Sabtu, 28 April 2012

Harum




“Harum!”

Teriakan seseorang dari kejauhan membuatku harus membalikkan badan mencari sumber suara. Hanya sedetik saja aku menemukan si pemilik suara dan aku langsung melanjutkan lariku yang tadi sempat terhenti oleh teriakan tadi. Aku menerobos padatnya jalanan pasar satu-satunya di desa tempatku tinggal. Rok coklat panjangku kuangkat sedikit agar tak terinjak sandal jepitk. Aku terus mempercepat langkahku dengan sedikit berlari untuk menghindari kejaran laki-laki tua di belakang sana.
Tidak butuh waktu lama untuk aku bisa keluar dari pasar yang becek dan bau itu. Aku menengok ke belakang sekali lagi dan memastikan bahwa laki-laki tua yang mengejarku tak berada dalam jarak dekat denganku. Rencanaku setelah ini adalah naik bus menuju terminal Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dengan sedikit kasar dan memaksaku untuk ikut dengannya.

**

Burung-burung dalam sangkar yang digantung di beranda rumah saling sahut-menyahut di pagi yang cerah kali ini. Hangatnya matahari telah sampai ke kulitku. Ibu, perempuan paruh baya dengan kebaya dan kain batiknya sedang menyiram tanaman di halaman rumah kami yang tidak terlalu besar.
“Bu, aku pergi dulu ya,” pamitku pada Ibu dan mencium punggung tangannya.
“Jangan lupa nanti di pasar mampir ke tokonya Bude Sari, ambil jahitan kebaya,” pesan Ibu.
“Iya, nanti aku mampir,” jawabku. “Aku berangkat sekarang ya, keburu siang.”
Aku mengambil sepeda yang kuparkir di depan rumah dan mengayuhnya meninggalkan rumah.  Laju sepeda tua ini agak cepat dengan suara berisik dari besi-besi sepeda yang mulai rusak. Sengaja aku mengayuhnya dengan cepat agar aku bisa bertemu dengan seseorang yang pasti sudah menungguku di pasar.

Mas Rizki, laki-laki yang sejak lima tahun lalu mengisi ruang hatiku. Seorang pemilik warung kecil di sudut pasar. Hubungan kami tidak direstui oleh kedua orang tuaku. Mereka menganggap kalau Mas Rizki tidak memiliki masa depan yang bagus untukku. Ia bukan dari keluarga berada dan usahanya juga tak sebesar juragan-juragan besar yang ingin dijodohkan Bapak denganku, tapi aku memilihnya dan bukan yang lain. Mas Rizki pernah datang untuk melamarku, namun ditolak mentah-mentah oleh Bapak.
Keluargaku memang bukan keluarga dengan keturunan darah biru ataupun keluarga tak berada, namun kedua orang tuaku-terutama Bapak-punya standar hidup yang tinggi dan ia menjadikan anak-anaknya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan derajat keluarga. Mbak Sekar misalnya, kakak perempuan pertamaku itu dipaksa menikah dan menjadi istri ketiga seorang pengusaha kaya dari Semarang di usia tujuh belas tahun. Lalu Mas Gagah yang dipaksa masuk akademi militer oleh Bapak, karena menjadi seorang militer adalah impian Bapak dulu, padahal Mas-ku itu sangat berbakat menjadi seniman handal.  

Aku sudah memasuki pasar dan menuju tempat penitipan sepeda. Setelah selesai menitipkan sepeda di tempat Pak Waluyo, aku segera melangkahkan kakiku menuju tempat Bude Sari untuk mengambil jahitan, namun belum sampai kakiku di tempat tujuan, seseorang memanggilku. “Harum!”
Kakiku berhenti di dekat penjual kembang dan menncari sumber suara. Laki-laki berkaus biru dengan celana hitam panjang yang selalu ingin kutemui, Mas Rizki. Tanpa pikir panjang, aku segera menghampirinya. “Hai Mas,” kataku dengan wajah bahagia bisa menemuinya lebih cepat. Namun aku tak melihat senyumnya seperti biasa di wajahnya seperti biasanya ketika kami bertemu. Wajahnya terlihat serius dan tegang. Ia tak menjawabku dan langsung menarik tanganku ke tempat lain dengan langkah yang sedikit cepat. Aku bertanya apa yang telah terjadi namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Kami berhenti di belakang pasar. “Rum, kamu dengar baik-baik ya, “ kata Mas Rizki mulai bersuara.
“Kenapa tho, Mas?” tanyaku.
“Anak buah Pak Rono tadi dateng ke warungku, mereka udah ngacak-acak semua dan ngancem aku buat pergi ninggalin kamu,” jawab Mas Rizki dengan nada serius. “Mereka ndak akan berhenti buat misahin kita, dan aku pasti akan terus jadi inceran mereka.”
“Terus aku mesti piye, Mas?” tanyaku. “Opo kita kabur aja?”
Ide itu terlintas begitu saja di otakku. Sepertinya itu jalan satu-satunya agar aku bisa terhindar dari perjodohan dengan Pak Rono dan aku yakin Mas Rizki juga pasti setuju.
“Piye Mas, kabur aja kita?” tanyaku lagi ketika tak ada jawaban dari Mas Rizki.
Lelaki itu menggeleng. “Kabur ndak akan menyelesaikan masalah, tapi malah nambah masalah baru buat kita.”
Aku tak percaya dengan jawabannya. “Kamu udah nyerah buat memperjuangkan kita?”
“Aku bukannya nyerah, Rum. Aku mau dateng lagi buat ngelamar kamu.”
“Kamu yakin? Bapak udah pernah nolak kamu, Mas,” kataku.
“Karena itu aku mau memperjuangkan kamu, aku ndak mau menikahi kamu tanpa restu orang tuamu dan kabur itu bukan jalan keluar karena itu tindakan pengecut,” jawabnya mantap. Meski aku melihat keyakinan di matanya, aku tetap merasa takut karena aku tahu Bapak sangat sulit untuk merubah keputusannya.

**

           Sanggul besar terpasang di kepalaku dengan roncean melati yang wangi. Kebaya putih dan kain batik coklat aku kenakan di hari ini. Aku akan segera menikah hari ini. Ya, aku akan menikah! Suasana di luar kamar begitu riuh karena kesibukan untuk merayakan hari ini. Di kamar yang kecil ini aku sedang sendirian, menatap diriku yang terpantul dari kaca besar di depanku.
“Kamu terlihat sangat cantik dengan kebaya itu dan sebentar lagi kamu akan menikah, kamu pasti bahagia kan?” tanyaku pada bayanganku sendiri. Aku menggeleng dan jawaban sebenarnya memang ‘tidak’. Aku tidak bahagia dengan pernikahan ini.
         Kusambar tas dan kujejali dengan pakaian sekenanya, lalu kuganti selop-ku dengan sandal jepit merah-ku. Aku akan kabur dari pernikahan ini. Kabur memang tindakan pengecut, tapi aku tidak akan menghabiskan sisa hidupku dengan menjadi istri dari laki-laki yang tidak aku cintai. Kubuka jendela kamarku  dan melompat keluar. Aku mengamati sejenak suasana sekitar, lalu mengendap-endap lewat kebun belakang dan pergi meninggalakan rumah.
           Jarak antara rumah dengan pasar lumayan jauh, tapi aku sedang beruntung karena bertemu dengan Rasmi yang tak lain adalah sahabatku. Aku memintanya untuk mengantarkanku ke pasar. Ia memang bisa diandalkan, dengan sepeda motornya akhirnya aku bisa sampai di pasar dengan cepat. Aku berhutang banyak padanya kali ini.
“Ras, aku terima kasih banyak lho sama kamu,”kataku begitu aku turun dari motornya di depan pasar.
“Iya Rum, kamu hati-hati ya, cepetan pergi sebelum ada yang menyusulmu,” jawab Rasmi. Aku mengangguk dan memeluk sahabatku.
         
        Warung Mas Rizki adalah tujuanku. Kakiku melangkah masuk pasar diiringi tatapan aneh orang-orang di pasar. Aku tak mempedulikan mereka dan pikiranku hanya tentang kabur dari pernikahan ini. Tempat yang kutuju dalam keadaan tertutup. Aku bertanya pada pedagang sebelah, “Mba, kenapa warungnya Mas Rizki ndak buka ya?”
“Udah seminggu gak buka, Mba. Katanya Mas Rizki mau pindah ke Malang,” jawab Mbak Siyem, si penjual kue di samping warung Mas Rizki.
       Malang, kota yang menjadi tujuanku sekarang. Aku tahu betul di Malang bagian mana lelaki yang kucari itu berada dan akau akan segera menyusulnya ke sana. Kuucapkan terima kasih pada Mbak Siyem dan langsung melangkahkan kakiku untuk segera meninggalkan pasar ini.

“Harum!”

Teriakan seseorang dari kejauhan terdengar ketika aku baru beberapa langkah dari warung. Aku menoleh dan melihat laki-laki tua yang sangat kukenal, Bapak. Rok batik coklat panjangyang kupakai ini  kuangkat sedikit agar tak terinjak sandal jepitku dan memudahkan langkahku. Aku terus mempercepat langkahku dengan sedikit berlari untuk menghindari kejaran Bapak.
Memang tak butuh waktu lama untuk keluar dari pasar. Aku menoleh ke belakang dan tak menemukan Bapak dalam pandanganku. lalu mataku mencari angkutan umum yang bisa mengantarku sampai Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dari belakangku dengan kasar. Ia menarikku dengan paksa lalu menyuruhku untuk ikut dengannya. Dia adalah Mas Rizki! Aku tahu dia tak benar-benar meninggalkanku sendiri untuk menghadapi ini. Dia pasti menjemputku untuk pergi dari tempat ini.
“Kamu harus kembali, Harum!”
Aku melepaskan tanganku darinya. “Apa kamu tak merasakan perjuanganku untuk pergi dari pernikahan hanya untuk memperjuangkan kita?!” kataku dengan nada tinggi. “Aku hanya mencintaimu dan hanya ingin menikah denganmu, Mas.”
“Aku juga mencintaimu dan  sangat menyayangimu, Rum,” katanya dengan nada yang sama sedihnya. “Jika kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempersatukan cinta kita meski bukan dibawah ikatan pernikahan.”
“Kita pergi saja dari sini dan memulai hidup yang baru. Bawa aku pergi, Mas,” kataku memohon. Dia menggeleng. “Aku harus mengembalikanmu pada orang tuamu,” jawabnya.
“Harum!!” Suara Bapak yang keras sudah sampai di telingaku. Aku berlari menghindari Bapak yang sedang menuju ke arah kami sambil menggenggam tangan Mas Rizki.
Ia melepaskan tangannya dari tanganku. “Harum, aku tak mau melakukan ini, kamu harus pulang!”
Aku menangis. “Aku akan tetap pergi, dengan atau tanpamu, Mas,” kataku dan kemudian meninggalkannya.

“HARUUUMM…!!”

Teriakan Mas Rizki yang sangat keras masih terdengar jelas di telingaku sebelum mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi menyentuh tubuhku dengan keras dan menumpahkan noda merah darah di kebaya putihku. Tubuhku terseret beberapa meter dan pandangan mataku mulai gelap ketika nafasku tak lagi bisa kurasa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar