Mereka bilang Ibuku gila. Mereka bilang Ibuku pembunuh.
Bukankah mereka mengatakannya hanya karena melihat apa yang sudah
terjadi? Lantas apakah mereka tidak lebih jahat dari yang mereka katakan
tentang Ibu?
Ibuku tidak gila. Dan ibuku bukan pembunuh.
Ibu memelukku erat. Bahkan terlalu erat hingga aku nyaris sulit
bernapas. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang makin mengencang. Aku tahu
Ibu ketakutan, namun ia tak ingin menunjukkannya padaku. Semua baik-baik saja,
itu yang terus ia katakan jika aku bertanya apa yang terjadi, hingga aku tak
ingin lagi bertanya.
Dalam dekapnya ingatanku kembali ke masa beberapa jam sebelum aku
duduk di sampingnya, di bus menuju kampung halaman Ibu di Solo. Ibu
membangunkanku pagi tadi. Dengan suara pelan, ia mengatakan padaku untuk segera
membuka mata karena kami harus segera
pergi dari rumah. Sepagi itu. Suara adzan yang selalu berkumandang pun belum
terdengar dari pengeras suara masjid. Kulirik
jam kecil di nakas samping tempat tidurku. Dan memang belum waktunya suara
adzan yang menjadi alarm bangunku itu berkumandang.
Ibu mengumpulkan rambut panjangku dan mengikatnya jadi satu. Lalu
memakaikanku baju hangat dan sepatu. Semuanya Ibu lakukan dengan gerak cepat
dan berusaha tak menimbulkan suara berisik. Aku berusaha menghentikannya, ingin
bertanya mengapa ia harus melakukannya pagi-pagi buta. Ia meletakkan
telunjukknya di depan bibir, menyuruhku untuk tetap diam. Dan aku menuruti
perintahnya. Mendadak rasa takut menyelinap dalam diriku.
Satu tangannya menjinjing tas besar yang gemuk. Kutebak Ibu akan
membawaku pergi jauh. Sementara satu tangannya yang bebas, meraih tangannku.
Aku mengekor langkahnya yang keluar dari kamarku seperti maling. Hampir saja
aku mengeluarkan jeritan jika Ibu tidak menutup mulutku yang sudah siap melepas
teriakan. Entah apa yang terjadi di rumah ini ketika aku terlelap. Ada yang
sudah mengacak-acak rumah kami. Kulihat banyak pecahan kaca tersebar di lantai
ruang makan, kursi-kursi yang jatuh, dan tirai yang lepas dari kaitnya. Rumah
kami tidak seperti rumah kami yang selalu rapi karena tangan Ibu.
Aku berusaha melepas pelukan Ibu. Kepalaku mendongak melihat wajah
yang kini pucat dan dingin. Dan aku baru menyadari satu hal; kening Ibu
terluka. Kurogoh tas kecil favoritku –yang untungnya tak dilupakan oleh Ibu
ketika kami pergi tadi-- mengambil sebuah plester bergambar Mickey Mouse.
Kepala Ibu berdarah, kataku sambil menutup lukanya dengan plester. Air matanya
jatuh ketika ia mengucapkan terima kasih lalu mengecup pelan puncak kepalaku.
**
Ibu duduk memeluk lutut di sudut kamarnya yang kecil. Rambut
panjangnya dibiarkan jatuh menutupi wajahnya yang cantik. Bibirnya belum
berhenti menyenandungkan lagu tidur untukku. Lagu selalu kudengar setiap malam.
Ia tak menghentikan kebiasaan itu meski usiaku sudah duabelas. Ingin rasanya aku datang pada Ibu, memeluknya
dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi aku bisa apa? Menyentuhnya pun
aku tak mampu. Aku memang berada dekat dengannya, tapi sebenarnya kami sudah
benar-benar jauh.
Bus yang kami tumpangi bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
Kudengar jerit dari para penumpang yang mendadak ketakutan. Tak terkecuali
denganku. Ibu masih di sampingku, melindungiku dalam dekapannya. Bibirnya terus
mengucap takbir. Hingga bus masuk ke jurang, Ibu tak sekalipun melepaskan
tangannya dariku. Ibu benar-benar ingin melindungiku. Ia tak ingin aku terluka.
Dan itulah yang membuat Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri; memukul Ayah
dengan vas bunga dan mengajakku pergi.
Dengan langkahnya yang lemah, Ibu berjalan menuju jendela
kamarnya. Berdiri dengan tatapan kosong ke luar kamarnya. Helai-helai rambutnya
bergoyang tertiup angin, memperlihatkan wajahnya yang selalu ia sembunyikan.
Bibirnya tersenyum. Lalu tertawa.
Dan ibuku tidak gila.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar