Aku menunggu di peron dua,
Stasiun Gondangdia.
Beberapa dari mereka sudah tiba,
lalu pergi. Pun dengan beberapa setelahnya. Dan aku masih di sini, belum beranjak
dari kursi besi yang dingin. Yang kutunggu belum juga terdengar tanda
kedatangannya yang biasanya diumumkan lewat pengeras suara. Kubuka lagi buku
kumpulan cerita yang sudah kuberi tanda dengan pembatasnya di halaman seratus
lima puluh enam. Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, judul buku
yang kubaca itu.
Aku baru saja sampai pada cerita
tentang Ainun yang dikutuk karena membela Subairi, lelaki yang dicintainya.
Lelaki itu dituduh melakukan perbuatan tak senonoh pada seorang gadis, lalu
membunuhnya. Ia dihakimi oleh warga desa yang terbakar amarah.
Bakar! Bunuh! Laknat!
Barangkali takdir, begitu jawaban Subairi ketika Ainun menanyakan
alasan Subairi berbohong padanya. Kasihan
sekali Ainun, pikirku. Ia harus menerima kutukan karena membela lelaki yang
dicintainya. Ia bahkan tetap mencintainya, dan tak ada lelaki lain lagi, hingga
usianya yang lebih dari satu abad. Dan ternyata, lelaki itu sudah berbohong padanya.
Ia benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan warga desa.
Barangkali takdir, seperti yang
tertulis dalam buku ini.
Hingga pada detik yang membuatku
hendak beranjak, kau muncul di sana, dari eskalator yang membawamu naik ke
tempat yang sama denganku. Dengan seragam hijau kebangganmu, menggendong ransel
kanvas warna beige. Aku mengenalimu,
namun kau tidak. Kau tahu, bahwa hanya melihatmu saja sudah cukup membuatku
bodoh. Aku mengabaikan yang sedari tadi kutunggu hingga bosan. Commuter line tujuan Bogor sudah
berlalu. Meninggalkanku yang ingatannya terlempar lagi ke masa lalu.
Demi apapun aku merasa semakin
bodoh karena membiarkan hatiku senang karenamu. Dan bibirku, sulit sekali
membuatnya untuk tidak tersenyum. Alih-alih membiarkan diriku semakin terlihat
bodoh dengan membiarkan mataku memandangimu atau kakiku ini melangkah
mendekatimu, kubuka kembali buku yang belum tuntas tadi.
Aku tidak benar-benar membaca.
Kepalaku terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan; apakah kau melihatku, masihkah
mengenaliku, atau haruskah aku beranjak dan menyapamu? Ah, tidak akan kulakukan! Masa
laluku tentangmu sudah cukup memalukan bagiku. Aku bukan lagi gadis remaja yang
tak tahu malu menyatakan cinta pada teman abangnya. Ya, seperti itu.
**
Mungkinkah hujan selalu datang
satu paket dengan kenangan? Kurasa memang seringnya seperti itu. Aku melihatmu
di sana, sedang duduk tertunduk. Pandanganmu jatuh pada lembar-lembar kertas
kesukaanmu. Kau mencintai buku, kata seseorang padaku. Dulu.
Aku masih mengingat bagaimana
binar matamu ketika aku datang menghadiahimu sebuah buku. Buku yang dipilihkan
kekasihku untukku. Kau tahu sendiri bahwa aku tak terlalu suka membaca,
terlebih buku yang tebal. Hingga aku teringat kau yang senang membaca dan
memberikannya padamu, Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa. Setidaknya ia akan
dirawat lebih baik olehmu.
Ingin aku menghampirimu,
menyapamu. Lalu malu rasanya ketika ingatanku kembali pada masa tiga tahun lalu
– ketika seorang gadis mengatakan bahwa ia mencintaiku dan ingi jadi kekasihku.
Dan bodohnya aku menertawakannya. Kau adalah adikku. Tak lebih dari itu. Namun
seperti yang kukatakan tadi, aku terlalu bodoh karena tak menyadari bahwa kau
terluka meski kau membalasku dengan tawa.
Suara dari pengeras suara
memberitakan bahwa commuter line tujuan
Bekasi akan segera tiba. Aku melangkah sampai garis batas. Melewatimu yang
sekilas kulihat mendongakkan kepala. Seharusnya aku tak melaluimu begitu saja.
Seharusnya aku bisa sekadar memberi sapa. Ya, seharusnya begitu.
Kereta yang kutunggu sudah tiba.
Aku melangkah masuk ketika pintunya bergeser. Dari kursi besi itu, sepasang
matamu mencari-cari sesuatu ke dalam gerbong. Aku bisa melihatmu dari balik
bahu-bahu milik orang lain; kau tersenyum. Kau benar-benar melihatku ternyata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar