Sabtu, 15 Maret 2014

Rapuh

Kubanting dengan kasar pintu kayu bercat putih itu. Aku merosot hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai dengan air mata yang belum jua reda. Pertengkaran beberapa menit lalu pun kembali berkelebat di pikiranku yang kacau, seolah-olah semakin menambah berat bebanku. Dadaku sesak akibat terlalu banyak menangis. Aku memukul-mukul dadaku, berharap nyeri itu berkurang, namun air mataku makin deras dan lebih menyakitkan.

Cerai. Kata itu meluncur begitu saja seperti sesuatu yang sudah tak tahan karena dipendam terlalu lama. Aku mungkin masih bisa memaafkan bila ia selalu pulang larut bahkan dalam keadaan mabuk berat, atau seringkali khilaf dengan memukuli diriku. Asal anak kami satu-satunya itu bahagia, tak terluka, aku siap menerima apapun perlakuan kasarnya. Tapi aku tetaplah seorang perempuan yang memiliki titik rapuh dalam hidupnya. Dan aku pun berada di titik itu, malam ini.

Aku masih terjaga sambil melawan kantuk yang menyerang. Jarum jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ia belum pulang. Mataku nyaris memejam ketika suara pukulan kasar di pintu depan tertangkap indera pendengaranku. Aku bergegas untuk membukakan pintu.

Ia pulang. Mabuk lagi. Rasanya seperti ada yang meneteskan air garam di atas luka yang menganga ketika kulihat seorang perempuan dengan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya itu memapahnya dalam keadaan yang sama mabuk. Aku mencoba meraihnya. Ia menepis tanganku. Kasar.
Ini bukan sekali-dua kali ia membawa perempuan itu pulang ke rumah kami. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Kuputuskan untuk membiarkannya pergi, bahagia dengan pilihannya. Pun denganku, aku juga akan pergi darinya. Aku menatap sebotol cairan pembunuh serangga. Itu pilihanku. Mengakhiri kerapuhan hidupku.

*****

Aroma Melati

Ketel yang kupakai untuk menjerang air pun menimbulkan bunyi ketika air di dalamnya sudah mendidih. Membangunkan aku dari lembaran album masa lalu. Aku beranjak, menyeduh teh dengan aroma melati. Kesukaanmu. Dulu. Aku masih suka membuatnya menjadi dua cangkir, sayang. Satu untukku, dan tentu saja satu cangkir lagi adalah untukmu.

Kita menikmati sisa sore hari itu dengan aroma melati menguar di udara, bercampur dengan aroma sehabis hujan. Hingga kuberanikan diri mengajakmu untuk menghabiskan hidup bersama, memintamu untuk menjadi pendamping hidupku yang akan menemani tiap langkah perjuanganmu. Kamu tersipu. Dan kamu mau. 

Sudah hampir seperempat abad yang lalu sejak aku memintamu. Namun, kumohon maafkan aku, sayang. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu, memaksamu untuk selalu bersamaku. Aku hanya ingin hidup bersamamu. Selamanya. Tidakkah aroma teh melati ini sangat wangi, sayang? Mengalahkan aroma tubuhmu yang mulai membusuk sejak kutemukan kamu terbujur kaku. 

Tujuh hari lalu.

Rabu, 05 Maret 2014

Kursi Kayu

Katamu, kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya di bawah pohon tanjung inilah tempat kamu akan menungguku datang. Seraya menghisap beberapa batang rokok dan mendengarkan alunan musik dari sepasang earphone yang kuhadiahi untukmu. Lalu kamu buru-buru mematikan ujung rokokmu ketika matamu menangkap diriku yang semakin dekat dengan kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya, karena kamu tahu bibirku akan menceramahimu tentang kebiasaan burukmu. Membunuh bosan, katamu beralasan jika aku mulai memberikan pandangan menyelidik ke bawah sepatumu. Meski berulang kali aku mengeluhkan kebiasaanmu, tapi kamu tak mengeluhkanku. Sebuah senyum selalu kau jadikan senjata andalan untuk melumpuhkanku. Jemarimu yang hangat pun meraih jemariku, mengajakku pergi dan akhirnya meninggalkan kursi kayu yang tak pernah lelah menemani kita. Meski kursi kayu atau pohon tanjung itu tak lagi ada, kamu tetap akan menungguku. Ya. Katamu, kamu akan menunggu. Aku tahu itu.

Senja kelima, bulan ketiga. Kini aku menunggu di tempat yang sama ketika kamu menungguku datang dengan setumpuk buku. Aku merasai udara sore dengan matahari yang teduh. Tak ada langit kemerahan ataupun kicau burung hendak kembali ke sangkar. Kau tahu, pohon tanjung yang selalu menaungi kursi kayu kita tak lagi serindang dulu. Semua berubah. Pun kamu, yang kini tak lagi menungguku. Hanya kursi kayu yang mulai pudar warna coklatnya yang masih setia menungguku datang, memberikan tempat untukku melepas penat.  Entah sampai kapan aku berharap kamu akan kembali meski kursi kayu ini kadang menyadarkan aku tentang penantian yang sia-sia. Aku tak peduli. Di sinilah aku di setiap sore, menunggumu. Harusnya kamu tahu itu meski nisan itu telah tercetak namamu. Setahun lalu