“Harum!”
Teriakan
seseorang dari kejauhan membuatku harus membalikkan badan mencari sumber suara.
Hanya sedetik saja aku menemukan si pemilik suara dan aku langsung melanjutkan
lariku yang tadi sempat terhenti oleh teriakan tadi. Aku menerobos padatnya jalanan
pasar satu-satunya di desa tempatku tinggal. Rok coklat panjangku kuangkat
sedikit agar tak terinjak sandal jepitk. Aku terus mempercepat langkahku dengan
sedikit berlari untuk menghindari kejaran laki-laki tua di belakang sana.
Tidak butuh
waktu lama untuk aku bisa keluar dari pasar yang becek dan bau itu. Aku
menengok ke belakang sekali lagi dan memastikan bahwa laki-laki tua yang
mengejarku tak berada dalam jarak dekat denganku. Rencanaku setelah ini adalah
naik bus menuju terminal Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dengan sedikit
kasar dan memaksaku untuk ikut dengannya.
**
Burung-burung
dalam sangkar yang digantung di beranda rumah saling sahut-menyahut di pagi
yang cerah kali ini. Hangatnya matahari telah sampai ke kulitku. Ibu, perempuan
paruh baya dengan kebaya dan kain batiknya sedang menyiram tanaman di halaman
rumah kami yang tidak terlalu besar.
“Bu, aku pergi dulu ya,” pamitku
pada Ibu dan mencium punggung tangannya.
“Jangan lupa nanti di pasar
mampir ke tokonya Bude Sari, ambil jahitan kebaya,” pesan Ibu.
“Iya, nanti aku mampir,” jawabku.
“Aku berangkat sekarang ya, keburu siang.”
Aku mengambil
sepeda yang kuparkir di depan rumah dan mengayuhnya meninggalkan rumah. Laju sepeda tua ini agak cepat dengan suara
berisik dari besi-besi sepeda yang mulai rusak. Sengaja aku mengayuhnya dengan
cepat agar aku bisa bertemu dengan seseorang yang pasti sudah menungguku di
pasar.
Mas Rizki,
laki-laki yang sejak lima tahun lalu mengisi ruang hatiku. Seorang pemilik warung
kecil di sudut pasar. Hubungan kami tidak direstui oleh kedua orang tuaku.
Mereka menganggap kalau Mas Rizki tidak memiliki masa depan yang bagus untukku.
Ia bukan dari keluarga berada dan usahanya juga tak sebesar juragan-juragan
besar yang ingin dijodohkan Bapak denganku, tapi aku memilihnya dan bukan yang
lain. Mas Rizki pernah datang untuk melamarku, namun ditolak mentah-mentah oleh
Bapak.
Keluargaku memang bukan keluarga
dengan keturunan darah biru ataupun keluarga tak berada, namun kedua orang
tuaku-terutama Bapak-punya standar hidup yang tinggi dan ia menjadikan
anak-anaknya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan derajat keluarga. Mbak Sekar
misalnya, kakak perempuan pertamaku itu dipaksa menikah dan menjadi istri
ketiga seorang pengusaha kaya dari Semarang di usia tujuh belas tahun. Lalu Mas
Gagah yang dipaksa masuk akademi militer oleh Bapak, karena menjadi seorang
militer adalah impian Bapak dulu, padahal Mas-ku itu sangat berbakat menjadi
seniman handal.
Aku sudah
memasuki pasar dan menuju tempat penitipan sepeda. Setelah selesai menitipkan
sepeda di tempat Pak Waluyo, aku segera melangkahkan kakiku menuju tempat Bude
Sari untuk mengambil jahitan, namun belum sampai kakiku di tempat tujuan,
seseorang memanggilku. “Harum!”
Kakiku berhenti
di dekat penjual kembang dan menncari sumber suara. Laki-laki berkaus biru
dengan celana hitam panjang yang selalu ingin kutemui, Mas Rizki. Tanpa pikir
panjang, aku segera menghampirinya. “Hai Mas,” kataku dengan wajah bahagia bisa
menemuinya lebih cepat. Namun aku tak melihat senyumnya seperti biasa di
wajahnya seperti biasanya ketika kami bertemu. Wajahnya terlihat serius dan
tegang. Ia tak menjawabku dan langsung menarik tanganku ke tempat lain dengan
langkah yang sedikit cepat. Aku bertanya apa yang telah terjadi namun tak ada
jawaban yang keluar dari bibirnya. Kami berhenti di belakang pasar. “Rum, kamu
dengar baik-baik ya, “ kata Mas Rizki mulai bersuara.
“Kenapa tho, Mas?” tanyaku.
“Anak buah Pak Rono tadi dateng
ke warungku, mereka udah ngacak-acak semua dan ngancem aku buat pergi ninggalin
kamu,” jawab Mas Rizki dengan nada serius. “Mereka ndak akan berhenti buat misahin kita, dan aku pasti akan terus jadi
inceran mereka.”
“Terus aku mesti piye, Mas?” tanyaku.
“Opo kita kabur aja?”
Ide itu
terlintas begitu saja di otakku. Sepertinya itu jalan satu-satunya agar aku
bisa terhindar dari perjodohan dengan Pak Rono dan aku yakin Mas Rizki juga
pasti setuju.
“Piye Mas, kabur aja kita?”
tanyaku lagi ketika tak ada jawaban dari Mas Rizki.
Lelaki itu menggeleng. “Kabur
ndak akan menyelesaikan masalah, tapi malah nambah masalah baru buat kita.”
Aku tak percaya dengan
jawabannya. “Kamu udah nyerah buat memperjuangkan kita?”
“Aku bukannya nyerah, Rum. Aku
mau dateng lagi buat ngelamar kamu.”
“Kamu yakin? Bapak udah pernah
nolak kamu, Mas,” kataku.
“Karena itu aku mau
memperjuangkan kamu, aku ndak mau menikahi kamu tanpa restu orang tuamu dan
kabur itu bukan jalan keluar karena itu tindakan pengecut,” jawabnya mantap.
Meski aku melihat keyakinan di matanya, aku tetap merasa takut karena aku tahu
Bapak sangat sulit untuk merubah keputusannya.
**
Sanggul besar
terpasang di kepalaku dengan roncean melati yang wangi. Kebaya putih dan kain
batik coklat aku kenakan di hari ini. Aku akan segera menikah hari ini. Ya, aku
akan menikah! Suasana di luar kamar begitu riuh karena kesibukan untuk merayakan
hari ini. Di kamar yang kecil ini aku sedang sendirian, menatap diriku yang
terpantul dari kaca besar di depanku.
“Kamu terlihat
sangat cantik dengan kebaya itu dan sebentar lagi kamu akan menikah, kamu pasti
bahagia kan?” tanyaku pada bayanganku sendiri. Aku menggeleng dan jawaban
sebenarnya memang ‘tidak’. Aku tidak bahagia dengan pernikahan ini.
Kusambar tas
dan kujejali dengan pakaian sekenanya, lalu kuganti selop-ku dengan sandal
jepit merah-ku. Aku akan kabur dari pernikahan ini. Kabur memang tindakan
pengecut, tapi aku tidak akan menghabiskan sisa hidupku dengan menjadi istri
dari laki-laki yang tidak aku cintai. Kubuka jendela kamarku dan melompat keluar. Aku mengamati sejenak
suasana sekitar, lalu mengendap-endap lewat kebun belakang dan pergi
meninggalakan rumah.
Jarak antara
rumah dengan pasar lumayan jauh, tapi aku sedang beruntung karena bertemu
dengan Rasmi yang tak lain adalah sahabatku. Aku memintanya untuk
mengantarkanku ke pasar. Ia memang bisa diandalkan, dengan sepeda motornya
akhirnya aku bisa sampai di pasar dengan cepat. Aku berhutang banyak padanya
kali ini.
“Ras, aku terima
kasih banyak lho sama kamu,”kataku begitu aku turun dari motornya di depan
pasar.
“Iya Rum, kamu
hati-hati ya, cepetan pergi sebelum ada yang menyusulmu,” jawab Rasmi. Aku
mengangguk dan memeluk sahabatku.
Warung Mas
Rizki adalah tujuanku. Kakiku melangkah masuk pasar diiringi tatapan aneh
orang-orang di pasar. Aku tak mempedulikan mereka dan pikiranku hanya tentang
kabur dari pernikahan ini. Tempat yang kutuju dalam keadaan tertutup. Aku
bertanya pada pedagang sebelah, “Mba, kenapa warungnya Mas Rizki ndak buka ya?”
“Udah seminggu
gak buka, Mba. Katanya Mas Rizki mau pindah ke Malang,” jawab Mbak Siyem, si
penjual kue di samping warung Mas Rizki.
Malang, kota
yang menjadi tujuanku sekarang. Aku tahu betul di Malang bagian mana lelaki
yang kucari itu berada dan akau akan segera menyusulnya ke sana. Kuucapkan
terima kasih pada Mbak Siyem dan langsung melangkahkan kakiku untuk segera
meninggalkan pasar ini.
“Harum!”
Teriakan
seseorang dari kejauhan terdengar ketika aku baru beberapa langkah dari warung.
Aku menoleh dan melihat laki-laki tua yang sangat kukenal, Bapak. Rok batik
coklat panjangyang kupakai ini kuangkat
sedikit agar tak terinjak sandal jepitku dan memudahkan langkahku. Aku terus
mempercepat langkahku dengan sedikit berlari untuk menghindari kejaran Bapak.
Memang tak butuh
waktu lama untuk keluar dari pasar. Aku menoleh ke belakang dan tak menemukan
Bapak dalam pandanganku. lalu mataku mencari angkutan umum yang bisa
mengantarku sampai Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dari belakangku dengan
kasar. Ia menarikku dengan paksa lalu menyuruhku untuk ikut dengannya. Dia
adalah Mas Rizki! Aku tahu dia tak benar-benar meninggalkanku sendiri untuk
menghadapi ini. Dia pasti menjemputku untuk pergi dari tempat ini.
“Kamu harus kembali, Harum!”
Aku melepaskan
tanganku darinya. “Apa kamu tak merasakan perjuanganku untuk pergi dari
pernikahan hanya untuk memperjuangkan kita?!” kataku dengan nada tinggi. “Aku
hanya mencintaimu dan hanya ingin menikah denganmu, Mas.”
“Aku juga
mencintaimu dan sangat menyayangimu, Rum,”
katanya dengan nada yang sama sedihnya. “Jika kita memang berjodoh, Tuhan pasti
akan mempersatukan cinta kita meski bukan dibawah ikatan pernikahan.”
“Kita pergi
saja dari sini dan memulai hidup yang baru. Bawa aku pergi, Mas,” kataku
memohon. Dia menggeleng. “Aku harus mengembalikanmu pada orang tuamu,”
jawabnya.
“Harum!!” Suara
Bapak yang keras sudah sampai di telingaku. Aku berlari menghindari Bapak yang
sedang menuju ke arah kami sambil menggenggam tangan Mas Rizki.
Ia melepaskan
tangannya dari tanganku. “Harum, aku tak mau melakukan ini, kamu harus pulang!”
Aku menangis. “Aku
akan tetap pergi, dengan atau tanpamu, Mas,” kataku dan kemudian meninggalkannya.
“HARUUUMM…!!”
Teriakan Mas
Rizki yang sangat keras masih terdengar jelas di telingaku sebelum mobil hitam
yang melaju dengan kecepatan tinggi menyentuh tubuhku dengan keras dan
menumpahkan noda merah darah di kebaya putihku. Tubuhku terseret beberapa meter
dan pandangan mataku mulai gelap ketika nafasku tak lagi bisa kurasa.
***