Sabtu, 28 April 2012

Harum




“Harum!”

Teriakan seseorang dari kejauhan membuatku harus membalikkan badan mencari sumber suara. Hanya sedetik saja aku menemukan si pemilik suara dan aku langsung melanjutkan lariku yang tadi sempat terhenti oleh teriakan tadi. Aku menerobos padatnya jalanan pasar satu-satunya di desa tempatku tinggal. Rok coklat panjangku kuangkat sedikit agar tak terinjak sandal jepitk. Aku terus mempercepat langkahku dengan sedikit berlari untuk menghindari kejaran laki-laki tua di belakang sana.
Tidak butuh waktu lama untuk aku bisa keluar dari pasar yang becek dan bau itu. Aku menengok ke belakang sekali lagi dan memastikan bahwa laki-laki tua yang mengejarku tak berada dalam jarak dekat denganku. Rencanaku setelah ini adalah naik bus menuju terminal Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dengan sedikit kasar dan memaksaku untuk ikut dengannya.

**

Burung-burung dalam sangkar yang digantung di beranda rumah saling sahut-menyahut di pagi yang cerah kali ini. Hangatnya matahari telah sampai ke kulitku. Ibu, perempuan paruh baya dengan kebaya dan kain batiknya sedang menyiram tanaman di halaman rumah kami yang tidak terlalu besar.
“Bu, aku pergi dulu ya,” pamitku pada Ibu dan mencium punggung tangannya.
“Jangan lupa nanti di pasar mampir ke tokonya Bude Sari, ambil jahitan kebaya,” pesan Ibu.
“Iya, nanti aku mampir,” jawabku. “Aku berangkat sekarang ya, keburu siang.”
Aku mengambil sepeda yang kuparkir di depan rumah dan mengayuhnya meninggalkan rumah.  Laju sepeda tua ini agak cepat dengan suara berisik dari besi-besi sepeda yang mulai rusak. Sengaja aku mengayuhnya dengan cepat agar aku bisa bertemu dengan seseorang yang pasti sudah menungguku di pasar.

Mas Rizki, laki-laki yang sejak lima tahun lalu mengisi ruang hatiku. Seorang pemilik warung kecil di sudut pasar. Hubungan kami tidak direstui oleh kedua orang tuaku. Mereka menganggap kalau Mas Rizki tidak memiliki masa depan yang bagus untukku. Ia bukan dari keluarga berada dan usahanya juga tak sebesar juragan-juragan besar yang ingin dijodohkan Bapak denganku, tapi aku memilihnya dan bukan yang lain. Mas Rizki pernah datang untuk melamarku, namun ditolak mentah-mentah oleh Bapak.
Keluargaku memang bukan keluarga dengan keturunan darah biru ataupun keluarga tak berada, namun kedua orang tuaku-terutama Bapak-punya standar hidup yang tinggi dan ia menjadikan anak-anaknya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan derajat keluarga. Mbak Sekar misalnya, kakak perempuan pertamaku itu dipaksa menikah dan menjadi istri ketiga seorang pengusaha kaya dari Semarang di usia tujuh belas tahun. Lalu Mas Gagah yang dipaksa masuk akademi militer oleh Bapak, karena menjadi seorang militer adalah impian Bapak dulu, padahal Mas-ku itu sangat berbakat menjadi seniman handal.  

Aku sudah memasuki pasar dan menuju tempat penitipan sepeda. Setelah selesai menitipkan sepeda di tempat Pak Waluyo, aku segera melangkahkan kakiku menuju tempat Bude Sari untuk mengambil jahitan, namun belum sampai kakiku di tempat tujuan, seseorang memanggilku. “Harum!”
Kakiku berhenti di dekat penjual kembang dan menncari sumber suara. Laki-laki berkaus biru dengan celana hitam panjang yang selalu ingin kutemui, Mas Rizki. Tanpa pikir panjang, aku segera menghampirinya. “Hai Mas,” kataku dengan wajah bahagia bisa menemuinya lebih cepat. Namun aku tak melihat senyumnya seperti biasa di wajahnya seperti biasanya ketika kami bertemu. Wajahnya terlihat serius dan tegang. Ia tak menjawabku dan langsung menarik tanganku ke tempat lain dengan langkah yang sedikit cepat. Aku bertanya apa yang telah terjadi namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Kami berhenti di belakang pasar. “Rum, kamu dengar baik-baik ya, “ kata Mas Rizki mulai bersuara.
“Kenapa tho, Mas?” tanyaku.
“Anak buah Pak Rono tadi dateng ke warungku, mereka udah ngacak-acak semua dan ngancem aku buat pergi ninggalin kamu,” jawab Mas Rizki dengan nada serius. “Mereka ndak akan berhenti buat misahin kita, dan aku pasti akan terus jadi inceran mereka.”
“Terus aku mesti piye, Mas?” tanyaku. “Opo kita kabur aja?”
Ide itu terlintas begitu saja di otakku. Sepertinya itu jalan satu-satunya agar aku bisa terhindar dari perjodohan dengan Pak Rono dan aku yakin Mas Rizki juga pasti setuju.
“Piye Mas, kabur aja kita?” tanyaku lagi ketika tak ada jawaban dari Mas Rizki.
Lelaki itu menggeleng. “Kabur ndak akan menyelesaikan masalah, tapi malah nambah masalah baru buat kita.”
Aku tak percaya dengan jawabannya. “Kamu udah nyerah buat memperjuangkan kita?”
“Aku bukannya nyerah, Rum. Aku mau dateng lagi buat ngelamar kamu.”
“Kamu yakin? Bapak udah pernah nolak kamu, Mas,” kataku.
“Karena itu aku mau memperjuangkan kamu, aku ndak mau menikahi kamu tanpa restu orang tuamu dan kabur itu bukan jalan keluar karena itu tindakan pengecut,” jawabnya mantap. Meski aku melihat keyakinan di matanya, aku tetap merasa takut karena aku tahu Bapak sangat sulit untuk merubah keputusannya.

**

           Sanggul besar terpasang di kepalaku dengan roncean melati yang wangi. Kebaya putih dan kain batik coklat aku kenakan di hari ini. Aku akan segera menikah hari ini. Ya, aku akan menikah! Suasana di luar kamar begitu riuh karena kesibukan untuk merayakan hari ini. Di kamar yang kecil ini aku sedang sendirian, menatap diriku yang terpantul dari kaca besar di depanku.
“Kamu terlihat sangat cantik dengan kebaya itu dan sebentar lagi kamu akan menikah, kamu pasti bahagia kan?” tanyaku pada bayanganku sendiri. Aku menggeleng dan jawaban sebenarnya memang ‘tidak’. Aku tidak bahagia dengan pernikahan ini.
         Kusambar tas dan kujejali dengan pakaian sekenanya, lalu kuganti selop-ku dengan sandal jepit merah-ku. Aku akan kabur dari pernikahan ini. Kabur memang tindakan pengecut, tapi aku tidak akan menghabiskan sisa hidupku dengan menjadi istri dari laki-laki yang tidak aku cintai. Kubuka jendela kamarku  dan melompat keluar. Aku mengamati sejenak suasana sekitar, lalu mengendap-endap lewat kebun belakang dan pergi meninggalakan rumah.
           Jarak antara rumah dengan pasar lumayan jauh, tapi aku sedang beruntung karena bertemu dengan Rasmi yang tak lain adalah sahabatku. Aku memintanya untuk mengantarkanku ke pasar. Ia memang bisa diandalkan, dengan sepeda motornya akhirnya aku bisa sampai di pasar dengan cepat. Aku berhutang banyak padanya kali ini.
“Ras, aku terima kasih banyak lho sama kamu,”kataku begitu aku turun dari motornya di depan pasar.
“Iya Rum, kamu hati-hati ya, cepetan pergi sebelum ada yang menyusulmu,” jawab Rasmi. Aku mengangguk dan memeluk sahabatku.
         
        Warung Mas Rizki adalah tujuanku. Kakiku melangkah masuk pasar diiringi tatapan aneh orang-orang di pasar. Aku tak mempedulikan mereka dan pikiranku hanya tentang kabur dari pernikahan ini. Tempat yang kutuju dalam keadaan tertutup. Aku bertanya pada pedagang sebelah, “Mba, kenapa warungnya Mas Rizki ndak buka ya?”
“Udah seminggu gak buka, Mba. Katanya Mas Rizki mau pindah ke Malang,” jawab Mbak Siyem, si penjual kue di samping warung Mas Rizki.
       Malang, kota yang menjadi tujuanku sekarang. Aku tahu betul di Malang bagian mana lelaki yang kucari itu berada dan akau akan segera menyusulnya ke sana. Kuucapkan terima kasih pada Mbak Siyem dan langsung melangkahkan kakiku untuk segera meninggalkan pasar ini.

“Harum!”

Teriakan seseorang dari kejauhan terdengar ketika aku baru beberapa langkah dari warung. Aku menoleh dan melihat laki-laki tua yang sangat kukenal, Bapak. Rok batik coklat panjangyang kupakai ini  kuangkat sedikit agar tak terinjak sandal jepitku dan memudahkan langkahku. Aku terus mempercepat langkahku dengan sedikit berlari untuk menghindari kejaran Bapak.
Memang tak butuh waktu lama untuk keluar dari pasar. Aku menoleh ke belakang dan tak menemukan Bapak dalam pandanganku. lalu mataku mencari angkutan umum yang bisa mengantarku sampai Tirtonadi. Seseorang meraih tanganku dari belakangku dengan kasar. Ia menarikku dengan paksa lalu menyuruhku untuk ikut dengannya. Dia adalah Mas Rizki! Aku tahu dia tak benar-benar meninggalkanku sendiri untuk menghadapi ini. Dia pasti menjemputku untuk pergi dari tempat ini.
“Kamu harus kembali, Harum!”
Aku melepaskan tanganku darinya. “Apa kamu tak merasakan perjuanganku untuk pergi dari pernikahan hanya untuk memperjuangkan kita?!” kataku dengan nada tinggi. “Aku hanya mencintaimu dan hanya ingin menikah denganmu, Mas.”
“Aku juga mencintaimu dan  sangat menyayangimu, Rum,” katanya dengan nada yang sama sedihnya. “Jika kita memang berjodoh, Tuhan pasti akan mempersatukan cinta kita meski bukan dibawah ikatan pernikahan.”
“Kita pergi saja dari sini dan memulai hidup yang baru. Bawa aku pergi, Mas,” kataku memohon. Dia menggeleng. “Aku harus mengembalikanmu pada orang tuamu,” jawabnya.
“Harum!!” Suara Bapak yang keras sudah sampai di telingaku. Aku berlari menghindari Bapak yang sedang menuju ke arah kami sambil menggenggam tangan Mas Rizki.
Ia melepaskan tangannya dari tanganku. “Harum, aku tak mau melakukan ini, kamu harus pulang!”
Aku menangis. “Aku akan tetap pergi, dengan atau tanpamu, Mas,” kataku dan kemudian meninggalkannya.

“HARUUUMM…!!”

Teriakan Mas Rizki yang sangat keras masih terdengar jelas di telingaku sebelum mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi menyentuh tubuhku dengan keras dan menumpahkan noda merah darah di kebaya putihku. Tubuhku terseret beberapa meter dan pandangan mataku mulai gelap ketika nafasku tak lagi bisa kurasa.

***

Sabtu, 14 April 2012

maaf, aku sibuk! - #FFHore

“Satu jam lagi aku berangkat,” ucap Trisa dengan nada sedih.
“Ya ampun aku lupa kalau hari ini kamu mau pergi,” jawab Rio datar.
“Masih ada cukup waktu untuk bertemu kalau kamu mau.”
“Maaf sayang, aku sibuk sekali hari ini.”
“Aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama, apa kamu tak mau menemuiku sebentar saja sebelum aku pergi?” tanya Trisa.
“Trisa, kita masih bisa komunikasi, jangan manja seperti itu.” Jawaban Rio membuat Trisa sangat sedih dan kecewa, ia mulai menitikkan air matanya. “Maaf, aku sibuk, nanti aku telepon kamu lagi.”
“Oke,” kata Trisa penuh kecewa. Ia menutup ponselnya dan memandanginya cukup lama. Ia kemudian mengetik sebuah pesan singkat untuk orang yang baru saja dihubunginya beberapa menit lalu.
**
 Hujan sedari pagi masih enggan berhenti, rintik-rintik kecil menghiasi dengan udara yang dingin. Rio melangkahkan kakinya tanpa payung untuk melindunginya dari hujan. Ia berjalan menuju tempat yang selalu ia kunjungi tiap hari selama seminggu terakhir ini. Ia duduk di sisinya dan mulai menyapa, “Hai Trisa, aku datang hari ini.”
Lalu ia terdiam cukup lama dan ketika air matanya mulai turun, ia segera menyeka dan tertawa. “Aku cengeng sekarang, Trisa,” katanya.
“Aku sedang tidak sibuk, jadi aku bisa menemuimu dan aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk mengunjungimu setiap hari.”
Rio menhela nafas dan mengatur perasaannya. “Trisa, maafkan aku. Aku menyesal telah beralasan sibuk dan tidak menemuimu terakhir kali sebelum kamu ke Paris.”
Sudah seminggu terakhir ini Rio selalu mengunjungi Trisa dan meminta maaf atas kebodohannya. Ia menyesal dan berharap Trisa menjawabnya, namun yang ia dapatkan hanya sebuah kebisuan, hening.
**
“Aku sudah memafkanmu,Rio,” ucap Trisa lirih. Ingin rasanya ia berlari menyambut Rio dengan sebuah pelukan ketika laki-laki yang dicintainya itu datang mengunjunginya.
“Seandainya satu minggu yang lalu kamu tidak sibuk dan bisa menemuiku,” kata Trisa mengandai-andai sendiri. “Mungkin saja kau yang akan mengantarku ke bandara dan aku tidak perlu naik taksi sialan yang sudah membuat tubuhku harus terpental sekian meter, lalu membentur pembatas jalan hingga sekujur tubuhku penuh darah dan mati…”
***

Selasa, 10 April 2012

It's just like a simulation!


“Menikah?!”pekikku dan aku nyaris tersedak spaghetti aglio olio yang sedang kusantap sore ini di  Trattoria. Beberapa orang di sekitar mejaku menengok ke arahku dengan pandangan aneh. Aku bertaruh kalau wajahku memerah seperti kepiting rebus. Damon, pria yang duduk di hadapanku itu menahan tawa. Aku mencondongkan wajahku ke arah Damon. “Idemu itu sama sekali tidak lucu!” kataku dengan suara pelan.
Damon ikut mencondongkan wajahnya ke arahku hingga jarak antara kami hanya beberapa senti hingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan. “It’s just like a simulation, Bel,” balasnya santai.
Aku menarik tubuhku dan bersandar di sofa putih Trattoria yang nyaman sedangkan Damon duduk dengan santai sambil meneguk red wine dari gelasnya. Aku yang selalu takut dengan kehidupan pernikahan mendadak harus dibuat tak karuan dengan sesuatu yang bernama pernikahan ditambah ide gila Damon. Ia adalah boss sekaligus sahabatku yang sukses dan termasuk tipe pria idaman wanita. “Kenapa Ayah begitu ngotot ingin aku segera menikah sih?!” kataku dalam hati.
Aku masih ingat betul kata-kata teman SMA-ku dua minggu lalu. “You must kidding me! 30 tahun dan masih sendiri?” katanya dengan nada yang sama sekali tak nyaman di telinga. Aku yang kesal pun langsung menyanggahnya, “I’ve married, Amartha!”

“Hei, jadi gimana? still single or married?” tanya Damon membuyarkan lamunanku.
Aku menghela nafas pendek. “Menikah itu penuh resiko, gak semudah itu.”
“Ini gak seperti pernikahan sungguhan kok, walaupun memang menikah dengan sah.”
“Jadi apa bedanya dengan pernikahan sungguhan?”
“Kita tetap menikah secara agama maupun hukum, dan kita jalani saja kehidupan kita seperti sekarang. Kau dengan hidupmu dan aku dengan hidupku, “ kata Damon. “Oh ya, kita juga harus tinggal serumah seperti pasangan suami istri sungguhan,” tambahnya.
“Serumah?” tanyaku sedikit takut mendengar yang terakhir itu. “No, itu terlalu beresiko, kau bisa saja melakukan itu padaku.”
“Melakukan apa?” tanya Damon dengan nada menggoda.
“Kamu pasti taulah apa yang dilakukan suami istri di ranjang mereka.”
Damon tertawa. “Pikiranmu terlalu jauh, ini hanya seperti kuliah tentang pernikahan, praktek lebih tepatnya.”
“Tetap saja beresiko, dan aku belum siap dengan resiko pernikahan,” kataku. “Lagipula kau sendiri belum pernah menikah, bagaimana kau akan menjadi ‘dosen’ku?”
 “Mabel, hidup memang penuh resiko, tergantung bagaimana kita mengatasinya,” katanya menatapku dalam. “Jangan jadi pengecut yang selalu menghindari resiko. Aku memang belum menikah, jadi kita bisa sama-sama belajar kan? ”
“Arghh,sepertinya aku tak punya pilihan lain,” kataku mulai putus asa.
“Selalu ada pilihan dan kamu selalu bisa memilih.”
“Ya, dan sepertinya aku memilih untuk ‘menikah’ denganmu,”kataku akhirnya.
            Sebuah senyum kemenangan terukir di bibir Damon. “Ok, mungkin aku ga seromantis pria di sana yang melamar kekasihnya dengan cincin di replica pesawat itu, tapi tetap saja aku harus melamarmu kan?” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna biru.
Lagi-lagi aku tertawa. “Damon, bukankah ini pernikahan kita hanya kuliah, haruskah kau melamarku?” tanyaku.
            “Hei my Mabel, ini juga bagian dari kuliah. Dimana-mana kalo mau nikah itu pasti ada acara melamar,” jawabnya sambil mengacak-acak rambutku.
            “Sok romantis!” ejekku.
            “Ah udah deh bercandanya, sekarang mau dilanjutin gak kuliahnya?”
            Aku mengangguk sambil menahan tawa melihat aksi ‘dosen’ di depanku.
            “Mabella  Evanthe, menikahlah denganku.”
Entah mengapa tawaku lenyap oleh tatapan mata Damon yang menatap penuh keseriusan dan tanpa sadar aku menganggukkan kepalaku. 

Kuliah pertama tentang pernikahan di Trattoria, sebuah lamaran.
***

Minggu, 08 April 2012

Menikah (beresiko)



Sebuah kotak kecil berwarna biru kamu sodorkan padaku sore itu. Kotak itu kau buka dan sebuah cincin emas di dalamnya. “Menikahlah denganku,” katamu saat itu.

Menikah. Terlalu banyak yang harus kupikirkan tentang hal yang satu itu. Aku tak menyangkal kalau aku pun ingin merasakannya. Tapi yang kupikirkan bukanlah tentang pernikahannya, melainkan kehidupan setelah pernikahan. Menikah denganmu, hidup bersama, memiliki anak-anak, dan menghabiskan masa tua bersamamu pun pernah ada dalam khayalanku. Tapi kau pun tahu sendiri bahwa kenyataan tak semudah yang kita bayangkan. Seperti yang pernah kukatakan, segala sesuatu itu beresiko. Menikah denganmu pun sudah pasti beresiko.
Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Menikah denganku pun beresiko. Tidakkah kau risau dengan resiko yang mungkin muncul nanti sedangkan kau pun tahu selalu ada resiko tak terduga yang bisa terjadi kapan saja, dalam bentuk apapun.
Menikah itu beresiko. Sudahkah kita siap dengan semua resiko itu? Bisakah kita mengatasi setiap resiko yang akan menghampiri kita? Akankah kau selalu menggenggam tanganku bahkan ketika badai besar sekalipun?

“Masihkah kau memikirkan resiko?” tanyamu ketika aku aku tak kunjung bersuara.  “Diammu cukup lama dan aku bisa merasakan ketakutanmu akan resiko itu.”
“Aku bukan takut, tapi aku harus lebih hati-hati tentang pilihan,” kataku.
“Lalu apa pilihanmu?”

Tentu saja aku punya pilihan. Menikah denganmu pun adalah sebuah pilihan. Apakah aku akan memilih menikah denganmu dan menghadapi semua resikonya atau memilih pilihan lain yang juga punya resiko berbeda. 

***

Pesan Rindu (dear chocolate)


Dear chocolate..

Tidakkah kamu terusik ketika reranting seringkali berusaha memanggilmu? Mereka mulai rapuh, mungkin karena menahan pesan rindu yang kutitipkan terlalu banyak, dan tak satupun kau sentuh.
Tidakkah kamu tersentuh ketika angin mencoba membelai tiap titik epidermismu? Mereka yang gigih mencoba, tak hanya sekali mencoba menyentuhmu dengan pesan rindu, dan tak satupun kau rasa.
Tidakkah kamu bertemu senja yang seringakali menahan pekat yang datang lebih awal? Mereka melukiskan pesan rindu lewat semburat jingga untuk kau nikmati, dan tak satupun kau lihat.

Aku masih punya beberapa roll film tentang kita. Tak sedikit waktu pula aku terhanyut dalam tiap scene tentang kita. Kita bisa saja menghabiskan secangkir rindu di pelupuk senja. Menyesapnya perlahan sampai pekatnya malam menggulung senja.
Kita? pantaskah aku memakai kata itu? Mungkin aku dan kamu saja, bukan ‘kita’, karena aku dan kamu memang tak pernah atau bahkan tak akan menjadi ‘kita’.

chocolate,,
Aku mulai belajar untuk berjalan dan berpijak dengan sesuatu yang bukan kamu. Mungkin aku tak bisa lupa, tapi aku belajar menolak ingat dan membiasakan untuk itu. Tentang kamu yang dulu begitu membelenggu hingga menyeretku dalam kekosongan tak berarti. Ahh kamu pasti tak tau rasanya kan? merasa kosong dan tak terpasung rindu itu tak pernah terasa nyaman sedikitpun!

Aku memilih untuk pergi dan takkan ada aku lagi. Lalu kemana sisa rinduku yang belum kutitipkan pada mereka –ranting,angin,senja- untukmu? Stok rinduku habis. Bukan karena kau yang menepis, hanya saja aku tak ingin lagi menangis.


salam rindu,
Desember
Bgr, 270312

Mabel The Butterfly



Istana Cordyline sedang dirundung duka setelah kematian Raja Zavier, dan kini Pangeran Zavro sedang menderita sakit karena ulah Penyihir Ordetta. Ratu Zivanna tak henti-hentinya bersedih karena mengkhawatirkan putra kesayangannya itu. Penasehat istana pun mengusulkan agar Ratu mengadakan sayembara untuk menemukan obat dan menyembuhkan pangeran.

                Taman istana ini menjadi tempat kami mencari makan, bunga-bunga disini tumbuh subur dan sangat cantik. Myrina mengepakkan sayapnya menuju bunga Zinnia dan aku mengikutinya.
                “Hei, kenapa kau diam saja?” tanya Myrina, si kupu-kupu bersayap biru padaku. Aku menengok ke arahnya sebentar dan kembali berpikir untuk membantu pangeran.        
 “Myrina, apa kau mau mengikuti sayembara untuk menemukan obat pangeran Zavro?” tanyaku.
Myrina tertawa mendengarku. “Apa kau sudah gila? kita ini cuma kupu-kupu jelata.”
Aku tertunduk lesu dan menyadari status kami hanyalah kupu-kupu biasa yang bersihir. “Tapi menurutku tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau mencoba,” kataku penuh semangat.
“Oke, lalu apa rencanamu dan memangnya kau tau apa obatnya?” tanya Myrina dengan tatapan meremehkan.
“Air ajaib milik Ratu Alexandra, aku tak sengaja mendengar Ordetta menyebutnya saat di taman  Pensylvane” jawabku.
“Apa kau sudah gila? Aku tak ikut!”
“Ayolah bantu aku, hanya Ratu Alexandra yang punya penawarnya.”
Myrina terus tertawa dan menganggapku mulai gila. “Kau tau kan kalau tak mudah untuk bertemu dengan Ratu Alexandra, apalgi untuk meminta air ajaibnya itu.”
Seekor kupu-kupu jantan menghampiri bunga Zinnia kami. “Aku mau membantumu,” katanya. Aku terkejut mendengarnya. Dia adalah Damon, kupu-kupu hitam yang tak terlalu ramah.
“Jadi kapan kita pergi ke tempat Ratu Alexandra?” tanyanya.
“Kalian semua mulai gila, aku tak ikut!” Myrina mengepakkkan sayapnya lalu terbang meninggalkanku dan Damon.
“Apa kau sungguh-sungguh mau membantuku?” tanyaku hati-hati.
“Tentu saja,” jawabnya yakin.

Kamipun terbang menuju hutan tropis tempat Ratu Alexandra yang dikenal tak ramah.  Perjuangan kami pun tak mudah. Ratu Alexandra enggan memberi kami setetes air ajaibnya. Sementara racun yang diberikan Ordetta pada Pangeran Zavro makin menyakitkan bagi Pangeran. Ratu Alexandra awalnya tak mau berbagi air ajaib, namun ia mengajukan syarat yaitu aku harus menyumbangkan sepotong sayap transparanku sebagai gantinya.
“Mabel, kau tak harus melakukan itu,” bisik Damon.
“Kita tak punya pilihan lain, Damon. Aku harus melakukannya,” kataku dengan berbisik. “Kau harus kembali dan serahkan air itu pada pangeran.”
“Potong saja sayapku!” Damon berteriak dengan lantang pada Ratu Alexandra.
Sang ratu bersayap besar di hadapan kami itu tertawa. “Aku tak butuh sayapmu, itu tak berharga bagiku. Aku hanya butuh sayap transparan miliknya.”
“Sudahlah Damon, aku sudah memutuskan untuk menerima syaratnya demi kesembuhan pangeran. Aku ingin membalas kebaikan pangeran yang telah menolongku dari kawanan predator dulu,” bisikku lagi.
“Apa kau yakin, Mabel?” tanya Damon lagi dan aku menangguk dengan yakin. Damon pun akhirnya menyerah.
“Jadi bagaimana, apa kita sepakat menukar sayap transparan milikmu dengan setetes air ajaibku?” tanya Ratu Alexandra.
“Ya aku setuju,” jawabku mantap.
Ratu Alexandra kemudian menyerahkan sebotol kecil yang isinya berkilauan, air ajaibnya yang sangat terkenal dan langka, pada Damon. Kemudian sang Ratu member isyarat pada prajuritnya untuk membawaku pergi.
**
“Hhooaaamm..” terdengar Zenna menguap dan matanya mulai lelah.
“Oke, sebaiknya kita tidur ya.”
“Tapi ceritanya belum selesai, mommy. Apa yang terjadi dengan Mabel selanjutnya?”
“Kita lanjutkan besok malam ya, cantik.”
Zenna pun menurut dan segera menarik selimutnya. Aku tersenyum melihatnya.
Kau mau tahu apa yang terjadi pada Mabel? Kupu-kupu bersayap transparan itu tak pernah kehilangan sayapnya.  Ratu Alexandra tak benar-benar memoong sayap cantiknya, ia hanya menguji Mabel. Lalu ia  kembali ke Cordyline, sang Pangeran menikahinya dan Mabel  diberi gelar Putri Zathisa dan mereka memiliki seorang putri cantik bernama Putri Zenna.
***