Sebuah kotak kecil berwarna biru kamu sodorkan padaku sore
itu. Kotak itu kau buka dan sebuah cincin emas di dalamnya. “Menikahlah
denganku,” katamu saat itu.
Menikah. Terlalu banyak yang harus kupikirkan tentang hal
yang satu itu. Aku tak menyangkal kalau aku pun ingin merasakannya. Tapi yang
kupikirkan bukanlah tentang pernikahannya, melainkan kehidupan setelah
pernikahan. Menikah denganmu, hidup bersama, memiliki anak-anak, dan
menghabiskan masa tua bersamamu pun pernah ada dalam khayalanku. Tapi kau pun
tahu sendiri bahwa kenyataan tak semudah yang kita bayangkan. Seperti yang
pernah kukatakan, segala sesuatu itu beresiko. Menikah denganmu pun sudah pasti
beresiko.
Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Menikah denganku pun
beresiko. Tidakkah kau risau dengan resiko yang mungkin muncul nanti sedangkan
kau pun tahu selalu ada resiko tak terduga yang bisa terjadi kapan saja, dalam
bentuk apapun.
Menikah itu beresiko. Sudahkah kita siap dengan semua resiko
itu? Bisakah kita mengatasi setiap resiko yang akan menghampiri kita? Akankah
kau selalu menggenggam tanganku bahkan ketika badai besar sekalipun?
“Masihkah kau memikirkan resiko?” tanyamu ketika aku aku tak
kunjung bersuara. “Diammu cukup lama dan
aku bisa merasakan ketakutanmu akan resiko itu.”
“Aku bukan takut, tapi aku harus lebih hati-hati tentang
pilihan,” kataku.
“Lalu apa pilihanmu?”
Tentu saja aku punya pilihan. Menikah denganmu pun adalah
sebuah pilihan. Apakah aku akan memilih menikah denganmu dan menghadapi semua
resikonya atau memilih pilihan lain yang juga punya resiko berbeda.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar