Rabu, 11 Februari 2015

Peron Dua Stasiun Gondangdia



Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Beberapa dari mereka sudah tiba, lalu pergi. Pun dengan beberapa setelahnya. Dan aku masih di sini, belum beranjak dari kursi besi yang dingin. Yang kutunggu belum juga terdengar tanda kedatangannya yang biasanya diumumkan lewat pengeras suara. Kubuka lagi buku kumpulan cerita yang sudah kuberi tanda dengan pembatasnya di halaman seratus lima puluh enam. Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, judul buku yang kubaca itu.

Aku baru saja sampai pada cerita tentang Ainun yang dikutuk karena membela Subairi, lelaki yang dicintainya. Lelaki itu dituduh melakukan perbuatan tak senonoh pada seorang gadis, lalu membunuhnya. Ia dihakimi oleh warga desa yang terbakar amarah.

Bakar! Bunuh! Laknat!

Barangkali takdir, begitu jawaban Subairi ketika Ainun menanyakan alasan Subairi berbohong padanya.  Kasihan sekali Ainun, pikirku. Ia harus menerima kutukan karena membela lelaki yang dicintainya. Ia bahkan tetap mencintainya, dan tak ada lelaki lain lagi, hingga usianya yang lebih dari satu abad. Dan ternyata, lelaki itu sudah berbohong padanya. Ia benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan warga desa.

Barangkali takdir, seperti yang tertulis dalam buku ini.

Hingga pada detik yang membuatku hendak beranjak, kau muncul di sana, dari eskalator yang membawamu naik ke tempat yang sama denganku. Dengan seragam hijau kebangganmu, menggendong ransel kanvas warna beige. Aku mengenalimu, namun kau tidak. Kau tahu, bahwa hanya melihatmu saja sudah cukup membuatku bodoh. Aku mengabaikan yang sedari tadi kutunggu hingga bosan. Commuter line tujuan Bogor sudah berlalu. Meninggalkanku yang ingatannya terlempar lagi ke masa lalu.

Demi apapun aku merasa semakin bodoh karena membiarkan hatiku senang karenamu. Dan bibirku, sulit sekali membuatnya untuk tidak tersenyum. Alih-alih membiarkan diriku semakin terlihat bodoh dengan membiarkan mataku memandangimu atau kakiku ini melangkah mendekatimu, kubuka kembali buku yang belum tuntas tadi.

Aku tidak benar-benar membaca. Kepalaku terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan; apakah kau melihatku, masihkah mengenaliku, atau haruskah aku beranjak dan menyapamu? Ah, tidak akan kulakukan! Masa laluku tentangmu sudah cukup memalukan bagiku. Aku bukan lagi gadis remaja yang tak tahu malu menyatakan cinta pada teman abangnya. Ya, seperti itu.

**



 Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Mungkinkah hujan selalu datang satu paket dengan kenangan? Kurasa memang seringnya seperti itu. Aku melihatmu di sana, sedang duduk tertunduk. Pandanganmu jatuh pada lembar-lembar kertas kesukaanmu. Kau mencintai buku, kata seseorang padaku. Dulu.

Aku masih mengingat bagaimana binar matamu ketika aku datang menghadiahimu sebuah buku. Buku yang dipilihkan kekasihku untukku. Kau tahu sendiri bahwa aku tak terlalu suka membaca, terlebih buku yang tebal. Hingga aku teringat kau yang senang membaca dan memberikannya padamu, Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa. Setidaknya ia akan dirawat lebih baik olehmu.

Ingin aku menghampirimu, menyapamu. Lalu malu rasanya ketika ingatanku kembali pada masa tiga tahun lalu – ketika seorang gadis mengatakan bahwa ia mencintaiku dan ingi jadi kekasihku. Dan bodohnya aku menertawakannya. Kau adalah adikku. Tak lebih dari itu. Namun seperti yang kukatakan tadi, aku terlalu bodoh karena tak menyadari bahwa kau terluka meski kau membalasku dengan tawa.
Suara dari pengeras suara memberitakan bahwa commuter line tujuan Bekasi akan segera tiba. Aku melangkah sampai garis batas. Melewatimu yang sekilas kulihat mendongakkan kepala. Seharusnya aku tak melaluimu begitu saja. Seharusnya aku bisa sekadar memberi sapa. Ya, seharusnya begitu.

Kereta yang kutunggu sudah tiba. Aku melangkah masuk ketika pintunya bergeser. Dari kursi besi itu, sepasang matamu mencari-cari sesuatu ke dalam gerbong. Aku bisa melihatmu dari balik bahu-bahu milik orang lain; kau tersenyum. Kau benar-benar melihatku ternyata.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar