Rabu, 28 Oktober 2015

Menunggumu

pict from here



Pras meraihku cepat lalu menghempaskan tubuhku ke sudut ruangan. Aku jatuh berdebum. Kau bodoh jika bertanya bagaimana perasaanku. Hancur tentu saja. Hanya sebatas itukah cintanya? Ketika perempuan itu datang menemuinya tiga puluh menit lalu untuk mengakhiri kisah cinta mereka? Lalu melampiaskannya padaku.

Ya Tuhan, ingin rasanya kuhajar dia agar segera waras. Oh, aku lupa bahwa dia memang sudah gila. Benar-benar gila. Gila karena cintanya pada perempuan itu, Lolita.

Dasar pecundang kau, Pras!  

Lima tahun. Mereka berakhir setelah lima tahun sejak aku diserahkan pada Lolita. Akan kuceritakan bagaimana aku bisa berada di antara mereka. Tak tahu bagaimana mulanya mereka bertemu hingga akhirnya saling jatuh cinta, yang jelas aku dihadirkan oleh Pras lima tahun yang lalu.

Pras mendandaniku dengan cantik. Meletakkanku dengan hati-hati pada kotak beledu warna biru, seolah aku adalah hartanya yang paling berharga. Ia bahkan memberiku teman, segulung kertas kecil yang ditulisinya penuh harap. Diserahkannya aku pada Lolita sebagai hadiah pernikahan. Masih kuingat bagaimana reaksi Lolita ketika membukanya sembunyi-sembunyi beberapa jam setelahnya. Perempuan itu menggenggamku erat sambil matanya membaca beberapa deret aksara yang ditulis Pras.

Ketika di perjalanan kau merasakan ketakutan, aku masih menyediakan kata pulang. Dan akan kusediakan rindu dengan segala bentuk yang kau mau.

Lima tahun lalu adalah hari pernikahan Lolita. Dengan lelaki lain. Dan Pras menunggu perempuan itu pulang. Ke rumahnya.







Bogor, 28-10-2015

 Diikutkan dalam #nulisbarengalumni #kampusfiksi

Minggu, 10 Mei 2015

Koella dan Lelaki Lembah Tidar

Pict from here

Judul          : Koella (Bersamamu dan Terluka)
Penulis        : Herlinatiens
Penerbit      : Divapress 
Halaman       : 278 halaman
Tahun terbit : 2012 (pertama terbit 2006)

Mendapatkan buku ini juga tak disengaja. Ah, mungkin Tuhan memang sudah menuntun saya untuk bertemu dengannya siang itu. Saya –dengan berani-beraninya—masuk ke sebuah toko buku kecil di lantai bawah di sebuah pusat perbelanjaan Kota Bogor.  Sebenarnya, anggaran bulanan untuk belanja buku saya bulan ini sudah habis. Dan memasuki toko buku itu sama saja mencari penyakit – untuk dompet saya.
Singkat cerita, saya menyusuri jajaran novel. Tidak sebanyak di toko buku besar itu memang, didominasi buku-buku lama malah. Hingga akhirnya sepasang mata minus tanpa kacamata ini menangkap gambar di kaver buku. Warnanya hijau, seorang perempuan, dan lelaki tampak belakang. Lelaki berseragam.
Bukunya sudah tak bersegel, tapi masih rapi. Sebenarnya, tanpa membaca blurb-nya pun, kemungkinan besar akan membuat lupa pada anggaran. Setelah maju-mundur untuk membeli, akhirnya ia masuk dalam kantung belanja. (Say sorry to the budget).
Oke, sudahi sedikit curhat colongan tadi. Mari kita mulai membahas Koella.
Sebelum  menemukan dan membaca novel ini, saya belum tahu tentang Koella yang ternyata memang benar-benar ada di Magelang sana. Karenanya saya agak bingung ketika Makula mengucapkan “Koella” dengan konteks berbeda. Ini seperti dari Cibinong mau ke Botani Square tapi tak tahu mesti naik angkot apa saja. Di Bogor, banyak angkot dengan bermacam trayeknya. Jadi saya tidak mau asal naik angkot yang bisa saja membuat saya nyasar entah ke mana. Mampirlah dulu saya ke kotak pencarian dengan kata kunci “Koella”. Melanjutkan kisah Makula – atau Koella—pun menjadi lebih lancar.

Koella. Perempuan-perempuan yang kelak menjadi istri konvensional. Perempuan Tidar yang tidak terjamah sebab. Kadang hanya cinta, kadang hanya mengerti. Koella, sebab cinta tak pernah bisa kita pilih, tapi cintalah yang memilih kita.
Di awal, saya diajak mengenal seorang gadis bermata cokelat, Makula Kecil. Begitulah namanya seperti yang tertulis dalam catatan kelahirannya. Ia lahir tujuh belas tahun setelah tahun 1965, masa kelam sejarah Indonesia dengan PKI-nya. Ayahnya seorang guru yang di-PKI-kan. Yang akhirnya – mau tak mau—membuat ia dicap sebagai seorang anak PKI. Dan ia mencintai seorang pemuda, Smesta Mahatvavirya. Seorang taruna Akmil dari Lembah Tidar. Seorang TNI.

Ya, sudah jelas konfliknya bukan? Cinta seorang anak PKI dengan  seorang TNI. Premis yang menarik.

Mengisahkan dari sudut pandang Koella, membuat pembaca memahami bagaimana Koella sesungguhnya. Rasa cintanya pada lelaki yang sudah dicintainya sejak lama. Rasa cintanya yang akhirnya berbalas. Rasa cintanya yang menghadapkannya pada sebuah kenyataan pahit. Rasa cintanya yang membuatnya menjadi perempuan paling beruntung –sekaligus menyedihkan. Semua karena rasa cintanya pada seorang Esta, Smesta Mahatvavirya.

Adalah Esta. Bukan dengan temalinya ia menjeratku. Bukan dengan ponyet emasnya ia menghujam dadaku. Tidak juga dengan deru senapannya dia menghentikan detakan jantungku. Lalu hari-hariku mudah runtuh dan menderu manakala mendengar sedikit saja segala hal tentang ksatrian itu disebut. 

Hubungan keduanya semakin dekat, hingga mereka yakin bisa sampai pada tahap itu; menikah. Percintaan keduanya pun penuh emosional, mengalami naik-turun. Tapi Koella tahu, itu tak mungkin. Ia anak seorang PKI –meski sebenarnya tidak. Akhirnya ia berniat untuk mengungkapkan semuanya pada Esta, sekaligus mengakhiri hubungan mereka. Ternyata Esta tak lantas mundur dan melepaskan kekasihnya. Ia tetap mempertahankan Koella. Ia mencintai perempuan itu. Sangat.

Sampailah kita pada akhir cerita; bagaimana Koella dan Esta menyelesaikan masalah mereka. Dan saya kecewa, kesal, mungkin sedikit marah. Saya sudah menebak dari awal bahwa mereka kemungkinan besar tidak bisa bersama. Tapi tidak harus seperti itu, ‘kan?! Bagi saya, ending kisah yang rumit ini (sangat) egois.

Iya, mereka egois.  Kalau memang berpisah, ya pisah saja. Mengapa harus mengorbankan orang lain lagi demi hubungan mereka. Tapi cinta memang seringnya begitu; bisa membuat manusia menjadi egois, gila, atau pun buta.

Bagaimanapun, itulah yang mereka pilih untuk kisah mereka. Cinta mereka.


Meski agak tertatih di awal cerita, namun saya akhirnya bisa menikmati alur cerita yang disajikan Mbak Herlina.  Dengan bahasa yang puitis, analogis, dan disisipi bait-bait sajak. Saya juga agak sebal ketika penulis mengulang-ulang hal yang sama, semisal: tentang ia yang bernama Koella, rindunya pada Esta, ataupun kisah bapaknya yang di-PKI-kan. Sebenarnya memang tidak masalah dengan pengulangan, hanya saja ini terlalu sering dalam jeda yang tidak lama. Novel ini bagus. Premis yang menarik dan dirajut dengan kata-kata indah.
Tiga bintang untuk Koella.

Panggil aku Koella, sejati perempuan setia.



Kota Hujan, 10-05-2015



Kamis, 19 Februari 2015

(Bukan) Teka-teki

Teruntuk kau,
di tempat bahagiamu.


Aku datang lagi. Kubawakan sekotak cerita untuk kau nikmati di penghujung harimu. Tentang aku. Kau masih belum bosan bila kukisahkan tentangku bukan? Pasti jawabanmu adalah tidak. Bila jawabanmu sebaliknya, aku akan tetap mengisahkannya padamu. Ya, aku memaksa.

Studio tiga, kursi nomor F-16. Kau tahu, aku bahkan baru menyadari nomor kursi itu sama dengan nama pesawat yang selalu kusebut pesawat gagah. Fighting Falcon F-16.  Dan aku mendapatkannya karena bertukar tiket dengan seorang bapak yang anaknya duduk di sebelahku. Namanya Keisha, gadis manis yang sangat dekat dengan ayahnya. Aku sangat tahu rasanya dekat dengan ayah. Dan aku juga tak akan bisa menikmati filmku jika harus duduk bersama orang asing. Karena itulah, aku menawarkan diri untuk bertukar kursi. Jika kau bertanya apa aku mengenal mereka, aku menjawab bahwa aku belum mengenal mereka sebelumnya. Dia tidak mendapat tiket pertunjukan, dan kami – teman-teman komunitas – mengajaknya ikut rombongan karena ada tiket lebih.

Ini semua karena CJR.

Ya, kau boleh menertawaiku sekarang. Aku benar-benar meninggalkan tumpukan buku dan tugas menulis mingguan karenanya. Untuk mewujudkan keinginan seorang ayah yang ingin mengajak anak-anaknya pergi ke gedung bioskop. Bukan ayah Keisha yang kuceritakan di sini ya. Aku dan teman-teman di satu komunitas yang kuikuti mengadakan acara nonton bareng dengan anak-anak panti asuhan. Tentu saja film harus kami sesuaikan dengan usia mereka. Jatuhlah pilihan kami pada film tentang trio remaja yang begitu dicintai penggemarnya.

Kau tahu betul bahwa aku akan memilih Kingsman dengan kisah secret service-nya atau Jupiter Ascending yang menghadirkan Channing Tatum. Jenis film yang menghadirkan teka-teki atau aksi yang membuatku begitu bersemangat. Menangkap ­petunjuk, menganalisis, merangkainya menjadi sebuah jawaban itu menyenangkan. Itulah mengapa koleksi film dan novelku banyak yang bertema seperti itu. Kurasa kau juga sudah pernah menengoknya beberapa.  

Kenyataannya, aku benar-benar duduk di studio tiga kursi F-16. Menonton film itu. Dan aku bingung sendiri, tentang bagaimana mereka bisa mencintai idolanya dengan sangat. Di awal-awal film disuguhi tangis-tangis penggemar yang tak ingin salah satu idolanya keluar dari grup. Kau tentu tahu, aku tidak fanatik pada suatu hal – entah itu penyanyi, penulis, aktor, aktris, atau karya-karyanya. Ah ya, aku melupakan satu – atau lebih dari satu – hal  yang kucintai dengan sangat. Apa? Kau ingin tahu? Sayangnya aku tak mau menjelaskannya di sini. Hei, aku tahu kau akan mengerucutkan bibir jika kujawab seperti itu. Dan kau akan berlagak ingin berhenti membaca suratku ini. Namun kau tak sungguh-sungguh dengan itu. Aku berani bertaruh.  

Lupakan tentang hal yang belum kau dapatkan jawabannya. Terkadang lebih baik membiarkannya mengambang tanpa jawaban. Menjadikannya teka-teki yang harus kau pecahkan. Setidaknya kau akan lebih berusaha. Pun belajar untuk lebih peka. Kau tahu, seseorang pernah mengatakan bahwa tidak semua hal harus kauketahui. Namun manusia diciptakan dengan rasa ingin tahu. Dan kau – pun sama halnya denganku – harus belajar menjadi manusia yang lebih peka untuk mengetahui sebuah jawaban dari pertanyaan yang memenuhi isi kepala. Sesungguhnya, petunjuk-petunjuk bertebaran di sekitar kita.

Selamat malam dan selamat menangkap petunjuk.
Semoga kita menjadi lebih peka.




Kota Hujan, 19-02-2015




Rabu, 11 Februari 2015

Ibuku (Tidak) Gila

Mereka bilang Ibuku gila. Mereka bilang Ibuku pembunuh.
Bukankah mereka mengatakannya hanya karena melihat apa yang sudah terjadi? Lantas apakah mereka tidak lebih jahat dari yang mereka katakan tentang Ibu?
Ibuku tidak gila. Dan ibuku bukan pembunuh. 

