Jumat, 14 Desember 2012

Kekasih Terhebat



Masih terdengar suara anak-anak bermain di halaman samping rumah yang cukup luas. Teriakan-teriakan dan tawa riang terdengar manis di telingaku. Aku mengamati mereka dari jendela kamarku sambil sesekali ikut tertawa melihat tingkah mereka. Lalu mereka terlihat cemberut ketika kudengar kamu menyuruh mereka berhenti bermain karena hari sudah sore. Aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang memang sudah merah pekat.
Suara langkah kaki terdengar mulai mendekat, aku lekas menutup jendela kamar di samping ranjangku. Kamu membuka pintu kamarku sambil tersenyum padaku. Senyum itu, masih saja tak berubah candunya sejak pertama kali aku melihatnya. Hanya saja senyum itu kini muncul diantara keriput di wajahmu, tapi aku selalu suka.  Dengan langkah berat kamu menghampiriku dan kemudian duduk di sisi ranjang tua ini. “Ranu dan Rinjani sudah kusuruh pulang dan segera mandi,” ucapmu melaporkan cucu-cucu kita seperti biasa. Aku tersenyum dan mengangguk menerima laporanmu.
Kamu melepaskan pakaian ku dengan hati-hati. Lalu kamu mengambil wadah besar berisi air dan sebuah handuk kecil di meja di samping ranjang. Setiap pagi dan sore kamu selalu setia membersihkan tubuhku dengan air hangat, lalu memakaikanku pakaian, menyisir rambutku yang mulai berubah warna. Kamu bahkan tak lupa mengikatnya atau kadang mengepangnya dengan rapi. “Kamu masih saja terlihat cantik,” pujimu lalu mengecup keningku.
“Sudah tak pantas kamu memujiku seperti itu, keriput sudah banyak di wajahku dan rambutku pun tak lagi hitam dan tebal seperti dulu,” jawabku.
Kamu tertawa kecil dan meraih tanganku yang lemah. “Kamu selalu cantik di mataku, tak peduli wajahmu penuh dengan keriput ataupun rambutmu yang memutih  semua,” ucapmu.
 “Maafkan aku,” ucapku lirih.  Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku nyaris saja menangis lagi kalau kamu tak menggelengkan kepalamu, mengingatkanku agar tak menangis lagi.
“Maaf aku tak bisa menjadi istri yang baik bagimu,” ucapku pelan. “Maaf karena tak bisa mengurus kamu, anak-anak kita, dan cucu-cucu kita Ranu dan Rinjani, maaf...”
Lalu hening cukup lama di antara kita hingga kamu membuka suara. “Bagiku kamu adalah istri terhebat,” katamu. “Kamu wanita terhebat karena selalu menguatkan aku, membuatku selau punya semangat di setiap pagi ketika aku membuka mataku.”
“Tapi aku tak bisa  membantumu, mengurusmu, memasak makanan kesukaanmu, dan ternyata aku  malah menyusahkanmu karena penyakit ini….”
Kamu buru-buru meletakkan telunjukmu di depan bibirku. “Kamu hanya perlu tersenyum dan jadi istriku yang kuat, jangan pernah menyerah, sayang,” ujarmu lembut. “Berada di sisimu dan menghabiskan masa senja di rumah ini sudah cukup membuatku bahagia dan menghebatkaku.”
 Sekali lagi di senja itu kamu mengecup keningku dengan lembut dan membuat air mataku jatuh membasahi pipiku tanpa bisa ku tahan.

Terima kasih sayang,
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah meninggalkanku.
Terima kasih untuk kamu yang tak pernah lelah meghadapiku.
Terima kasih untuk kamu yang selalu menguatkanku
Terima kasih sudah menjadi kekasih terhebat untukku








*teruntuk sepasang kekasih terhebat di  satu rumah senja di salah  satu sudut pulau Jawa
backsound : Anji – Kekasih Terhebat

Minggu, 02 Desember 2012

Dimana?


Aku kehilangan kata, 
Tercecer entah kemana.. 
Lalu aku hanya meraba, 
Hatiku tadi jatuh dimana? 



@desvianwulan 
KotaHujan 
30112012

Pak Pos Datang


Hujan mengetuk ngetuk petang 
Aku tahu pak pos pasti datang, 
Membawa balasan dari sekotak rindu yang mungkin usang.. 

Aku percaya semua akan pulang, 
Meski harus sakit bak tergores pedang, 
Seperti itulah jawaban yang datang.. 

Rasanya memang menyakitkan, 
Tapi aku belajar merelakan, 
Karena ku tau masih ada kejutan yang disiapkan Tuhan.. 

Dan kutunggu pak pos kembali datang.. 


@desvianwulan 
KotaHujan 
301112

Pak Pos

Lalu sekarang aku menunggu.. 
Berharap pak pos segera mengantar harapan di hari Rabu.. 
Atau kejutan manis di hari Minggu.. 

Semoga pak pos tak lupa alamatku.. 
Karena aku terus menunggu, 
Balasan dari sekotak rindu yang kuhias dengan pita biru.. 
Entah beberapa tahun yang lalu.. 



@desvianwulan 
KotaHujan 
271112 

HEI

ketika semua yang seharusnya berjalan, tetiba harus berhenti.. 
Lalu yang seharusnya berhenti kembali berjalan.. 
Mengitari pekarangan memori sembari tersenyum sinis.. 
"Hei, kau merindukanku 'kan?!" katanya dengan tatapan licik. 
Aku, tertawa seperti biasa sembari merutuki diri sendiri (dalam hati). 





@desvianwulan 
Kota Hujan 
271112

Jumat, 02 November 2012

Ketika




Melupakan sesuatu itu tidak semudah ketika kita berucap. Butuh waktu adalah hal yang sudah pasti. Terkadang ingatan itu justru makin melekat ketika kita mati-matian untuk melupakan. Namun jika membiarkannya tetap hidup dalam ingatan, bagaimana kita bisa beranjak dari masa lalu sementara waktu terus saja berlalu tak mau tahu?

Hujan deras menahanku di tempat ini, stasiun Bogor. Sudah limabelas menit ku habiskan dengan suara hujan bak pisau tajam perlahan membelah ingatanku, berusaha mencari-cari luka yang masih tersisa. Luka itu pun tentu saja masih ada, membiru. Tak ada yang tahu bagaimana aku terlalu pandai menyimpannya bertahun-tahun. Hidup bersama luka itu terlalu menyakitkan.

“Kamu tak harus pergi,” katanya menahan lenganku.
Aku melepaskan tangannya. “Bukankah katamu aku harus berani melawan rasa sakit ini?”
“Ketika kamu siap, kataku.”
“Aku sudah siap!”
Ia menggeleng pelan. “Belum, kamu belum siap.”
Aku mengernyitkan keningku. “Aku akan tetap tinggal di rumah dengan sekotak tisu kalau aku belum siap saat ini.”
“Kamu hanya berpura-pura siap, tapi tidak benar-benar siap,” jawabnya tegas.
Aku terdiam. Kalimat yang baru saja diucapkannya terulang dan memenuhi kepalaku. Benarkah aku belum siap? Lalu mengapa aku berani melangkah jika ternyata aku benar-benar belum siap?
“Kamu masih punya waktu untuk kembali jika belum siap, kereta akan berangkat sepuluh menit lagi,” katanya mengingatkan.

Dress selutut warna biru muda yang kukenakan khusus untuk acara hari ini pun basah. Bukan basah karena air hujan yang deras, tapi air mataku yang mengalir deras. Aku menoleh ke arahnya yang masih duduk di sampingku.

“Danu…, “panggilku. Ia pun menoleh padaku, menunggu jawabanku. “Kamu benar, aku memang belum siap.”
Dia masih saja diam seperti tahu bahwa kalimatku masih belum selesai. “Aku belum siap untuk melupakan masa lalu dengan luka yang masih tersisa di sini,” kataku dengan isak.  “Tapi aku ingin bisa melakukannya…”
Digenggamnya tanganku pelan. “Aku tahu kamu pasti bisa, dan aku tahu kamu akan tetap pergi meskipun aku mencoba menahanmu.” Dia melepaskan tangannya kemudian. “Pergilah, aku akan siap menopangmu ketika kamu mulai rapuh dan hendak jatuh.”
Suara dari speaker besar memberitahukan kalau kereta akan segera berangkat. Danu, lelaki itu tersenyum padaku sekali lagi. “Sudah waktunya kamu untuk berangkat sekarang.”
Aku mengangguk. “Boleh aku memelukmu? Aku butuh kekuatan lebih untuk menghadapi beberapa jam kedepan.”
“Tentu.”

Aku pun merasakan aliran hangat mengalir di tubuhku, seolah Danu benar-benar mengirimkan energi-nya padaku agar aku tetap bisa berdiri menyaksikan seseorang di masa lalu bersanding dengan rona bahagia penuh cinta di pelaminan. Seseorang yang pernah jadi hal terindah dalam hidup hingga membuatku berani mempunyai mimpi-mimpi besar yang ingin kulalui bersamanya. Hingga pada kenyataanya, semua itu hanyalah sekedar mimpi yang harus dibunuh pelan-pelan oleh kejutan dalam sebuah undangan berwarna putih yang dikirim ke alamatku sepuluh hari yang lalu.

Masa lalu yang indah terkadang bisa menjadi musuh terbesar dalam hidup kita.  Tak peduli seberapa merdu suara hujan yang pernah jadi indah itu menjelma menjadi pisau yang makin merobek-robek lukaku, karena aku tahu sudah ada masa depan yang menantiku datang untuk mengobati sakit yang terlalu lama hidup.
***

Minggu, 09 September 2012

Sekantung Rindu


by Desvian Wulan on Sunday, September 9, 2012 at 1:52pm ·

*MHD

bulan masih sama, hanya saja tanpa hujan ataupun langit sore kemerahan..
bulan masih sama, hanya tanpa balon ataupun mekarnya bunga..

Kamu menawarkan ku setoples tawa yang sudah usang..
Kamu memintaku mengambilnya..
Lalu apa lagi?
Kamu mau apa?
Aku hanya punya sekantung rindu yang tak pernah terbang..
Rindu yang terbungkus doa penuh harap..

mereka tak bisa terbang..
tak pernah..
meski aku berulang kali melemparnya ke udara..
tak sekalipun..

Tahukah kamu mengapa mereka seperti itu?
ahh, kamu pasti tak peduli..
ya, aku tahu itu..
dan aku sudah menegakkan kaki-kaki kecilku untuk tetap berdiri..
Berpijak pada kenyataan..

Dan aku yang harus pulang..
Kembali dengan sekantung rindu yang masih utuh tanpa kau sentuh..





KotaHujan, 090912

Minggu, 26 Agustus 2012

Dunia Berputar Untuk Cinta




Langit makin menua di barat. Aku menikmati hari Sabtu sore yang sangat langka bagiku dan lelaki di sampingku ini. Duduk berdua di beranda rumah dengan berbagai obrolan dan dua cangkir capucinno buatannya.
“Bukan cinta yang membuat dunia berputar,” katanya sambil meraih buku di meja. Keningnya berkerut membaca judul buku yang kini di tangannya.
Aku tersenyum. “Tertarik mau baca? Itu buku bagus lho.”
Dia menggeleng pelan. “Mana sempat aku baca beginian di mess, aku Cuma tertarik sama judulnya aja,” jawabnya santai.
“Kamu setuju kalau cinta yang membuat dunia ini berputar?” tanyaku.
Dia terdiam tanpa ekspresi. Lama.
“Menurutku bukan cinta yang membuat dunia ini berputar, tapi…,” kata lelaki itu menggantung kalimatnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya yang duduk di sampingku.
“Tapi…?”
“Tapi dunia ini yang akan berputar untuk cinta,” jawabnya diikuti senyum yang selalu membuatku jatuh hati itu.
“How?” tanyaku.
“Mmm… kasih tau nggak ya..?!” jawabnya iseng dengan mimik wajah jahilnya. Aku mencubit lengannya kesal.  Dia tertawa puas karena berhasil membuatku penasaran.
“Ih, ngeselin banget sih!”
“Emang mau tau?” godanya. Aku mengagguk semangat.
“Mau tau apa mau tau banget…?” godanya dengan tampangnya yang super iseng.
Aku menyilangkan tanganku di dada dan memasang wajah ngambek. Lalu tawanya terdengar makin keras  melihat tingkahku. 

--

Tepuk tangan meriah menutup acara launching novel kelima ku siang itu. Kemudian acara selanjutnya adalah sesi foto dan tanda tangan yang cukup banyak. Semua acara telah selesai dan aku hendak meninggalkan café tempat launching buku itu ketika seseorang bertopi menghampiriku. “Maaf mba, boleh minta tanda tangannya?” katanya dengan kepala tertunduk sambil menyodorkan buku yang ternyata bukan bukuku.
Aku mengerutkan kening bingung. Buku yang sama seperti yang pernah kuselipkan diam-diam di ransel seorang tentara  sebelum ia berangkat ke Lebanon enam tahun lalu.
“Mas Henry!” seruku yang membuat orang-orang di sekitarku menoleh ke arahku. Mukaku merah padam. Kutarik tangannya keluar café.
Lalu kami ngobrol sambil jalan. Dia akhirnya melepas topinya sambil tersenyum. Senyum yang sudah terlalu lama hilang.
“Selamat ya, akhirnya jadi penulis beneran,” uacapnya.
Aku tersenyum. “Thanks!”
Lalu aku merasakan bunga-bunga mulai tumbuh memenuhi hatiku. Seharusnya tak boleh begini. Kami, aku dan dia, sudah lama putus. Beberapa bulan setelah ia berangkat ke Lebanon, aku merasa kami seharusnya mengakhiri hubungan kami karena sifat kekanakanku ketika itu.
“Buku ini kukembalikan,” katanya sambil menyodorkan lagi buku karangan Wangi Mutiara dan Hana May itu padaku. 

 “Sudah menemukan cinta yang membuat duniamu berputar?” tanyaku dengan ekspresi wajah sesantai mungkin.
Dia tersenyum lalu menggeleng. Lalu aku teringat sesuatu. “kamu berutang penjelasan tentang dunia yang berputar untuk cinta!”
“Bukankah sudah terjawab?” katanya terkekeh. 
“Mana?”
“Kita,”ucapnya. “Waktu terus berlalu dan sudah enam tahun lebih kita tak bertemu bukan? Aku belum menemukan cinta yang membuat duniaku berputar, entah dengan kamu.”
Aku mengangguk dan hanya diam mendengarkannya.   
“Tak peduli sejauh apa kita berputar mencari cinta, dunia akhirnya mempertemukan kita lagi dengan sesuatu yang pernah kita sebut cinta.”

Ya, dunia benar-benar berputar untuk kita, untuk cinta.

 ***


"Beradu"







dan ketika andai tak lagi mengawali tiap rangkaian aksaraku,,
Lantas hendak kuganti dengan apa mereka?

Jika..
Jika pena tak mampu lagi bercerita tentang kamu..

Mengapa mereka tak mampu?
Sudah letihkah ia ?
bila sang pena mulai letih, aku tentu memahami.
Tapi bagaimana dengan ribuan aksara yang terus menari di otakku?

Biarkan aksara menari lincah
Biarkan aksara mengukir indah dinding khayal dalam benakmu
Tak perlu kau catat
Tak perlu kau ungkap
Biarkan ia melukis senyum simpul dalam sepimu

Meski mereka begitu indah,
Meski mereka begitu lincah,
Mereka terus saja bertambah
Dan tinta terus saja tumpah…




 Bogor, 25082012
Desvian Wulan & Siti Sulastri





note:
Karya duet ini terbentuk tanpa disengaja dan tanpa rencana.
Berawal dari beberapa baris kata yang saya posting di status facebook lalu di bala oleh teman saya di kolom komentar.
dan hasilnya seperti yang diatas..
\(^o^)/

Selasa, 21 Agustus 2012

Surat untuk Malam

teruntuk Malam,


Kamu ceroboh, malam..
Masih banyak sisa-sisa senja yang kau tinggalkan..
bagaimana aku harus membersihkannya..
Sedang aku tak punya kumpulan tulang daun kelapa itu..

Harusnya kau kembali,,
Tentu harus kembali lagi..
Harus kau sapu setiap sudut ruang ini..
Agar aku bisa mengisinya dengan yang lebih berguna..

Bawa saja pergi olehmu, 
serpihan jingga di sepertiga tahun yang lalu..
Jangan sisakan untuk sesiapa pun lagi, malam..

  


Btzrg,210812

Senin, 20 Agustus 2012

LALU HARUS KEMANA??


Jauh-jauh bulan sebelum libur panjang tiba, sudah terbayang akan diiisi dengan kegiatan apa saja. Memang awalnya rencana mudik tahun ini hampir tidak terlintas, namun awal-awal bulan ramadhan keluarga bilang mau mudik. Mendengar rencana itu, otak saya langsung didatangi berbagai macam rencana yang akan saya lakukan di kampung halaman.

Rencana yang paling awal muncul di kepala saya adalah MENJELAJAH JOGJA. Ya, meski kota indah itu bukan kota kelahiran saya, namun saya terlanjur jatuh cinta dengan kota itu sejak lama. Selama ini saya hanya mengunjungi malioboro dan pasar beringharjo saja kalau ke jogja. Karena itulah saya berencana mengunjungi tempat2 lain di jogja, tentunya tidak ikut rombongan. Tentu saya sudah membayangkan mengunjungi keraton, parangtritis, tempat2 bersejarah, dan tentunya hunting foto. Ahh,, semua begitu rapi di bayangan saya. Namun Tuhan selalu punya rencana, mudik gagal! dan tentu saja bayangan indah kota jogja pun musnah !!

Oke..!! saya harus berbesar hati kali ini, mungkin taun depan. Ya, saya menghibur diri saja. Lalu saya segera mencari rencana lain, saya pikir di ruma dengan berkeping-keping dvd thai-drama tidak terlalu buruk. Saya pun hunting dvd dan dapat beberapa film bagus. Sengaja saya simpan dulu sampai liburan tiba.

tapi saya pikir tentu akan membosankan jika hanya menonton dvd saja. Saya butuh refreshing, suasana baru.
Saya punya rencana ke kota tua jakarta, mengungjungi museum atau sekedar hunting foto. Tapi masalah selau ada, saya butuh teman dan susah mencari teman yang bisa diajak pergi ke museum. Beberapa diantara mereka mungkin beralasan jakarta panas, museum membosankan, atau apalah itu.

Lalu hari lebaran kedua, saya bertemu teman2 kuliah. Saya yang tidak tau apa2, tiba2 diajak diskusi tentang liburan ke bandung esok hari. dan parahnya ternyata perjalanan dimajukan malam ini. Dadakan? bangettt..!!
Saya sih udah feeling bakalan susah dapet izin dari ortu.. dan benar saja kaaann?? terus saya yang disalahkan karena kurang komunikasi... gimana gak komunikasi, lha saya aja baru tau tadi sore kok..
sayapun gak menyalahkan siapa2... cumaaannnn dinomorsekiankan, diberi harapan, dan akhirnya ditolak mentah2 di depan banyak orang?!! MALU..!!

hhufttt...!!!
JOGJA GAGAL
BANDUNG DITOLAK
LALU SAYA HARUS KEMANA???
SAYA CUMA PENGEN LIBURAN YANG BENER2 LIBURAN, JALAN-JALAN...!!!





Senin, 13 Agustus 2012

selamat malam


dan lagi-lagi bukan hari ini..
pun hingga langit sepekat ini..


kecewa?
untuk apa, pada siapa?
sia-sia saja..

tak hanya melintas mampir di beranda ingat yang dulu sering disinggahi..
bahkan kali tadi terselip dalam doa dan puji yang terucap dengan penuh harap..


mungkin mereka tersesat, masih mencari jalan yang lebih tepat untuk sampai padamu..
entah seberapa banyak mereka yang selalu saja bertambah..

aku belum bosan..

harusnya kau tinggakan jejakmu agar mereka tak tersesat dalam rimba..
pun aku tak membekali mereka kompas penunjuk arah..
jadi harus kusuruh mereka ke arah mana lagi?
utara, selatan, barat, timur??

semuanya pilihan.

berharap kamu nyenyak malam ini..
dimanapun..
meski dianatara rerimbunan hijau sekalipun dan berselimut dingin malam ini..


aku tak tau apakah kamu diantara kenyamanan atau kewajiban..
aku hanya bisa mengirimkan mereka untukmu..
dari sini, yang dulu pernah kau singgahi..


selamat malam
untuk yang entah dimana

Jumat, 06 Juli 2012

Beliau bilang namanya 'Profesional'

Sore itu, ketika bel tanda berakhirnya di hari jumat berbunyi. Ketika satu persatu rekan kerja sudah terburu-buru meninggalkan ruangan karena ingin segera pulang. Saya masih tinggal di ruangan bersama beberapa rekan lain. Saya juga ingin segera pulang, tapi karena pekerjaan di awal bulan yang memang banyak deadline itu memaksa saya sibuk di depan layar komputer samapi lupa kalau jam pulang hampir tiba dan saya shalat ashar dulu sebelum pulang.

Selesai shalat, saya segera membereskan meja kerja dan mematikan komputer. Hanya ada saya dan senior yang mejanya bersebelahan dengan saya. Jujur saat itu saya sedang ragu atau lebih tepatnya takut untuk bicara padanya yang juga sedang bersiap pulang, karena beberapa waktu sebelum pulang beliau sempat kesal dan bersuara agak keras karena masalah pekerjaan.dan saat itu hanya ada kami berdua, dia memanggil saya dan menanyakn sesuatu yang baru kali pertama ditanyakannya pada saya. Lalu dia mengatakan sesuatu yang lain yang juga sedikit membuat saya kaget dan membuat saya berpikir dan merenung. Kalimat-kalimatnya positif dan lebih membuka mata saya.

Sejujurnya sejak pertama kali bergabung dengan bagian akunting ini, saya selalu berusaha untuk bisa bekerja sama dengan siapapun. Hingga ledakan-ledakan muncul yang sempat membuat saya down bahkan berniat untuk resign. Namun saya selalu berusaha untuk selalu bertahan dan berusaha untuk menghadapi tantangan yang diberikan Allah yang saya selalu yakin memliki tujuan untuk membentuk saya menjadi pribadi yang kuat. Rasanya tak terhitung berapa tetes airmata yang saya jatuhkan karena bekerja di tempat ini, dan saya beruntung punya orang-orang yang selalu menguatkan saya.

Tak hanya ledakan-ledakan yang tercipta karena pekerjaan, tapi juga kadang dan bahkan hampir sering ledakan pribadi yang terseret dalam dunia pekerjaan. Ada beberapa orang yang tak suka pada orang lain, namun ketika bekerja perasaan tersebut juga dibawa. Terkadang mereka malah saling menjatuhkan, menikam dari belakang, dan tak bisa bekerjasama seperti yang seharusnya.

Saya tak bilang kalau saya bersih dari hal-hal seperti itu. Saya pun mengakui kalau sayapun memiliki banyak uneg-uneg tak enak tentang orang-orang di lingkungan kantor (siapa sih yang tak punya?!), tapi saya selalu berusaha untuk tidak mengaplikasikannya ke dalam pekerjaan seperti beberapa orang di sekitar saya itu. Ketika saya merasa dirugikan, disalahkan, 'dikerjain', 'dimanfaatkan', dibentak, atau hal lainnya yang menyakiti hati, saya selalu berusaha untuk menerimanya dan menyimpannya di hati selama itu tidak melewati batas. Ya meski tidak jarang saya berbagi itu pada bebrapa teman, sekedar untuk meringankan beban.

Menurut saya, tidak semua kejahatan dibalas kejahatan (memang seharusnya begitu!). Api dibalas api tak akan pernah berakhir baik, yang ada malah kerusakan yang lebih besar.
Saya hanya yakin, Allah gak akan meninggalkan saya. Satu hal penyemangat yang sejak dulu saya percayai ketika saya sedang 'jatuh', kalimat yang selalau saya katakan pada diri sendiri, "Sabar sabar sabar, pasti ada kejutan manis menati setelah rasa sakit ini!"

Saya merasa beruntung punya sifat 'nerimo'.. Saya hanya berusaha menjadi orang baik saja, mau berteman dengan siapa saja, berusaha ramah, dan intinya ya itu tadi, menjadi orang baik.

Kembali ke sore itu bersama senior. Beliau mengatakan satu hal yang ia sebut 'Profesional'. Well, itu benar sekali!. Beliau seperti menyentil saya dengan obrolannya sore itu sambil berjalan menuju loby kantor, seperti mengingatkan saya untuk tidak terbawa arus.
Mungkin bahasa saya selama ini terlalu sederhana. Cara sederhana saya hanya berusaha menjadi orang baik, menjadi air yang mengikis batu dan bukan menjadi sesuatu yang mudah terbawa arus. Tapi 'profesional' itu sepertinya lebih tepat digunakan.

Saya harus berterima kasih pada senior saya itu. Beliau sudah mengingatkan saya dan membuat saya menemukan satu sisi positif lagi dari beliau. Meski kadang beliau bisa membuat saya mengkeret, tapi saya tahu beliau adalah sosok yang penyayang dan baik.
dan memang benar kata pepatah, "Tak Kenal Maka Tak Sayang"..

Terima kasih ya bu atas sore yang baik.



Btzrg.
July, 6th 2012

Senin, 02 Juli 2012

Rindu Tanpa Batas Waktu

Air Terjun Benang Kelambu-Lombok Tengah

Mereka selalu bilang kalau kesabaran itu selalu berbatas. Tapi kesabaranku untukmu masih belum menemukan ujungnya. Aku masih dengan rasa sabarku menunggumu dan memelihara rindu ini. Selalu berharap bisa menemukanmu di tempat ini, Air Terjun Benang Kelambu yang tersembunyi dengan segala keindahnnya di Lombok Tengah yang tak banyak terjamah.
Disinilah aku hari ini, di tempat yang sama seperti satu tahun setelah pertemuan kita yang singkat, terlalu singkat bahkan. Jangankan bisa saling mengetahui nama, sekedar menyapa pun tidak. Tepatnya aku yang tak menggunakan kesempatan untuk menyapamu karena aku terlalu takut. Aku takut mengusikmu yang begitu menikmati suasana air terjun sambil bermain-main air dengan beberapa teman-temanmu. Takut tak lagi bisa menikmati kecantikanmu yang begitu menyihirku hingga ku hanya memaku memandangimu dari kejauhan. Percikan air yang mengalir dengan cantik diantara tumbuhan hijau merambat itu seakan ikut memercikkan sesuatu jauh ke dalam hatiku.
Sejak saat itu hingga detik ini, aku masih tak bisa menamainya. Aku hanya selalu merasa ingin selalu kembali ke tempat ini, lagi dan lagi. Jatuh cinta. Ya, rasanya aku sudah jatuh cinta pada tempat ini, tempat yang selalu membuatku rindu seperti merindukanmu.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Mereka terus bergulir dan meninggalkanku dengan rindu yang tumbuh makin subur, seperti aliran dari Rinjani yang membasahi kakiku. Langit mulai gelpa dan jarum di arlojiku pun sudah menuju angka enam. Aku harus pergi dan membawa pulang lagi rinduku.
“Samudra…” Kakiku baru berdiri dengan sempurna di atas batu besar yang tadi ku duduki ketika terdengar seseorang menyebut namaku. Aku tak yakin dengan suara tadi, mungkin hanya salah dengar.
Aku kemudian nyaris terpleset menuruni batu dan bersiap untuk berjalan meninggalkan air terjun benang kelambu, namun suara yang sama memanggil namaku lagi.  Aku berhenti dan mengedarkan pandanganku mencari sumber suara namun tak kudapati seorangpun dan tempat ini mulai sepi. Dan seseorang tiba-tiba sudah muncul di depan mataku ketika aku berbalik. Dia, perempuan yang kurindukan sejak setahun lalu.
Lagi-lagi aku hanya bisa terpaku dengan bibir seakan terkunci. Wajah bercahaya di depanku makin melumpuhkanku dengan senyum yang tercipta di bibirnya. “Samudra…”
Tangannya dengan lembut meraih tanganku dan mengajakku berjalan. “Mau kemana kita?” tanyaku ketika aku mulai merasa kalau kakiku dan kakiknya tak lagi menyentuh daratan. Terbang, kami sedang terbang!
Tangannya mengibaskan selendang sutera ungunya ke arah rinai air terjun. Aku terperanjat ketika air itu aliran air itu terbelah dua seperti kelambu yang dibuka.
“Muara rindumu yang tanpa batas itu kini di depan matamu,” katanya. Lalu pandanganku menjadi gelap dan kepalaku mulai terasa berat.

Aroma minyak kayu putih yang begitu kuat menusuk hidungku. Dengan kepala yang terasa berat, aku memaksa membuka kedua mataku. Beberapa orang berada di sampingku. Mereka bilang kalau aku terjatuh di dekat bebatuan tadi.
“Udah sadar? Ini minum dulu,” ucap seseorang yang suaranya tak asing rasanya di telingaku.
Sebotol air mineral disodorkan padaku. Aku mendongak dan mendapati wajah yang sama yang mengajakku terbang dan membelah benang kelambu beberapa menit lalu. Ahh, sepertinya aku masih belum benar-benar terbangun dari tidurku.

***

 

Selasa, 26 Juni 2012

15# Mungkin (Takkan) Ada Lagi


Raja Ampat-Papua


Aku akhirnya memutuskan untuk menemuimu ke tanah Papua, di timur nusantara. Raja Ampat, tempat yang katamu indah bagai surga di dunia. Lima belas menit perjalanan dengan speedboat dari Kota Waisai ke Waiwo.
Ahh, apa yang kamu bilang padaku tentang Raja Ampat itu salah! Ini bukan hanya indah, tapi sangat-sangat indah! Tak heran kalau kamu ternyata betah dan tak ingin meninggalkan tempat seindah dan sekeren ini.
Aku nyaris tak mampu berkata-kata lagi. Hamparan laut biru yang bening bak kristal dengan airnya yang betul-betul tenang tak berombak sejauh mata memandang. Kayu-kayu jetty sebagai halte dan trotoar laut yang menjulur ke tengah perairan menjadi keanggunan pemandangan terdekat dengan darat yang tak ada di pusat kota besar lainnya di Indonesia yang pernah kukunjungi (bersamamu).
Seorang lelaki yang sudah siap dengan pakaian menyelamnya menghampiriku. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun lalu, ketika kami terakhir kali bertemu sebelum dia memutuskan ke Raja Ampat. “Hai, Rum,” sapanya untuk pertama kali setelah dua tahun lalu. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.
“Apa kabarmu?” tanyanya basa-basi dengan nada yang sedikit canggung.
“Kabarku baik, bagaimana denganmu anak laut?” tanyaku. Dia tertawa kecil mendengar panggilanku untuknya.
“Kabarku juga baik, nona fotografer,” balasnya dengan senyum mengembang dan memperlihatkan lesung pipinya.
Terdengar suara dive master memanggil namanya untuk segera bersiap-siap karena sebentar lagi para penyelam akan segera menceburkan dirinya untuk menikmati keindahan bawah laut yang tak tertandingi. Aku dan si anak laut pun segera bergabung dengan penyelam lainnya untuk menyelam.

Kami beristirahat sejenak setelah naik ke permukaan. Aku memilih untuk memisahkan diri tak jauh dari rombongan. Si anak laut yang menjadi alasan utamaku ke timur nusantara ini menghampiriku lagi. Kmai duduk bersisian di atas pasir yang bersih dan lembut.
“Gak kalah dengan Bali, Bunaken, ataupun Wakatobi, kan?” tanyanya dengan mata memandang lurus ke lautan biru.
“Ini lebih dari keren, juara!”
Dia tertawa kecil. Aku menoleh ke arahnya dan memandanginya dari sisi kirinya sampai akhirnya di tersadar sedang diperhatikan. “Kenapa ngeliatin kayak gitu?”
Aku tersenyum. “Aku Cuma lagi mikir aja, kenapa dulu kamu nggak bawa aku pergi ke tempat ini.”
Dia hanya diam memandangku.  
“Kamu tau nggak, sejak kamu menghilang tanpa kabar sampai detik ini pun aku masih sayang banget sama kamu, dan mungkin takkan ada lagi yang bisa ngisi hatiku selain kamu,” kataku setenang mungkin.
Dia mengalihkan pandangannya dariku. “Harum, kamu pun tau kalau aku nggak akan bisa bawa kamu pergi,” katanya.
Aku mengangguk kecewa. “Tapi maukah kamu pulang Desember nanti?” tanyaku.  “Sekali saja, Banyu. Untukku…”
Banyu hanya diam tak memberiku jawaban. 

 **

Sebuah kotak biru tua berpita masih tergeletak di meja kamarku sejak satu minggu lalu. Tak kusentuh sama sekali sejak perempuan yang kupangiil nona fotografer itu memberikannya padaku di resort Raja Ampat. Tanganku ragu menyentuhnya, namun kata-kata terakir Harum menggerakkan hatiku.
Selembar foto kami ketika kami masih berstatus sepasang kekasih, foto yang diambil di Bromo tiga tahun lalu. Lalu selembar foto lagi, ia yang tampak cantik dalam balutan kebaya dan aku lengkap dengan beskap Jawa, kami duduk di samping sepasang pengantin. Ibunya dan Ayahku menikah dan kami memilih untuk memutuskan hubungan kami sejak itu dan aku meninggalkan pulau Jawa menuju Papua.
Letaknya di dasar kotak, sebuah undangan pernikahan. Dia jauh-jauh mengunjungiku ke timur hanya untuk meyerahkan undangan pernikahannnya dengan lelaki yang dijodohkan dengannya ke tanganku sendiri. 

Banyu, sekali saja kembalilah ke rumah. Meski bukan demi aku, datanglah sebagai kakak untuk adikmu. Mungkin tak akan ada lagi kisah si anak laut dan nona fotografer, tapi masih ada cerita Mas Banyu dan adiknya, Harum.  





Btzrg. June 26th 2012