatera

Langit sudah mulai kemerahan ketika aku menginjak dermaga setelah selesai menyusuri sungai yang membelah Palembang menjadi dua, Sungai Musi yang tak pernah kering airnya. Aku masih berdiri di atas dermaga untuk sekedar menikmati senja dari tepian sungai Musi. Mataku memandang kagum pada jembatan besar dan kokoh yang berdiri di atas sungai di hadapanku itu. Beberapa jepretan dengan objek  sebuah jembatan besar yang awalnya hendak diberi nama jembatan Bung Karno kuabadikan lewat kamera yang tak pernah luput dariku.
Langit merah di langit Sumatera ini lagi-lagi mengingatkanku pada Disha yang selalu suka dengan sunset. Ia selalu bilang kalau semburat jingga di langit senja itu selalu menenangkan. Aku tersenyum ketika teringat  Disha mengucapkan semua itu di atas jembatan merah di atas sana.
“Aku kembali lagi, Sha,” lirihku. “Ke tempat dimana kita menikmati Musi kala senja.”
Aku mengatur nafasku, tetap berusaha tenang dan tersenyum. “Hanya saja kini aku menikmatinya dari atas dermaga Sungai Musi, bukan dari atas Ampera,” lanjutku.
Aku sedang mengambil gambar lagi dengan kameraku ketika tedengar seseorang berteriak di belakangku. “Jangan lamo lamo di sungai, agek ado Antu Banyu,” teriaknya dengan nada yang terdengar kesal.
Aku seketika membalikkan badanku karena penasaran. Tadi kudengar namaku disebutnya, Banyu. Seorang perempuan berambut panjang sebahu dibiarkan tergerai bebas, dengan kaus putih lengan panjang dan rok panjang yang bergerak tertiup angin sore ada di depan mataku. Aku memperhatikannya yang masih berbicara dengan bahasa daerah pada seorang anak lelaki yang asyik berenang.
Ia sepertinya menyadari kalau aku sedang memperhatikannya. Tatapan matanya memandangku aneh. Aku buru-buru menaglihkan pandanganku dari wajahnya yang kemerahan karena sinar matahari sore.
“Wisatawan ya?” tanyanya ramah.
Aku tersenyum dan mengiyakan pertanyaanya. Ia balik tersenyum padaku dan kemudian duduk di sisi dermaga. Setelah memutar otakku cepat, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sampingnya.
“Boleh duduk di sini?” tanyaku hati-hati. Wajah sederhana tanpa riasan itu memberiku isyarat, membolehkanku duduk di sampingnya. Detik berikutnya kami saling diam dan aku pura-pura  menyibukkan diri dengan kameraku.
“Dari kota mana?” tanyanya. Aku menoleh setelah berhasil menjepret  perahu tradisional di sekitar dermaga.
“Dari Bogor, tapi kemarin baru dari Belitong,” jawabku.
“Jauh yo, selamat menikmati Palembang lah,” katanya. Perempuan ini sangat ramah dan menyenangkan. Lalu aku iseng bertanya padanya. “Tadi aku dengar kamu panggil namaku, apa kamu tahu aku?” tanyaku tak tahu malu.
Dia tertawa. “Oh ya? siapa namamu memangnya?”
“Banyu.”
 “Banyu?” Ia mengerutkan keningnya. Lalu detik berikutnya terdengar tawa renyah yang menggelitik hatiku. “Mungkin yang kau dengar tadi Antu Banyu maksudmu?”
Aku mengangguk. Lalu dia menjelaskan., “Antu Banyu itu artinya hantu air, jadi ada mitos hantu air di sungai Musi ini katanya selain menyerang orang yang berenang, hantu ini juga menyerang ornag yang berperahu.”
Dia dengan antusias menceritakan mitos tentang Antu Banyu itu padaku, dan aku pun serius mendengarkannya.
“Lalu kau percaya Antu Banyu itu benar-benar ada?” tanyaku setelah ia selesai bercerita.
Dia tersenyum misterius. “Sekarang sudah menjelang maghrib, coba saja lompat ke sungai dan berenang di sana, mungkin hantu yang namanya sama denganmu itu akan menemuimu,” katanya lalu berdiri di sampingku. “Aku pulang dulu ya, semoga beruntung bertemu Antu Banyu.”
Detak jantungku mengencang mendengarnya. Aku tergelak. Perempuan itu kemudian berlari meninggalkanku.
“Hei, siapa namamu?” teriakku.
“Jingga….” Lalu tubuhnya mengecil di mataku dan menghilang. 

Aku tersenyum geli. Teringat beberapa menit lalu ketika Jingga dengan seru menceritakanku sebuah mitos tentang Antu Banyu di sisi dermaga Musi di ujung senja. 


Musi di kala Senja



Btzrg, June 2012

2# Pagi Kuning Keemasan


Lengkuas Island-Belitong


Kubiarkan angin dingin Belitong menerpaku, membuat rambut hitam panjang yang kubiarkan terurai menari bebas. Perahu nelayan yang membawaku dan Banyu terus bergerak menuju pulau kecil di arah jam sepuluh dari Desa Tanjung Kelayang. Sebuah pulau kecil dengan luasnya sekitar satu hektar, Pulau Lengkuas namanya. Kulirik Banyu, lelaki itu begitu bersemangat sejak beberapa hari yang lalu tiba di Belitong, ia bahkan hampir tak bisa tidur untuk mempersiapkan kamera dan peralatannya untuk berburu sunrise di pulau Lengkuas. 

Sesekali ia menurunkan tangannya ke air yang masih bening. Aku bisa melihat rona bahagia di wajahnya karena akhirnya ia bisa menginjakkan kakinya di pulau yang sejak lama jadi target wisatanya, bersamaku.
Perahu yang kami tumpangi ini menepi di bibir pantai setelah menempuh perjalanan sekitar tigapuluh menit dari Tanjung Kelayang. Sepertinya kami belum terlambat untuk sunrise di pulau Lengkuas. Pagi masih gelap ketika kaki kami menyentuh pasir putih yang basah. Banyu merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi dalam-dalam. Ia terlihat sangat menikmati petualangan barunya di Belitong. 

“Well, I’m here now, Disha..,” katanya dengan suara pelan. 

Aku tersenyum mendengarnya. “Yeah, Lengkuas Island,” jawabku.
 
Banyu melangkahkan kakinya ke arah mercusuar putih yang sudah berkarat disana-sini. Mercusuar tua yang dibangun Belanda tahun 1882 itu adalah mahkota dari pulau ini yang juga landmark dari Belitong. Kulihat Banyu mengeluarkan sebuah kamera dan tripod yang sudah dipersiapkannya.
Lelaki bermata hitam itu selalu terlihat keren ketika sedang memotret. Ia mengambil beberapa gambar mercusuar produk pabrikan Chance Brother & Co itu sampai akhirnya kamera hitamnya itu mengarah ke arahku yang berdiri tepat di dekat pintu masuk mercusuar. Aku tersenyum. Banyu terdiam, menahan jarinya untuk menekan tombol dan detik berikutnya blitz dari kameranya menerpa wajahku. Ia tersenyum puas kemudian meraih tripod dan berjalan ke tempat lain. Kuikuti langkahya yang panjang dan cepat.
“Saatnya menangkap sunrise, Sha,” katanya ketika ia membetulkan letak tripod-nya.
Aku berdiri di sampingnya sambil mengamatinya yang begitu antusias. “Take the best sunrise for me,” kataku.
“Langit kuning keemasan favoritmu, Sha,” katanya dan terdengar bunyi klik dari kameranya. Lalu terdengar bunyi yang sama dari kamera hitam itu beberapa kali lagi. Banyu menjatuhkan dirinya di atas pasir putih, membiarkan tripod-nya tetap berdiri di depannya.
Ia membiarkan air laut menyentuh ujung celana jeans selututnya dengan malu-malu. Kedua tangannya menyangga tubuhnya dari belakang. Matanya memandang langit kuning keemasan itu dengan sedih. Lalu aku ikut duduk di sisinya dan menyandarkan kepalaku ke bahu kanannya.
“Sekarang kamu tahu ‘kan maksudku kalau langit pagi ketika angkasa berwarna kuning keemasan itu sepertimu?” kata Banyu dan aku hanya diam mendengarkan.
“Ia cantik dan memberiku semangat lebih untuk menghadapi pertarunganku,” lanjutnya. “Dan kamu selalu bilang semburat jingga ketika senja itu lebih menenangkan.”
Matahari sudah lebih tinggi sejak beberapa menit lalu. “Seharusnya kita bisa saling melengkapi seperti mereka.”
Banyu menghela nafas dan melanjutkan lagi kalimatnya. “Meski pagi tak kuning keemasan dan sore tak kemerahan, kamu tetaplah semangatku, Sha.”
Kututup kedua mataku, meresapi kata-katanya. Andai ia tahu kalau aku pun berharap hal yang sama dengannya. Banyu menghela nafas pendek dan mengatur perasaannya. Kuangakt kepalaku dari bahunya yang selalu nyaman.
Kulihat mata itu tak lagi sayu, ada setitik sinar matahari pagi semangatnya terpancar disana. Tapi aku tahu perjalananmu baru saja dimulai, karena bukan sunrise Pulau Lengkuas yang cantik ini tujuan akhirmu.

Banyu, biarkan langit kuning keemasan itu padamu meski langit kemerahan tak lagi menenangkanmu. aku selalu bersamamu pun meski kita telah berbeda…

Aku bangkit meninggalkan Banyu yang masih duduk di atas pasir putih yang sama. Gaun putih panjangku berkibar tertiup angin pagi. Tubuhku dengan cepat melayang di udara meninggalkan daratan Pulau Lengkuas dan mercusuarnya.







Btzrg, June 2012


Senin, 11 Juni 2012

Secondhand Serenade




Secondhand Serenade..

Awalnya emang ga pernah tau dan ga pernah denger sama sekali tentang Secondhand Serenade. Gue suka karena rasa kepo yang tinggi tentang secondhand serenade ini, sama sekali gak ada yang ngenalin gue tentang ini. Sampai akhirnya gue liat trending topic di twitter dengan hastag #SecondhandSerenade selama beberapa hari. Rasa penasaran gue pun semakin tinggi sama hastag itu, dan akhirnya gue mulai untuk cari tau apa sih itu Secondhand Serenade.Kok bisa muncul di trending topic selama beberapa hari, pasti ini sesuatu yang heboh banget deh.. 

Dimulailah penjelajahan gue tentang Secondhand Serenade di mbah gugel. Pilihan pertama gue jatuh pada situs Wikipedia. Disana dijelasin apa itu secondhand serenade sampai sejarah dan albumnya. Muncul Ohh besar setelah tau profilnya. gue kira itu adalah sebuah band yang biasanya ada beberapa orang, tapi gue salah besar!! Secondhand Serenade ini ternyata cuma terdiri satu orang!! and he's JOHN VESELY..!!

*ini abang John Vesely.. (gantengnyaaa..!!)

 Rasa ingin tahu gue gak berhenti samapi di situ. Gue mencoba download satu lagu buat gue dengerin kayak gimana sih musiknya. Lagu pertama yang gue denger adalah “A twist in my story”.. dan WOW, gue jatuh cintaaaa!! 

Musiknya cantik bangeett,, liriknya juga bagus, dan pastinya suara dari abang John Vesely yang bikin melting ituuhh.. Gak puas Cuma denger satu lagu itu, akhirnya gue cari lagi lagu2nya yang lain. Beberapa lagunya punya kesan tersendiri di hati gue kayak Stranger, Goodbye, Something more, Broken etc..
Pokoknya musik Secondhand Serenade itu cantik, apik, dan bikin jatuh cinta!! 

Gue menikmatinya sendirian.. karena gak ada temen yang tau tentang Secondhand Serenade ini.. Iseng lah gue nyebarin secondhand serenade ini.. Ada satu temenn yang minta di-blutut-in lagu2, dan gue blututin beberapa lagunya secondhand serenade. Setelah gue suruh dia denger, dia pun bilang suka!
Well, sepupu gue juga ikutan coba dengerin setelah gue ngobrolin secondhand serenade di status pesbuk.. Hahaaahaaa..
Tapi serius deh, secondhand serenade ini pas dan mellownya ga berlebihan.. dan pastinya sih cocok di telinga gue yang suka lagu ballad (hahahahahaa..).. petikan gitarnya,, suaranya abang,, liriknya.. ahh,, aku padamuuhhh abang (#ehh), secondhand serenade maksudnyaahh!!