Ibu memelukku erat. Bahkan terlalu erat hingga aku nyaris sulit bernapas. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang makin mengencang. Aku tahu Ibu ketakutan, namun ia tak ingin menunjukkannya padaku. Semua baik-baik saja, itu yang terus ia katakan jika aku bertanya apa yang terjadi, hingga aku tak ingin lagi bertanya.

Dalam dekapnya ingatanku kembali ke masa beberapa jam sebelum aku duduk di sampingnya, di bus menuju kampung halaman Ibu di Solo. Ibu membangunkanku pagi tadi. Dengan suara pelan, ia mengatakan padaku untuk segera membuka mata  karena kami harus segera pergi dari rumah. Sepagi itu. Suara adzan yang selalu berkumandang pun belum terdengar dari  pengeras suara masjid. Kulirik jam kecil di nakas samping tempat tidurku. Dan memang belum waktunya suara adzan yang menjadi alarm bangunku itu berkumandang.

Ibu mengumpulkan rambut panjangku dan mengikatnya jadi satu. Lalu memakaikanku baju hangat dan sepatu. Semuanya Ibu lakukan dengan gerak cepat dan berusaha tak menimbulkan suara berisik. Aku berusaha menghentikannya, ingin bertanya mengapa ia harus melakukannya pagi-pagi buta. Ia meletakkan telunjukknya di depan bibir, menyuruhku untuk tetap diam. Dan aku menuruti perintahnya. Mendadak rasa takut menyelinap dalam diriku.

Satu tangannya menjinjing tas besar yang gemuk. Kutebak Ibu akan membawaku pergi jauh. Sementara satu tangannya yang bebas, meraih tangannku. Aku mengekor langkahnya yang keluar dari kamarku seperti maling. Hampir saja aku mengeluarkan jeritan jika Ibu tidak menutup mulutku yang sudah siap melepas teriakan. Entah apa yang terjadi di rumah ini ketika aku terlelap. Ada yang sudah mengacak-acak rumah kami. Kulihat banyak pecahan kaca tersebar di lantai ruang makan, kursi-kursi yang jatuh, dan tirai yang lepas dari kaitnya. Rumah kami tidak seperti rumah kami yang selalu rapi karena tangan Ibu.

Aku berusaha melepas pelukan Ibu. Kepalaku mendongak melihat wajah yang kini pucat dan dingin. Dan aku baru menyadari satu hal; kening Ibu terluka. Kurogoh tas kecil favoritku –yang untungnya tak dilupakan oleh Ibu ketika kami pergi tadi-- mengambil sebuah plester bergambar Mickey Mouse. Kepala Ibu berdarah, kataku sambil menutup lukanya dengan plester. Air matanya jatuh ketika ia mengucapkan terima kasih lalu mengecup pelan puncak kepalaku.

**

Ibu duduk memeluk lutut di sudut kamarnya yang kecil. Rambut panjangnya dibiarkan jatuh menutupi wajahnya yang cantik. Bibirnya belum berhenti menyenandungkan lagu tidur untukku. Lagu selalu kudengar setiap malam. Ia tak menghentikan kebiasaan itu meski usiaku sudah duabelas.  Ingin rasanya aku datang pada Ibu, memeluknya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tapi aku bisa apa? Menyentuhnya pun aku tak mampu. Aku memang berada dekat dengannya, tapi sebenarnya kami sudah benar-benar jauh.

Bus yang kami tumpangi bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Kudengar jerit dari para penumpang yang mendadak ketakutan. Tak terkecuali denganku. Ibu masih di sampingku, melindungiku dalam dekapannya. Bibirnya terus mengucap takbir. Hingga bus masuk ke jurang, Ibu tak sekalipun melepaskan tangannya dariku. Ibu benar-benar ingin melindungiku. Ia tak ingin aku terluka. Dan itulah yang membuat Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri; memukul Ayah dengan vas bunga dan mengajakku pergi.

Dengan langkahnya yang lemah, Ibu berjalan menuju jendela kamarnya. Berdiri dengan tatapan kosong ke luar kamarnya. Helai-helai rambutnya bergoyang tertiup angin, memperlihatkan wajahnya yang selalu ia sembunyikan. Bibirnya tersenyum. Lalu tertawa.
Dan ibuku tidak gila.


***

Peron Dua Stasiun Gondangdia



Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Beberapa dari mereka sudah tiba, lalu pergi. Pun dengan beberapa setelahnya. Dan aku masih di sini, belum beranjak dari kursi besi yang dingin. Yang kutunggu belum juga terdengar tanda kedatangannya yang biasanya diumumkan lewat pengeras suara. Kubuka lagi buku kumpulan cerita yang sudah kuberi tanda dengan pembatasnya di halaman seratus lima puluh enam. Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri, judul buku yang kubaca itu.

Aku baru saja sampai pada cerita tentang Ainun yang dikutuk karena membela Subairi, lelaki yang dicintainya. Lelaki itu dituduh melakukan perbuatan tak senonoh pada seorang gadis, lalu membunuhnya. Ia dihakimi oleh warga desa yang terbakar amarah.

Bakar! Bunuh! Laknat!

Barangkali takdir, begitu jawaban Subairi ketika Ainun menanyakan alasan Subairi berbohong padanya.  Kasihan sekali Ainun, pikirku. Ia harus menerima kutukan karena membela lelaki yang dicintainya. Ia bahkan tetap mencintainya, dan tak ada lelaki lain lagi, hingga usianya yang lebih dari satu abad. Dan ternyata, lelaki itu sudah berbohong padanya. Ia benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan warga desa.

Barangkali takdir, seperti yang tertulis dalam buku ini.

Hingga pada detik yang membuatku hendak beranjak, kau muncul di sana, dari eskalator yang membawamu naik ke tempat yang sama denganku. Dengan seragam hijau kebangganmu, menggendong ransel kanvas warna beige. Aku mengenalimu, namun kau tidak. Kau tahu, bahwa hanya melihatmu saja sudah cukup membuatku bodoh. Aku mengabaikan yang sedari tadi kutunggu hingga bosan. Commuter line tujuan Bogor sudah berlalu. Meninggalkanku yang ingatannya terlempar lagi ke masa lalu.

Demi apapun aku merasa semakin bodoh karena membiarkan hatiku senang karenamu. Dan bibirku, sulit sekali membuatnya untuk tidak tersenyum. Alih-alih membiarkan diriku semakin terlihat bodoh dengan membiarkan mataku memandangimu atau kakiku ini melangkah mendekatimu, kubuka kembali buku yang belum tuntas tadi.

Aku tidak benar-benar membaca. Kepalaku terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan; apakah kau melihatku, masihkah mengenaliku, atau haruskah aku beranjak dan menyapamu? Ah, tidak akan kulakukan! Masa laluku tentangmu sudah cukup memalukan bagiku. Aku bukan lagi gadis remaja yang tak tahu malu menyatakan cinta pada teman abangnya. Ya, seperti itu.

**



 Aku menunggu di peron dua, Stasiun Gondangdia.

Mungkinkah hujan selalu datang satu paket dengan kenangan? Kurasa memang seringnya seperti itu. Aku melihatmu di sana, sedang duduk tertunduk. Pandanganmu jatuh pada lembar-lembar kertas kesukaanmu. Kau mencintai buku, kata seseorang padaku. Dulu.

Aku masih mengingat bagaimana binar matamu ketika aku datang menghadiahimu sebuah buku. Buku yang dipilihkan kekasihku untukku. Kau tahu sendiri bahwa aku tak terlalu suka membaca, terlebih buku yang tebal. Hingga aku teringat kau yang senang membaca dan memberikannya padamu, Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa. Setidaknya ia akan dirawat lebih baik olehmu.

Ingin aku menghampirimu, menyapamu. Lalu malu rasanya ketika ingatanku kembali pada masa tiga tahun lalu – ketika seorang gadis mengatakan bahwa ia mencintaiku dan ingi jadi kekasihku. Dan bodohnya aku menertawakannya. Kau adalah adikku. Tak lebih dari itu. Namun seperti yang kukatakan tadi, aku terlalu bodoh karena tak menyadari bahwa kau terluka meski kau membalasku dengan tawa.
Suara dari pengeras suara memberitakan bahwa commuter line tujuan Bekasi akan segera tiba. Aku melangkah sampai garis batas. Melewatimu yang sekilas kulihat mendongakkan kepala. Seharusnya aku tak melaluimu begitu saja. Seharusnya aku bisa sekadar memberi sapa. Ya, seharusnya begitu.

Kereta yang kutunggu sudah tiba. Aku melangkah masuk ketika pintunya bergeser. Dari kursi besi itu, sepasang matamu mencari-cari sesuatu ke dalam gerbong. Aku bisa melihatmu dari balik bahu-bahu milik orang lain; kau tersenyum. Kau benar-benar melihatku ternyata.

***


Minggu, 08 Februari 2015

Dear Frogman


Dear Frogman, 
di tempat bahagiamu.


Seperti malam yang lalu, hujan turun lagi kali ini. Secangkir kopi, beberapa lagu, dan berlembar-lembar yang kuberi judul “Dear Frogman (Draft)”. Rasanya sudah cukup lama sejak kutinggalkan dalam folder dengan nama yang sama. Tiap kali aku membukanya dengan segenap keyakinan bahwa aku bisa melanjutkannya, adegan-adegan di waktu yang telah lalu pun menyeruak. Seakan-akan mereka berlomba untuk mendapatkan tempat yang harus kuingat dengan sangat baik. Lalu mereka – kenangan-- mengalahkan keyakinanku bahwa aku bisa menyambung bagian yang satu dengan lainnya dengan cepat. Kau boleh tertawa, karena nyatanya aku memang kalah cepat  dengan mereka. Masih saja begitu.


Diserbu kenangan itu menyebalkan, Frogman. Kau tahu, itu membuatku mendadak rindu. Ya, aku merindukan masa-masa ketika sepotong lagu Ariana Grande berdering di ponselku. Nama Pak Pos yang muncul di sana, bukan namamu -ah, aku lupa bahwa memang tak pernah ada namamu di daftar kontakku. Meski bukan namamu yang muncul, kau pasti ada di seberang sana. Kau mendengarkan dengan diiringi senyum, terkadang tawa tertahan, bahkan mungkin keningmu mengerut mendengar ocehanku. Apakah aku salah? Ah, harusnya kau memberiku satu kenangan lain ketika itu; mendengarmu menyahuti ocehanku. Atau hanya sekadar sapa pun tak apa. Pada akhirnya, hingga kau pergi pun aku tak mendapatkan keduanya. Kau menyebalkan bukan?

Oh, kau tidak menyebalkan, tapi sangat menyebalkan.


Menjelang 80 hari, kudoakan selalu kebahagiaan untukmu.  Kau tahu, Frogman, pada beberapa waktu aku masih saja merasa bahwa kau masih ada, masih bisa kulihat. Aku sungguh mengerti bahwa aku tak boleh seperti ini. Kau tentu tak ingin aku seperti ini. Kau tak perlu khawatir, Frogman, aku sudah jauh lebih pandai mengaturnya kini. Hanya sesekali saja tak apa bukan?


Kurasa aku harus kembali bekerja, Frogman. Kembali pada pekerjaan menyebalkan; mengorek kenangan,  menemukan potongan-potongan yang luput, lalu menyatukannya menjadi satu. Aku tahu bahwa aku sudah melewati hari ketujuh, pun keempat puluh. Betapa jahatnya aku jika sampai melewati hari keseratus.


Berbahagialah selalu di sana, Frogman. 






Menjelang 80 hari pada lembar keempat puluh
Kota Hujan, 08-02-2014










Diikutkan dalam event #30HariMenulisSuratCinta

Rabu, 04 Februari 2015

Kepada Tuan Penyair

Kepada Tuan Penyair,
di tempat bahagiamu


Aku menemukanmu dalam potongan berbeda. Jauh berbeda dari kali terakhir kulihat kau di salah satu senja. Tiga ratus hari yang telah lalu. Kau tahu, kau terlihat lebih baik. Hidupmu menyenangkan, Tuan?

Tempo hari, kau bertutur perihal hati yang kembali menemukan muara. Hatimu. Kurasa tak perlu aku mengeja semua rangkaian aksaramu. Aku --bahkan orang lain pun-- tahu bahwa kau sedang berbahagia. Kau selalu pandai membahasakan perasaan menjadi kata-kata yang indah.


Selamat jatuh cinta, Tuan Penyair.





Kota Hujan, 04-05-2015