Selasa, 10 April 2012

It's just like a simulation!


“Menikah?!”pekikku dan aku nyaris tersedak spaghetti aglio olio yang sedang kusantap sore ini di  Trattoria. Beberapa orang di sekitar mejaku menengok ke arahku dengan pandangan aneh. Aku bertaruh kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus. Damon, pria yang duduk di hadapanku itu menahan tawa. Aku mencondongkan wajahku ke arah Damon. “Idemu itu sama sekali tidak lucu!” kataku dengan suara pelan.
Damon ikut mencondongkan wajahnya ke arahku hingga jarak antara kami hanya beberapa senti hingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan. “It’s just like a simulation, Bel,” balasnya santai.
Aku menarik tubuhku dan bersandar di sofa putih Trattoria yang nyaman sedangkan Damon duduk dengan santai sambil meneguk red wine dari gelasnya. Aku yang selalu takut dengan kehidupan pernikahan mendadak harus dibuat tak karuan dengan sesuatu yang bernama pernikahan ditambah ide gila Damon. Ia adalah boss sekaligus sahabatku yang sukses dan termasuk tipe pria idaman wanita. “Kenapa Ayah begitu ngotot ingin aku segera menikah sih?!” kataku dalam hati.
Aku masih ingat betul kata-kata teman SMA-ku dua minggu lalu. “You must kidding me! 30 tahun dan masih sendiri?” katanya dengan nada yang sama sekali tak nyaman di telinga. Aku yang kesal pun langsung menyanggahnya, “I’ve married, Amartha!”

“Hei, jadi gimana? still single or married?” tanya Damon membuyarkan lamunanku.
Aku menghela nafas pendek. “Menikah itu penuh resiko, gak semudah itu.”
“Ini gak seperti pernikahan sungguhan kok, walaupun memang menikah dengan sah.”
“Jadi apa bedanya dengan pernikahan sungguhan?”
“Kita tetap menikah secara agama maupun hukum, dan kita jalani saja kehidupan kita seperti sekarang. Kau dengan hidupmu dan aku dengan hidupku, “ kata Damon. “Oh ya, kita juga harus tinggal serumah seperti pasangan suami istri sungguhan,” tambahnya.
“Serumah?” tanyaku sedikit takut mendengar yang terakhir itu. “No, itu terlalu beresiko, kau bisa saja melakukan itu padaku.”
“Melakukan apa?” tanya Damon dengan nada menggoda.
“Kamu pasti taulah apa yang dilakukan suami istri di ranjang mereka.”
Damon tertawa. “Pikiranmu terlalu jauh, ini hanya seperti kuliah tentang pernikahan, praktek lebih tepatnya.”
“Tetap saja beresiko, dan aku belum siap dengan resiko pernikahan,” kataku. “Lagipula kau sendiri belum pernah menikah, bagaimana kau akan menjadi ‘dosen’ku?”
 “Mabel, hidup memang penuh resiko, tergantung bagaimana kita mengatasinya,” katanya menatapku dalam. “Jangan jadi pengecut yang selalu menghindari resiko. Aku memang belum menikah, jadi kita bisa sama-sama belajar kan? ”
“Arghh,sepertinya aku tak punya pilihan lain,” kataku mulai putus asa.
“Selalu ada pilihan dan kamu selalu bisa memilih.”
“Ya, dan sepertinya aku memilih untuk ‘menikah’ denganmu,”kataku akhirnya.
            Sebuah senyum kemenangan terukir di bibir Damon. “Ok, mungkin aku ga seromantis pria di sana yang melamar kekasihnya dengan cincin di replica pesawat itu, tapi tetap saja aku harus melamarmu kan?” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna biru.
Lagi-lagi aku tertawa. “Damon, bukankah ini pernikahan kita hanya kuliah, haruskah kau melamarku?” tanyaku.
            “Hei my Mabel, ini juga bagian dari kuliah. Dimana-mana kalo mau nikah itu pasti ada acara melamar,” jawabnya sambil mengacak-acak rambutku.
            “Sok romantis!” ejekku.
            “Ah udah deh bercandanya, sekarang mau dilanjutin gak kuliahnya?”
            Aku mengangguk sambil menahan tawa melihat aksi ‘dosen’ di depanku.
            “Mabella  Evanthe, menikahlah denganku.”
Entah mengapa tawaku lenyap oleh tatapan mata Damon yang menatap penuh keseriusan dan tanpa sadar aku menganggukkan kepalaku. 

Kuliah pertama tentang pernikahan di Trattoria, sebuah lamaran.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar