Dear chocolate..
Tidakkah kamu terusik ketika reranting seringkali berusaha
memanggilmu? Mereka mulai rapuh, mungkin karena menahan pesan rindu yang
kutitipkan terlalu banyak, dan tak satupun kau sentuh.
Tidakkah kamu tersentuh ketika angin mencoba membelai tiap
titik epidermismu? Mereka yang gigih mencoba, tak hanya sekali mencoba
menyentuhmu dengan pesan rindu, dan tak satupun kau rasa.
Tidakkah kamu bertemu senja yang seringakali menahan pekat
yang datang lebih awal? Mereka melukiskan pesan rindu lewat semburat jingga
untuk kau nikmati, dan tak satupun kau lihat.
Aku masih punya beberapa roll film tentang kita. Tak sedikit
waktu pula aku terhanyut dalam tiap scene tentang kita. Kita bisa saja
menghabiskan secangkir rindu di pelupuk senja. Menyesapnya perlahan sampai
pekatnya malam menggulung senja.
Kita? pantaskah aku memakai kata itu? Mungkin aku dan kamu
saja, bukan ‘kita’, karena aku dan kamu memang tak pernah atau bahkan tak akan
menjadi ‘kita’.
chocolate,,
Aku mulai belajar untuk berjalan dan berpijak dengan sesuatu
yang bukan kamu. Mungkin aku tak bisa lupa, tapi aku belajar menolak ingat dan
membiasakan untuk itu. Tentang kamu yang dulu begitu membelenggu hingga
menyeretku dalam kekosongan tak berarti. Ahh kamu pasti tak tau rasanya kan? merasa
kosong dan tak terpasung rindu itu tak pernah terasa nyaman sedikitpun!
Aku memilih untuk pergi dan takkan ada aku lagi. Lalu kemana
sisa rinduku yang belum kutitipkan pada mereka –ranting,angin,senja- untukmu?
Stok rinduku habis. Bukan karena kau yang menepis, hanya saja aku tak ingin
lagi menangis.
salam rindu,
Desember
Bgr, 270312
Tidak ada komentar:
Posting Komentar