Masih
terdengar suara anak-anak bermain di halaman samping rumah yang cukup luas.
Teriakan-teriakan dan tawa riang terdengar manis di telingaku. Aku mengamati
mereka dari jendela kamarku sambil sesekali ikut tertawa melihat tingkah mereka.
Lalu mereka terlihat cemberut ketika kudengar kamu menyuruh mereka berhenti
bermain karena hari sudah sore. Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang
memang sudah merah pekat.
Suara
langkah kaki terdengar mulai mendekat, aku lekas menutup jendela kamar di
samping ranjangku. Kamu membuka pintu kamarku sambil tersenyum padaku. Senyum
itu, masih saja tak berubah candunya sejak pertama kali aku melihatnya. Hanya
saja senyum itu kini muncul diantara keriput di wajahmu, tapi aku selalu suka. Dengan langkah berat kamu menghampiriku dan
kemudian duduk di sisi ranjang tua ini. “Ranu dan Rinjani sudah kusuruh pulang
dan segera mandi,” ucapmu melaporkan cucu-cucu kita seperti biasa. Aku
tersenyum dan mengangguk menerima laporanmu.
Kamu
melepaskan pakaian ku dengan hati-hati. Lalu kamu mengambil wadah besar berisi
air dan sebuah handuk kecil di meja di samping ranjang. Setiap pagi dan sore
kamu selalu setia membersihkan tubuhku dengan air hangat, lalu memakaikanku
pakaian, menyisir rambutku yang mulai berubah warna. Kamu bahkan tak lupa
mengikatnya atau kadang mengepangnya dengan rapi. “Kamu masih saja terlihat
cantik,” pujimu lalu mengecup keningku.
“Sudah
tak pantas kamu memujiku seperti itu, keriput sudah banyak di wajahku dan
rambutku pun tak lagi hitam dan tebal seperti dulu,” jawabku.
Kamu
tertawa kecil dan meraih tanganku yang lemah. “Kamu selalu cantik di mataku,
tak peduli wajahmu penuh dengan keriput ataupun rambutmu yang memutih semua,” ucapmu.
“Maafkan aku,” ucapku lirih. Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku
nyaris saja menangis lagi kalau kamu tak menggelengkan kepalamu, mengingatkanku
agar tak menangis lagi.
“Maaf
aku tak bisa menjadi istri yang baik bagimu,” ucapku pelan. “Maaf karena tak
bisa mengurus kamu, anak-anak kita, dan cucu-cucu kita Ranu dan Rinjani,
maaf...”
Lalu
hening cukup lama di antara kita hingga kamu membuka suara. “Bagiku kamu adalah
istri terhebat,” katamu. “Kamu wanita terhebat karena selalu menguatkan aku,
membuatku selau punya semangat di setiap pagi ketika aku membuka mataku.”
“Tapi
aku tak bisa membantumu, mengurusmu, memasak
makanan kesukaanmu, dan ternyata aku malah menyusahkanmu karena penyakit ini….”
Kamu
buru-buru meletakkan telunjukmu di depan bibirku. “Kamu hanya perlu tersenyum
dan jadi istriku yang kuat, jangan pernah menyerah, sayang,” ujarmu lembut.
“Berada di sisimu dan menghabiskan masa senja di rumah ini sudah cukup
membuatku bahagia dan menghebatkaku.”
Sekali lagi di senja itu kamu mengecup
keningku dengan lembut dan membuat air mataku jatuh membasahi pipiku tanpa bisa
ku tahan.
Terima
kasih sayang,
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah
meninggalkanku.
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah
lelah meghadapiku.
Terima kasih untuk kamu yang selalu
menguatkanku
Terima kasih sudah menjadi kekasih
terhebat untukku
*teruntuk sepasang kekasih terhebat di satu rumah
senja di salah satu sudut pulau Jawa
backsound : Anji – Kekasih Terhebat