Melupakan sesuatu itu tidak
semudah ketika kita berucap. Butuh waktu adalah hal yang
sudah pasti. Terkadang ingatan itu justru makin melekat ketika kita mati-matian
untuk melupakan. Namun jika membiarkannya tetap hidup dalam ingatan, bagaimana
kita bisa beranjak dari masa lalu sementara waktu terus saja berlalu tak mau
tahu?
Hujan deras menahanku di tempat
ini, stasiun Bogor. Sudah limabelas menit ku habiskan dengan suara hujan bak
pisau tajam perlahan membelah ingatanku, berusaha mencari-cari luka yang masih
tersisa. Luka itu pun tentu saja masih ada, membiru. Tak ada yang tahu
bagaimana aku terlalu pandai menyimpannya bertahun-tahun. Hidup bersama luka
itu terlalu menyakitkan.
“Kamu tak harus pergi,” katanya
menahan lenganku.
Aku melepaskan tangannya. “Bukankah
katamu aku harus berani melawan rasa sakit ini?”
“Ketika kamu siap, kataku.”
“Aku sudah siap!”
Ia menggeleng pelan. “Belum, kamu
belum siap.”
Aku mengernyitkan keningku. “Aku
akan tetap tinggal di rumah dengan sekotak tisu kalau aku belum siap saat ini.”
“Kamu hanya berpura-pura siap,
tapi tidak benar-benar siap,” jawabnya tegas.
Aku terdiam. Kalimat yang baru
saja diucapkannya terulang dan memenuhi kepalaku. Benarkah aku belum siap? Lalu
mengapa aku berani melangkah jika ternyata aku benar-benar belum siap?
“Kamu masih punya waktu untuk
kembali jika belum siap, kereta akan berangkat sepuluh menit lagi,” katanya
mengingatkan.
Dress selutut warna biru muda
yang kukenakan khusus untuk acara hari ini pun basah. Bukan basah karena air
hujan yang deras, tapi air mataku yang mengalir deras. Aku menoleh ke arahnya
yang masih duduk di sampingku.
“Danu…, “panggilku. Ia pun
menoleh padaku, menunggu jawabanku. “Kamu benar, aku memang belum siap.”
Dia masih saja diam seperti tahu
bahwa kalimatku masih belum selesai. “Aku belum siap untuk melupakan masa lalu
dengan luka yang masih tersisa di sini,” kataku dengan isak. “Tapi aku ingin bisa melakukannya…”
Digenggamnya tanganku pelan. “Aku
tahu kamu pasti bisa, dan aku tahu kamu akan tetap pergi meskipun aku mencoba
menahanmu.” Dia melepaskan tangannya kemudian. “Pergilah, aku akan siap
menopangmu ketika kamu mulai rapuh dan hendak jatuh.”
Suara dari speaker besar
memberitahukan kalau kereta akan segera berangkat. Danu, lelaki itu tersenyum
padaku sekali lagi. “Sudah waktunya kamu untuk berangkat sekarang.”
Aku mengangguk. “Boleh aku
memelukmu? Aku butuh kekuatan lebih untuk menghadapi beberapa jam kedepan.”
“Tentu.”
Aku pun merasakan aliran hangat
mengalir di tubuhku, seolah Danu benar-benar mengirimkan energi-nya padaku agar
aku tetap bisa berdiri menyaksikan seseorang di masa lalu bersanding dengan
rona bahagia penuh cinta di pelaminan. Seseorang yang pernah jadi hal terindah
dalam hidup hingga membuatku berani mempunyai mimpi-mimpi besar yang ingin
kulalui bersamanya. Hingga pada kenyataanya, semua itu hanyalah sekedar mimpi
yang harus dibunuh pelan-pelan oleh kejutan dalam sebuah undangan berwarna
putih yang dikirim ke alamatku sepuluh hari yang lalu.
Masa lalu yang indah terkadang
bisa menjadi musuh terbesar dalam hidup kita. Tak peduli seberapa merdu suara hujan yang
pernah jadi indah itu menjelma menjadi pisau yang makin merobek-robek lukaku,
karena aku tahu sudah ada masa depan yang menantiku datang untuk mengobati
sakit yang terlalu lama hidup.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar