Rabu, 11 Februari 2015

Ibuku (Tidak) Gila

Mereka bilang Ibuku gila. Mereka bilang Ibuku pembunuh.
Bukankah mereka mengatakannya hanya karena melihat apa yang sudah terjadi? Lantas apakah mereka tidak lebih jahat dari yang mereka katakan tentang Ibu?
Ibuku tidak gila. Dan ibuku bukan pembunuh. 

Ibu memelukku erat. Bahkan terlalu erat hingga aku nyaris sulit bernapas. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang makin mengencang. Aku tahu Ibu ketakutan, namun ia tak ingin menunjukkannya padaku. Semua baik-baik saja, itu yang terus ia katakan jika aku bertanya apa yang terjadi, hingga aku tak ingin lagi bertanya.

Dalam dekapnya ingatanku kembali ke masa beberapa jam sebelum aku duduk di sampingnya, di bus menuju kampung halaman Ibu di Solo. Ibu membangunkanku pagi tadi. Dengan suara pelan, ia mengatakan padaku untuk segera membuka mata  karena kami harus segera pergi dari rumah. Sepagi itu. Suara adzan yang selalu berkumandang pun belum terdengar dari  pengeras suara masjid. Kulirik jam kecil di nakas samping tempat tidurku. Dan memang belum waktunya suara adzan yang menjadi alarm bangunku itu berkumandang.

Ibu mengumpulkan rambut panjangku dan mengikatnya jadi satu. Lalu memakaikanku baju hangat dan sepatu. Semuanya Ibu lakukan dengan gerak cepat dan berusaha tak menimbulkan suara berisik. Aku berusaha menghentikannya, ingin bertanya mengapa ia harus melakukannya pagi-pagi buta. Ia meletakkan telunjukknya di depan bibir, menyuruhku untuk tetap diam. Dan aku menuruti perintahnya. Mendadak rasa takut menyelinap dalam diriku.

Satu tangannya menjinjing tas besar yang gemuk. Kutebak Ibu akan membawaku pergi jauh. Sementara satu tangannya yang bebas, meraih tangannku. Aku mengekor langkahnya yang keluar dari kamarku seperti maling. Hampir saja aku mengeluarkan jeritan jika Ibu tidak menutup mulutku yang sudah siap melepas teriakan. Entah apa yang terjadi di rumah ini ketika aku terlelap. Ada yang sudah mengacak-acak rumah kami. Kulihat banyak pecahan kaca tersebar di lantai ruang makan, kursi-kursi yang jatuh, dan tirai yang lepas dari kaitnya. Rumah kami tidak seperti rumah kami yang selalu rapi karena tangan Ibu.

Aku berusaha melepas pelukan Ibu. Kepalaku mendongak melihat wajah yang kini pucat dan dingin. Dan aku baru menyadari satu hal; kening Ibu terluka. Kurogoh tas kecil favoritku –yang untungnya tak dilupakan oleh Ibu ketika kami pergi tadi-- mengambil sebuah plester bergambar Mickey Mouse. Kepala Ibu berdarah, kataku sambil menutup lukanya dengan plester. Air matanya jatuh ketika ia mengucapkan terima kasih lalu mengecup pelan puncak kepalaku.

**

Ibu duduk memeluk lutut di sudut kamarnya yang kecil. Rambut panjangnya dibiarkan jatuh menutupi wajahnya yang cantik. Bibirnya belum berhenti menyenandungkan lagu tidur untukku. Lagu selalu kudengar setiap malam. Ia tak menghentikan kebiasaan itu meski usiaku sudah duabelas.  Ingin rasanya aku datang pada Ibu, memeluknya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi aku bisa apa? Menyentuhnya pun aku tak mampu. Aku memang berada dekat dengannya, tapi sebenarnya kami sudah benar-benar jauh.

Bus yang kami tumpangi bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Kudengar jerit dari para penumpang yang mendadak ketakutan. Tak terkecuali denganku. Ibu masih di sampingku, melindungiku dalam dekapannya. Bibirnya terus mengucap takbir. Hingga bus masuk ke jurang, Ibu tak sekalipun melepaskan tangannya dariku. Ibu benar-benar ingin melindungiku. Ia tak ingin aku terluka. Dan itulah yang membuat Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri; memukul Ayah dengan vas bunga dan mengajakku pergi.

Dengan langkahnya yang lemah, Ibu berjalan menuju jendela kamarnya. Berdiri dengan tatapan kosong ke luar kamarnya. Helai-helai rambutnya bergoyang tertiup angin, memperlihatkan wajahnya yang selalu ia sembunyikan. Bibirnya tersenyum. Lalu tertawa.
Dan ibuku tidak gila.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar