Terlalu banyak hal yang mampu
melenyapkan rasa sedih dalam relung hati ketika kedua kakiku menjejak di kota
yang selalu membuatku rindu pulang., Yogyakarta. Kota yang memiliki banyak
cerita dari setiap manusia yang pernah mennginjak tanahnya, menyimpan kenangan
pahit manis mereka di setiap sudutnya, menanamkan rasa rindu agar segera
kembali menjumpainya lagi. Kota yang ramah dan hangat layaknya rumah yang
seharusnya.
Hingga disinilah aku berada, satu
tahun setelah perjumpaan kita yang terakhir, di kota yang kau sebut sebagai
rumah. Alun-alun kidul Yogyakarta selalu ramai ketika malam hari. Beberapa
penjaja sewa penutup mata menghampiriku dan menawari penutup mata yang mereka
punya untuk mencoba permainan yang sangat terkenal di alun-alun. Pohon beringin
kembar itu masih saja menunggu untuk ditaklukan.
Aku berdiri sembari menikmati
suasana alun-alun dan menonton orang-orang yang mencoba peruntungannya agar
bisa melewati pohon kembar dengan sempurna. Senyum kecil mengembang di bibirku.
“Ini…,” ucapnya pelan sambil menyodorkan
penutup mata yang ia sewa dari penjaja keliling.
Aku tertawa. “Kamu mau aku nyoba
permainan ini?” tanyaku.
“Kenapa? Nggak berani?!”
tantangnya dengan penuh percaya diri.
“Nggak berani? Enak aja kalau
ngomong!” balasku. “Tapi ini Cuma permainan konyol aja.”
“Hei, nggak ada salahnya kan
mencoba?”
Aku mengangguk pelan.
“Mitosnya hanya orang yang
berhati bersih yang bisa melewati pohon itu.”
“Cuma mitos ‘kan?” kataku
meremehkan.
Ia tahu kalau aku tak percaya
dengan mitos, karena itu ia langsung menutup mataku denga penutup mata yang
tadi ia berikan padaku. Aku mencoba menghalangi aksinya itu tapi ia sangat
sigap dan menjadi lebih galak seperti ayah yang sedang menghukum anaknya dan
membuatku menurut. Sekali-kali menyenangkan hatinya, pikirku.
“Semoga berhasil,” bisiknya pelan
di telinga kananku lalu mendorong tubuhku perlahan. Kakiku melangkah dan hanya
terus melangkah dalam hitamnya pandanganku.
Hitamnya langit malam di atas
sana kembali membuka hitamnya rindu dalam hatiku dan membuatku berharap
laki-laki dengan jaket abu-abu itu menghampiriku. Laki-laki yang setahun lalu
datang menyapaku dengan suaranya yang menghangatkan hatiku yang terlalu dingin
karena masa lalu. Membuatku larut dalam tiap untaian kata yang keluar dari
mulutnya, menceritakan tentang tiap sudut kota Yogyakarta yang indah. Laki-laki
yang membuatku jatuh cinta pada Yogya dalam satu hari kebersamaan kami ketika
itu
Kututup mataku dengan penutup
mata yang kusewa dengan harga ribuan rupiah dan kemudian melangkahkan kakiku
seperti setahun lalu.
Aku menunggumu kembali, menceritakanku sejarah sambil menyesap
hangatnya ronde di alun-alun kidul Yogyakarta.
jadi mau ksana
BalasHapusjauh ga tuh des