“Menikah?!”pekikku
dan aku nyaris tersedak spaghetti aglio olio yang sedang kusantap sore ini di Trattoria. Beberapa orang di sekitar mejaku menengok ke arahku dengan
pandangan aneh. Aku bertaruh kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus.
Damon, pria yang duduk di hadapanku itu menahan tawa. Aku mencondongkan wajahku
ke arah Damon. “Idemu itu sama sekali tidak lucu!” kataku dengan suara pelan.
Damon ikut
mencondongkan wajahnya ke arahku hingga jarak antara kami hanya beberapa senti
hingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan. “It’s just like a simulation,
Bel,” balasnya santai.
Aku
menarik tubuhku dan bersandar di sofa putih Trattoria yang nyaman
sedangkan Damon duduk dengan santai sambil meneguk red wine dari gelasnya.
Aku yang selalu takut dengan kehidupan pernikahan mendadak harus dibuat tak
karuan dengan sesuatu yang bernama pernikahan ditambah ide gila Damon. Ia
adalah boss sekaligus sahabatku yang sukses dan termasuk tipe pria idaman
wanita. “Kenapa Ayah begitu ngotot ingin
aku segera menikah sih?!” kataku dalam hati.
Aku masih
ingat betul kata-kata teman SMA-ku dua minggu lalu. “You must kidding me! 30
tahun dan masih sendiri?” katanya dengan nada yang sama sekali tak nyaman di
telinga. Aku yang kesal pun langsung menyanggahnya, “I’ve married, Amartha!”
“Hei, jadi
gimana? still single or married?” tanya Damon membuyarkan lamunanku.
Aku
menghela nafas pendek. “Menikah itu penuh resiko, gak semudah itu.”
“Ini gak
seperti pernikahan sungguhan kok, walaupun memang menikah dengan sah.”
“Jadi apa
bedanya dengan pernikahan sungguhan?”
“Kita
tetap menikah secara agama maupun hukum, dan kita jalani saja kehidupan kita
seperti sekarang. Kau dengan hidupmu dan aku dengan hidupku, “ kata Damon. “Oh
ya, kita juga harus tinggal serumah seperti pasangan suami istri sungguhan,”
tambahnya.
“Serumah?”
tanyaku sedikit takut mendengar yang terakhir itu. “No, itu terlalu beresiko,
kau bisa saja melakukan itu padaku.”
“Melakukan
apa?” tanya Damon dengan nada menggoda.
“Kamu
pasti taulah apa yang dilakukan suami istri di ranjang mereka.”
Damon
tertawa. “Pikiranmu terlalu jauh, ini hanya seperti kuliah tentang pernikahan,
praktek lebih tepatnya.”
“Tetap
saja beresiko, dan aku belum siap dengan resiko pernikahan,” kataku. “Lagipula
kau sendiri belum pernah menikah, bagaimana kau akan menjadi ‘dosen’ku?”
“Mabel, hidup memang penuh resiko, tergantung
bagaimana kita mengatasinya,” katanya menatapku dalam. “Jangan jadi pengecut
yang selalu menghindari resiko. Aku memang belum menikah, jadi kita bisa
sama-sama belajar kan? ”
“Arghh,sepertinya
aku tak punya pilihan lain,” kataku mulai putus asa.
“Selalu
ada pilihan dan kamu selalu bisa memilih.”
“Ya, dan
sepertinya aku memilih untuk ‘menikah’ denganmu,”kataku akhirnya.
Sebuah
senyum kemenangan terukir di bibir Damon. “Ok, mungkin aku ga seromantis pria
di sana yang melamar kekasihnya dengan cincin di replica pesawat itu, tapi
tetap saja aku harus melamarmu kan?” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak
kecil berwarna biru.
Lagi-lagi
aku tertawa. “Damon, bukankah ini pernikahan kita hanya kuliah, haruskah kau
melamarku?” tanyaku.
“Hei
my Mabel, ini juga bagian dari kuliah. Dimana-mana kalo mau nikah itu pasti ada
acara melamar,” jawabnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Sok
romantis!” ejekku.
“Ah
udah deh bercandanya, sekarang mau dilanjutin gak kuliahnya?”
Aku
mengangguk sambil menahan tawa melihat aksi ‘dosen’ di depanku.
“Mabella Evanthe, menikahlah denganku.”
Entah
mengapa tawaku lenyap oleh tatapan mata Damon yang menatap penuh keseriusan dan
tanpa sadar aku menganggukkan kepalaku.
Kuliah pertama tentang pernikahan di Trattoria,
sebuah lamaran.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar