Kamis, 19 Februari 2015

(Bukan) Teka-teki

Teruntuk kau,
di tempat bahagiamu.


Aku datang lagi. Kubawakan sekotak cerita untuk kau nikmati di penghujung harimu. Tentang aku. Kau masih belum bosan bila kukisahkan tentangku bukan? Pasti jawabanmu adalah tidak. Bila jawabanmu sebaliknya, aku akan tetap mengisahkannya padamu. Ya, aku memaksa.

Studio tiga, kursi nomor F-16. Kau tahu, aku bahkan baru menyadari nomor kursi itu sama dengan nama pesawat yang selalu kusebut pesawat gagah. Fighting Falcon F-16.  Dan aku mendapatkannya karena bertukar tiket dengan seorang bapak yang anaknya duduk di sebelahku. Namanya Keisha, gadis manis yang sangat dekat dengan ayahnya. Aku sangat tahu rasanya dekat dengan ayah. Dan aku juga tak akan bisa menikmati filmku jika harus duduk bersama orang asing. Karena itulah, aku menawarkan diri untuk bertukar kursi. Jika kau bertanya apa aku mengenal mereka, aku menjawab bahwa aku belum mengenal mereka sebelumnya. Dia tidak mendapat tiket pertunjukan, dan kami – teman-teman komunitas – mengajaknya ikut rombongan karena ada tiket lebih.

Ini semua karena CJR.

Ya, kau boleh menertawaiku sekarang. Aku benar-benar meninggalkan tumpukan buku dan tugas menulis mingguan karenanya. Untuk mewujudkan keinginan seorang ayah yang ingin mengajak anak-anaknya pergi ke gedung bioskop. Bukan ayah Keisha yang kuceritakan di sini ya. Aku dan teman-teman di satu komunitas yang kuikuti mengadakan acara nonton bareng dengan anak-anak panti asuhan. Tentu saja film harus kami sesuaikan dengan usia mereka. Jatuhlah pilihan kami pada film tentang trio remaja yang begitu dicintai penggemarnya.

Kau tahu betul bahwa aku akan memilih Kingsman dengan kisah secret service-nya atau Jupiter Ascending yang menghadirkan Channing Tatum. Jenis film yang menghadirkan teka-teki atau aksi yang membuatku begitu bersemangat. Menangkap ­petunjuk, menganalisis, merangkainya menjadi sebuah jawaban itu menyenangkan. Itulah mengapa koleksi film dan novelku banyak yang bertema seperti itu. Kurasa kau juga sudah pernah menengoknya beberapa.  

Kenyataannya, aku benar-benar duduk di studio tiga kursi F-16. Menonton film itu. Dan aku bingung sendiri, tentang bagaimana mereka bisa mencintai idolanya dengan sangat. Di awal-awal film disuguhi tangis-tangis penggemar yang tak ingin salah satu idolanya keluar dari grup. Kau tentu tahu, aku tidak fanatik pada suatu hal – entah itu penyanyi, penulis, aktor, aktris, atau karya-karyanya. Ah ya, aku melupakan satu – atau lebih dari satu – hal  yang kucintai dengan sangat. Apa? Kau ingin tahu? Sayangnya aku tak mau menjelaskannya di sini. Hei, aku tahu kau akan mengerucutkan bibir jika kujawab seperti itu. Dan kau akan berlagak ingin berhenti membaca suratku ini. Namun kau tak sungguh-sungguh dengan itu. Aku berani bertaruh.  

Lupakan tentang hal yang belum kau dapatkan jawabannya. Terkadang lebih baik membiarkannya mengambang tanpa jawaban. Menjadikannya teka-teki yang harus kau pecahkan. Setidaknya kau akan lebih berusaha. Pun belajar untuk lebih peka. Kau tahu, seseorang pernah mengatakan bahwa tidak semua hal harus kauketahui. Namun manusia diciptakan dengan rasa ingin tahu. Dan kau – pun sama halnya denganku – harus belajar menjadi manusia yang lebih peka untuk mengetahui sebuah jawaban dari pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Sesungguhnya, petunjuk-petunjuk bertebaran di sekitar kita.

Selamat malam dan selamat menangkap petunjuk.
Semoga kita menjadi lebih peka.




Kota Hujan, 19-02-2015




Rabu, 11 Februari 2015

Ibuku (Tidak) Gila

Mereka bilang Ibuku gila. Mereka bilang Ibuku pembunuh.
Bukankah mereka mengatakannya hanya karena melihat apa yang sudah terjadi? Lantas apakah mereka tidak lebih jahat dari yang mereka katakan tentang Ibu?
Ibuku tidak gila. Dan ibuku bukan pembunuh. 

Ibu memelukku erat. Bahkan terlalu erat hingga aku nyaris sulit bernapas. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang makin mengencang. Aku tahu Ibu ketakutan, namun ia tak ingin menunjukkannya padaku. Semua baik-baik saja, itu yang terus ia katakan jika aku bertanya apa yang terjadi, hingga aku tak ingin lagi bertanya.

Dalam dekapnya ingatanku kembali ke masa beberapa jam sebelum aku duduk di sampingnya, di bus menuju kampung halaman Ibu di Solo. Ibu membangunkanku pagi tadi. Dengan suara pelan, ia mengatakan padaku untuk segera membuka mata  karena kami harus segera pergi dari rumah. Sepagi itu. Suara adzan yang selalu berkumandang pun belum terdengar dari  pengeras suara masjid. Kulirik jam kecil di nakas samping tempat tidurku. Dan memang belum waktunya suara adzan yang menjadi alarm bangunku itu berkumandang.

Ibu mengumpulkan rambut panjangku dan mengikatnya jadi satu. Lalu memakaikanku baju hangat dan sepatu. Semuanya Ibu lakukan dengan gerak cepat dan berusaha tak menimbulkan suara berisik. Aku berusaha menghentikannya, ingin bertanya mengapa ia harus melakukannya pagi-pagi buta. Ia meletakkan telunjukknya di depan bibir, menyuruhku untuk tetap diam. Dan aku menuruti perintahnya. Mendadak rasa takut menyelinap dalam diriku.

Satu tangannya menjinjing tas besar yang gemuk. Kutebak Ibu akan membawaku pergi jauh. Sementara satu tangannya yang bebas, meraih tangannku. Aku mengekor langkahnya yang keluar dari kamarku seperti maling. Hampir saja aku mengeluarkan jeritan jika Ibu tidak menutup mulutku yang sudah siap melepas teriakan. Entah apa yang terjadi di rumah ini ketika aku terlelap. Ada yang sudah mengacak-acak rumah kami. Kulihat banyak pecahan kaca tersebar di lantai ruang makan, kursi-kursi yang jatuh, dan tirai yang lepas dari kaitnya. Rumah kami tidak seperti rumah kami yang selalu rapi karena tangan Ibu.

Aku berusaha melepas pelukan Ibu. Kepalaku mendongak melihat wajah yang kini pucat dan dingin. Dan aku baru menyadari satu hal; kening Ibu terluka. Kurogoh tas kecil favoritku –yang untungnya tak dilupakan oleh Ibu ketika kami pergi tadi-- mengambil sebuah plester bergambar Mickey Mouse. Kepala Ibu berdarah, kataku sambil menutup lukanya dengan plester. Air matanya jatuh ketika ia mengucapkan terima kasih lalu mengecup pelan puncak kepalaku.

**

Ibu duduk memeluk lutut di sudut kamarnya yang kecil. Rambut panjangnya dibiarkan jatuh menutupi wajahnya yang cantik. Bibirnya belum berhenti menyenandungkan lagu tidur untukku. Lagu selalu kudengar setiap malam. Ia tak menghentikan kebiasaan itu meski usiaku sudah duabelas.  Ingin rasanya aku datang pada Ibu, memeluknya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi aku bisa apa? Menyentuhnya pun aku tak mampu. Aku memang berada dekat dengannya, tapi sebenarnya kami sudah benar-benar jauh.

Bus yang kami tumpangi bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Kudengar jerit dari para penumpang yang mendadak ketakutan. Tak terkecuali denganku. Ibu masih di sampingku, melindungiku dalam dekapannya. Bibirnya terus mengucap takbir. Hingga bus masuk ke jurang, Ibu tak sekalipun melepaskan tangannya dariku. Ibu benar-benar ingin melindungiku. Ia tak ingin aku terluka. Dan itulah yang membuat Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri; memukul Ayah dengan vas bunga dan mengajakku pergi.

Dengan langkahnya yang lemah, Ibu berjalan menuju jendela kamarnya. Berdiri dengan tatapan kosong ke luar kamarnya. Helai-helai rambutnya bergoyang tertiup angin, memperlihatkan wajahnya yang selalu ia sembunyikan. Bibirnya tersenyum. Lalu tertawa.
Dan ibuku tidak gila.


***

Peron Dua Stasiun Gondangdia



Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Beberapa dari mereka sudah tiba, lalu pergi. Pun dengan beberapa setelahnya. Dan aku masih di sini, belum beranjak dari kursi besi yang dingin. Yang kutunggu belum juga terdengar tanda kedatangannya yang biasanya diumumkan lewat pengeras suara. Kubuka lagi buku kumpulan cerita yang sudah kuberi tanda dengan pembatasnya di halaman seratus lima puluh enam. Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, judul buku yang kubaca itu.

Aku baru saja sampai pada cerita tentang Ainun yang dikutuk karena membela Subairi, lelaki yang dicintainya. Lelaki itu dituduh melakukan perbuatan tak senonoh pada seorang gadis, lalu membunuhnya. Ia dihakimi oleh warga desa yang terbakar amarah.

Bakar! Bunuh! Laknat!

Barangkali takdir, begitu jawaban Subairi ketika Ainun menanyakan alasan Subairi berbohong padanya.  Kasihan sekali Ainun, pikirku. Ia harus menerima kutukan karena membela lelaki yang dicintainya. Ia bahkan tetap mencintainya, dan tak ada lelaki lain lagi, hingga usianya yang lebih dari satu abad. Dan ternyata, lelaki itu sudah berbohong padanya. Ia benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan warga desa.

Barangkali takdir, seperti yang tertulis dalam buku ini.

Hingga pada detik yang membuatku hendak beranjak, kau muncul di sana, dari eskalator yang membawamu naik ke tempat yang sama denganku. Dengan seragam hijau kebangganmu, menggendong ransel kanvas warna beige. Aku mengenalimu, namun kau tidak. Kau tahu, bahwa hanya melihatmu saja sudah cukup membuatku bodoh. Aku mengabaikan yang sedari tadi kutunggu hingga bosan. Commuter line tujuan Bogor sudah berlalu. Meninggalkanku yang ingatannya terlempar lagi ke masa lalu.

Demi apapun aku merasa semakin bodoh karena membiarkan hatiku senang karenamu. Dan bibirku, sulit sekali membuatnya untuk tidak tersenyum. Alih-alih membiarkan diriku semakin terlihat bodoh dengan membiarkan mataku memandangimu atau kakiku ini melangkah mendekatimu, kubuka kembali buku yang belum tuntas tadi.

Aku tidak benar-benar membaca. Kepalaku terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan; apakah kau melihatku, masihkah mengenaliku, atau haruskah aku beranjak dan menyapamu? Ah, tidak akan kulakukan! Masa laluku tentangmu sudah cukup memalukan bagiku. Aku bukan lagi gadis remaja yang tak tahu malu menyatakan cinta pada teman abangnya. Ya, seperti itu.

**



 Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Mungkinkah hujan selalu datang satu paket dengan kenangan? Kurasa memang seringnya seperti itu. Aku melihatmu di sana, sedang duduk tertunduk. Pandanganmu jatuh pada lembar-lembar kertas kesukaanmu. Kau mencintai buku, kata seseorang padaku. Dulu.

Aku masih mengingat bagaimana binar matamu ketika aku datang menghadiahimu sebuah buku. Buku yang dipilihkan kekasihku untukku. Kau tahu sendiri bahwa aku tak terlalu suka membaca, terlebih buku yang tebal. Hingga aku teringat kau yang senang membaca dan memberikannya padamu, Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa. Setidaknya ia akan dirawat lebih baik olehmu.

Ingin aku menghampirimu, menyapamu. Lalu malu rasanya ketika ingatanku kembali pada masa tiga tahun lalu – ketika seorang gadis mengatakan bahwa ia mencintaiku dan ingi jadi kekasihku. Dan bodohnya aku menertawakannya. Kau adalah adikku. Tak lebih dari itu. Namun seperti yang kukatakan tadi, aku terlalu bodoh karena tak menyadari bahwa kau terluka meski kau membalasku dengan tawa.
Suara dari pengeras suara memberitakan bahwa commuter line tujuan Bekasi akan segera tiba. Aku melangkah sampai garis batas. Melewatimu yang sekilas kulihat mendongakkan kepala. Seharusnya aku tak melaluimu begitu saja. Seharusnya aku bisa sekadar memberi sapa. Ya, seharusnya begitu.

Kereta yang kutunggu sudah tiba. Aku melangkah masuk ketika pintunya bergeser. Dari kursi besi itu, sepasang matamu mencari-cari sesuatu ke dalam gerbong. Aku bisa melihatmu dari balik bahu-bahu milik orang lain; kau tersenyum. Kau benar-benar melihatku ternyata.

***


Minggu, 08 Februari 2015

Dear Frogman


Dear Frogman, 
di tempat bahagiamu.


Seperti malam yang lalu, hujan turun lagi kali ini. Secangkir kopi, beberapa lagu, dan berlembar-lembar yang kuberi judul “Dear Frogman (Draft)”. Rasanya sudah cukup lama sejak kutinggalkan dalam folder dengan nama yang sama. Tiap kali aku membukanya dengan segenap keyakinan bahwa aku bisa melanjutkannya, adegan-adegan di waktu yang telah lalu pun menyeruak. Seakan-akan mereka berlomba untuk mendapatkan tempat yang harus kuingat dengan sangat baik. Lalu mereka – kenangan-- mengalahkan keyakinanku bahwa aku bisa menyambung bagian yang satu dengan lainnya dengan cepat. Kau boleh tertawa, karena nyatanya aku memang kalah cepat  dengan mereka. Masih saja begitu.


Diserbu kenangan itu menyebalkan, Frogman. Kau tahu, itu membuatku mendadak rindu. Ya, aku merindukan masa-masa ketika sepotong lagu Ariana Grande berdering di ponselku. Nama Pak Pos yang muncul di sana, bukan namamu -ah, aku lupa bahwa memang tak pernah ada namamu di daftar kontakku. Meski bukan namamu yang muncul, kau pasti ada di seberang sana. Kau mendengarkan dengan diiringi senyum, terkadang tawa tertahan, bahkan mungkin keningmu mengerut mendengar ocehanku. Apakah aku salah? Ah, harusnya kau memberiku satu kenangan lain ketika itu; mendengarmu menyahuti ocehanku. Atau hanya sekadar sapa pun tak apa. Pada akhirnya, hingga kau pergi pun aku tak mendapatkan keduanya. Kau menyebalkan bukan?

Oh, kau tidak menyebalkan, tapi sangat menyebalkan.


Menjelang 80 hari, kudoakan selalu kebahagiaan untukmu.  Kau tahu, Frogman, pada beberapa waktu aku masih saja merasa bahwa kau masih ada, masih bisa kulihat. Aku sungguh mengerti bahwa aku tak boleh seperti ini. Kau tentu tak ingin aku seperti ini. Kau tak perlu khawatir, Frogman, aku sudah jauh lebih pandai mengaturnya kini. Hanya sesekali saja tak apa bukan?


Kurasa aku harus kembali bekerja, Frogman. Kembali pada pekerjaan menyebalkan; mengorek kenangan,  menemukan potongan-potongan yang luput, lalu menyatukannya menjadi satu. Aku tahu bahwa aku sudah melewati hari ketujuh, pun keempat puluh. Betapa jahatnya aku jika sampai melewati hari keseratus.


Berbahagialah selalu di sana, Frogman. 






Menjelang 80 hari pada lembar keempat puluh
Kota Hujan, 08-02-2014










Diikutkan dalam event #30HariMenulisSuratCinta

Rabu, 04 Februari 2015

Kepada Tuan Penyair

Kepada Tuan Penyair,
di tempat bahagiamu


Aku menemukanmu dalam potongan berbeda. Jauh berbeda dari kali terakhir kulihat kau di salah satu senja. Tiga ratus hari yang telah lalu. Kau tahu, kau terlihat lebih baik. Hidupmu menyenangkan, Tuan?

Tempo hari, kau bertutur perihal hati yang kembali menemukan muara. Hatimu. Kurasa tak perlu aku mengeja semua rangkaian aksaramu. Aku --bahkan orang lain pun-- tahu bahwa kau sedang berbahagia. Kau selalu pandai membahasakan perasaan menjadi kata-kata yang indah.


Selamat jatuh cinta, Tuan Penyair.





Kota Hujan, 04-05-2015

Senin, 02 Februari 2015

Hai, Tuan Jupiter (4)



Hitunganku bukan lagi hari atau pekan. Pun sudah lewat hitungan keduabelas pada bulan. Mungkin aku tak pandai lagi menghitung, Tuan. Ia selalu kembali ke awal. Aku memulai lagi. Dan lagi. Terus saja begitu. Sedang kau, terus saja berjalan meninggalkan ceceran angkanya.

Cepat atau lambat, kita akan menemukan persimpangan. Kita --aku dan kau-- harus memilih satu. Pada persimpangan itu, kelak kita akan semakin  berjarak. Pun dengan hati. Nanti, ketika masa itu tiba, kita kembali menjadi dua orang asing. Kita berjalan masing-masing. Mungkin di salah satu kelokan, kita akan berpapasan. Bisa saja kita saling bertukar sapa, tak mustahil pula sebaliknya.

Jika akhirnya masa itu menghampiri kita, cukup sebutan 'kita' saja yang berubah. Bukan benar-benar menjelma orang asing. Masih ada sapa, atau sekadar senyum jika kita bertemu. Kuharap begitu.


Semoga kau selalu hidup dengan baik.




Kota Hujan, 02-02-2015

Minggu, 01 Februari 2015

Hai, Tuan Jupiter (3)


Kelak aku akan lebih sering mengunjunginya. Menunggumu kembali. Atau mengantarmu pergi.

Gerimis turun ketika kita melewati Jalan Nyi Raja Permas. Tanpa bicara, kau raih tanganku dan berjalan lebih cepat. Langkahku pun  mau tak mau mengikutimu. Kau menggenggamnya erat. Bahkan terlalu erat hingga terasa nyeri. Kau hanya ingin melindungiku. Aku tahu itu.

Aku mengelus sejenak di mana kau menggenggamku. Tak kuungkapkan padamu rasanya. Namun kau tahu apa yang kusembunyikan.

Maaf, katamu ketika kita berjalan di koridor menuju pintu masuk stasiun. Aku bertanya, permintaan maaf untuk apa. Lalu kau menjawab karena kau tak bisa romantis. Romantis seperti lelaki dalam kisah-kisah yang kutulis. Mendengar alasanmu itu membuatku tertawa. Ya, aku ingat bahwa kau pernah membaca beberapa.

Duniamu memang membuatmu menjadi sosok yang seperti itu. Sosok yang tak romantis katamu. Tak pandai membahasakan perasaan dengan kata-kata indah. Biar kukatakan padamu tentang sesuatu; kau memang benar tentang itu, tapi setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk membahasakannya. Dan kau –bagiku—romantis dengan caramu sendiri.

Kau mengelus pelan puncak kepalaku. Terima kasih, ucapmu sebelum berbalik pergi.




Semoga kita cepat berjumpa. Aku menunggu. 




Kota Hujan, 01-02-2015









Diikutkan dalam event #30HariMenulisSuratCinta