Minggu, 26 Agustus 2012

Dunia Berputar Untuk Cinta




Langit makin menua di barat. Aku menikmati hari Sabtu sore yang sangat langka bagiku dan lelaki di sampingku ini. Duduk berdua di beranda rumah dengan berbagai obrolan dan dua cangkir capucinno buatannya.
“Bukan cinta yang membuat dunia berputar,” katanya sambil meraih buku di meja. Keningnya berkerut membaca judul buku yang kini di tangannya.
Aku tersenyum. “Tertarik mau baca? Itu buku bagus lho.”
Dia menggeleng pelan. “Mana sempat aku baca beginian di mess, aku Cuma tertarik sama judulnya aja,” jawabnya santai.
“Kamu setuju kalau cinta yang membuat dunia ini berputar?” tanyaku.
Dia terdiam tanpa ekspresi. Lama.
“Menurutku bukan cinta yang membuat dunia ini berputar, tapi…,” kata lelaki itu menggantung kalimatnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya yang duduk di sampingku.
“Tapi…?”
“Tapi dunia ini yang akan berputar untuk cinta,” jawabnya diikuti senyum yang selalu membuatku jatuh hati itu.
“How?” tanyaku.
“Mmm… kasih tau nggak ya..?!” jawabnya iseng dengan mimik wajah jahilnya. Aku mencubit lengannya kesal.  Dia tertawa puas karena berhasil membuatku penasaran.
“Ih, ngeselin banget sih!”
“Emang mau tau?” godanya. Aku mengagguk semangat.
“Mau tau apa mau tau banget…?” godanya dengan tampangnya yang super iseng.
Aku menyilangkan tanganku di dada dan memasang wajah ngambek. Lalu tawanya terdengar makin keras  melihat tingkahku. 

--

Tepuk tangan meriah menutup acara launching novel kelima ku siang itu. Kemudian acara selanjutnya adalah sesi foto dan tanda tangan yang cukup banyak. Semua acara telah selesai dan aku hendak meninggalkan café tempat launching buku itu ketika seseorang bertopi menghampiriku. “Maaf mba, boleh minta tanda tangannya?” katanya dengan kepala tertunduk sambil menyodorkan buku yang ternyata bukan bukuku.
Aku mengerutkan kening bingung. Buku yang sama seperti yang pernah kuselipkan diam-diam di ransel seorang tentara  sebelum ia berangkat ke Lebanon enam tahun lalu.
“Mas Henry!” seruku yang membuat orang-orang di sekitarku menoleh ke arahku. Mukaku merah padam. Kutarik tangannya keluar café.
Lalu kami ngobrol sambil jalan. Dia akhirnya melepas topinya sambil tersenyum. Senyum yang sudah terlalu lama hilang.
“Selamat ya, akhirnya jadi penulis beneran,” uacapnya.
Aku tersenyum. “Thanks!”
Lalu aku merasakan bunga-bunga mulai tumbuh memenuhi hatiku. Seharusnya tak boleh begini. Kami, aku dan dia, sudah lama putus. Beberapa bulan setelah ia berangkat ke Lebanon, aku merasa kami seharusnya mengakhiri hubungan kami karena sifat kekanakanku ketika itu.
“Buku ini kukembalikan,” katanya sambil menyodorkan lagi buku karangan Wangi Mutiara dan Hana May itu padaku. 

 “Sudah menemukan cinta yang membuat duniamu berputar?” tanyaku dengan ekspresi wajah sesantai mungkin.
Dia tersenyum lalu menggeleng. Lalu aku teringat sesuatu. “kamu berutang penjelasan tentang dunia yang berputar untuk cinta!”
“Bukankah sudah terjawab?” katanya terkekeh. 
“Mana?”
“Kita,”ucapnya. “Waktu terus berlalu dan sudah enam tahun lebih kita tak bertemu bukan? Aku belum menemukan cinta yang membuat duniaku berputar, entah dengan kamu.”
Aku mengangguk dan hanya diam mendengarkannya.   
“Tak peduli sejauh apa kita berputar mencari cinta, dunia akhirnya mempertemukan kita lagi dengan sesuatu yang pernah kita sebut cinta.”

Ya, dunia benar-benar berputar untuk kita, untuk cinta.

 ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar